Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Helio Sarmento Freitas Guterres
"Latar belakang : Peresepan antibiotik (AB) yang tidak tepat umum terjadi di seluruh dunia dan berkontribusi pada meningkatnya organisme yang resisten. Diperlukan sistem surveilans untuk memantau penggunaan AB dan resistensi untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Indonesia belum pernah menerapkan Point prevalence survey (PPS) dalam evaluasi AB dan resistensi. Tujuan: untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik dan resistensi mikroorganisme di rumah sakit menggunakan metode PPS
Metode : penelitian potong lintang. Dilakukan pengumpulan data demografi, penggunaan antibiotik dan kultur resistensi mikroorganisme menggunakan formulir PPS.
Hasil : Pada hari penelitian dilakukan survei terhadap 451 pasien, ditemukan 244 (54,1%) pasien mendapatkan AB dengan diagnosis paling banyak adalah pneumonia (25%). Alasan penggunaan antibiotik adalah untuk tatalaksana infeksi dari komunitas sebanyak 50,8%, infeksi dari fasilitas kesehatan sebanyak 15,5%, penggunaan AB sebagai profilaksis sebanyak 30,7% dan 3% tidak ditemukan alasan indikasi penggunaan AB. Diresepkan 368 AB, di mana
hanya 46 (12,5%) AB yang digunakan sebagai terapi definitif. Tiga AB yang paling sering digunakan adalah ceftriaxone (15,5%), levofloxacin 9,2% and ampicillin sulbactam 7,9%. Tanggal evaluasi penggunaan AB hanya tertulis pada 88 (22,3%) AB. Tidak tersedia pedoman
tatalaksana lokal sebanyak 83 (22,6%) penggunaan AB dan hanya 214 (58,2%) AB yang diresepkan sesuai dengan pedoman tata laksana lokal. Kami melakukan evaluasi terhadap 244 pasien yang menggunakan AB dan hanya 91 (38%) pasien yang dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Didapatkan 222 sampel, dimana 81 (36,5%) adalah steril. Tiga mikroorganisme terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae 47 (20,7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9,9%) dan Escherichia coli 20 (9%). Jumlah
mikroorganisme extended-spectrum β-lactamase (ESBL) didapatkan sebesar 21,4%, resisten terhadap karbapenem 12,5% dan Multiple drug resistance (MDR) sebesar 17,7%.
Kesimpulan : lebih dari setengah pasien yang disurvei menggunakan AB dan angka kepatuhan penggunaan antibiotik masih belum baik, evaluasi resistensi kuman terbatas karena jumlah sampel yang diperiksa kurang. Pelaksanaan PPS terbukti efektif dan efisien.

Background: Inappropriate antibiotic prescribing appears to be common worldwide and is contributing to the selection of resistant organisms. Surveillance systems to monitor antimicrobial use and resistance are needed to improve decision making and assess the effect of interventions. Point prevalence surveys (PPSs) in Indonesian hospitals have not yet been applied. Aim : to evaluate the antibiotic prescribing trends and microorganism resistance using PPS methods Methods: A one day, cross-sectional PPS was performed whereas total of 10 days were taken. Data on demographics, antimicrobial use and culture/resistance test of all adult inpatients were collected using a data collection form. Results: On the day of the study 451 adults patients were surveyed, 244 (54.1%) were received
368 antibiotics and the most common diagnosis was pneumonia (25%). Reasons of using the antibiotics were to treat community acquired infection (CAI) 50.8%, hospital acquired infection (HAI) 15.5%, prophylaxis 30.7% and 3% was unknown. 368 antibiotics prescriptions were issued, of which 46 (12.5%) were used for definitive therapy. The top three antibiotics prescribed were ceftriaxone (15.5%), levofloxacin 9.2% and ampicillin sulbactam 7.9%.
