Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darmansyah
"ABSTRAK
Pada masa revolusi tahun 1945-1950, pemerintahan daerah di Surakarta mengalami proses pencarian jati diri bentuk pemerintahan daerah, apakah berbentuk suatu daerah istimewa atau berbentuk suatu karesidenan biasa. Proses ini dipengaruhi oleh persaingan antar organisasi-organisasi politik yang memperebutkan hegemoni politik di Surakarta, ditambah lagi oleh suasana revolusi yang mengharuskan adanya perubahan bentuk pemerintahan daerah.
Posisi kota Surakarta dianggap mempunyai kedudukan penting untuk menusuk ke jantung pemerintahan RI di kota Yogyakarta. Oleh karena itu, selama revolusi gerakan oposisi marak terjadi di sana. Gerakan oposisi berupa aksi-aksi pendaulatan terhadap pejabat-pejabat di daerah, dan penentangan terhadap kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berlanjut dengan adanya aksi-aksi pemogokan, pertempuran, dan aksi_-aksi teror lainnya, yang menganggu stabilitas keamanan di daerah. Keadaan ini mempengaruhi jalannya pemerintahan daerah karena dampaknya dapat menurunkan kredibilitas pemerintah daerah di mata rakyat.
Hal ini menjadikan Revolusi di Surakarta tidak hanya sekedar revolusi yang berusaha melenyapkan pemerintahan swapraja, tetapi juga revolusi yang menunjukkan persaingan politik tingkat lokal dan nasional. Untuk mengatasi keadaan ini menjadi tugas berat bagi pemerintah pusat RI dan pemerintah daerah serta aparat keamanannya (TNI) di Sura_karta.
Krisis pemerintahan daerah di Surakarta pada akhirnya dapat diselesaikan setelah pemerintah pusat mengambil suatu keputusan yang tegas tentang status pemerintahan daerah di Surakarta, dan disertai oleh adanya proses pendemokrasian sistem pemerintahan daerah. Di samping itu keadaan ini juga disokong oleh keadaan politik nasional yang mulai stabil setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. setelah mengalami proses selama revolusi maka dipilihlah status pemerintahan sebagai karesidenan biasa, dan mengubur sistem swapraja, yang berarti lenyaplah kekuasaan politik kerajaan."
1995
S12205
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tendean, Nia Paramita
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai organisasi Pembina Iman Tauhid Islam, sebagai salah satu organisasi dakwah sekaligus asimilasi di kalangan etnis Tionghoa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan golongan minoritas ini memutuskan untuk menjadi muallaf. Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka menyebarkan dakwah sekaligus memperkenalkan Islam di kalangan etnis Tionghoa, PITI mengadakan kerja sama dengan Bakom-PKB, yang merupakan lembaga asimilasi terbesar di Indonesia, dan didukung oleh kalangan militer.

