Pembatasan bahan baku impor untuk industri tekstil dan pakaian jadi Indonesia dapat dengan tidak sengaja menghambat performa ekspor karena setiap subsektor di industri tersebut memiliki karakter yang berbeda. Penelitian ini menganalisis pemakaian bahan baku impor dan performa ekspor perusahaan di industri tekstil dan pakaian jadi Indonesia menggunakan data panel tidak seimbang dengan kesenjangan tahun selama periode 2000-2015 yang diestimasi menggunakan model regresi. Hasil regresi menunjukkan bahan baku impor mempunyai dampak positif dan signifikan terhadap kinerja ekspor perusahaan, dan efeknya pada industri pakaian jadi lebih besar jika dibandingkan dengan industri tekstil ketika kedua industri dipisahkan. Selain itu, variabel kontrol lain yang mewakili karakteristik perusahaan memiliki tanda-tanda positif terhadap kinerja ekspor perusahaan. Variabel produktivitas tenaga kerja dan ukuran perusahaan memiliki dampak signifikan, sementara variabel intensitas modal dan upah pekerja ternyata tidak signifikan. Pemerintah tidak dapat sepenuhnya membebaskan impor semua bahan baku untuk industri tekstil dan pakaian jadi meskipun hasil penelitian menunjukkan hubungan positif. Sebaliknya, pemerintah dapat menerapkan skema perlindungan yang efektif dengan melonggarkan tarif pada bahan baku impor yang diperlukan untuk produksi dalam negeri dan mengenakan tarif tinggi pada produk impor yang memiliki potensi untuk bersaing dengan produk dalam negeri.
Limiting imported inputs for Indonesian textile and apparel industries may inadvertently decelerate the industries’ export performance, because each subsector in the industries has its own characteristics. This study analyzes the use of imported inputs and firms’ exports in the Indonesian textile and apparel industries. It has employed unbalanced panel data from 2000–2015 with year gaps and estimated them using regression model. The main findings show that foreign input has a positive and significant impact on the firms’ exports, and the effect is larger on the apparels than the textiles when the industries are detangled. In addition, other control variables that represent the firm’s characteristics have positive signs to the firms’ export performances. Furthermore, labor productivity and firm size variables have significant impacts, while decomposed capital intensity and wage variables are found to be insignificant. Although the result suggests a positive connection, the government may not fully liberalize all imported inputs for the industries. Instead, they may implement an effective protection scheme by relaxing tariffs on imported inputs for domestic production and imposing high tariffs imported inputs that have the potential to compete with domestic finished products.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan harga energi terhadap konsumsi energi, terutama minyak dan batubara, pada sektor manufaktur Indonesia. Analisis data panel unbalanced digunakan pada data tingkat perusahaan dari tahun 2003 hingga 2015 untuk mengetahui elastisitas harga permintaan minyak dan batubara. Hasil estimasi menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia sensitif terhadap harga energi. Pada analisis agregat, kenaikan harga minyak satu persen signifikan untuk mengurangi permintaan sebanyak 0,194 persen, sedangkan konsumsi batubara tidak dipengaruhi secara signifikan oleh harganya. Estimasi regresi batubara menggambarkan hasil yang berbeda dari estimasi minyak yang menunjukkan hubungan positif antara harga batubara dan permintaan batubara meskipun tidak signifikan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa hal: jumlah perusahaan yang menggunakan batubara relatif cukup kecil, permintaan batubara hanya terkonsentrasi di beberapa sub-sektor, dan harga batubara yang relatif lebih murah daripada minyak. Untuk pemahaman yang lebih dalam, analisis sektoral dilakukan pada lima sub-sektor prioritas — makanan dan minuman; tekstil, pakaian jadi dan alas kaki; bahan kimia dan farmasi; elektronik dan perangkat optik; dan perlengkapan otomotif dan transportasi. Analisis sektoral menunjukkan bahwa elastisitas harga untuk permintaan minyak adalah inelastis, berkisar antara 0,184 hingga 0,387 dalam nilai absolut. Perubahan harga minyak memiliki dampak paling besar pada sub-sektor tekstil, pakaian, dan alas kaki, sedangkan makanan dan minuman adalah sub-sektor yang paling tidak terpengaruh oleh perubahan harga minyak.
This study aims to investigate the effect of energy price changes on energy consumption, especially oil and coal, for Indonesian manufacturing sectors. Unbalanced panel data analysis is utilized on firm-level data from 2003 to 2015 to examine the price elasticity of oil and coal demand. The estimation indicates that Indonesia’s manufacturing sectors are sensitive to energy price. On the aggregate analysis, one percent oil price increase is significant to reduce the demand of 0.194 percent, while coal consumption is not significantly affected by its price. Coal regression illustrates different outcomes than oil estimation which shows a positive relationship between coal price and coal demand even though it is insignificant. This phenomenon can be possibly interpreted through several explanations: a small number of firms using coal, concentration of coal demand in a few sub-sectors, and meager price of coal relative to oil. For further understanding, sectoral analysis has been examined on five priority sub-sectors—food and beverage; textile, apparel and footwear; chemicals and pharmacy; electronics and optical device; and automotive and transport equipment. The sectoral evaluations suggest that price elasticity for oil demand is considered as inelastic, ranging from 0.184 to 0.387 in absolute value. Oil price changes have the most impact on textile, apparel, and footwear sub-sectors, while food and beverage is the most unaffected by oil shocks.
"