Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rita Ingewaty Wijaya
"Paparan radiasi pengion dosis rendah (<0,5 Gy) dapat menyebabkan gangguan sirkulasi. Namun, belum diketahui apakah paparan radiasi pengion dosis rendah dapat menyebabkan hipertensi. Seorang petugas radiologi berjenis kelamin laki-laki yang berusia 27 tahun menanyakan tentang hasil pemeriksaan berkalanya dimana hasilnya menyatakan ia mengidap hipertensi. Dia juga menyebutkan bahwa pada tahun sebelumnya, hasil pemeriksaan EKG-nya tidak baik, tetapi dia tidak dapat mengingat apa yang dikatakan oleh dokter spesialis jantung. Apakah hipertensi pada pekerja radiologi disebabkan oleh paparan radiasi pengion di tempat kerja? Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Didapatkan sebuah artikel yang relevan, yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah studi kohort oleh Preetha R, et al (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara risiko hipertensi dan paparan FGIP. Penelitian ini valid dan dapat diterapkan pada pasien saya karena metodenya sesuai dan cukup baik. Selain itu, populasi dalam penelitian ini memiliki kemiripan dengan pasien saya. Namun, hanya ada satu artikel yang ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya penelitian mengenai hal ini. Oleh karena itu, hubungan sebab akibat masih belum dapat dibuktikan. Dianjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pengukuran paparan dan hasil yang lebih baik.

Exposure to low dose ionising radiation (<0.5 Gy) can cause circulation disorders. It is not yet known whether exposure to low dose ionising radiation can cause hypertension. A 27-year-old male radiologist asked about the result of his periodic examinations in which written hypertension. He also said that in the previous year, his ECG examination resulted in no good, but he couldn’t remember what the cardiologist said. Does hypertension in radiology workers due to exposure to ionising radiation at work? The literature searches were conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. A relevant article, which fitted the inclusion criteria, was found. A cohort study by Preetha R, et al (2015) suggested that there is a relationship between the risk of hypertension and FGIP exposure. This study is valid and applicable to my patient because the method is quite good and suitable. Also, the population in the study is similar to my patient. However, there was only one article found which might be due to the lack of research on this subject. Hence, the causal relationship still cannot be proven. Further research is recommended with a better measurement of exposure and outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ghozali Thohir
"Seorang pekerja laki-laki 38 tahun mengalami gejala gangguan saraf tepi dan di diagnosis neuropati perifer. Pekerja tersebut memiliki riwayat bekerja sebagai operator mesin Spinning di pabrik pembuatan rayon selama 10 tahun dengan riwayat paparan CS2 melebihi nilai ambang batas secara inhalasi. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk mendapatkan jawaban yang tepat tentang hubungan antara paparan karbon disulfida kerja melalui inhalasi dengan neuropati perifer di antara pekerja industri rayon. Pencarian artikel dilakukan melalui PubMed, Scopus, Medline, Embase dan handsearching. Kriteria inklusi adalah Tinjauan Sistematis, Meta-Analisis, Studi Kohort, Studi Kasus-kontrol, Studi potong lintang, pekerja dengan paparan CS2 secara inhalasi di lingkungan kerja, hasil diagnosis neuropati perifer atau hasil tes konduktifitas saraf sebagai alat diagnostik baku neuropati perifer ( MNCV dan SNCV ). Kemudian ditelaah secara kritis menggunakan kriteria CEBM oxford untuk studi etiologi . Dari hasil pencarian artikel didapatkan 4 jurnal penelitian. Terdapat satu artikel studi kohort prospektif dan tiga artikel studi potong lintang. Hasil telaah kritis 4 studi penelitian belum cukup kuat menunjukkan hubungan antara paparan CS2 inhalasi dengan neuropati perifer. Namun nilai penurunan konduktivitas saraf tepi dikatakan bermakna jika kecepatan konduktivitas saraf tepi ekstremitas atas < 50 m/s dan ekstremitas bawah jika < 40 m/s.