ABSTRACT
This min thesis study about Pembina Iman Tauhid Islam, as one of dakwah organization and assimilation at once among Tionghoa ethnic. It purpose to know about what factors that made this minority group decided to be a muallaf. This research use history method consist of four steps, which is heuristic, critic, interpretation, and historiography. It showed that to spread dakwah and to introduced Islam among Tionghoa ethnic, PITI made a cooporation with Bakom-PKB, which is the biggest assimilation organization in Indonesia, and assimilation was support by military."
Depok: 2010
S12731
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhamad Sodikin
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Huru-hara demokratisasi lokal khususnya kasus kerusuhan pilkada yang menempatkan ruang spasial di Kabupaten Tuban. Temporal yang diambil adalah perisitiwa kerusuhan Pilkada tahun 2006 yang mencoba ditarik mundur dengan menelisik berbagai situasi dan peristiwa politik lokal sejak terpilihnya Haeny sebagai wakil ketua DPRD kabupaten Tuban pada tahun 1997. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi gejala-gejala sosial yang menyertai setiap peristiwa dan momentum politik yang berujung pada kerusuhan Pilkada pada tahun 2006. Berbagai kasus kerusuhan pilkada di Indonesia bersifat partikulistik dengan faktor determinan yang berbeda-beda. Kerusuhan pilkada kabupaten tuban 2006 merupakan kasus kerusuhan yang tidak disebabkan oleh faktor tunggal, terdapat banyak faktor pendukung lain yang menyebabkan meletusnya perirtiwa Tuban membara tahun 2006. Faktor Meletusnya peristiwa kerusuhan pilkada tuban tahun 2006 disebakan oleh faktor umum dan faktor khusus. Faktor umum yang menyebabkan kerusuhan Pilkada tuban dipicu oleh banyaknya kecurangan Pilkada yang dilakukan oleh kubu pasangan Haeny-Lilik Heli yang mengakibatkan kekalahan yang terpaut tipis di kubu Noor Nahar-Tjong Ping Nonstop . Berita mengenai berbagai kecurangan yang dilakukan oleh kubu Heli begitu cepat menyebar di kalangan pendukung Nonstop sehingga terjadi gerakan massa untuk melakukan aksi. Sedangkan sebab khusus kerusuhan pilkada tuban dipicu oleh latar belakang politik di Kabupaten Tuban yang bersifat unik antara Partai Golkar dan PDIP dan PKB. Politik lanjutan yang digelar pasca pemilu 1999 telah menimbulkan sejumlah ketegangan pada elit politik hingga massa pendukungnya. Proses lanjutan tersebut diantaranya merupakan persaingan Partai Golkar, PDIP dan PKB dalam memperebutkan kursi Ketua DPRD Kabupaten Tuban periode 1999-2004 yang berakhir dengan kemenangan Haeny Relawati dari Partai Golkar. Tidak hanya sampai disitu pertarungan lanjutan yang sebenarnya justru terjadi pada Pilkada Tuban 2001 yang memperebutkan kursi Bupati dan Wakil Bupati Tuban periode 2001-2006.

ABSTRACT
This thesis discusses the local democratization riots, especially in the case of regional elections that place spatial space in Tuban Regency. Temporal taken is the event of 2006 elections that was elected by Haeny as vice chairman of Tuban district council in 1997. This is done to identify the social phenomena that accompany every political event and momentum which led to unrest in 2006. Various cases of regional election unrest in Indonesia are particulate with different determinants. The eruption of the incidents of the regional head election in 2006 was the result of the eruption of the incidents of the regional head election in 2006 was caused by general factors and special factors. The general factor causing the unrest of Tuban election was triggered by the number of election fraud conducted by the Haeny Lilik Heli stronghold which resulted in a slight deficit in the Noordin Nahar Tjong Ping Nonstop group. News of the various fraud by Heli stronghold so rapid spread among Nonstop supporters so that the mass movement to take action. While the unique causes of the election unrest were triggered by the political background in Tuban Regency which is unique between Golkar Party and PDIP and PKB. The continued politics that followed post 1999 elections has caused some tension in the political elite to the masses of supporters. The follow up process among others is the competition of Golkar Party, PDI P, and PKB in fighting for Chairman of Tuban District Council of 1999 2004 period ended with Haeny Relawati victory from Golkar Party. Not only there was a follow up fighting that actually happened at the Tuban election 2001 who was fighting over the seat of Regent and Vice Regent of Tuban period 2001 2006. "
2017
T51447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Mega Trianasari
"

 

Peristiwa Desember Hitam adalah  penandatanganan pernyataan protes oleh 14 seniman dan pemberian karangan bunga dukacita pada Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyeenggara Pameran Besar Seni Lukis 1974, di Taman Ismail Marzuki pada 31 Desember 1974. Keempetbelas seniman tersebut adalah Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebab dan dampak peristiwa Desember Hitam. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat langkah yaitu (1) Heuristik; (2) verifikasi; (3) interpretasi; dan (4) historiografi  dengan menggunakan pendekatan relasi kuasa. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh hasil penjurian Lukisan yang Baik  dalam Pameran Besar Seni LukisIndonesia 1974  yang memilih hasil karya yang beraliran abstrak-dekoratif. Saat itu seni rupa yang beraliran abstrak dekoratif dianggap sebagai seni rupa yang cocok dengan kepribadian nasional. Menurut 14 seniman yang menandatangani Pernyataan Desember Hitam, pemilihan karya-karya yang becorak abstrak dekoratif merupakan suatu tindakan yang melawan kodrat seniman yang memiliki keragaman dalam aliran dan bentuk-bentuk karya. Peristiwa ini berdampak pada lima mahasiswa STSRI “ASRI” yang ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam, mereka adalah Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Kelima mahasiswa tersebut menerima skorsing dan pemecatan dari pimpinan STR “ASRI”I. Lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut dinilai mencemarkan nama baik institusi STSRI “ASRI” dengan ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam yang dinilai memiliki muatan politis dan tidak sejalan dengan kebudayaan nasional. Kemudian, lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut menggabungkan diri dengan seniman-seniman muda dari Bandung dan Jakarta untuk membentuk Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang bertujuan untuk mendobrak batasan-batasan dalam seni rupa di Indonesia yang terdiri dari seni lukis, patung dan grafis.

