Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oryza Gryagus Prabu
Abstrak :
Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD. Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi. Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301). Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi. ......Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD. Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission. Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease. Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301). Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadi
Abstrak :
Latar Belakang: Infark miokard salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. MACE (Major Adverse Cardiac Event) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (aspartate transaminase) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI).

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan keluaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM. Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian sebanyak 277 subyek. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar aspartate transaminase (AST) yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan POR terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan Log-rank.

Hasil: MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai AST adalah 35 U/L pada seluruh subyek, 40 (8-2062) U/L pada subyek dengan MACE dan 31 (6-1642) U/L dengan subyek tanpa MACE (p 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%, spesifisitas 89,6%, POR 2,727 (IK 95% 1,306-5,696), p 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%, spesifisitas 83,8%, likelihood ratio + 1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subyek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan median nilai AST yang bermakna pada pasien NSTEMI dengan dan tanpa MACE. Titik potong kadar AST untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L. Titik potong kadar AST untuk memprediksi kesintasan adalah 99 mg/dl. Tidak terdapat perbedaan kesintasan pada pasien dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.
Background: Myocard infarction (MI) is the leading cause of death around the world. Major Adverse Cardiac Events (MACE) complicating MI are acute heart failure, cardiogenic shock and fatal arrhytmia. An accurate, easy and cost-effective biomarker is needed to predict MACE and mortality in patients with MI. Hypoxic liver injury (HLI) is a potential biomarker using aspartate transaminase (AST) level as the parameter. This study is aimed to discover HLI's role in predicting MACE in Non ST Elevation Myocard Infarct (NSTEMI).

Method: This study is designed as cross sectional to predict MACE and prospective cohort for survival analysis. Study population is all NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital and study sample are NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital that meets all criteria during 2006-2016 (277 subjects). Cut-off level of AST for HLI to predict MACE and mortality is analyzed using ROC curve and AUC. Survival analysis is done using Kaplan Meier curve and the difference is tested with Log-Rank.

Result: Incidence of MACE in this study is 51.3% (acute heart failure 48.4%, fatal arrhytmia 6.5%, cardiogenic shock 7.2%) and mortality rate is 6.13%. The median of AST level on all subject is 35 U/L, 40 (8-2062) U/L in subjects with MACE and 31 (6-1642) U/L in subjects without MACE (p 0.003). Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L (sensitivity 21.8%, specificity 89.6%, POR 2.727 (CI 95% 1.306-5.696), p 0.006). In multivariate analysis, HLI is insignificantly related to MACE. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L (sensitivity 23.5%, specificity 83.8%, likelihood ratio + 1.46). There are no significant difference of survival between groups with HLI level below and above the cut-off AST level.