Carbon disulfide (CS2) is widely used in various industries as a raw material for the manufacture of goods such as rayon, cellophane, and carbon tetrachloride. Currently, the largest user of this chemical is the rayon fibre industry. This evidence-based case report aims to obtain precise answers regarding the relationship between occupational carbon disulfide exposure through inhalation and peripheral neuropathy among rayon industry workers. A 38-year-old male worker had peripheral nerve disorder symptoms and was diagnosed with peripheral neuropathy. The worker had a history of working as a spinning machine operator in a rayon manufacturing factory for 10 years with a history of exposure to CS2 exceeding the threshold value through inhalation. An article search was conducted through PubMed, Scopus, Medline, Embase, and manual searching. The articles were then critically appraised using Oxford's CEBM criteria for etiological studies. The article searches resulted in one prospective cohort study and three cross-sectional studies. Based on the patient's condition, the findings from the 4 research studies were insufficient to establish a link between inhalation exposure to CS2 and peripheral neuropathy. Further studies with a stronger association level are needed to establish the relationship between inhaled CS2 exposure and peripheral neuropathy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Muhammad Rizqi
"Latar belakang. Perawat mendapat tantangan pekerjaan dengan berbagai pajanan bahaya potensial di tempat kerja. Kerja shift sangat umum dilakukan oleh perawat, yang dapat meningkatkan risiko persalinan seperti abortus pada pekerja yang sedang hamil. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko aborstus pada perawat yang melakukan kerja shift. Pencarian literatur dilakukan dengan menggunakan database elektronik berikut: PubMed dan Google Scholar. Peneliti menggunakan kata kunci "kerja shift," "aborstus" dan "perawat" untuk melakukan pencarian. Kriteria inklusi adalah penelitian dengan tinjauan sistematis atau desain kohort, penelitian dengan populasi target perawat dengan kerja shift, dan penelitian dengan hasil utama risiko abortus. Hasil. Bukti-bukti yang ada tidak cukup menemukan hubungan yang signifikan antara kerja shift dan risiko keguguran. Namun, risiko abortus spontan yang lebih tinggi ditemukan di antara perawat shift malam permanen dibandingkan dengan sistem kerja tiga waktu gilir. Kesimpulan. Berdasarkan bukti ini, kerja shift malam muncul sebagai risiko abortus, sedangkan tidak ada bukti yang cukup untuk menghubungkan sistem kerja tiga waktu gilir sebagai risiko abortus di antara pekerja wanita.

Background. Nurses are challenged with various occupational hazards. Shift work is very common among nurses, which could increase the risk of preterm labor and miscarriage among pregnant workers. Objective. This study aims to investigate the risk of miscarriage among nurses who do shift work. Method. Literature searching was conducted using the following electronic databases: PubMed and Google Scholar. We used keywords "shift work," "miscarriage," and "nurse" to perform the searching. The inclusion criteria were studies with systematic reviews or cohort design, studies with target population of nurses with shift work, and studies with the main outcome of the risk of miscarriage. Results. The evidence did not find enough any significant association between shift work and the risk of miscarriage. However, a higher risk of spontaneous miscarriage was found among permanent night-shift nurses compared to three-hour work system. Conclusion. Based on this evidance, night shift work appears as  a risk of miscarriage, whereas there is no enough  evidance association between a three-hour work system as a risk of  miscarriage among female workers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diandra Amandita