 

 

 

 

 


 

Black December is protest statement signed by 14 artists and giving condolences flower bouquet to Jakarta Art Council as the organizer of Indonesia Great Painting Exhibition 1974, at Taman Ismail Marzuki in 31st December 1974. Those 14 artists are Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. This research purpose is to analyze the cause and effect of Black December 1974 event. The methods which used in this research is history methods. Consist of four steps. They are: (1) Heuristic; (2) verification; (3) interpretation; dan (4) historiography with power relation approach.  The research result show that this event caused by the Good Painting judging result in Indonesia Great Painting Exhibition 1974, which choose abstract decorative art works. In that time, abstract decorative artwork is considered fit with national character. According to 14 artists who sign December Hitam statement, choosing only abstract decorative artworks was an act which contradict to artist nature who has variety in style and art form, this event is also have an effect to   STSRI “ASRI” student who sign the Black December Statement, they are Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Those five students accept suspension decision from STSRI ASRI’s Chief. They perceived to give bad name for STSRI “ASR” by signing the Black December Petition, because it has political value and it doesn’t conform to national culture. Afterward, those five expelled students joined themselves with young artist from Bandung and Jakarta, making Indonesian New Art Movement which has purpose to breaking the barrier of Indonesian fine arts, which consist of painting, sculpture and graphic.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T51820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Mulki Mulyadi Noor
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa latar belakang terjadinya kerusuhan tak berdarah di tanah partikelir Batu Ceper pada tanggal 4 Juni 1934 yang disebabkan oleh penolakan petani untuk menyerahkan padi miliknya kepada juru sita. Konflik ini kemudian berlanjut hingga ke landraad Tangerang tanggal 18 Juni 1934. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan keterlibatan organisasi pergerakan sosial bernama Tirtajasa yang berjuang membela kepentingan petani di tanah partikelir. serta media massa yang digunakan oleh organisasi ini untuk membentuk opini di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan menggunakan sumber-sumber primer maupun sekunder yang berkaitan dengan insiden yang terjadi. Dengan menggunakan teori Collective Action Charless Tilly, penelitian ini menitikberatkan pada peran pergerakan nasional pada masa kolonial dalam usaha-usahanya mensejahterakan petani di tanah partikelir. Sebelum kerusuhan terjadi diketahui bahwa Tirtajasa masuk ke tanah partikelir untuk memberi pencerahan dan penyadaran hukum kepada para petani, sehingga mereka sadar hak dan kewajibannya. Propaganda Tirtajasa ini kemudian mendapatkan sambutan hangat di Batu Ceper dan sekitarnya, sehingga ketika kerusuhan tersebut terjadi para petani meminta bantuan hukum kepada Tirtajasa untuk membela mereka dalam pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan orientasi ekonomi antara tuan tanah Cina dan petani menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi di Tangerang dimana tuan tanah mengeruk hasil pajak secara kaku saat kondisi ekonomi petani semakin terpuruk. Karena itu akumulasi dari rasa ketidakpuasan tersebut memunculkan rasa permusuhan yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dalam penelitian ini terlihat bahwa organisasi pergerakan nasional mendapatkan keuntungan dari dukungan para petani yang memiliki kepentingan untuk melepaskan diri dari ekploitasi tuan tanah.
Sementara itu pembelaan dari tokoh pergerakan nasional juga mendorong pemerintah untuk segera membeli tanah partikelir Batu Ceper. Secara umum, pembelian ini terbukti merubah kehidupan masyarakat yang dihidup di tanah partikelir, karena dengan begitu perbaikan sarana infrastruktur, kesehatan dan pendidikan dapat dilakukan secara lebih baik oleh Gubernemen dibandingkan oleh tuan tanah. Selain itu keterlibatan kalangan nasionalis di dalam tanah partikelir menambah rasa anti-cina yang telah meruncing pada awal abad ke-20.

