Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Annisa
"Kelebihan kapasitas (overcrowding) pada Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia telah menjadi permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan sejak lama. Hal ini dipicu oleh tingginya angka kriminalitas, terutama pada tindak-tindak pidana ringan. Untuk mengatasi hal tersebut, terdapat suatu metode yang mulai diterapkan pada proses penanganan tindak pidana di Indonesia, yakni keadilan restoratif (restorative justice). Berbeda dengan hakikat pidana yang berfokus pada penghukuman, keadilan restoratif menekankan pada pengembalian keadaan setelah terjadinya tindak pidana. Dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku tindak pidana tidak melulu diberikan hukuman, melainkan diharuskan untuk melakukan atau memberikan sesuatu kepada korban guna memperbaiki kondisinya. Pelaksanaan keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia masih sangat baru. Dengan demikian, dilakukan penelitian terhadap perbandingan pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia dan Australia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadilan restoratif dan pelaksanaannya di Australia yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia. Hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode studi pustaka dan wawancara ini menunjukkan bahwa di Australia, pengaturan mengenai keadilan restoratif sudah setingkat undang-undang di negara bagian dan memiliki suatu asosiasi yang secara khusus mengurus mengenai pelaksanaannya di seluruh Australia. Sedangkan, pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia masih ada di tingkat organisasi, yaitu kejaksaan dan kepolisian, yang membuat beberapa regulasi yang ada dalam kedua peraturan menjadi tumpang tindih. Melihat hal tersebut, Indonesia pun perlu membuat peraturan setingkat undang-undang agar memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan keadilan restoratif. Di mana di dalam peraturan tersebut akan diatur mengenai persyaratan pemberian keadilan restoratif, mekanisme pelaksanaan dalam setiap tingkat proses peradilan pidana, serta kewenangan badan atau aparat penegak hukum yang melaksanakannya. Hal ini dapat menjadi catatan bagi kepentingan penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru di masa mendatang. Selain itu, mengingat wilayah Indonesia yang luas, perlu dipertimbangkan untuk membentuk suatu badan khusus yang mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan keadilan restoratif oleh para aparat penegak hukum.
Overcrowding in Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) in Indonesia has been a problem that has not been resolved for a long time. This is due to the high crime rate, especially in less serious offenses. To overcome this, there is a method that has begun to be applied to the criminal justice process in Indonesia, namely restorative justice. In contrast to the nature of crime which focuses on punishment, restorative justice emphasizes recovering to the situation after a crime has occurred. In taking responsibility for his actions, the criminal offenders are not given punishment, but are required to do or give something to the victim in order to recover their condition. The implementation of restorative justice in the criminal justice process in Indonesia is still very new. Thus, this research was conducted on a comparison of regulations regarding restorative justice in Indonesia and Australia. This research aims to find out how the regulation of restorative justice and its implementation in Australia that can be an exemplification for Indonesia. The results of the research that was conducted using the literature study and interview method show that in Australia, regulations regarding restorative justice are an act in the state and have an association that specifically manages its implementation throughout Australia. Meanwhile, regulations regarding restorative justice in Indonesia still only at the organizational level, such as the attorney's office and the police, which makes some of the provisions in the two regulations overlap. Therefore, Indonesia also needs to make regulations at the level of act to provide legal certainty regarding the implementation of restorative justice. Where in the regulation will be included the requirements for restorative justice, the implementation mechanism at each level of the criminal justice process, as well as the authority of law enforcement agencies or officials who carry it out. This can be a note to draft a new Criminal Procedure Code in the future. In addition, given the vast territory of Indonesia, consideration should be given to establishing an association to regulate and supervise the implementation of restorative justice by law enforcement officials."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gabriel Maranatha
"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur bahwa Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas dari Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan. Merahasiakan informasi mengenai identitas korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan hal yang penting sebagai wujud pengejawantahan dari hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitas. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pengadilan dalam merahasiakan informasi dari identitas korban tindak pidana kekerasan seksual dalam putusan pengadilan. Dengan menggunakan metode penilitian doktrinal, Tulisan ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan pengaturan mekanisme publikasi putusan antara Indonesia dengan Hongaria dan Italia, terkhusus dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memperdalam analisis, penulis mewawancari dua narasumber, yaitu Marc van Opijnen selaku Peneliti Publikasi Putusan dalam Uni-Eropa dan Marsha Maharani selaku Peneliti Isu Kekerasan Seksual dari Indonesia Judicial Research Society. Temuan dari tulisan ini adalah putusan-putusan yang tidak melakukan pengaburan informasi identitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Sayangnya, putusan tersebut dipublikasi dalam situs web Direktori Putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses oleh umum yang makin mencederai hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitasnya. Selain itu, temuan dari tulisan ini adalah ketiadaan pengaturan mekanisme yang mendetail yang dapat ditempuh oleh korban terhadap putusan pengadilan yang tidak merahasiakan identitas dirinya. Adapun ketiadaan pengaturan mekanisme ini dapat berkaca dari pengaturan yang ada di Hongaria dan Italia untuk menciptakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual, dalam hal pengaburan informasi identitas korban dalam putusan pengadilan, yang berasas kepentingan terbaik bagi korban.