Review date of using antibiotics were performed in 88 (22.3%). Local guidelines was not available for 83 (22.6%) of prescribed antibiotics and among prescribed antibiotics with local guidelines available compliance was 214 (58.2%). We evaluate the culture test among those received antibiotics (244), 91 (38%) patients were
performed culture and resistance test. From these 222 samples of culture, 81 (36.5%) was sterile. The most three growth microorganisms were Klebsiella pneumoniae 47 (20.7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9.9%) and Escherichia coli 20 (9%). The number of extendedspectrum β-lactamase (ESBL) recorded at 21.4%, Carbapenem Resistanculture ce was 12.5% and Multiple drug resistance was 17.7%. Conclusions: more than half-of-patients surveyed by PPS in an hospital in Indonesia were on antibiotics, has a limitation due to availability of result and sample. Conducting PPS in teaching hospital proved to be effective and efficient.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicolas Layanto
"Methisilin Resistant Staphylococcus aureus MRSA adalah bakteri S.aureus yang resisten terhadap penisilin dan antibiotik golongan beta-laktam lainnya. Bakteri ini sering menyebabkan berbagai infeksi termasuk infeksi yang serius dengan mortalitas yang tinggi. Infeksi MRSA tidak hanya terbatas pada lingkungan rumah sakit saja, melainkan sudah menyebar ke komunitas. Metode pemeriksaan yang cepat untuk mendeteksi MRSA pada pasien diperlukan agar klinisi dapat segera menangani dengan baik. Metode biakan membutuhkan waktu hingga lebih dari 1 hari, sedangkan pemeriksaan PCR dapat memberikan hasil yang lebih cepat. Pemeriksaan PCR bertujuan untuk mencari gen mecA yang telah diketahui sebelumnya, berperan dalam mekanisme resistensi MRSA. Namun sekarang telah diketahui adanya MRSA dengan gen mecA negatif karena adanya peran gen lain yang juga dapat berperan yaitu mecC dan blaZ. Sehingga diperlukan pemeriksaan PCR yang dapat mendeteksi ketiga gen tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan uji skrining dan konfirmasi untuk deteksi MRSA. Optimasi multipleks PCR diawali dengan optimasi unipleks masing-masing gen mecA, mecC, dan blaZ. Uji coba telah dilakukan terhadap 30 isolat MRSA dan 30 isolat MSSA. Dari 30 isolat MRSA yang diuji diperoleh hasil hanya didapatkan perbedaan pada 3 isolat MRSA sedangkan pada isolat MSSA, unipleks dan multipleks PCR memperlihatkan hasil yang sama. Perbedaan yang tampak kemungkinan diakibatkan oleh bias PCR. Berdasarkan uji diagnostik diperoleh sensitivitas tertinggi tampak pada unipleks PCR mecA sensitivitas 95,83 sehingga dapat digunakan sebagai skrining, sedangkan spesifisitas tertinggi tampak pada multipleks PCR spesifisitas 100 sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi. Diperlukan uji lanjutan untuk konfirmasi peran blaZ pada MRSA.

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MRSA is S.aureus that resistant to penicillin and other beta lactam antibiotics. This bacteria often cause serious infection with high mortality. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus infection is not only found in hospital, but it also spreads into community. Rapid detection of MRSA is needed to help clinicians in giving accurate treatment. The result obtained by culture method takes more than one day, while PCR result can be read in the same day. The common purpose of PCR assay is to detect mecA gene that known to be responsible for the occurance of resistant in MRSA isolates. Nowadays, there are some MRSA with negative mecA. In that case, mecC and blaZ may play an important role in resistant mechanism in MRSA. Therefore, new PCR method that can detect all of the three genes is needed.
The purpose of this study is to develop method for screening and confirming MRSA. First, we conduct uniplex PCR for each gene mecA, mecC, and blaZ, followed by multiplex PCR. Furthermore, assay was performed to detect those genes from 30 MRSA and 30 MSSA isolates. All MSSA gave the same result of uniplex and multiplex PCR. From 30 MRSA isolates, three isolates showed discrepancies between uniplex and multiplex PCR result. It may be due to PCR bias. Uniplex PCR mecA can be used as a screening test since its high sensititivity sensitivity 95,83 , whereas multiplex PCR mecA, mecC, and blaZ may be used as a confirmation test due to its high specificity 100 . Another test is needed to confirm the detection of blaZ gene in MRSA isolates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Purnamawati
"Latar Belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan di fasilitas terbatas dan tidak memerlukan biaya besar, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis, menggunakan kriteria sepsis-3 yang lebih spesifik.
Tujuan: Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien sepsis yang dirawat di RSCM pada tahun 2017. Data diambil dari rekam medis pada bulan Maret-Mei 2018. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Subjek kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang di bawah dan di atas titik potong. Kedua kelompok kemudian dianalisis menggunakan analisis kesintasan dengan program SPSS.
Hasil: Dari 326 subjek, terdapat 12 subjek loss to follow-up. Rerata usia sampel 56,4 + 14,9 tahun, dengan fokus infeksi terbanyak di saluran napas (59,8%), dan penyakit komorbid terbanyak adalah keganasan padat (29,1%). Nilai titik potong rasio neutrofil-limfosit yang optimal adalah 13,3 (AUC 0,650, p < 0,05, sensitivitas 63%, spesifisitas 63%). Pada analisis bivariat menggunakan cox regression didapatkan kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit> 13,3 memiliki crude HR sebesar 1,84 (IK 95% 1,39-2,43) dibandingkan dengan kelompok yang nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3. Setelah menyingkirkan kemungkinan faktor perancu, didapatkan adjusted HR untuk kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit tinggi adalah 1,60 (IK 95% 1,21-2,12).