This study analyze the conflict between peasants and landlord in Batu Ceper which culminated in the occurrence of bloodless riots on June 4, 1934 in the form of peasant refusal to hand over their grain to bailiffs which ignited the emotions of other peasants. This case then continued to the Tangerang court on June 18, 1934. This study explained the involvement of a social movement called Tirtajasa which struggled to defend the interests of peasant in private lands and also analyzed the presence of mass media in spreading opinions in the community.
This study uses historical methods using primary and secondary sources related to the incident. By using the theory of Collective Action by Charless Tilly, this study focuses on the role of the national movement in the colonial period and its efforts to prosper indigenous people, especially peasants in private lands who sometimes feel dissatisfied with the oppressive system. Before the turmoil began, it was discovered that Tirtajasa Organization had entered private land to provide legal enlightenment and awareness to peasants about their rights and obligations. The Tirtajasa propaganda then received raves from Batu Ceper inhabitants and even invoked Tirtajasa to defend their right in the court.
The results showed that differences in economic orientation between Chinese landlords and peasants caused social and economic inequality in Tangerang where landlords dredged tax revenues rigidly as peasant’s economic conditions deteriorated. Therefore the accumulation of dissatisfaction raises hostility that can explode at any time. In this study it can be seen that the national movement organization had benefited from the support of peasants who have an interest in escaping the exploitation of landlords.
Meanwhile the defense of the national movement leaders also encouraged the government to immediately buy the Batu Ceper private land. This defense led to an accelerated purchase of Batu Ceper private land by the Government. Therefore, this purchase is proven to change the lives of people who live on private land, because the improvement of infrastructure, health and education facilities can be done better by the Colonial Government. In addition, the involvement of nationalists (anti-colonialism) in private land adds to the feeling of anti-chinese that had been tapering in the early 20th century.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T51817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Kurnia Putri
"ABSTRAK Museum Ranggawarsita merupakan museum provinsi di Jawa Tengah yang dibangun melalui proyek rehabilitasi dan pembangunan museum. Pada tahun 1975, pembangunan Museum Ranggawarsita dirintis dan mulai dibuka secara bertahap pada tahun 1983 dan 1989. Museum Ranggawarsita memiliki koleksi yang berasal dari seluruh Jawa Tengah, antara lain berupa arca, emas, fosil, uang, kitab, batik, baju dan senjata tradisional. Museum ini dibangun dengan jumlah dana paling banyak dari museum provinsi yang dibangun pada kurun waktu 1975 hingga 1990. Pemerintah Orde Baru memberikan penekanan khusus pada Museum Ranggawarsita melalui alur cerita yang mewariskan ingatan tentang jasa Orde Baru dalam pembanguan Indonesia. Museum Ranggawarsita memuat narasi sejarah Orde Baru yang diwujudkan dalam alur cerita dan penataan koleksi. Dua gedung yang menjadi representasi langsung dari Orde Baru, yaitu Gedung C dan D. Koleksi yang dipamerkan berupa diorama, senjata, lukisan beberapa tokoh, dan bendera panji. Koleksi yang dipamerkan dalam dalam kedua gedung ini merepresentasikan Orde Baru yang cenderung militeristik dan mengutamakan perjuangan fisik. Narasi dalam alur cerita versi Orde Baru di Museum Ranggawarsita terus bertahan meskipun Orde Baru telah runtuh pada tahun 1998. Diorama perjalan sejarah bangsa, merupakan salah satu bagian alur cerita dalam Museum Ranggawarsita yang memuat narasi Orde Baru. Perubahan baru terjadi di tahun 2002, ketika disahkannya Undang-undang Otonomi Daerah, namun tidak banyak perubahan pada alur cerita di Museum Ranggawarista. Era Reformasi merupakan masa perubahan dan beberapa museum, seperti Monumen Nasional, telah mengganti narasi yang cenderung militeristik menjadi lebih terbuka. Hal ini tidak terjadi di Museum Ranggawarsita yang tetap mempertahankan narasi Orde Baru hingga tahun 2009.
ABSTRACT Ranggawarsita Museum is a provincial museum in Central Java that was built through a museum rehabilitation and construction project. The construction of the museum began in 1975 and it was opened for public gradually since 1983 and 1989. Ranggawarsita Museum has collections from all over Central Java, including statues/arca, gold, fossils, money, holy books, batik, traditional clothes, and traditional weapons. Ranggawarsita museum was built with the largest fundings among provincial museum project initiated by The New Order government in the period of 1975 to 1990. The New Order government put special emphasis on Ranggawarsita Museum through a storyline that inherited memories of the New Order's greatness in Indonesian development. Ranggawarsita Museum constructs historical narrative of The New Order which are manifested in the storyline and the arrangement of collections. There are two buildings which become the direct representation of The New Order, namely Building C and Building D.  Some collections displayed there including diorama, weapons, paintings of several figures, and war flags. Collections displayed in those two buildings represent the New Order narrative which tends to be militaristic and accentuates the physical struggle. The narrative of the New Order in Ranggawarsita Museum's display storyline continued despite the collapse of the New Order in 1998. It can be seen in the museum's diorama of Indonesia's historical journey which still contains the narrative of the New Order. In 2002 the Regional Autonomy Law was applied in the country, but there were not many changes to the storyline narrative of Ranggawarsita Museum. Reformation era is a period of change and several museums, such as the National Monument, have replaced the narrative of the New Order into some other opened narratives. But it did not happened at the Ranggawarsita Museum which maintained the New Order narrative until 2009.     