"Kelompok usia remaja memiliki insiden infeksi menular seksual (IMS) kedua tertinggi di dunia. Akuisisi IMS pada masa remaja memiliki konsekuensi kesehatan yang serius pada usia dewasa. Tingkat pengetahuan dan persepsi remaja Indonesia terhadap IMS memengaruhi risiko penularan IMS. Studi deskriptif-analitik cross sectional ini bertujuan untuk menyelidiki tingkat pengetahuan dan persepsi remaja Indonesia di Jakarta terhadap IMS dan mengidentifikasi faktor-faktor demografis yang terkait dengan mereka. Populasi yang diteliti adalah siswa berusia 10 hingga 19 tahun dari tiga tingkat pendidikan (Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan). Sebanyak 397 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Sumber utama informasi kesehatan reproduksi untuk populasi penelitian adalah sekolah atau guru (n=260/397). Mayoritas mendapat nilai buruk untuk pengetahuan IMS (93,20%) dan persepsi IMS (69,77%). Terdapat hubungan signifikan antara usia dan pengetahuan IMS (p=0,009), tingkat pendidikan dan pengetahuan IMS (p<0,001), usia dan persepsi IMS (p<0,001), dan tingkat pendidikan dan persepsi IMS (p<0,001). Tidak ada hubungan antara pengetahuan IMS dan persepsi IMS (p=0,944). Penelitian ini menyimpulkan bahwa remaja di Jakarta memiliki pengetahuan dan persepsi yang buruk terhadap IMS, yang mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis. Sekolah memiliki peran penting dalam distribusi pengetahuan IMS dan pembentukan persepsi IMS di kalangan remaja Indonesia.

Adolescents have the second highest incidence of sexually transmitted infections (STIs) globally. STI acquisition in adolescence has serious health consequences in adulthood. The level of knowledge and perception of adolescents towards STI influence their acquisition risk. This cross sectional descriptive-analytical study aims to understand the level of knowledge and perception of adolescents in Jakarta towards STI and identifies associated demographic factors. The study population were students aged 10 to 19 years from three education levels (Junior High School, Senior High School, and Vocational High School). A total of 397 subjects were included in this study. The main source of reproductive health information for the study population was found to be school or teachers (n=260/397). The majority scored poorly for STI knowledge (93,20%) and STI perception (69,77%). There were significant associations between age and STI knowledge (p=0,009), education level and STI knowledge (p<0,001), age and STI perception (p<0,001), and education level and STI perception (p<0,001), with no association between STI knowledge and STI perception (p=0,944). This study concluded that adolescents in Jakarta have poor knowledge and perception towards STI, which may be influenced by demographic factors. The school is important in STI knowledge distribution and STI perception forming among Indonesian adolescents. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jovita Krisita
"Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum ditemukan pada populasi pekerja dengan salah satu faktor risiko adalah jam kerja yang panjang terutama pada laki-laki. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara jam kerja yang panjang dan peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada pria dewasa. Metode pencarian literatur yang digunakan adalah melalui pencarian daring sesuai dengan pedoman PRISMA di PubMed dan Scopus dari awal hingga 15 Mei 2020 dengan istilah pencarian berikut: 'pria', 'jam kerja panjang', 'lembur', dan 'risiko penyakit jantung koroner' di Medis Subject Heading Terms (MeSH Terms), judul, kata teks, abstrak, dan semua bidang. Pencarian manual dilakukan dengan mencari bagian referensi dari semua makalah yang diambil sebagai sumber potensial artikel relevan yang memiliki populasi yang tumpang tindih (n=4). Pada akhir proses pencarian literatur, sebuah artikel penelitian dipilih untuk proses penilaian kritis dan ditemukan valid dan penting bagi pasien kami. Peningkatan risiko Infark Miokard Akut sebanyak dua kali lipat ditemukan pada pria dengan jam kerja tambahan sama dengan atau lebih dari 3 jam per hari. Rekomendasi tempat kerja dapat berupa penilaian kembali bekerja, program rehabilitasi, termasuk penilaian beban kerja dan modifikasi jam kerja. Studi intervensi lanjutan diperlukan untuk mendapatkan tingkat bukti yang lebih tinggi. 

