Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bangun Astarto
Abstrak :
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan filtrasi glomerulus, sehingga dapat menyebabkan non visualisasi ginjal unilateral atau bilateral pada urografi intra vena. Pemeriksaan Radioisotop renografi sebagai lanjutan pemeriksaan pada keadaan tersebut ini .dapat menunjukkan gangguan fungsi masing-masing ginjal secara terpisah dan pads fase apa terjadinya gangguan tersebut. Terdapat 3 fase pada renogram : 1. Fase pengisian atau vaskular menggambarkan ekstensi aliran darah ke ginjal tersebut. 2. Fase pemekatan atau fase sekresi/fase tubular menggambarkan aliran darah arterial, filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan transportasi radioaktivitas intra renal ke pelvis dan ekstra renal. 3. Fase eliminasi atau fase ekskresi menggambarkan penurunan radio aktivitas dari seluruh ginjal. Sedangkan kelainan yang dapat terjadi pada grafik renogram secara garis besar di bagi 3 tipe Obstruktif, Isothenuria dan Nefrektomi. Karya tulis ini mengamati 21 kasus non visualisasi ginjal unilateral hasil urografi intra vena, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan radioisotop renografi, ternyata sebagian besar menunjukkan tipe nefrektomi (85,71%), sedangkan tipe obstrukti 4,76% dan tipe isothenuria 9,53%. Kombinasi hasil urografi intra vena dan renogram memperjelas gambaran fungsi masing-masing ginjal secara terpisah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Luhur Setyani
Abstrak :
Latar Belakang: Perlu untuk dilakukan uji kepekaan pengukuran sudut femorotibial dengan foto polos dalam mendeteksi OA lutut dengan memanfaatkat MRI untuk pemastian hasil pemeriksaan OA lutut dengan pengukuran sudut femorotibial maupun dengan metoda Kellgren-Lawrence. Selain sebagai pemastian diagnosa OA lutut, pemeriksaan MRI akan memberikan tambahan informasi mengenai pola kerusakan dari lutut khususnya kartilago. Bahan dan Cara: Penelitian ini merupakan studi diagnostik dengan disain potong lintang, pada sebanyak 67 lutut dari 34 orang penderita OA lutut dimana dilakukan pemeriksaan foto polos lutut AP berdiri dan lateral serta MRI lutut potongan koronal dan sagital dengan teknik gradient echo (GEFl,Tl-7 ms). Hasil: Terdapat derajat ringan dengan penilaian Kellgren-Lawrence lama pada 13 lutut (19,4%), 8 lutut (11,9%) dengan Kellgren-Lawrence baru, 5 lutut (7,5%) dengan MRI derajat sedang didapatkan pada 28 lutut (41,8%) Kellgren-Lawrence lama, 21 lutut (31,1%) dengan Kellgren-Lawrence baru dan 25 lutut (37,3%) dengan MRI. Derajat berat didapatkan pada 24 lutut (35,8%) dengan Kellgren-Lawrence lama, 29 lutut (43,3%) dengan Kellgren-Lawrence baru dan 27 lutut (40,3%) dengan MRI. Derajat berat sekali didapatkan pada 2 lutut (3%) dengan Kellgren-Lawrence lama, 9 lutut (13,4%) dengan Kellgren-Lawrence baru dan 10 lutut (14,9%) dengan MRI. Terdapat perbedaan bermakna antara metoda Kellgren-Lawrence konvensional dan Kellgren-Lawrence baru, serta antara metoda KeUgren-Lawience lama dengan gambaran pola kerusakan kartilago pada MRI (p<0.005). Terdapat kesesuaian antara derajat OA lutut dengan metoda Kellgren-Lawrence yang ditambahkan komponen pengukuran sudut femorotibial dengan gambaran pola kerusakan kartilago pada MRI (p>0.005). Kesimpulan: Penambahan komponen pengukuran sudut femorotibial pada Kellgren-Lawrence dapat meningkatkan kepekaan dalam menilai derajat osteoartritis lutut.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58791
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Rudy S
Abstrak :