Conclusion: There is significant differences of median AST level between NSTEMI patients with and without MACE. Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L. There are no significant difference of survival between groups with AST level below and above the cut-off AST level.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharon Sandra
Abstrak :
Latar belakang. Hiperurisemia merupakan salah satu parameter metabolik yang diperkirakan mempunyai peranan dalam perjalanan non-alcoholic liver disease NAFLD . Studi mengenai peranan asam urat dalam progresivitas penyakit hati masih terbatas. Tujuan. Mengetahui korelasi antara kadar asam urat dengan nilai Elastografi Transien ET dan Controlled Attenuation Parameter CAP pasien NAFLD. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 113 pasien NAFLD dewasa. Dilakukan uji korelasi antara kadar asam urat dengan nilai ET dan nilai CAP. Lalu dilakukan analisis tambahan dengan membagi pasien menjadi 2 kelompok berdasarkan nilai ET dan CAP. Nilai titik potong ET untuk fibrosis signifikan sebesar ge; 7 kPa dan nilai CAP ge; 285 dB/m digunakan untuk membedakan steatosis ringan dan steatosis sedangberat. Faktor metabolik yang mempengaruhi derajat steatosis dan fibrosis dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan dilakukan analisis regresi logistik. Hasil. Terdapat 45 pasien dengan steatosis sedang-berat dan 34 pasien yang mengalami fibrosis signifikan. Tidak terdapat korelasi antara kadar asam urat dengan nilai CAP koefisien korelasi r = 0,2 dan p=0,026 maupun nilai ET r = 0,151 dan p = 0,110 . Terdapat perbedaan rerata kadar asam urat antara kelompok steatosis ringan dibandingkan steatosis sedang-berat 6,31 1,44 mg/dL vs 6,94 1,62 mg/dL, p = 0,03 . Tidak terdapat hubungan independen antara hiperurisemia dan derajat steatosis. Sedangkan faktor yang berhubungan secara independen dengan derajat fibrosis signifikan adalah hiperurisemia OR 2,450; 95 IK 1,054- 5,697 dan kenaikan kadar glukosa puasa OR 3,988 1,105-14,389 . Kelompok fibrosis signifikan mempunyai nilai rerata kadar asam urat yang lebih tinggi 6,89 1,60 mg/dL vs 6,42 1,50 mg/dL walau tidak bermakna secara statistik nilai p = 0,145. Kesimpulan. Tidak terdapat korelasi antara kadar asam urat dengan nilai ET dan CAP. ...... Background. Hyperuricemia is one of metabolic parameter which has been considered to play an important role in NAFLD. There is still lack of studies or evidence about correlation between serum uric acid level with liver disease progression. Aim of the study. To know the correlation between serum uric acid level and the steatosis and fibrosis degree of non alcoholic fatty liver disease evaluated using Controlled Attenuation Parameter CAP Transient Elastography TE examination. Methods. This study is a cross sectional study using secondary data of 113 NAFLD. Correlation between uric acid level and the degree of steatosis and fibrosis were also evaluated. Cutoff value for significant liver fibrosis ge 7 kPa. Mild and moderate severe steatosis diagnosed with a cutoff value of ge 285 dB m. Each metabolic factors were analyzed using chi square test. Univariate and multivariate analysis were performed using logistic regression test. Results. Of 113 NAFLD patients, there were 45 patients with moderate severe steatosis and 34 patients with significant fibrosis. There was no correlation between uric acid level and CAP correlation coefficient 0.2, P 0.026 and ET correlation coefficient 0.151, P 1,110 value were found. The difference of uric acid level mean value was found between mild steatosis and moderate severe steatosis 6.31 1.44 mg dL vs. 6.94 162 mg dL, P 0,03 . Hyperuricemia was not independent risk factor of moderate severe steatosis. High level of fasting blood glucose OR 3.98, 95 CI 1.105 14.389 and hyperuricemia OR 2.501, 95 CI 1.095 5.714 were found to be independent risk factors for significant liver fibrosis. Significant liver fibrosis group tends to have a higher mean value of uric acid level 6.89 1.60 mg dL vs. 6.42 1,50 mg dL with a p value 0,145. Conclusion. There was no correlation between uric acid an CAP TE value.