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T51843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doddy Djuwandy
"Doddy juwandy nomor pokok mahasiswa 0798447019, dengan judul skripsi adalah Kebijaksanaan Pemerintah Tentang HaK Pengusahaan Hutan di Indonesia tahun 1967-1974. Skripsi ini terdiri- dari empat bab, 83 halaman disertai dengan lampiran-lampiran.
Skripsi ini mencoba menggambarkan sejarah kehutanan di Indonesia terutama menjelaskan kebijaksanaan pemerintah pada awal Orde Baru sampai berakhirnya Pelita I. Kebijaksanaan pemerintah tersebut terutama yang berkaitan dengan pelakasanaan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh para pengusaha swasta atau non pemerintah.
Penulisan skripsi ini diawali dengan perkembangan kehutanan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Masa tersebut terfokus pada upaya memperetahankan kemerdekaan. Para pegawai atau pekerja di bidang kehutanan atau yang biasa disebut dengan para rimbawan turut pula berjuang, di samping harus melaksanakan tugasnya yakni menjaga keutuhan hutan di Indonesia.
Masa awal kemerdekaan ini kehutanan merupakan salah satu bidang yang dapat menyediakan bahan-bahan bagi kebutuhan penunjang perang kemerdekaan. Sedangkan hutan-hutan merupakan tempat yang baik bagi tentara dalam menjalankan taktik gerilya.
Atas dasar ini para rimbawan menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang memungkinkan bagi keberhasilan usaha mempertahankan kemerdekaan. Walaupun tertuju pada masalah utama tersebut, para rimbawan yang tergabung dalam Jawatan Kehutanan tetap memperhatikan kebutuhan rakyat sejauh yang dapat dipenuhi oleh Jawatan dari hasil hutan.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan bangsa, kebutuhan akan berbagai jenis hasil hutan guna memenuhi kebutuhan atau untuk memperoleh dana dari ekspor hasil hutan. Pada masa selanjutnya hasil-hasil kehutanan dibutuhkan lebih banyak lagi. Jawatan kehutanan menyusun suatu kebijaksanaan yang baru yang lebih baik guna menyempurnakan kebijaksanaan sebelumnya agar dapat memenuhi target yang di bebankan dari pemerintah pusat.
Program pembangunan nasionalyang merupakan kebijaksanaan pemerintah pusat dengan menggolongkan bidang kehutanan sebagai salah satu sektor yang membiayai pembangunan. Dalam menjalankan kebijaksanaan tersebut pihak kehutanan mengeluarkan kebijaksanaan pelaksana dengan menambahkan atau melengkapi peraturan-peraturan pelaksana sebelunya sebagai landasan usaha untuk mensukseskan proram pembangunan tersebut.
Dalam usaha mengoptimalkan potensi hutan Indonesia Pihak kehutanan menyusun suatu rancangan Undang-Undang di bidang kehutanan yang akan diusulkan kepada pemerintah. Atas usul tersebut pemerintah mengeluarkan UU Pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU tersebut di satu sisi mengatur atau mengelola hutan dan pengusahaannya oleh pemerintah. Di sisi lain juga mengijinkan pihak non pemerintah atau pihak swasta untuk terjun dalam pengusahaan hutan dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (NPR). Pemberian HPH ini diatur oleh pemerintah melalui Direktorat Jendaral Kehutanan yang bernaung di bawah Departemen Pertanian. Dalam pelaksanaannnya ini .Dirjen kehutanan ini bekerja sama denganpemerintah daerah dalam pengaturan dan pengawasan hutan.
Pelaksanaan kebijaksanaan HPH ini mempunyai tujuan utama untuk menambah devisa negara dengan memaksimalkan pengusahaan hutan sehungga dapat mengutungkan bagi pemerintah dan swasta. Tetapi kenyataan pelaksanaan kebijaksanaan banyak kendala-kendala bagi semua pihak, juga terutama masalah kurangnya tegasnya peraturan pelaksana guna mengantisipasi parkembangan pengusahaan hutan yang berlangsung sangat cepat sehingga menyulitkan dalam pengawasan dalam usaha-usaha menjaga kelestarian hutan bagi masa mendatang yang berbeda dengan apa yang diharapkan dan menjadi tujuan para rimbawan dalam menjaga kelestarian hutan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12181
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ifyani
"ABSTRAK
Pada tanggal 29 januari 1907, sekitar 41 orang yang dipimpin Asisten Residen C.C.M Henny berangkat menuju desa Beron, tepatnya ke kediaman Darmojoyo selaku pemimpin kerusuhan. Asisten Residen kemudian memerintahkan agar Darmojoyo meletakkan senjata dan menyerahkan diri. Seruan tersebut tidak dijawab bahkan mereka bergelombang menyerang rombongan Asisten Residen tersebut. Pertempuran terjadi. Akhirnya pihak Assisten Residen dapat dicerai beraikan oleh kaum perusuh, hingga keluar dari desa Baron.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh Wedana Werujayeng dan Wedana Berbek ketika mendengar tembakan dari arah rumah Darmojoyo, segera menuju ke rumah Darmojoyo untuk memberikan bantuan kepada rombongan Assiten Residen. Namun rombongan yang berjumlah sekitar 29 orang ini dapat dihalau pula dari desa Baron. Dengan demikian usaha menangkap Darmojoyo pada pagi hari tersebut dapatlah dikatakan gagal. Pada sore harinya datang bala bantuan militer dari Surabaya yang dipimpin Letnan satu Hardenberg, dan langsung menuju ke tempat kejadian. Setelah seruan Residen yang diulangi oleh Bupati Berbek untuk meletakkan senjata dan menyerah tidak dihiraukan, maka pasukan bersenjata mulai menembaki kaum perusuh yang terkepung di dalam rumah Darmojoyo.
Akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan dengan meninggalkan korban sebanyak 19 perusuh tewas diantaranya Darmojoyo serta menawan lebih dari 66 perusuh. Sedangkan dari pihak pemerintah tercatat 5 orang tewas dan sekitar 10 orang luka-luka. Pada dasarnya untuk melihat kerusuhan petani yang terjadi di desa Baron, kekecewaan-kekecewaan yang dialami pada diri Darmojoyo menempati faktor yang sangat penting. Selain itu ketidakpuasan pra petani terhadap pabrik gula Baron dan Kujonmanis serta menyebarnya kepercayaan bahwa Darmojoyo sebagai Ratu Adil, ikut pula mendukung kerusuhan tersebut muncul kepermukaan. Dengan kata lain bahwa kepentingan pribadi berhasil digeser ke kepentingan sosial melalui Darmojoyo. Penelitian ini membuktikan keberhasilan penyelarasan pemanfaatan kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial yaitu ketidakpuasan Darmojoyo dalam usahanya meraih jabatan formal desa (lurah dan kamituwa) dan tuduhan serta hukuman yang ditimpakan kepadanya, kemudian berhasil memobilisasi pengikut-pengikutnya dalam meletuskan aksi. Walaupun aksi sosial ini berhasil ditumpas oleh pemerintah kolonial, namun penelitian ini membuktikan betapa besar pengaruh seorang pemimpin desa.