Simpulan: Nilai rasio neutrofil-limfosit memiliki akurasi lemah dalam memprediksi mortalitas 28 hari pasien sepsis dengan nilai titik potong optimal 13,33. Kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit > 13,3 memiliki risiko mortalitas 28 hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3.

Background: Sepsis is a global health problem with high morbidity and mortality. Neutrophil to lymphocyte ratio is a simple test which can be done in limited facility, but there is no study conducted to know its potential in predicting 28-day-mortality in septic patients, using the more specific sepsis-3 criteria.
Objectives: To investigate neutrophil to lymphocyte ratio as a predictor of 28-day-mortality in septic patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for septic patients who were admitted in 2017. Neutrophil to lymphocyte ratio cut off was determined using ROC curve, then subjects were divided into two groups according to its neutrophil to lymphocyte ratio value. The groups were analyzed using survival analysis with SPSS.
Result: From 326 subjects, 12 subjects were loss to follow-up. Age mean was 56.4 + 14.9 years. Lung infection (59.8%) was the most frequent source of infections and solid tumor (29.1%) was the most frequent comorbidities. The optimal cut off value for neutrophil to lymphocyte ratio was 13.3 (AUC 0.650, p < 0.05, sensitivity 63%, specificity 63%). Bivariate analysis using cox regression showed that group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater risk for 28-day-mortality than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3 with crude HR 1.84 (95% CI 1.39-2.43). After adjustment for possible confounding, adjusted HR for group with higher neutrophil to lymphocyte ratio was 1.60 (95% CI 1.21-2.12).
Conclusion: Neutrophil to lymphocyte ratio had poor accuracy in predicting 28-day-mortality in septic patients with 13.3 as the optimal cut off value. Group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater significant risk for mortality in 28 days than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakura Muhammad Tola
"ABSTRAK
Latar belakang
Restricted antibiotics adalah golongan antibiotik spektrum luas yang termasuk dalam kategori lini 3 kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik PPRA. Restricted antibiotics digunakan secara global terkait dengan banyaknya kejadian resistensi bakteri. Penggunaan restricted antibiotic yang tidak tepat dapat menimbulkan masalah resistensi hingga superinfeksi yang lebih besar, peningkatan mortalitas dan biaya pengobatan. Restriksi pemberian antibiotik ini didasarkan pada risiko resistensi yang lebih besar yang dapat ditimbulkannya, toksisitas dan pertimbangan farmakoekonomik.
Tujuan
Untuk mengevaluasi penggunaan restricted antibiotic di IGD RSCM.
Metode
Penelitian dilakukan secara kohort prospektif, deskriptif dengan mengambil data pasien usia > 18 tahun yang mendapatkan restricted antibiotic di IGD RSCM selama periode 29 Juli-31 September 2015. Kuantitas penggunaan restricted antibiotic dievaluasi dengan metode ATC/DDD WHO (DDD/100 bed-days) dan kualitas penggunaan restricted antibiotic dievaluasi dengan metode Gyssen. Biaya penggunaan restricted antibiotic dihitung berdasarkan ketetapan biaya oleh RSCM. Penelitian ini juga melihat gambaran dan kesesuaian hasil kultur kuman dengan terapi yang diberikan serta menilai outcome klinik pasien yang mendapatkan restricted antibiotic di IGD RSCM.
Hasil penelitian
Hasil penelitian menunjukkan kuantitas penggunaan restricted antibiotic mencapai 78,3 DDD/100 bed-days dengan penggunaan terbanyak adalah meropenem dan sefepim. Sebanyak 86,7% restricted antibiotic diberikan secara empirik. Hasil pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan kuman menunjukkan Acinetobacter baumannii dan Pseudomonas aeruginosa merupakan isolat kuman yang menunjukkan resistensi terhadap beberapa restricted antibiotic. Berdasarkan kriteria Gyssen, penggunaan restricted antibiotic termasuk kategori tepat sebesar 45,7%. Biaya terbesar penggunaan restricted antibiotic terdapat pada meropenem dan sefepim. Sebanyak 34 pasien meninggal selama perawatan dengan hasil kultur yang tidak sesuai dengan restricted antibiotic yang digunakan.
Kesimpulan
Kuantitas penggunaan dan prevalensi ketidaktepatan penggunaan restricted antibiotic secara umum cukup tinggi di IGD RSCM. Beberapa bakteri menunjukkan resistensi terhadap beberapa restricted antibiotic.