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien dengan karsinoma sel hati (KSH) umumnya baru datang berobat ketika kanker sudah mencapai tahap lanjut, dengan pilihan terapi sangat terbatas. Belum diperoleh adanya marker prediktor yang akurat untuk dapat mengindentifikasi kelompok pasien mana yang dapat diuntungkan bila pasien diterapi. Tujuan. Menganalisis peran indeks status inflamasi sebagai prediktor kesintasan satu tahun pada pasien karsinoma hepatoselular tahap lanjut yang tidak menjalani terapi. Metode. Penelitian ini memiliki desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder pada subjek dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Rasio neutrofil limfosit (RNL) dan Indeks imun-inflamasi sistemik (IIS) dievaluasi kemampuan diskriminasinya sebagai prediktor kesintasan satu tahun berdasarkan Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Ditentukan titik potong optimal terbaik untuk RNL dan IIS berdasarkan indeks Youden, dilanjutkan dengan analisis kesintasan berdasarkan titik potong optimal. Variabel perancu dianalisis menggunakan analisis multivariat cox regression. Hasil. Sebanyak 196 subjek dimasukkan ke dalam analisis data. Kesintasan satu tahun adalah sebesar 6,6% (SE±2%), dengan median kesintasan 56 hari (IK 95% 46-67). RNL memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC terhadap prediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi sebesar 0,667 (IK 95% = 0,536-0,798, p = 0,044), dengan titik potong optimal RNL untuk membedakan kesintasan adalah 3,7513. IIS memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC sebesar 0,766 (IK 95% = 0,643-0,889, p = 0,001), dengan titik potong optimal untuk membedakan kesintasan adalah 954,4782. IIS memiliki superioritas dalam kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC (p = 0,0415). Kesimpulan. Kemampuan diskriminasi IIS berdasarkan AUROC lebih baik dibandingkan dengan RNL dalam memprediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi. ......Background. Patients with hepatocellular carcinoma (HCC) generally only come for treatment when the cancer has reached an advanced stage, with very limited treatment options. There has not been an accurate predictor marker to be able to identify which group of patients can benefit if the patient is treated. Aim. Analyzing the role of the inflammation status index as a predictor of one-year survival in patients with advanced hepatocellular carcinoma who did not undergo therapy. Method. This study has a retrospective cohort design using secondary data on subjects with advanced HCC who did not undergo therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital. Neutrophil lymphocyte ratio (NLR) and systemic immune-inflammation index (SII) were evaluated for their role as predictors of one-year survival based on Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Best optimal cutoff for NLR and SII were decided based on Youden index, resumed by survival analysis based on those cutoffs. Confounding factors were analyzed with multivariate cox regression analysis. Results. A total of 196 subjects were included in the data analysis. One year survival was 6.6% (SE±2%), with a median survival of 56 days (95% CI 46-67). The NLR had a discriminatory ability based on AUROC to predict one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy of 0.667 (95% CI = 0.536-0.798, p = 0.044), with the optimal cut-off point for NLR to differentiate survival was 3.7513. SII has a discriminatory ability based on AUROC of 0.766 (95% CI = 0.643-0.889, p = 0.001), with the optimal cut-off point to distinguish survival is 954.4782. SII had superiority in the discriminatory ability (p = 0.0415). Conclusion. The discriminatory ability based on AUROC of SII was better than that of NLR in predicting one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardeno Kristianto
Abstrak :
Latar belakang: Pemberian albumin hiperonkotik intravena lazim dilakukan pada pasien hipoalbuminemia berat (kadar albumin plasma ≤2,5 g/dl). Walaupun demikian, hingga ini, berbagai referensi menunjukkan hasil yang inkonklusif terkait manfaat "koreksi" kadar albumin pada pasien, terutama dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas. Metode: Penelitian ini menilai karakteristik pasien hipoalbuminemia berat dan pola penggunaan albumin intravena hiperonkotik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Analisis kesintasan dilakukan dengan variabel bebas berupa pemberian albumin intravena, penyakit dasar, kadar albumin saat admisi dan sebelum pemberian, serta durasi hingga temuan hipoalbuminemia berat. Data deskriptif ditampilkan terkait pemberian albumin, yaitu mencakup jumlah yang diberikan dan respons terhadap pemberian albumin. Hasil dan Diskusi: Mayoritas pasien (79,19%) dengan kadar albumin ≤2,5 g/dl diberikan albumin hiperonkotik intravena. Insidens mortalitas 30 hari pada pasien hipoalbuminemia berat adalah 47,20%. Pemberian albumin intravena didapatkan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kesintasan 30 hari (HR 0,902; IK 95% 0,598-1,361; p=0,624). Faktor yang