"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12268
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnain Lutfih
"ABSTRAK
Propaganda, merupakan salah satu alat penting dalam perang atau yang di sebut dengan propaganda perang (militer). Perang propaganda ini juga digunakann sebagai. salah satu strategi perang tentara Belanda dengan Indonesia dalam perang kemerdekaan.
Perang tersebut menggunakan sarana propaganda sebagai psikologis dengan harapan untuk rnenurunkan mental lawan dalam bertempur. Aksi propaganda dalam perang kernerdekaan menggunakan juga sarana-sarana baik yang berasal dari media cetak maupun media elektronik dalam hal ini yang sering digunakan adalah radio, penggunaan ini agar propaganda efektif dalam mempengaruhi lawan. Belanda lebih terorganisasi dalam penyelenggaraan perang propaganda dibandingkan dengan pihak. Indonesia. Hal ini dapat di1ihat dengan banyaknya badan-badan propaganda baik yang dilaksanakan oleh rniliter .itu sendiri atau pihak si p i 1 , sedangkan Indonesia lebih banyak dilakukkan oleh perseorangan atau kelompok.
Belanda dan Indonesia sebagai pihak yang bertempur menggunakan propaganda sebagai salah satu a1at perang mempunyai beberapa alasan terutarna dengan melihat kondisi dari. Kedua belah pihak Belanda mel i hat bahwa kurangnya personil militer untuk dapat menguasai seluruh wilayah. Indonesia. Dan juga kurangnya sarana militer lain yang dibutuhkan untuk menjaga daerah-daerah yang telah berhasil dikuasai. Sedangkan Indonesia menggunakan sarana propaganda terutama dengan melihat bahwa kwalitas militer Belanda jauh lehih baik dari yang dimi1ikinya dalam hal ini masalah pesenjataan yang sangat kurang. Perang propaganda ini menjadi menarik karena masing-masing pihak berupaya untuk memperoleh simpati rakyat untuk menutupi kekurangan-kekurangannya.