Tujuan: Untuk menentukan apakah terdapat kesesuaian antara radiografi konvensional proyeksi oksipitomental buka mulut (1 proyeksi) dengan proyeksi standar yaitu oksipitomental, oksipitofrontal, dan lateral (3 proyeksi) pada pasien sinusitis dewasa. Bahan dan Cara: Gambaran radiografi konvensional 1 proyeksi dan 3 proyeksi, dan tomografi komputer sinus paranasal dari 43 pasien dewasa dengan klinis kecurigaan sinusitis dievaluasi. Temuan tomografi komputer maupun radiografi konvensional dikelompokkan dalam normal, sinusitis ringan, sedang dan berat. Dengan menggunakan tomografi komputer sinus paranasal sebagai baku emas, dihitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, kemudian dicari kesesuaian antara radiografi konvensional 1 proyeksi dengan 3 proyeksi. Hasil: Radiografi konvensional kurang dapat mendeteksi kasus sinusitis yang keparahannya ringan. Radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi dalam menyatakan sinusitis tanpa spesifikasi lokasi dan keparahan memberikan nilai sensitifitas 72% vs 75%, spesifisitas 71% vs 86%, nilai duga positif 93% vs 96%, dan nilai duga negatif 33% vs 40%. Akurasi keseluruhan radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi adalah 72% vs 77%. Tidak didapatkan perbedaan statistik bermakna antara hasil radiografi konvensional 3 proyeksi dengan 1 proyeksi. Kesimpulan: Pemeriksaan radiografi konvensional standar sinus paranasal 3 proyeksi pada klinis kecurigaan sinusitis pada pasien dewasa dapat dibatasi pada proyeksi tunggal oksipitomental buka mulut saja. Nilai duga negatif radiografi konvensional yang rendah dalam menentukan sinusitis menyarankan hasil radiografi normal dalam keadaan kecurigaan sinusitis gagal untuk secara meyakinkan menyingkirkan adanya sinusitis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bettia M. Bermawi
Abstrak :
Untuk kepentingan klinik, pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah petanda paling penting dalam evaluasi fungsi ginjal pada penderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Saat ini baku emas pemeriksaan LFG yang paling tepat adalah bersihan inulin tetapi tidak tersedia di Indonesia. Pemeriksaan yang setara dan tersedia di RSCM, adalah pemeriksaan renogram 99 Tc DTPA. Uji bersihan kreatinin yang dianggap mendekati nilai LFG banyak dipengaruhi kesalahan pengumpulan urin. Oleh karena itu untuk pelaksanaan rutin dipakai klasifikasi dan cara estimasi LFG menurut rumus bersihan kreatinin Cockroft & Gault yang direkomendasi oleh K/DOQI, dengan atau tanpa koreksi luas permukaan badan berdasarkan nilai kreatinin serum. Pemeriksaan kadar serum Cystatin C adalah parameter baru yang dikatakan lebih sensitif dibandingkan bersihan kreatinin Cockroft & Gault. Tujuan penelitian adalah mendapatkan pemeriksaan penurunan fungsi ginjal yang lebih baik dibandingkan bersihan kreatinin. Jenis penelitian uji diagnostik. Tiga puluh orang kelompok PGK stage 1,2 dan 3 diperiksa untuk mendeteksi penurunan fungsi ginjal dini. Setiap subyek diperiksa kadar serum Cystatin C dengan cara imunonefelometri, kadar kreatinin serum dengan metode Jaffe kinetik, perhitungan estimasi LFG dengan bersihan kreatinin Cockroft & Gault modifikasi Coresh (CGC), dan 99TcDTPA renogram sebagai baku emas. Hasil penelitian didapatkan hasil uji bersihan kreatinin CGC berada dalam rentang 39- 90 mL/menit/1,73m2 dengan median 72,1 mL/menit/1,73m2, hasil uji kadar Cystatin C serum 0,48 - 3.02 mg/L dengan median 0,81 mg/L dan rentang LFG DTPA 75 -126 Ml/menit/1,73m2 dengan median 118,0 mL/menit/1,73m2. Sensitifitas dan spesifisitas untuk uji Cystatin C adalah 100% dan 57,1% sedangkan untuk bersihan kreatinin CGC adalah 100% dan 38,5%, sehingga kedua uji dapat digunakan sebagai parameter penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan hasil nilai-nilai spesifisitas, prediksi negatif, akurasi diagnostik dan Iuas daerah di bawah kurva ROC dari kadar Cystatin C lebih tinggi dari CGC, maka Cystatin C lebih tepat digunakan untuk penetapan adanya kerusakan ginjal dengan penurunan LFG.