berhubungan bermakna dengan kesintasan 30 pada pasien hipoalbuminemia berat adalah sepsis, syok hipovolemik, keganasan padat, serta temuan kadar albumin sebelum pemberian ≤2,0 g/dl. Kesimpulan: Pemberian albumin hiperonkotik intravena pada pasien rawat inap tidak berhubungan dengan kesintasan 30 hari. ......Introduction: Intravenous hyperoncotic albumin administration is a common practice to be done to patients with severe hypoalbuminemia (plasma albumin level ≤2.5 g/dl). However, until now, many references has shown inconclusive results associated with "correction" of albumin level in patients, especially in reducing mortality and morbidity. Method: This study assessed severe hypoalbuminemia patients' characteristics and pattern of use from hyperoncotic albumin intravenously in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Survival analysis was done with independent variables including: intravenous albumin administration, underlying diseases, albumin level during admission and before albumin administration, as well as time duration from admission to severa hypoalbuminemia detection. Descriptive data was also shown associated with albumin administration consisted of amount of albumin given and response after albumin administration. Result and Discussion: Majority of subjects (79.19%) with albumin level ≤2.5 g/dl was given hyperoncotic albumin intravenously. Incidences of 30-day mortality in severe hypoalbuminemia patients is 47.20%. There as no association between intravenous albumin administration and 30-day survival (HR 0.902; 95 CI% 0,598-1.361; p=0.624). Factors which were found associated with 30-day mortality are sepsis, hypovolemic shock, solid malignancy, and findings of albumin level ≤2.0 g/dl before albumin administration. Conclusion: Hyperoncotic intravenous albumin administration didn't associate with 30-days survival.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Raditya
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang:Penentuan jenis cairan pleura merupakan langkah awal dalam menentukan etiologi suatu efusi pleura dan dilakukan menggunakan Kriteria Light. Kriteria Alternatif Heffner belum banyak diteliti dan digunakan di Indonesia. Kriteria ini memiliki kelebihan dibandingkan Kriteria Light, yaitu tidak memerlukan pengambilan serum darah. Ultrasonografi (USG) toraks juga memiliki nilai diagnostik dalam penentuan jenis cairan pleura serta semakin rutin dilakukan untuk memandu torakosentesis dalam rangka mencegah komplikasi. Apabila Ultrasonografi dapat digunakan untuk menentukan jenis cairan pleura tentunya akan meningkatkan efisiensi pemeriksaan efusi pleura. Tujuan: Membandingkan penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif Laboratorium dengan Kriteria Alternatif Laboratorium saja dalam mendiagnosis eksudat/transudat pada populasi penderita efusi pleura di RSCM menggunakan Kriteria Light sebagai baku emas. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan mengumpulkan sampel konsekutif sebanyak 60 orang. Kriteria inklusi adalah pasien efusi pleura dengan usia lebih dari sama dengan 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah pasien yang pernah dilakukan pungsi pada sisi yang sama sebelumnya. Penelitian dilakukan di RSCM pada periode Januari-Maret 2019. Pada subyek penelitian dilakukan pemeriksaan USG toraks dan pemeriksaan LDH,protein, dan kolesterol cairan pleura serta LDH dan protein cairan serum darah. Hasil: Pada pemeriksaan cairan efusi pleura menggunakan Kriteria Alternatif Heffner didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas sebesar 97,67 % (IK 95% 87,71-99,94) dan 94,12 % (IK 95% 71.31-99.85) . Sementara pada penambahan USG toraks pada Kriteria Alternatif didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas sebesar 97,67 % (IK 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (IK 95% 63,56-98,54). Simpulan: Penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif Laboratorium menurut Heffner memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tidak lebih baik dibandingkan dengan Kriteria Alternatif saja dalam mendiagnosis eksudat/transudat sesuai Kriteria Light sebagai baku emas pada populasi penderita efusi pleura di RSCM. Tetapi hasil positif USG thorax mungkin sangat membantu untuk menentukan tatalaksana efusi komplikata lebih cepat dan efisien serta memangkas biaya berlebihan terutama pada kasus emergensi.
ABSTRACT