Coronary heart disease is one of the most common cardiovascular diseases in worker population and may have resulted from long working hours especially in male population. This review aims to evaluate the relationship between long working hours and increased risk of coronary heart disease in adult males. We did online search in accordance with the PRISMA guidelines in PubMed and Scopus from inception to May 15th, 2020 with the following search terms: 'male', 'long working hours', ‘overtime’, and ‘coronary heart disease risk' in Medical Subject Heading Terms (MeSH Terms), title, textword, abstracts and all fields. Manual search was done by hand-searched the reference sections of all the retrieved papers as a potential source of relevant articles that have overlapping population (n=4). At the end of searching process, one study was chosen for critical appraisal process  that is valid and substantial for our patient. We found Acute Myocardial Infraction risk in male (additional work hours equal to or more than 3 hours per day) increased twofold. Workplace reccomendations that can be made for this patient are return to work assessment, rehabilitation program, work load assessment and modified- working hours. Further intervention studies required to gain higher evidence. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Solihati
"Latar belakang: Sampai saat ini, masih terdapat kontroversi mengenai hubungan antara paparan tetrachloroethylene pada pekerja dry cleaning dan insiden kanker kandung kemih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi berdasarkan bukti mengenai hubungan antara paparan tetrachloroethylene pada pekerja dry cleaning dan risiko kejadian kanker kandung kemih melalui laporan kasus berdasarkan bukti yang berasal dari tinjauan literatur.
Metode: Tinjauan dilakukan melalui metode pencarian dan pemilihan artikel dalam database Pubmed, Scopus, dan Proquest yang bertujuan menjawab pertanyaan penelitian. Proses pencarian artikel menggunakan kata kunci "kanker kandung kemih" DAN "tetrachloroethylene" ATAU "perchloroethylene" DAN "dry cleaning" ATAU "dry cleaners". Pemilihan artikel dilakukan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan. Pada pencarian awal, artikel diambil dari tiga database yaitu Pubmed, Scopus dan Proquest.
Hasil: Setelah proses seleksi, terpilih satu artikel meta analisis dari Vlaanderen et al. (2014). Secara umum, ke-15 studi yang termasuk dalam studi meta analisis memiliki validitas yang baik. Namun ada sebelas studi yang tidak sesuai dengan laporan kasus berbasis bukti PICO, jadi hanya empat studi yang ditemukan yang sesuai dengan laporan kasus berbasis bukti PICO. Satu studi kohort dari Lynge et al. (2006) memiliki hasil statistik yang signifikan dengan {RR (95% CI) 1,44 (1,07-1,93). Sedangkan tiga penelitian dengan desain kasus kontrol dari Burn dan Swanson (1991), Gaertner et al (1991), dan Colt et al (2011) tidak menunjukkan hubungan antara paparan tetrakloroethylene pada kejadian kanker kandung kemih pada pekerja dry cleaning.
Kesimpulan: Dari ke empat penelitian tersebut, bukti kejadian kanker kandung kemih dan paparan tetrachloroethylene pada pekerja dry cleaning menunjukkan hasil yang tidak konsisten sehingga tidak cukup bukti untuk memastikan bahwa paparan tetrachloroethyelene pada pekerja dry cleaning dapat menyebabkan kanker kandung kemih.

Background: Up to the present, there has been controversy on the relationship between tetrachloroethylene exposure in dry cleaning workers and bladder cancer. The aim of this study was to obtain evidence based information regarding the relationship between tetrachloroethylene exposure in dry cleaning workers and bladder cancer incidence risk through an evidence based case report derived from a literature review.
Methods: The review was conducted through a method of search and selection of articles in the Pubmed, Scopus and Proquest databases aimed at answering the study question. The process of searching articles used the keyword “bladder cancer” AND “tetrachloroethylene” OR “perchloroethylene” AND “dry cleaning” OR “dry cleaners”. Article selection was perfomed using the defined inclusion and exclusion criteria. At the initial search,  article were retrieved from the three databases.