ABSTRACT
Background
Restricted antibiotics have been used globally due to high prevalence of bacterial resistance. The inappropriate use of restricted antibiotic contributes significantly to the increase of antimicrobial resistance with many consequence such as risk of toxicity, increase of mortality and cost of treatment. Restriction of these antibiotics based on risk of resistance, toxicity and pharmacoeconomics considerations.
Objective
To evaluate the use of restricted antibiotic in adult patients in emergency unit of Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods
We performed descriptive, cohort prospective study of adult patients those admitted to the emergency unit of Cipto Mangunkusumo hospital. We reviewed the medical record and electronic health record every day. Subject were patients aged more than 18 years old who received restricted antibiotic from July 29 to September 31, 2015 and all patients were followed up every day until they discharged from hospital. The use of restricted antibiotics were quantitavely evaluated using the ATC/DDD system (DDD/100 bed-days) and qualitatively analyzed using the Gyssen method. All the cost of restricted antibiotic use were calculated using standard price in Cipto Mangunkusumo hospital. This study also assess the clinical outcome and the pattern of sensitivity test of patient those received restricted antibiotic in emergency unit of Cipto Mangunkusumo hospital.
Results
The study results showed that the quantity of restricted antibiotic were 78,3 DDD/100 bed-days during July 29 to September 31, 2015 in the emergency unit of Cipto Mangunkusumo hospital. The most frequently used restricted antibiotic were meropenem dan sefepim. Restricted antibiotic used as empiric therapy was 86.7%. The culture and sensitivity test results showed that Acinetobacter baumannii and Pseudomonas aeruginosa were isolate that have resistance to several restricted antibiotics. Only 45.7% restricted antibiotic use were considered to be definitely appropriate based on Gyssen method. Meropenem and cefepim contribute to the higher cost during hospitalization and 34 patients used restricted antibiotic died during treatment have non concurrent of sensitivity to restricted antibiotic used.
Conclusion
The quantity of restricted antibiotic and prevalence of inappropriate restricted antibiotic use in this emergency department of Cipto Mangunkusumo hospital was generally high. Some bacterias have been resistance to several restricted antibiotic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soroy Lardo
"Pendahuluan: Multi drug resistance (MDR) antibiotik sudah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang berdampak global. Penggunaan antibiotik yang tepat menjadikan upaya preventif dan kuratif sangat penting untuk keberhasilan mengatasi MDR dan intervensi terhadap kompleksitas resistensi, minimal memperlambat laju terjadinya MDR.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas penggunaan antibiotik dan keberhasilan pengobatan pasien sepsis akibat bakteri MDR gram negatif dengan infeksi bakteri non MDR di rumah sakit tersier.
Metode: Jenis penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder pasien berusia lebih atau sama dengan 18 tahun yang mendapatkan perawatan di Unit Rawat Inap dan ICU RSPAD Gatot Soebroto tahun 2017 – 2019.
Hasil: Hubungan kualitas antibiotik pada Bakteri MDR Gram Negatif dan Non MDR Gram Negatif menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna pada kelompok MDR gram negatif sebesar 20,6%, dengan kelompok non MDR gram negatif sebesar 13,6% terhadap kualitas antibiotik yang baik dengan RR 1,517, IK 95% 1,1-2,1 dan nilai p=0,015 (p<0,05. Hubungan keberhasilan terapi pada Bakteri MDR Gram Negatif dan Non MDR Gram negatif menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna pada kelompok MDR gram negatif sebesar 57,4%, dengan kelompok non MDR gram negatif sebesar 39,1% terhadap keberhasilan terapi (berhasil) dengan RR 1,431, IK 95% 1,0-2,1 dan nilai p=0,02 (p<0,05).
Simpulan: (1) Terdapat kualitas yang lebih baik penggunaan antibiotik dengan Index Gyssens pasien akibat infeksi bakteri MDR gram negatif dibandingkan Non MDR di rumah sakit tersier, (2) Terdapat keberhasilan yang lebih baik pengobatan pasien sepsis dengan infeksi bakteri MDR gram negatif dibandingkan dengan Non MDR di rumah sakit tersier

Introduction: Multi Drug Resistance (MDR) antibiotics have become a global health threat to the community. The use of appropriate antibiotics makes preventive and curative measures very important for the success of overcoming MDR and intervening the complexity of resistance, at least slowing the rate of occurrence of MDR
Objective: To know the difference in the quality of antibiotic use and the success in sepsis patients’ treatment due to gram-negative MDR bacteria with non-MDR bacterial infections in tertiary hospitals.
