Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adek
"Latar Belakang : Pasien gagal jantung mengalami penurunan kapasitas fungsional akibat timbulnya sesak dan kelelahan saat aktifitas. Kondisi ini juga memberikan dampak psikologis berupa depresi dan kecemasan. Masalah fisik dan mental tersebut dapat menurunkan kualitas hidup. Short Form-36 merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup dari aspek fisik dan mental dan bersifat generik.
Tujuan: Mengetahui hubungan kapasitas fungsional melalui uji jalan 6 menit dengan kualitas hidup yang dinilai dengan SF-36.
Metode : Responden penelitian adalah pasien gagal jantung kronis stabil klasifikasi NYHA fungsional kelas II dan III. Setiap responden dianamnesis,dan dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian mengisi kuesioner SF-36. Untuk menilai kapasitas fungsional, responden melakukan uji jalan 6 menit pada lintasan sepanjang 30 m.
Hasil : Responden pada penelitian ini berjumlah 36 orang. Nilai tengah jarak tempuh pasien gagal jantung klasifikasi NYHA fungsional kelas II dan III masing-masing 333.65m, dan 123.72 m. Jarak tempuh uji jalan 6 menit memiliki hubungan dengan kualitas hidup yang dinilai dengan SF-36 pada domain Fungsi Fisik (r=0.527), Peran Fisik (r=0.459) dan Peran Emosi (r = 0.35).
Kesimpulan : Terdapat korelasi sedang antara kapasitas fungsional pasien gagal jantung kronis stabil klasifikasi NYHA fungsional kelas II dan III dengan kualitas hidup pada domain Fungsi Fisik, Peran Fisik dan Peran Emosi.

Background : Heart failure patients experience reduced functional capicity due to dyspnea and fatigue during activity. The condition also cause psychological problems such as depression and anxiety. Both the mental and physical ailments results in decreased quality of life. The Short Form-36 (SF-36) is a generic assessment tool that can be utilized to measure quality of life from both the physical and mental aspect.
Objective : To measure the correlation between the functional capacity measured using the 6-minute walk test and the quality of life measured using the SF-36.
Methods : The study subjects are chronic stable heart failure patients with New York Heart Association (NYHA) functional class II and III. Each subjects were interviewed, examined, and asked to fill the SF-36 questionnaire. The 6-minute walk test was performed on a 30m long track to measure the finctional capacity.
Results : A total of 36 subjects were included in the study. The median for the total distance walked of heart failure patient with NYHA functional class II and III are 333.65m and 123.72 m. The total distance walked in 6-minute walk test and the quality of life measured using the SF-36 have correlation in the domain of Physical Function (r = 0.527), Role-Physical (r = 0.459) and Role-Emotional (r = 0.35).
Conclusion : There is a moderate positive correlation between the functional capacity of chronic stable heart failure patient with NYHA functional class II and III with the quality of life in the domain of Physcial Function, Role-Physical and Role-Emotional.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Arie Setiawan
"ABSTRAK
Latar belakang Pada pasien diabetes melitus (DM) dengan penyakit jantung koroner 3 pembuluh darah (PJK 3PD) hasil revaskularisasi akan lebih baik dengan bedah pintas koroner (BPK) dibanding intervensi koroner perkutan (IKP) atau medikamentosa. BPK tidak selalu menjadi prosedur yang dikerjakan meskipun sudah direkomendasikan sesuai Skor Syntax, dan tidak semua pasien bersedia menjalani BPK atau IKP. Perlu diketahui apakah pilihan revaskularisasi tersebut mempengaruhi kesintasan 5 tahun. Tujuan Mengetahui perbedaan kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD DM yang menjalani bedah pintas koroner (BPK), intervensi koroner perkutan (IKP), dan medikamentosa di RSCM. Metode Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan untuk meneliti kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD DM yang menjalani tindakan BPK, IKP, atau medikamentosa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder 126 pasien PJK 3PD DM yang menjalani BPK, IKP, maupun medikamentosa di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2006-2007 dan diikuti sampai dengan tahun 2011-2012 dengan dilihat adakah kejadian meninggal. Hasil Kesintasan terbaik pada kelompok BPK (93.5%). Proporsi kematian terbesar pada kelompok medikamentosa (36.1%). Kesintasan BPK paling baik secara bermakna dibandingkan IKP dan Medikamentosa. Kelompok IKP memiliki kesintasan yang lebih baik dibanding medikamentosa (69.5% vs 63.9%). Meskipun tidak bermakna secara statistik, namun pada kelompok IKP proporsi keluhan yang ditemukan setelah tindakan lebih sedikit dibanding kelompok medikamentosa (52% vs 38%). Skor Syntax yang berperan menilai kompleksitas stenosis ikut menentukan kesintasan (p 0,039). Kesimpulan Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang paling baik didapatkan pada kelompok yang menjalani Bedah Pintas Koroner. Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang menjalani IKP lebih baik dibanding Medikamentosa namun secara statistik tidak bermakna. Faktor yang berpengaruh pada kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD adalah kompleksitas stenosis yang dilihat dengan menggunakan skor Syntax.

