Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dede Gemayuni Yusman
Abstrak :
Terdapat berbagai masalah klinis yang dapat terjadi dalam masa perkembangan anak. Masalah-masalah tersebut seharusnya menjadi perhatian karena berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi dan dapat berlanjut hingga masa dewasa. Salah sate masalah klinis adalah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), yang merupakan suatu gangguan perkembangan, dalam bentuk gangguan pemusatan perhatian. Gangguan ini memiliki tiga gejala utama, yaitu inattention (kurang mampu memperhatikan), impulsivitas, dan hiperaktivitas (Wenar & Kerig, 2000). Anak yang didiagnosa ADHD seringkali memiliki gangguan psikiatris lain dan mengalami serangkaian resiko kesehatan, perkembangan, dan sosial. ADHD diklasifkasikan dalam DSM-IV sebagai disruptive behavior disorder' karena adanya kesulitan yang signifikan dalam perilaku sosial dan penyesuaian sosial. Perilaku interpersonal anak ADHD lebih impulsif, mengganggu, berlebihan, tidak teratur, agresif, intens, dan emosional, sehingga mereka mengalami kesulitan dan gangguan dalam alur interaksi sosial biasa yang resiprokal dan kooperatif, yang merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sosial anak. Barkley (2004) mengungkapkan bahwa ketika anak ADHD memasuki sekolah dasar, masalah dalam ketiga karakteristik utama berlanjut dan ditambah dengan berbagai kesulitan karena sekarang masalah mungkin terjadi di sekolah dan rumah. PrevaIensi ADHD pada usia sekolah mencapai sekitar 5 % dari anak usia sekolah (Wenar & Kerig, 2000). Masalah sosial pada anak ADHD muncul bukan hanya karena perilaku inattentive, hiperaktif, dan impulsif mereka, namun juga merupakan konsekuensi dari ekspresi emosi, raut muka, nada bicara, dan Bahasa tubuh yang berlebihan, lebih terbatasnya timbal batik dalam interaksi, kurang digunakannya pemyataan sosial yang positif, lebih negatifnya aksi fisik, dan terbatasnya pengetahuan akan keterampilan sosial (Barkley, 2004). Menurut Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn, 1995), keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain secara timbal balik. Selain treatment dengan obat-obatan, anak ADHD membutuhkan bantuan khusus untuk mengembangkan tehnik dalam mengelola pola perilaku, termasuk cara berinteraksi dengan orang lain (National Institute of Mental Health, 2000). Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk menyusun suatu program pelatihan keterampilan sosial bagi anak ADHD usia sekolah (6 -- 12 tahun). Pelatihan yang dilakukan merupakan modifikasi dari program pelatihan keterampilan sosial yang dikembangkan oleh Goldstein & Pollock (1988). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan sosial anak usia sekolah yang mengalami ADHD melalui program pelatihan keterampilan sosial. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Pengambilan sampel penelitian akan dilakukan melalui pemeriksaan psikologis. Subyek penelitian adalah 3 anak usia sekolah dengan diagnosis ADHD pada Axis I. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner asesmen keterampilan sosial yang diisi oleh guru dan orangtua sebelum dan sesudah subyek mengikuti pelatihan (pre and post training). Berdasarkan hasil kuesioner sebelum pelaksanaan program pelatihan serta wawancara dengan guru dan orangtua subyek, peneliti menentukan target pelatihan yaitu keterampilan sosial yang dianggap masih kurang atau buruk pada ketiga subyek. Tiga keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan adalah Bertanya dengan Baik, Mengikuti PerintahlInstruksi, dan Menyadari Akibat Tindakannya terhadap prang Lain. Peneliti juga menggunakan token reinforcement berupa stiker "senyum" untuk menguatkan keterampilan sosial yang dilatihkan dan agar subyek bersikap kooperatif selama pelatihan. Token yang telah dikumpulkan oleh subyek dapat ditukarkan dengan hadiah pada hari terakhir pelatihan. Selama pelaksanaan pelatihan, peneliti melakukan observasi terhadap perilaku maupun jawaban-jawaban yang diberikan subyek pada tiap pertemuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial yang telah dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan (dengan tiga kali pertemuan inti untuk melatih keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan) memperlihatkan terjadinya perkembangan keterampilan sosial pada subyek penelitian. Hasil kuesioner yang diisi 10 hari sesudah pelatihan (post training) menunjukkan bahwa dua subyek mengalami perubahan dalam hal keterampilan sosial sedangkan satu subyek lainnya tidak mengalami perubahan. Penerapan token reinforcement ditemukan cukup berhasil pada dua subyek yang mengalami perubahan namun kurang berhasil pada subyek yang tidak mengalami perubahan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dili Indriawati Hidayat