Methods: This research design is retrospective cohort. This research was conducted using secondary data from patient with age more or equal than 18 years.The patients was cared in Inpatient Unit and ICU Indonesia Army Central Hospital Gatot Soebroto from 2017-2019
Results: The relationship of antibiotic quality on Gram Negative MDR Bacteria and Non-Gram Negative MDR showed a significant difference in proportion in the gram negative MDR group by 20.6%, with the gram negative non MDR group by 13.6% against good antibiotic quality with RR 1.517, IK 95% from 1.1 to 2.1 and the value of p = 0.015 (p <0.05. The relationship of therapeutic success in Gram Negative MDR Bacteria and Non-Gram negative MDR showed a significant difference in proportion in the gram negative MDR group by 57.4%, with the non-gram negative MDR group by 39.1% for successful therapy (success) with RR 1,431, 95% CI 1.0-2.1 and p = 0.02 (p <0.05).
Conclusions: (1) There is a better quality on the utilization of antibiotics with Gyssens Index patients resulted from MDR negative gram bacterial infection in comparison to Non MDR in tertiary hospital, (2) There is a better success in treating the sepsis patient with MDR negative gram bacterial infection in comparison with Non MDR in a tertiary hospital
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artati Murwaningrum
"Latar Belakang: Infeksi HAP oleh bakteri multidrug-resistant (MDR) menyebabkan mortalitas yang tinggi, lama rawat yang memanjang dan biaya perawatan yang tinggi. Karena itu perlu diketahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP.
Tujuan: Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dengan desain Kohort retrospektif menggunakan rekam medik pasien HAP yang memiliki hasil kultur sputum di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 dengan metode total sampling. Pasien HAP diklasifikasikan menjadi terinfeksi bakteri MDR dan terinfeksi bakteri bukan MDR berdasarkan kategori resistensi isolat yang paling resisten pada sputum yang pertama kali didiagnosis MDR. Evaluasi gambaran faktor risiko dilakukan kepada semua subjek. Seluruh analisis dilakukan menggunakan program Microsoft Excel.
Hasil: Proporsi HAP selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 6,12 dan 6,15/1000 admisi. Proporsi pasien HAP yang terinfeksi bakteri MDR selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1%. Gambaran proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 mulai dari yang paling tinggi ke yang paling rendah berturut-turut adalah riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis (100%), albumin <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), usia> 60 (95,2%), lama rawat> 5 hari (92,5%), riwayat pemasangan NGT (92,1%), riwayat perawatan ICU/HCU sebelumnya (81,8%) dan penggunaan steroid setara prednison>10 mg/hari atau ekivalen selama>14 hari (28,6%).
Simpulan: Proporsi infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1% dengan proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR yang paling tinggi adalah pada pasien dengan riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis dan albumin <2.5 g/dL.
>
Background: Multi-drug Resistant (MDR) Hospital-acquired Pneumonia (HAP) is associated with high mortality, prolonged hospital stay and high cost. Therefore, it is important to have description risk factors distribution for MDR HAP.
Aim: To have description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria in HAP patients hospitalized in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: A Cohort retrospective study with total sampling methode was conducted to collect medical records of HAP patients hospitalized in 2015-2016. Patients were classified as infected with MDR bacteria and infected with non-MDR bacteria based on the most resistant category of the sputum firstly diagnosed infected with multidrug-resistant bacteria. Risk factors evaluation were conducted to all subjects. All analysis was done using Microsoft Excel.
Results: Proportion of HAP during 2015 and 2016 respectively were 6.12 per 1000 admission and 6.15 per 1000 admission. Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. Description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria from the highest to lowest respectively were prior antibiotic use 90 days before diagnosis (100%), albumin level <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), age >60 years (95,2%), hospitalization>5 days (92,5%), NGT insertion (92,1%), prior ICU/HCU hospitalization in the last 90 days (81,8%) and prior steroid use equivalent to prednisone >10 mg/day for >14 days (28,6%).
Conclusion: Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively with the highest risk factors proportion for infection with multidrug-resistant bacteria were prior antibiotic use in 90 days before diagnosis and albumin <2,5 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Sinto
"Latar Belakang: Hingga saat ini masih terjadi kerancuan penegakkan diagnosis sepsis pada praktik klinik sehari-hari. Belum diketahui performa seluruh kriteria diagnosis sepsis yang telah ada dan performa modifikasi kriteria diagnosis sepsis berdasarkan kenaikan sistem skor modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) sebagai pengganti sistem skor SOFA yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium lengkap dalam memprediksi luaran pasien infeksi khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Belum diketahui pula peran penambahan laktat vena pada performa kriteria diagnosis sepsis. Penelitian ini bertujuan menilai performa dan mengembangkan kriteria diagnosis sepsis dalam memprediksi luaran pasien infeksi dewasa di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan menggunakan data rekam medik dan registri pasien infeksi Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pasien berusia lebih dari atau sama dengan 18 tahun yang mendapat perawatan di Unit Gawat Darurat (UGD) RSCM selama tahun 2017. Data yang dikumpulkan meliputi catatan karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium variabel bebas, luaran yang terjadi berupa mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pengamatan.