Results: Following the selection process, one meta analisis article from Vlaanderen et al. (2014) remained. One cohort study from Lynge et al. (2006) have significant statistical results with {RR (95% CI) 1.44 (1.07-1.93). While three studies with a case control design from Burn and Swanson (1991), Gaertner et al (1991), and Colt et al (2011) did not show an association between tetrachloroethylene exposure on the incident of bladder cancer in dry cleaning workers.
Conclusion: From that studies, the evidence on bladder cancer incidence and  tetrachloroethylene exposure in dry cleaning workers are inconsistent so its not sufficient evidence to ensure that tetrachloroethyelene exposure in dry cleaning workers can cause bladder cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annes Waren
"Latar Belakang: Pria, 48 tahun, pekerja minyak dan gas bumi, didiagnosis dengan myelofibrosis, bagian dari myeloproliferatif neoplasma. Pasien bekerja sebagai operator selama 15 tahun, dimana salah satu hazardnya adalah paparan rendah benzen. Laporan kasus ini bertujuan untuk melihat hubungan antara paparan benzene dengan myeloproliferatif neoplasma pada pekerja minyak dan gas bumi. 
Metode:  Analisis PICO digunakan untuk memformula pertanyaan klinik laporan kasus ini, populasi: pekerja, intervensi/paparan: benzen, komparasi: tidak terpapar benzen, hasil: myeloproliferatif neoplasm. Strategi pencarian literatur untuk menjawab pertanyaan klinis menggunakan data basis leektronik pada PubMed, Google Scholar dan daftar pustaka. Kriteria inklusi adalah penelitian etiologik dengan kriteria eksklusi adalah leukemia myeloid kronik dan trombositopenia esensial. Penelitian yang terpilih kemudian dilakukan penilaian kritis untuk menentukan apakah penelitian ini valid, bermakna, dan dapat diaplikasikan terhadap pasien menggunakan kriteria relevansi dari Ofxord Centre untuk kedokteran berbasis bukti pada penelitian etiologik.
Hasil: Terdapat satu peneliltian terpilih yaitu penelitian kasus kontrol dari Glass dkk, 2014 (n= 30 kasus dengan n=124 dengan matched controls), hasil dari penelitian ini paparan kumulatif benzene memiliki OR 1.57 (95% CI 0.55-2.78) terhadap myelofibrosis, paparan benzene 2-20 tahun p 0.49 dan OR 4.4 (95% CI 1.29-15). Setelah dilakukan penilaian kritis terhadap penelitian ini dengan hasil poenelitian valid, memiliki kualitas yang tinggi pada pengukuran paparan benzene pada pekerjaan individu. Meskipun terdapat limitasi berupa confounder data seperti tidak tersedianya informasi mengenai kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, paparan radiasi dan atau kerentanan genetik. 
Kesimpulan: Berdasarkan analisis kasus 7 langkah diagnosis penyakit akibat kerja, dapat disimpulkan bahwa myelofibrosis dapat berhubungan dengan paparan benzen di tempat kerja.

Background: A 48-years old male, oil and gas worker was diagnosed with myelofibrosis, part of myeloproliferative neoplasm. The patient worked as an operator for 15 years, where one of the hazards was low level of benzene exposure. Hence, this case report is aimed to find the association of benzene exposure with myeloproliferative neoplasm in oil and gas worker.
Method:  The following is PICO analysis to formulate clinical question from this case report; Population: worker, intervention/exposure: benzene, comparison: not exposed to benzene, outcomes: myeloproliferative neoplasm. Literature searching strategies for answering the clinical question used electronic database in PubMed, Google Scholar, and list of references. The inclusion criteria is etiologic research study, while the exclusion criteria are chronic myeloid leukaemia and essential thrombocythemia. The selected papers were then critically appraised to determine whether the article is valid, meaningful, and applicable to the patient using relevant criteria bye the Oxford Centre for Evidence-based Medicine for etiological study.