Abstrak :
ABSTRAK
Tingkah laku prososial merupakan salah satu bentuk tingkah laku sosial positif yang diperlukan melihat kondisi krisis ekonomi dan moral yang melanda bangsa Indonesia. Pengembangan tingkah laku prososial di masyarakat merupakan hal yang penting sebagai salah satu sarana untuk mengurangi permasalahan sosial. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memegang peran penting dalam pengembangan tingkah laku prososial ini. Pengalaman dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang, perhatian, dan responsif menurut Kohn (dalam Kasser et al, 1995) akan mempengaruhi secara langsung nilai prososial pada anak. Orang tua sebagai pendidik utama mempengaruhi perkembangan anak melalui pola asuh. Baumrind (dalam Eisenberg & Mussen, 1989) menggolongkan tigajenis pola asuh orang tua yaitu otoriter, otoritatif, dan permisif berdasarkan empat aspek tingkah laku orang tua berupa tingkat kontrol, kejelasan komunikasi, kasih sayang dan tuntutan kedewasaan. Ayah sebagai salah satu orang tuajnemiliki peran penting terhadap perkembangan anak. Peranan ayah terhadap perkembangan anak baru akhir-akliir ini mendapat perhatian. Ketika anak memasuki masa pertengahan (middle childhood) peranan ayah semakin besar dengan besarnya kebutuhan anak akan pemberi semangat. Menurut Fromm (dalam Lugo & Hershey, 1979) kasih sayang ayah mendorong untuk menghargai nilai dan tanggung jawab. Anak usia 9-11 tahun berada pada masa anak pertengahan,. riiasa kritis di mana anak sedang membentuk pola tingkah laku. Menurut Hoffman (dalam Slavin, 1997) mereka mulai mengembangkan sensitivitas yang lebih besar terhadap kondisi sosial yang dapat mendorong anak untu melakukan tindakan prososial. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkah laku prososial pada anak usia 9-11 tahun dengan pola asuh ayah. Tingkah laku prososial menurut Zanden (1984) terdiri atas beberapa bentuk yaitu simpati, kerja sama,menolong, bantuan, berderma dan altruitik. Sedangkan pola asuh ayah didasarkan atas empat aspek tingkah laku yaitu tingkat kontrol, kejelasan komunikasi atau demokrasi, kasih sayang dan tunmtan kedewasaan (menurut Baumrind dalam Eisenberg & Mussen 1989). Penelitian mi juga hendak mengungkap perbedaan tingkah laku prososial pada anak perempuan dan laki-laki usia 9-11 tahun. Hal ini dilakukan mengingat adanya perbedaan harapan dan perlakuan ayah terhadap anak perempuan dan laki-laki. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alal pengumpul data yang terdiri atas tiga jenis skala yaitu skala tingkah laku prososial, skala pola asuh ayah berdasarkan penilaian anak dan skala pola asuh untuk ayah. Dengan menggunakan metode Incidental Sampling didapatkan 134 orang subyek penelitian anak usia 9-11 tahun dan ayahnya. Hubungan antara tingkah laku prososial anak dan pola asuh ayah diuji dengan teknik koreiasi Pearson dan perbedaan mean diuji dengan t-tes. Hasil penelitian menunjukkan adanya koreiasi positif antara tingkah laku prososial anak usia 9-11 tahun dan pola asuh ayah. Sedangkan pada perbedaan mean tingkah laku prososial antara anak perempuan dan laki-laki menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hasil penelitian lainnya yaitu adanya koreiasi positif antara prestasi akademis dan usia anak dengan tingkah laku prososial anak. Selain itu pula didapatkan banyaknya subyek ayah yang pola asuhnya di luar pola asuh Baumrind Adanya hubungan yang bermakna antara tingkah laku prososial anak usia 9-11 tahun dengan pola asuh ayah menunjukkan adanya peran penting ayah dalam salah satu aspek perkembangan anak yaitu tingkah laku prososial. Dalam hal ini pola asuh otoritatif mendukung perkembangan tingkah laku prososial anak. Untuk mendapatkan gambaran hubungan yang lebih jelas mengenai hubungan tingkah laku prososial anak dan jenis pola asuh lainnya yaitu otoriter dan permisif diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah subyek yang representatif. Adanya koreiasi positif antara prestasi akademis dan usia anak dengan tingkah laku prososial anak menunjukkan adanya peran kognitif terhadap tingkah laku prososial . Oleh karena itu berbagai metode yang dapat meningkatkan kematangan kognitif anak dapat dilakukan sabagai salah satu sarana meningkatkan tingkah laku prososial pada anak.