"
1995
S12256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahmad
"Pelabuhan Ampenan merupakan pelabuhan utama di pulau Lombok Sejak ditetapkan menjadi pusat kegiatan perdagangan aekitar abad ke-19, aktivitas pelabuhan terus meningkat. Perkembangan pelabuhan tersebut mendorong Pemerintah Hindia Belanda ( berkuasa tahun 1894 - 1942 ) mengeluarkan kebijakan - kebijakan terhadap pelabuhan, seperti mengadakan perbaikan dan pembangunan sarana pelabuhan termasuk jaringan komunikasinya, sehingga proses pengangkutan komoditi dapat berjalan lancar dari pelabuhan ke pedalaman. Semua biaya berasal dari kas daerah Lombok dan penebusan kerja rodi, sedangkan pengawasan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umurn Lombok dan penduduk setempat. Setelah dikeluarkan kebijakan tersebut, aktivitas perdagangan ekspor dan impor terlihat mengalami peningkatan dibandingkan dengan masa sebelumnya, meskipun kondisi itu tidak (selalu berlangsung stabil karena faktor intern dan ekstern yang mempengaruhinya Selain itu, pelabuhan Ampenan juga berperan dalam kegiatan pelayaran di Nusantarapada masa kolonial. Puncak perdagangan ekspor - impor terjadi pada periode 1920 - 1930. Terjadinya krisis ekonomi 1930 berpengaruh pada pelabuhan Ampenan, yakni penurunan drastis kegiatan ekspor - impor. Tanda - tanda pulihnya perekonomian baru nampak pada tahun 1936. Perkembangan pelabuhan telah mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota Ampenan. Pada gilirannya, muncul masalah - masalah kota yang menyebabkan kota mempunyai dinamikanya sendiri. Meskipun demikian, Pemerintah Hindia Belanda dapat mengatasinya sampai berakhirnya kekuasaan"
2000
S12095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>