Hasil Subyek penelitian terdiri atas 1213 pasien. Sebagian besar (52,5%) merupakan pasien laki-laki, dengan median (rentang interkuartil) usia 51 tahun (38;60). Mortalitas terjadi pada 421 (34,7%) pasien. Performa kriteria diagnosis sepsis terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam perawatan ditunjukkan oleh sepsis-3 (area under receiver operating characteristic curve [AUROC] 0,75; interval kepercayaan [IK]95% 0,72-0,78), sementara performa terburuk ditunjukkan oleh kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) (AUROC 0,56; IK95% 0,52-0,60). Performa kriteria kadar laktat vena baik (AUROC 0,76; IK95% 0,73-0,79) dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM. Penambahan kriteria kadar laktat vena dapat meningkatkan performa kriteria diagnosis sepsis-3 (AUROC 0,80; IK95% 0,77-0,82) secara bermakna dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM (p <0,0001).
Simpulan: Performa kriteria diagnosis sepsis terbaik dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM ditunjukkan oleh kriteria sepsis-3. Performa kriteria kadar laktat vena baik dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM. Penambahan kriteria kadar laktat vena dapat meningkatkan performa kriteria diagnosis sepsis-3 dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM.

Introduction: There is uncertainty on the use of sepsis diagnostic criteria in daily clinical practice. The performance of all established sepsis diagnosis criteria and modified criteria using increase modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) score as a substitute for SOFA score system which need a complete laboratory test in prediciting in-hospital mortality in developing country, including Indonesia, is unknown. The added value of venous lactate concentration on sepsis diagnostic criteria is unknown as well. This study aim to assess the performance and improve sepsis diagnostic criteria in predicting infected adult patients mortality in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: The retrospective cohort using medical record and infected adult patients (aged 18 years and older) registry of Division of Tropical and Infectious Diseases Internal Medicine Departement Cipto Mangunkusumo Hospital who were hospitalized in Emergency Room on 2017 was done. Sample's characteristics, clinical and laboratory data of independent variables, outcome i.e. 28 days in-hospital mortality were collected.
Results: Subjects consist of 1213 patients, predominantly male (52.5%), with median (interquartile range) age of 51 (38;60) years old. Mortality developed in 421 (34.7%) patients. The best performance of sepsis diagnostic criteria in predicting mortality was shown by sepsis-3 criteria (area under receiver operating characteristic curve [AUROC] 0.75; 95% confidence interval [CI] 0.72-0.78). The worst performance of sepsis diagnostic criteria in predicting mortality was shown by systemic inflammatory response syndrome (SIRS) criteria (AUROC 0.56; 95CI% 0.52-0.60). Performance of lactate in predicting mortality was good (AUROC 0.76; 95CI% 0,73-0,79). The addition of lactate criteria significantly improved sepsis-3 criteria performance (AUROC 0.80; 95CI% 0.77-0.82, p <0,0001).
Conclusions: The best performance of sepsis diagnostic criteria in predicting infected adult patients mortality in Cipto Mangunkusumo Hospital is shown by sepsis-3 criteria. Performance of lactate in predicting mortality is good. The addition of lactate criteria significantly improved sepsis-3 criteria performance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Chandra
"Latar Belakang: Keberhasilan terapi demam neutropenia berkaitan erat dengan pemberian antibiotik empiris awal. Pola kuman patogen berbeda-beda pada tempat satu dan yang lain. Penelitian mengenai kesesuaian antibiotik dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi penting diteliti untuk mendapat gambaran mengenai pilihan antibiotik empiris di RSCM.
Tujuan: Mengetahui kesesuaian antibiotik empiris dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi.Metode. Desain kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis RSCM periode Januari 2015-Maret 2018. Analisis kesesuaian menggunakan Uji Mc Nemar dan analisis kesesuaian terhadap keberhasilan terapi menggunakan Uji Chi Square dan menghitung nilai relative risk (RR).