For clinical purpose, glomerular filtration rate (GFR) is the most important marker for evaluation of kidney function in Chronic Kidney Disease (CKD). At present, the gold standard for accurate GFR assessment is inulin clearance which is not available in Indonesia. The alternative examination is renogram 99mTc DTPA. Creatinine clearance test which is assumed to be as close to the GFR value still have many error in urine collection. In clinical practice, GFR estimated from serum creatinine by Cockroft & Gault equation is recommended by KIDOQI and widely accepted as a simple measurement of GFR. Serum Cystatin C is a new parameter which is more sensitive than Cockroft & Gault creatinine clearance. The aim of this study is to get a method to detect early renal dysfunction better than creatinine clearance. Type of study is diagnostic test. We assessed the serum Cystatin C to detect early renal dysfunction in 30 patients with GFR stage 1,2 and 3, classified by KJDOQI staging. Measurements of the following were performed in each subject: serum Cystatin C immunonephelometric assay, serum creatinine by Jaffe kinetic method, GFR estimated from serum creatinine by Cockroft & Gault equation modified by Coresh (CGC), and 99mTcDTPA renogram as gold standard. Results were CGC ranged from 39 to 120 mUmin11.73m2, median 72.1 mL/min/1.73m2. serum Cystatin C ranged from 0.48 to 3.02 mg/L, median 0.81 mg/L and DTPA renogram ranged from 75 to 126 ML/min/1.73m2, median 118.0 mL/min/1.73m2. The sensitivity and specificity of cystatin C in detecting early CKO was calculated to be 100% and 57.1% respectively; compared to CGC were 100% and 38.5%, which allow the tests as a screening test and area under ROC curve of C. Based on the specificity and the negative predictive value, diagnostic accuracy values and area under ROC curve of Cystatin C were superior to CGC, Cystatin C is more reliable measure to determine early renal dysfunction with LFG decr.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21252
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan Purnama
Abstrak :
Subluksasi sendi bahu penderita strok hemiparesis biasanya te~adi pad a stadium flaccid, dimana gaya gravitasi lengan menyebabkan tarikan terhadap sendi bahu. Hal ini harus ditangani sedini mungkin untuk mencegah timbulnya nyeri bahu, cedera otot rotator cuff, cedera sa rat, frozen shoulder dan shoulder hand syndrome. Tujuan : Mengetahui etektvitas Rolyan humeral cuff sling terhadap asimetri vertikal dan asimetri horizontal pada subluksasi sendi bahu penderita strok hemiparesis. Metode : Studi eksperimetnal dengan desain pra dan pasca pemakaian Rolyan humeral cuff sling. Subyek berjumlah 15 penderita strok hemiparesis yang berusia 45 - 75 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan di poliklinik IRM dan Neurologi serta di bangsal Neurologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo daJam periode Februari - Mei 2002. Dua subyek dikeJuarkan karena hasil pemeriksaan radiologinya hampir simetri (selisih 0,5 - 1 mm). Pemeriksaan radiologi subluksasi sendi bahu dengan proyeksi anteroposterior dilakukan 2 kali yaitu di awal penelitian (I) dan setelah 4 minggu (II) pemakaian Rolyan humeral cuff sling. Ukuran penilaian berupa asimetri vertikal dan asimatri horizontal sandi bahu. Perbandingan antara asimetri vertikaJ dan asimetri horizontal sendi bahu (I) dan (II) dan dianalisis dengan uji t berkaitan. Hasil : Usia subyek 45 - 55 tahun (20%), 55 - 64 tahun (53,33%) dan 65 - 75 tahun (26,67%). Stadium Brunnstrom berkisar antara stadium I (26,7%) dan stadium II (53,3%). Pengukuran subacromion space berkisar antara ° -5 mm (20%), 6 - 10 mm (40%), 11 - 15 mm (20%) dan 16 - 20 mm (20%). Rerata komponen vertikal (I) (47,538) dan (II) (44,923) sedangkan rerata komponen horizontal I (26,500) dan \I (24,230). Rerata asimetri vertikal (I) (12,346) dan (\I) (9,730) sedangkan rerata asimetri horizontal (I) (2,753) dan (II) (1,153). Hasil uji statistik membuktikan terdapat perbedaan bermakna antara komponen vertikal dan komponen horizontal (I) dan (\I) (p < 0,05), juga perbedaan bermakna antara asimetri vertikal dan asimetri horizontal (I ) dan (II) (p < 0,05). Kesimpulan : Ro/yan humeral cuff sling dapat memperbaiki asimetri vertikal dan asimetri horizontal pada sub!uksasi sendi bahu penderita strok hemiparesis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library