Background: Determining the Nature of Pleural Effusion using Light Criteria is the first step to find the right etiology in pleural effusion patient. The Heffner Alternative Criteria was introduced to replace Light Criteria when there are difficulties to obtain blood serum. The use of this new criteria is very few in Indonesia and there are no research in Indonesian population yet. Thorax Ultrasonography is also a routine diagnostic imaging modalities in pleural effusion. It is used to guide safe torakosentesis procedure. The use of ultrasonography in determining the nature of pleural effusion can increase the efficiency of pleural effusion diagnosis. Objective: This study analyze the diagnostic performance between Heffner Alternative Criteria alone compare to with adding thorax USG in determining the nature of pleural effusion using Light Criteria as gold standard. Methods: This was a cross sectional study, using 60 consecutive samples. The population of this study is patient in RSCM Hospital between January-March 2019. Inclusion criteria is pelural effusion patient age 18 years old or older. Patient were excluded if already puncture at the same side before. Thorax Ultrasonography was done and the LDH, Protein, Cholesterol of the pleural fluid was obtained. Results:The Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria alone were 97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) and 94,12 % (CI 95% 71.31-99.85). The Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria with added Thorax Ultrasonography were 97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (CI 95% 63,56-98,54). Conclusions: Adding Ultrasonography to Heffner Alternative Criteria was not improving the already very good Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria alone in determining the nature of pleural effusion. But a positive result from the Ultrasonography may reduce time and cost for the management of complicated pleural effusion especially in emergency cases.
2019
T55521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
Abstrak :
Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE). Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina). Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral. Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis. ...... Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD. Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value. Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina). Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity. Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steatosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livy Bonita Pratisthita
Abstrak :
Latar Belakang. Prevalensi sindrom metabolik (SM) semakin meningkat di daerah rural Indonesia. Kunci patogenesis SM adalah resistensi insulin yang dapat didiagnosis dengan Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR) dan Indeks Triglyceride/Glucose (TyG). Hingga saat ini, belum ada nilai titik potong optimal untuk indeks tersebut di Indonesia. Metode. Sebanyak 1300 subjek orang dewasa berusia 18-60 tahun dari studi Sugarspin di Nangapanda, Flores, Indonesia dibagi menjadi dua grup berdasarkan jenis kelamin. Penentuan nilai titik potong HOMA-IR dan Indeks TyG pada setiap grup dilakukan dengan kalkulasi persentil 75 (p75) dan 90 (p90) pada populasi sehat dan dengan metode receiver operating characteristics (ROC) pada populasi SM dan non-SM. Korelasi antara HOMAIR dan Indeks TyG dinilai dengan korelasi Spearman pada subjek laki-laki dan perempuan. Hasil. Berdasarkan kedua metode, titik potong HOMA-IR dan Indeks TyG berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan. Nilai titik potong HOMA-IR berdasarkan persentil pada laki-laki sehat adalah 0,9 (p75) dan 1,242 (p90); sedangkan pada perempuan adalah 1,208 (p75) dan 1,656 (p90). Berdasarkan ROC, titik potong HOMA-IR antara populasi SM dan non-SM pada laki-laki adalah 1,185 dan pada perempuan adalah 1,505. Nilai titik potong Indeks TyG pada laki-laki sehat adalah 8,590 (p75) dan 8,702 (p90); sedangkan pada perempuan adalah 8,448 (p75) dan 8,617 (p90). Berdasarkan ROC, titik potong Indeks TyG adalah 8,905 untuk laki-laki dan 8,695 untuk perempuan. Koefisien korelasi HOMA-IR dan Indeks TyG ialah 0,39 pada laki-laki dan 0,36 pada perempuan. Kesimpulan. Nilai titik potong HOMA-IR untuk resistensi insulin pada laki-laki adalah 0,9 (p75), 1,242 (p90), dan 1,185 (ROC); pada perempuan adalah 1,208 (p75), 1,656 (p90), dan 1,505 (ROC). Nilai titik potong Indeks TyG pada laki-laki adalah 8,59 (p75), 8,702 (p90), dan 8,905 (ROC); pada perempuan adalah 8,448 (p75), 8,617 (p90), dan 8,695 (ROC). Didapatkan hasil korelasi yang lemah antara HOMA-IR dan Indeks TyG. ......Background. Metabolic Syndrome (MS) prevalence is increasing in Indonesia's rural