Hasil: Didapatkan 114 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Kejadian demam neutropenia lebih banyak dijumpai pada perempuan (52,6%), usia <60 tahun (80,7%), tumor hematologi (57%), tidak ada komorbid (54,4%), pasca kemoterapi siklus pertama (43,9%), regimen intensitas tinggi (57,9%), dan skor Multinational Association of Supportive Care in Cancer < 21 (72,8%); dengan nilai Absolute Neutrophil Count awal ≥100/uL (75,4%) dan durasi ≤ 7 hari (78,1%). Pada 38,6% kasus tidak ditemukan fokus infeksi. Penggunaan antibiotik anti-pseudomonas 86,8% dengan jenis tersering meropenem (20,3%). Patogen non-pseudomonas mendominasi (83,3%) dengan kuman terbanyak Klebsiella pneumoniae (22,7%). Angka keberhasilan terapi cukup tinggi (63,2%) dengan mortalitas 21,1%. Tidak terdapat kesesuaian antibiotik dengan patogen (nilai Kappa 0,012). Analisis bivariat menunjukkan tidak ada faktor perancu pada penelitian ini. Kesesuaian antibiotik tidak mempengaruhi keberhasilan terapi, dengan nilai RR 1,07 (IK 95% 0,79-1,45).
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian antara antibiotik empiris dengan kuman patogen namun hal ini tidak mempengaruhi keberhasilan terapi pada pasien demam neutropenia pasca kemoterapi di RSCM.

Background: Success rate of febrile neutropenia therapy closely related with initial empirical antibiotic. Spectrum of pathogen may differ from place to place. The appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward successful therapy were vital in choosing the appropriate empirical antibiotic in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objectives: To identify appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward success of therapy.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2015-March 2018. Mc Nemar test was used to analyze the appropriateness and Chi Square analysis was used to obtain relataive risk of success rate related with appropriateness.
Results: One hundred and fourteen subjects were included in this study. Febrile neutropenia more common in female (52,6%), <60 years of age (80,7%), hematological malignancies (57%), no comorbid (54,4%), after the first cycle of chemotherapy (43,9%), high intensity regimen (57,9%), and Multinational Association of Supportive Care in Cancer score < 21 (72,8%); with baseline Absolute Neutrophil Count ≥100/uL (75,4%) and ≤ 7 days of duration (78,1%). No documented infection in 38,6% cases. The use of anti-pseudomonas antibiotic were 86,8% with meropenem as the mostly used (20,3%). Non-pseudomonas pathogen were found in 83,3% cases with Klebsiella pneumoniae as the most common pathogen (22,7%). Success rate was good (63,2%) with 21,1% mortality. There were no appropriateness between antibiotics and pathogen (Kappa value 0,012). There were no confounding factors in this study. The relation between appropriateness and success rate were not statistically significant (RR 1,07; 95%CI 0,79-1,45).
Conclusion: There were no appropriateness between antibiotics and pathogen and there were no relation between appropriateness and success rate in chemo-related febrile neutropenic patients at Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rido Prama Eled
"Latar Belakang. Sepsis merupakan masalah besar yang menyumbang tingkat mortalitas tinggi. Hal ini diperparah dengan adanya komorbid keganasan. Dalam salah satu penelitian menyebutkan pasien sepsis dengan komorbid keganasan mempunyai resiko 2,32 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa komorbid keganasan. Untuk itu diperlukan data faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan agar dapat memberikan terapi yang efektif dan efisien dan menurunkan angka mortalitas.
Tujuan Penelitian. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pada pasien sepsis dengan komorbid keganasan.
Metode. Penelitian dilaksanakan dengan desain kohort retrospektif . Data diambil dari rekam medis pasien sepsis dengan komorbid keganasan yang dirawat di RS Ciptomangunkusumo dan memenuhi kriteria inklusi dari tahun 2020 sampai 2022. Dilakukan uji kategorik dan dilanjutkan dengan Uji regresi log pada variabel-variabel yang memenuhi syarat.
Hasil. Dari 350 subjek sepsis dengan komorbid keganasan yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan mortalitas sebanyak 287 (82%) subjek. Pada ujia kategorik bivariat didapatkan 2 variabel yang mempunyai kemaknaan secara statistik yaitu skor SOFA dan performa status dengan nilai P masing-masing <0,001 dan <0,001. Setelah dilakukan uji log regresi didapatkan Odds Ratio 5.833 IK (3,214-10,587) untuk variabel skor SOFA dan Odds Ratio3,490 IK (1,690-7,208) untuk variabel performa status.
Kesimpulan. Variabel skor SOFA dan performa status mempunyai hubungan yang bermakna terhadap mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan

Background. Sepsis is a major problem that contributes to a high mortality rate. This is exacerbated by the presence of malignancy. In one study, sepsis patients with malignancy had a 2.32 times higher risk compared to patients without malignancy. For this reason, factors that influence mortality in sepsis patients with malignancy are needed in order to provide effective and efficient therapy and reduce mortality.
Research purposes. Knowing the factors that influence mortality in sepsis patients with  malignancy.