The Statute Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence Criminal Acts stipulates that the Court must maintain confidentiality of information containing the identities of Witnesses and/or Victims in court decisions or determinations. Maintaining the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes is crucial as a manifestation of the right to protect the victim's identity. This paper will analyze how the courts implement the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes in court decisions. Using the doctrinal research method, this paper also aims to compare the regulations on the publication mechanisms of judgments between Indonesia, Hungary, and Italy, specifically in cases of sexual violence crimes. To deepen the analysis, the author interviewed two informants, namely Marc van Opijnen as a Researcher on Court Decisions Publication in the European Union and Marsha Maharani as a Researcher on Sexual Violence Issues from the Indonesia Judicial Research Society. The findings of this paper reveal that some court decisions in Indonesia do not obscure the identities of victims of sexual violence crimes. Unfortunately, these decisions are published in website Direktori Putusan Mahkamah Agung, which is accessible to the public, thereby compromising the right to protect the victim's identity. Additionally, the paper found a lack of detailed mechanisms that victims can pursue against court decisions that do not maintain the confidentiality of their identities. The absence of these mechanisms can be reflected in the regulations in Hungary and Italy concerning the handling of sexual violence crimes, specifically in obscuring the identities of victims in court decisions, based on the best interests of the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Batubara, Jose Samuel
"Skripsi ini menganalisis mengenai penerapan prinsip fair trial dalam proses penangkapan tersangka pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme yang digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa tentunya mendapatkan atensi khusus dari pemerintah dari segi penanganannya. Aparat yang diberikan legitimasi tinggi dari pemerintah untuk menumpas terorisme seringkali melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap tersangka pelaku terorisme, yang sering terjadi pada saat proses penangkapan hingga menyebabkan aksi extrajudicial killing, seperti pada contohnya kasus QA (19) di Kabupaten Poso Pesisir Utara pada tahun 2020 silam. Indonesia sebagai negara hukum mengharuskan semua tindakan, baik oleh warga sipil maupun aparat penegak hukum, untuk berlandaskan hukum yang berlaku guna menciptakan keadilan dalam masyarakat. Meskipun terorisme digolongkan sebagai tindak pidana khusus, namun dalam proses penangkapannya harus tetap sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia.
This thesis analyzes the application of the principle of fair trial in the process of arresting suspects of terrorism in Indonesia. This thesis is prepared by using doctrinal research method. Law enforcement in the criminal act of terrorism is regulated in Law Number 5 of 2018 concerning the eradication of criminal acts of terrorism. The crime of terrorism, which is classified as an extraordinary crime, certainly gets special attention from the government in terms of handling it. Officials who are given high legitimacy from the government to eradicate terrorism often commit human rights violations against suspected perpetrators of terrorism, which often occurs during the arrest process, causing extrajudicial killings, such as the case of QA (19) in Poso Pesisir Utara Regency in 2020. Indonesia as a state of law requires all actions, both by civilians and law enforcement officials, to be based on applicable laws in order to create justice in society. Although terrorism is classified as a special criminal offense, the arrest process must still be in accordance with applicable procedures, and prioritize human rights values."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library