Result: Finally, one study was selected; a case control study by Glass et al, 2014 (n=30 cases with n=124 matched controls), the outcome of this study was OR of 1.57 (95% CI 0.55-2.78) for cumulative benzene exposure, p 0.49 and OR of 4.4 (95% CI 1.29-15) for a 2-20 years benzene exposure, p 0.018. After a critical appraisal, it was found that this article was valid, the study has high quality and precise benzene exposure metrics based on exposure of individual job. However, there were potential limitations on confounders data such as not available data on smoking habit, alcohol use, radiation exposure and/or genetic susceptibility.
Conclusion: Based on the case analysis through 7 (seven) steps of occupational disease diagnosis and journal critical appraisal, it can be concluded that the myelofibrosis may be related to exposure to benzene at the workplace.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Kurniawan
"Pendahuluan: Low Back Pain (LBP) adalah keluhan rasa nyeri, ketegangan otot atau rasa kaku di daerah pinggang yaitu di pinggir bawah iga sampai lipatan bawah bokong (plica glutea inferior), dengan atau tanpa penjalaran rasa nyeri ke daerah tungkai (scintica). Perawat yang bekerja di area yang membutuhkan aktivitas fisik yang berat lebih rentan terhadap LBP. Mekanika postur tubuh yang tidak tepat juga memiliki efek langsung pada LBP. Perawat di ruang operasi memiliki risiko tersebut salah satunya adalah karena berdiri di posisi yang sama untuk waktu yang lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kejadian low back pain dan durasi berdiri lama statis pada perawat di ruang operasi.
Metode: Kasus ini tentang seorang wanita berusia 45 tahun yang bekerja sebagai asisten operator/perawat di ruang operasi rumah sakit mengalami nyeri di punggung belakang sejak empat bulan yang lalu dan menjalar ke tungkai bawah, dan didiagnosis dengan low back pain. Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, ProQuest, dan juga dilakukan dengan metode hand searching. Kriteria inklusi adalah tinjauan sistematis, studi kohort, studi kasus-kontrol, studi cross sectional, low back pain, prolonged standing/ long stand/standing posture, occupational, dan nurse. Kemudian, dinilai secara kritis menggunakan kriteria yang relevan oleh Oxford Center for Evidence-Based Medicine.
Hasil: Tiga studi cross-sectional yang relevan ditemukan melalui pencarian literatur dan setelah dinilai secara kritis, dapat disimpulkan bahwa semua artikel tersebut valid. Besar dan ketepatan estimasi hubungan antara pajanan dan hasil dalam studi pertama antara LBP dengan posisi berdiri lama pada perawat ruang operasi adalah p 0,002, OR = 1.8 95%, CI (1.2-4,4). Studi kedua menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perawat ruang operasi dengan posisi berdiri lama (posisi menetap selama minimal tiga jam) dengan nilai p 0.001, OR = 2.1, 95% CI (1.4-5,3). Pada studi ketiga juga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara LBP dengan berdiri lama dengan nilai p 0.04, OR = 1.09, 95% CI (0.49-2.38).
Kesimpulan: Bukti yang tersedia dari tiga studi cross sectional membuktikan bahwa terdapat dua artikel yang menunjukan estimasi besar risiko yang signifikan secara statistik antara low back pain dengan durasi posisi berdiri lama statis pada perawat ruang operasi pada kedua studi namun hanya satu studi yang menjelaskan bahwa kejadian LBP terjadi pada durasi berdiri lama minimal selama tiga jam bekerja. Direkomendasikan untuk menyediakan antifatigue mat/standing mat, alas kaki yang nyaman, dan penyediaan kursi untuk dapat duduk/berdiri, edukasi dan pelatihan cara kerja ergonomis minimal setahun sekali, program stretching tiap dua jam selama 10-15 menit, dan memberikan jumlah tenaga perawat ruang operasi yang mencukupi. Desain penelitian yang lebih baik seperti seperti kohort atau kontrol kasus diperlukan untuk memberikan bukti yang lebih kuat bahwa durasi berdiri lama statis dapat menyebabkan low back pain pada perawat ruang operasi.