2002
S2832
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Wannahari
Abstrak :
ABSTRAK
Meningkatnya berbagai bentuk tingkah laku agresif yang dilakukan oleh remaja dalam bentuk tawuran, menodong, malak, membajak bus kota bahkan membunuh orang lain mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai tingkah laku agresif remaja tersebut.

Beberapa bentuk tingkah laku agresif yang dilakukan pada masa anak-anak, yang ditemukan dari berbagi literatur, menjadi acuan untuk melihat bagaimana perkembangan tingkah laku agresif dan pola asuh orangtua pada remaja pria yang melakukan tindak pembunuhan.

Sikap permisif dan otoriter yang sering ditampilkan oleh orangtua dalam menghadapi berbagai bentuk tingkah laku agresif yang dilakukan oleh anak mereka memancing keingintahuan penulis untuk melihat kontribusi sikap permisif atau sikap otoriter tersebut dalam berkembangnya tingkah laku agresif dalam diri anak. Selain pola asuh, faktor sosial belajar yang dilakukan oleh anak terhadap model tertentu serta frustasi yang dialami oleh anak diduga berhubungan erat dengan berkembangnya tingkah laku agresif anak lebih lanjut.

Penelitian ini akan menjawab dua pertanyaan; pertama, bagaimanakah perkembangan agresivitas yang terjadi pada diri remaja pria yang melakukan tindak pembunuhan?; dan yang kedua bagaimanakah bentuk pola asuh yang diterima oleh remaja pria yang melakukan tindak pembunuhan?

Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil kasus terhadap subyek yang melakukan pembunuhan. Subyek, tiga orang, ditemui di LP Anak dan Remaja Pria Tangerang setelah menempuh prosedur sebagaimana yang telah ditentukan. Wawancara mendalam dan observasi peneliti lakukan kepada subyek dan orangtuanya untuk mendapatkan berbagai data guna menjawab pertanyaan penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukan atau menginformasikan mengenai perkembangan tingkah laku agresif pada remaja pria yang melakukan tindak pembunuhan. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi mengenai peranan pola asuh orangtua, dalam hal ini permisif dan otoriter, dalam perkembangan tingkah laku agresif anak.
2000
S2987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swatika Wulan Pahlevi
Abstrak :
ABSTRAK
Borderline Intellectual Functioning adalah suatu kondisi taraf kecerdasan individu dengan skor IQ berkisar antara 71 sampai 84, suatu tingkat yang berada di bawah rata-rata normal, namun tidak termasuk sebagai keterbelakangan mental (Sattler, 1987). Anak-anak pada taraf kecerdasan ini seringkali kurang mendapatkan perhatian di dalam dunia pendidikan. Padahal anak-anak ini memiliki banyak keterbatasan walaupun biasanya tidak tertampil secara nyata seperti anak-anak dari golongan kecerdasan lain (retardasi mental). Shaw (2006) menjelaskan bahwa individu dengan borderline intellectual functioning dapat dimaksimalkan dengan cara meningkatkan waktu belajar yang lebih lama, meningkatkan kemampuan self-instruction, pengajaran secara khusus dari guru, serta pemberian instruksi secara khusus. Selain itu, kebiasaan belajar yang buruk juga dapat menyebabkan kegagalan atau prestasi yang rendah di sekolah (Schaefer & Millman, 1987). Oleh karena itu, intervensi harus dilakukan pada anak-anak ini. Dengan adanya intervensi bagi anak-anak borderline maka diharapkan resiko kegagalan di sekolah dapat diminimalkan. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan berupa bimbingan untuk mengembangkan kebiasaan belajar (Ninivaggi, 2001). Perilaku belajar yang buruk bisa terjadi baik pada siswa dengan kecerdfl-san rata-rata mupun di bawah rata-rata. Namun demikian, memang ada kecenderungan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (borderline) biasanya kurang dapat melakukan perencanaan. Selain itu, mereka tidak mengetahui bagaimana caranya belajar (Bocsa, 2003) sehingga pada akhirnya hal ini akan berimbas pada kemampuan untuk merencanakan kegiatan belajar dan mengerjakan tugas. Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah modifikasi perilaku dengan menggunakan positif reinforeement dengan token ekonomi dan fading untuk membantu subyek memulai belajar. Subyek penelitian ini duduk di kelas VI sekolah dasar, akan mengikuti ujian akhir sekolah dan berencana melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Subyek berjenis kelamin perempuan berusia 12 tahun. Saat ini subyek belum memiliki kebiasaan belajar yang teratur setiap harinya yang dapat mendukung subyek baik saat ujian sekolah maupun untuk proses belajar di jenjang selanjutnya. Selain itu, keluarga subyek juga tidak dapat menyediakan model yang dapat dijadikan panutan bagi subyek untuk dapat belajar dengan teratur. Subyek belajar hanya jika akan ulangan atau ada PR. Berdasarkan intervensi yang dilakukan sebanyak 12 kali, didapatkan kesimpulan bahwa program intervensi pembiasaan belajar terhadap anak borderline ini dapat dikatakan berhasil. Subyek mulai terbiasa untuk belajar dengan teratur dengan durasi waktu tertentu serta pada waktu-waktu tertentu setiap harinya. Selain itu, durasi belajar subyek juga meningkat selama program intervensi berlangsung. Sebagai tambahan, subyek mulai menguasai beberapa materi pelajaran matematika seperti perkalian dan pembagian di bawah angka 10 serta konsep bilangan positif negatif dan pecahan yang sebelumnya belum ia kuasai. Namun demikian sesuai dengan karakteristik anak borderline, subyek membutuhkan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat memahami materi-materi tersebut.
2007
T38136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usdiati Endah Purwati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Suilyana Octavia Sewucipto
Abstrak :
ABSTRAK
Anak usia sekolah dasar (middle childhood) diharapkan memiliki kontrol diri yang lebih baik dibandingkan pada tahap sebelumnya (early childhood) (Santrock,2004). Dengan demikian, anak usia sekoiah dasar diharapkan mampu duduk lebih lama dan tidak banyak beljalan selama pelajaran berlangsung di dalam kelas. Namun pada kenyataannya banyak murid kelas satu yang belum mampu mengontrol dirinya untuk duduk dalam Iebih lama. Program modiiikasi perilaku ini dilakukan o!eh peneliti di dalam kelas dan dimaksudkan untuk mengurangi perilaku berjalan-jalan kctika pelajaran berlangsung atau yang biasa disebut ou1»of seal. Caranya adalah dcngan meningkatkan perilaku in- seal pada murid kelas satu sckolah dasar. Reirwrcement diberikan pada perilaku in-seal atau dengan kata lain memberikan reirybrcement pada perilnku our-of sew dengan Frekuensi kemunculan yang rendah. Dalam program modifikasi perilaku, leknik ini disebut scbagai Dgfizrerztial Reirwrce/nent of Low Roles (DRL) (Kazdin, 1984). Frekuensi pcrilaku out-of seat dicatat baseline nya, berdasarkan baseline ditcntukan target penumnan frekuensinya yaitu maksimal 4 perilaku our-ofseat dalam I0 menit. Bila target dapat tercapai maka subyck diberi reinforcemenr. Reinforcement menggunakan token berupa stiker bintang yang ditukarkan dengan back-up reinforcemenz berupa makanan kecil, minuman atau kcgiatan yang disukai subyck. Satu pertemuan program merupakan durasi satu mata pelajaran yaitu 40 menit yang dibagi menjadi interval 10 menit dan dibagi lagi menjadi interval 2 menit untuk mempermudah dan mempertajam obscrvasi. Pada tahap baseline yang terdiri dari 5 kali pertemuan, rata-rata perilaku out-of seat muncul sebanyak 20 kali. Sedangkan pada tahap treatment yang tcrdiri dari 9 kali pertemuan, rata-rata perilaku out-ofseat muncul sebanyak 11.9 kali Dengan demikian, penurunan perilaku out-of seat selama program bcrlangsung mencapai 40.5%. Namun perubahan perilaku ini belum dapat dipertahankan karena response maintenance tidak terjadi. Response maintenance yang dimaksud adalah memprogram natural reinforcer berupa pujian guru tiap kali melihat subyek sedang duduk ketika pelajaran berlangsung.
2006
T34120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library