Method. The study was conducted with a retrospective cohort design. Data were taken from the medical records of sepsis patients with comorbid malignancy who were treated at Ciptomangunkusumo Hospital and met the inclusion criteria from year 2020 to 2022. A categorical test was carried out and followed by a log regression test on eligible variables.
Results.  Of the 350 sepsis subjects with comorbid malignancy who met the inclusion criteria, 287 (82%) subjects had a mortality. In the bivariate categorical test, there were 2 variables that had statistical significance, namely the SOFA score and status performance with P values ​​of <0.001 and <0.001respectively. After doing the log regression test is obtained Odds Ratio 5.833 CI (3.214-1.587) for SOFA score variables and Odds Ratio 3.490 CI (1.690-7.208) for status performance variables.
Conclusion. SOFA score and performance status variables have a significant relationship to the mortality of sepsis patients with comorbid malignancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Dharaniyadewi
"Pendahuluan. Sepsis merupakan suatu kondisi klinis yang serius dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Procalcitonin (PCT) merupakan suatu penanda yang baik untuk diagnosis dini dan pengawasan infeksi. Studi ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemeriksaan PCT semikuantitatif terhadap kecepatan dan ketepatan pemberian antibiotik empirik awal serta mortalitas pada pasien sepsis.
Metode. Desain studi ini adalah uji klinis diagnostik acak yang merupakan suatu pragmatic trial. Subjek pada penelitian ini adalah semua pasien sepsis berusia 18 tahun atau lebih dengan atau tanpa tanda hipoperfusi atau disfungsi organ yang berobat ke Instalasi Gawat Darurat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang diperiksa PCT semikuantitatif dan tidak diperiksa PCT semikuantitatif. Hasil pemeriksaan PCT semikuantitatif akan diberitahukan kepada dokter yang merawat pasien. Luaran primer yang dinilai pada studi ini adalah mortalitas 14 hari dan Luaran sekunder adalah kecepatan dan ketepatan antibiotik empirik awal. Penilaian ketepatan antibiotik empirik dilakukan oleh sorang Konsultan Penyakit Tropik Infeksi berdasarkan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hasil. Dua ratus lima subjek memenuhi kriteria inklusi. Sembilan puluh lima dari 100 subjek pada kelompok yang diperiksa PCT dan 102 dari 105 subjek pada kelompok yang tidak diperiksa PCT dimasukkan ke dalam analisis. Mortalitas ditemukan lebih rendah pada kelompok yang diperiksa PCT (RR 0,53; IK 95% 0,36–0,77). Kelompok yang diperiksa PCT memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan antibiotik empirik < 6 jam dibandingkan kelompok yang tidak diperiksa PCT (RR 2,48; IK 95% 1,88–3,26). Ketepatan jenis antibiotik empirik hampir sama pada kedua kelompok (RR 0,99; IK 95% 0,92–1,08).
Simpulan. Pemeriksaan PCT semikuantitatif mempengaruhi mortalitas dan kecepatan pemberian terapi antibiotik empirik awal pada pasien sepsis, namun tidak mempengaruhi ketepatan terapi antibiotik empirik awal yang diberikan.

Introduction. Sepsis is a serious clinical condition with a considerable morbidity and mortality. Procalcitonin (PCT) is a good biomarker for early diagnosis and infection monitoring. The present study aimed to investigate the effect of semi-quantitative PCT test to the empirical antibiotic initiation time, the appropriateness of empirical antibiotics and mortality in septic patients.
Methods. Study design was randomized diagnostic trial which was also a pragmatic trial. Septic patients more than 18 years old with and without signs of organ hypoperfusion or dysfunction who were admitted to Cipto Mangunkusomo hospital emergency department in internal medicine unit were eligible. Subjects were randomly assigned to either a semi-quantitative PCT-examined (study group) or a control group. Semi-quantitative PCT test result will be informed to physician who were taking care of the patients. The primary outcome was 14-day mortality. Secondary outcomes were the time of initiation and appropriateness of empirical antibiotics. A Tropical Infection Consultant will assess the appropriateness of empirical antibiotics based on Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Results. Two hundred five patients met the inclusion criteria. Ninety five of 100 subjects from study group and 102 of 105 subjects from control group were included in analysis. Mortality risk was lower in study group (RR 0.53; 95% CI 0.36–0.77). The study group had a greater probability to have a first dose of empirical antibiotic in less than 6 hours compared to the control group (RR 2.48; 95% CI 1.88–3.26). No effect was seen in appropriateness of empirical antibiotics between groups (RR 0.99; 95% CI 0.92–1.08).
Conclusions. Semi-quantitative PCT examination affect the empirical antibiotic initiation time and mortality in septic patients, but not the appropriateness of empirical antibiotics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>