Background: Low Back Pain (LBP) is a complaint of pain, muscle tension or stiffness in the lumbar region, namely at the lower edge of the ribs to the lower fold of the buttocks (plica glutea inferior), with or without pain radiating to the leg area (scintica). Nurses who work in areas that require strenuous physical activity are more prone to LBP. Improper posture mechanics also have a direct effect on LBP. Nurses in the operating room have such risks, one of which is due to standing in the same position for a long time. The purpose of this study was to determine the relationship between the incidence of low back pain and the duration of static long standing in nurses in the operating room.
Methods: This case is about a 45-year-old woman who works as an assistant operator/nurse in a hospital operating room feel pain in the back since four months ago and radiating to the lower limbs, and was diagnosed with low back pain. A literature search was conducted through PubMed, Scopus, ProQuest, and also by hand searching. Inclusion criteria were cohort studies, case-control studies, cross sectional studies, low back pain, prolonged standing/long standing/standing posture, occupational, and nurse. Then, it was critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-Based Medicine.
Results: Three relevant cross-sectional studies were found through the literature search and after critical appraisal, it can be concluded that all the articles are valid. The magnitude and precision of the estimated association between exposure and outcome in the first study between LBP and prolonged standing in operating room nurses with p value 0.002, OR = 1.8 95%, CI (1.2-4.4). The second study showed that there was an association between operating room nurses and prolonged standing position (sedentary position for at least three hours) with p value 0.001, OR = 2.1, 95% CI (1.4-5.3). The third study also concluded that there was an association between LBP and prolonged standing with p value 0.04, OR = 1.09, 95% CI (0.49-2.38).
Conclusion: The available evidence from three cross-sectional studies proved that two articles showed statistically significant risk estimates between low back pain and duration of long static standing position in operating room nurses but only one study explained that the incidence of LBP occurred in long standing duration for at least three hours of work. It is recommended to provide antifatigue mats/standing mats, comfortable footwear, and provide chairs to be able to sit/stand, education and training on ergonomic work methods at least once a year, stretching programs every two hours for 10-15 minutes, and provide sufficient numbers of operating room nurses. Better research designs such as cohort or case control are needed to provide stronger evidence that long static standing duration can cause low back pain in operating room nurses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prio Hangudi Sampurno
"Paparan pestisida membawa risiko, termasuk keracunan, polusi, dan resistensi hama, mempengaruhi banyak individu setiap tahunnya. Studi menghubungkan paparan pestisida dengan kanker, terutama kanker kandung kemih yang lebih umum terjadi di daerah yang banyak menggunakan pestisida. Kanker kandung kemih menempati peringkat ke-13 dalam kasus baru di Indonesia, dengan tingkat kematian global yang signifikan menurut data GLOBOCAN 2022. Etiologi kanker kandung kemih melibatkan beberapa faktor, termasuk paparan kerja terhadap bahan kimia karsinogenik seperti amina aromatik, yang memberikan risiko khusus bagi petani yang menangani pestisida dan herbisida. Gejala saluran kemih pada petani karet berusia 50 tahun mendorong penyelidikan terhadap bahaya potensial di tempat kerja, terutama terkait paparan herbisida (Imazethapyr) dan risiko kanker kandung kemih. Tinjauan literatur mengidentifikasi studi yang relevan, terutama dua studi kohort oleh Koutros et al. pada tahun 2009 dan 2016, yang menunjukkan hubungan signifikan antara paparan herbisida, khususnya Imazethapyr, dan kejadian kanker kandung kemih di kalangan petani. Diskusi menekankan risiko paparan pestisida yang dikenal dan pemahaman terbatas mengenai efek kesehatan senyawa tertentu seperti Imazethapyr. Studi ini mendukung penelitian lebih lanjut dan intervensi untuk mengurangi bahaya di tempat kerja. Upaya kolaboratif, termasuk alternatif yang lebih aman, regulasi pemerintah, dan penelitian tambahan, sangat penting untuk mengatasi hubungan yang mengkhawatirkan antara penggunaan Imazethapyr dan kanker kandung kemih di kalangan petani, serta memahami kompleksitas paparan pestisida dan dampak kesehatannya.