area. The key pathogenetic mechanism of MS is insulin resistance which can be diagnosed by Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR) and Triglyceride/Glucose (TyG) Index. There are no predefined cut-offs for these indexes in Indonesia. Methods. As many as 1300 adults aged 18-60 years from Sugarspin study in Nangapanda, Flores, Indonesia were divided into different groups based on sex. We determined the cutoff points of HOMA-IR and TyG Index in each group by calculation of the 75th (p75) and 90th percentiles (p90) in healthy subjects and by receiver operating characteristics (ROC) analysis of MS and non-MS subjects. Correlation between HOMA-IR and TyG Index was performed in both sexes by Spearman's correlation. Results. Using both methods, HOMA-IR and TyG Index cut-offs were different between males and females. The HOMA-IR cut-offs for healthy males were 0.9 (p75) and 1.242 (p90); for healthy females were 1.208 (p75) and 1.656 (p90). By ROC, the HOMA-IR cutoff for males was 1.185 and for females was 1.505. The TyG Index cut-offs for healthy males were 8.590 (p75) and 8.702 (p90); for healthy females were 8.448 (p75) and 8.617 (p90). The TyG Index ROC cut-offs were 8.905 for males and 8.695 for females. The correlation coefficients between HOMA-IR and TyG Index were 0.39 for males and 0.36 for females. Conclusion. The HOMA-IR cut-offs for males were 0.9 (p75), 1.242 (p90), and 1.185 (ROC); for females were 1.208 (p75), 1.656 (p90), and 1.505 (ROC). The TyG Index cutoffs for males were 8.590 (p75), 8.702 (p90), and 8.905 (ROC); for females were 8.448 (p75), 8.617 (p90), and 8.695 (ROC). The correlation between HOMA-IR and TyG Index was weak.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Giselvania
Abstrak :
Latar Belakang: Spatially Fractionated Grid Radiotherapy (SFGRT) dilaporkan berperan dalam tatalaksana tumor berukuran besar, termasuk karsinoma sel hati (KSH). Namun, pengetahuan mekanisme kerja SFGRT masih terbatas. Studi hewan coba besar dapat bermanfaat untuk menambah bukti ilmiah, dimana studi ini merupakan studi pertama induksi KSH dengan N-Diethylnitrosamine (DENA) pada babi domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola kematian sel, efek bystander, efek abscopal, serta respons imun dari SFGRT pada hewan coba besar dengan KSH. Metode: Uji eksperimental dilakukan pada 10 babi domestik (Sus scrofa domesticus) yang diinduksi dengan injeksi DENA 15 mg/kgBB dan fenobarbital (PB) 4 mg/kgBB. Subjek dievaluasi secara periodik menggunakan USG, CT scan, analisa darah. Diagnosis KSH ditegakkan dengan pemeriksaan imaging dan histopatologi. Subjek dirandomisasi sebagai kontrol negatif, kontrol positif, penerima intervensi SFGRT1x20 Gy dosis tunggal, atau penerima intervensi radiasi lengkap SFGRT 1x20 Gy + Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT) 3x8 Gy. Pemeriksaan flowcytometryAnnexin dilakukan untuk melihat pola kematian sel, dan biomarker TNF-a, IFN-ɣ, FOXP3 untuk melihat respons jaringan tumor dan jaringan hati di dalam dan di luararea radiasi. Hasil: Karsinogenesis berhasil pada seluruh subjek setelah 15-22 bulan induksi, berupa KSH dan angiosarkoma hepatik. Peningkatan FOXP3 diamati pada subjek yang mengalami keganasan dibandingkan kontrol negatif, sementara TNF-a dan IFN-ɣ mengalami penurunan. Pemeriksaan Annexin menunjukkan rendahnya jumlah sel viabel signifikan pada perlakuan radiasi lengkap SFGRT+SBRT (18.65%) dibandingkan grup SFGRT saja (63,13%-89,09%). Sel viabel tumor di luar area radiasi juga terdapat penurunan, menunjukkan kemungkinan efek bystander. EkspresiFOXP3 mengalami penurunan dan terjadi peningkatan %CD8+ pasca perlakuanradiasi. Kesimpulan: Induksi KSH pada babi domestik dapat dilakukan dengan pemberian DENA+PB dengan periode latensi 15-22 bulan. Penurunan jumlah sel viabel secara signifikan tampak pada kelompok perlakuan radiasi lengkap (SFGRT 1x20Gy + SBRT 3x8Gy) dengan jalur apoptosis pada area di dalam dan di luar area radiasi yang menunjukkan peran efek bystander/abscopal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
Abstrak :

Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE).

Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral.

Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis.


Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system  and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD.

Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value.

Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity.

Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steeatosis.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>