Pesticide exposure poses risks, including poisoning, pollution, and pest resistance, affecting a substantial number of individuals annually. Studies has established link between pesticide exposure and cancer, specifically bladder cancer which is more common in high-pesticide areas. Bladder cancer ranks 13th in new cases in Indonesia, with significant global mortality rates, according to GLOBOCAN 2022 data. Bladder cancer etiology involves multiple factors, including occupational exposure to carcinogenic chemicals like aromatic amines, which pose a particular risk to farmers who control pesticides and herbicides. A 50-year-old rubber farmer's urinary symptoms prompt investigation into potential occupational hazards, particularly regarding herbicide (Imazethapyr) exposure and bladder cancer risk. A literature review identifies relevant studies, notably two cohort studies by Koutros et al. in 2009 and 2016, showing a significant association between herbicide exposure, especially Imazethapyr, and bladder cancer incidence among farmers. The discussion emphasizes known pesticide exposure risks and a limited understanding of specific compound health effects like imazethapyr. These studies support further research and interventions to mitigate occupational hazards. Collaborative efforts, including safer alternatives, government regulations, and additional research, are crucial to addressing the concerning link between Imazethapyr use and bladder cancer among farmers and unraveling pesticide exposure complexities and health impacts."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiscus Januar Widjaja
"Awak pesawat memiliki lingkungan kerja yang dapat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah (NPB). Tujuan dari studi ini adalah untuk mencari tahu apakah lama bekerja seorang awak pesawat komersial berpengaruh terhadap NPB. Studi ini adalah sebuah laporan kasus berbasis bukti, dengan pencarian literatur yang dilakukan pada database PubMed, Cochrane, dan Ingenta. Kriteria inklusi dalam pencarian ini adalah literatur dengan subyek penelitian awak pesawat dan adanya kejadian NPB. Penilaian kritis dilakukan sesuai dengan metode pada literatur yang diperoleh. Seleksi literatur mendapatkan tiga literatur. Ketiganya adalah studi prevalensi dengan metode potong lintang. Berdasarkan penilaian kritis, hanya ada satu studi yang memiliki kualitas yang paling baik, dimana hasil studi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan jumlah penderita NPB pada periode lama bekerja 10-24 tahun (Rasio Odds: 0,93 dan Interval Kepercayaan 95%: 0,78-1,03). Bukti-bukti yang kami dapatkan masih belum cukup untuk membuktikan bahwa semakin tinggi lama bekerja seorang awak pesawat berpengaruh terhadap kejadian NPB, karena level of evidence dari semua studi yang kami dapatkan adalah rendah.

Flight crew has a work environment that can increase the risk of low back pain (LBP). The aim of this study is to find out whether the length of work resulted in commercial flight crews suffering from LBP. This study is an evidence-based case report, with literature searches conducted in the PubMed, Cochrane, and Ingenta databases. The inclusion criteria in this search were literature with research subjects as crew members and the presence of LBP. Critical appraisal was carried out in accordance with the methods in the articles. We found three literatures after selecting literatures based on inclusion and exclusion criteria. The selected articles applied cross-sectional method. Only one study has the best quality, where the results of the study showed that there was no increase in the number of LBP sufferers within the 10-24 years working period (Odds Ratio: 0.93 and 95% Confidence Interval: 0.78-1.03). These evidences are still insufficient to prove that the longer length of work increases the risk of LBP in commercial flight crews, because the articles were low level of evidence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>