ABSTRACT
Background In patients with diabetes mellitus (DM) with coronary artery disease involving 3 vessels (CAD 3VD) revascularization results will be better with coronary artery bypass surgery (CABG) compared with percutaneous coronary intervention (PCI) or medical therapy. CABG is not always done despite being recommended in accordance with Syntax Score, and some patients prefer not to go through CABG or PCI . This trial determined whether the choice of revascularization affect 5-years survival. Objectives Knowing the difference in 5-years survival of CAD 3VD DM patients who underwent coronary artery bypass surgery (CABG), percutaneous coronary intervention (PCI) or medical therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods This study was a retrospective cohort study with survival analysis approach to examine the 5-years survival rate of CAD 3VD DM patients undergoing CABG, PCI, or medical therapy. The study was conducted using secondary data of 126 CAD 3VD DM patients who underwent CABG, PCI, or medical therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2006-2007 and followed up to 2011-2012 if there any incident died. Results Best survival in the CABG group (93.5%). The largest proportion of deaths in the medical therapy group (36.1%). The CABG survival was significantly better than the IKP (p=0.01) and medical therapy (p=0.001). PCI group had better survival than medical therapy (69.5% vs. 63.9%). Although not statistically significant, but the proportion of complaints after revascularization in PCI group were found less than medical therapy group (52% vs. 38%). Syntax score that assesses the complexity of stenosis had a significant association with survival (p 0.039). Conclusion 5-years survival of CAD 3VD DM patients is best obtained in the group that underwent CABG. 5-year survival of CAD 3VD DM patients who underwent PCI better than medical therapy but was not statistically significant. Factor that affect the 5-years survival is the complexity stenosis viewed by the Syntax score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simon Salim
"Latar Belakang : Implantasi pacu jantung permanen telah menjadi prosedur umum saat ini. Tujuan tindakan pemasangan pacu jantung permanen tidak lagi hanya sebatas morbiditas dan mortalitas, tetapi juga kualitas hidup. Dalam menilai kualitas hidup dibutuhkan kuesioner yang dapat merubah sesuatu yang kualitatif menjadi data kuantitatif. Kuesioner kualitas hidup yang ada saat ini belum ada yang berbahasa Indonesia. Untuk dapat digunakan dalam menilai kualitas hidup di Indonesia perlu adaptasi bahasa dan budaya. Selain itu, kuesioner terjemahan tersebut harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Metode : Studi ini adalah studi cross sectional yang terbagi dalam 2 tahap. Tahap awal berupa adaptasi bahasa dan budaya untuk dapat menghasilkan kuesioner SF-36 dan Aquarel berbahasa Indonesia. Tahap akhir berupa uji validitas dan reliabilitas kuesioner SF-36 dan Kuesioner Aquarel. Subjek berjumlah 30 orang pada tahap awal, dan 20 orang pada tahap akhir. Subjek merupakan pasien dengan pacu jantung permanen, yang kemudian akan dilakukan Tes Jalan 6 Menit (6MWT) dan pemeriksaan NT pro-BNP. Validitas SF-36 dinilai berdasarkan nilai korelasi Kuesioner dengan pemeriksaan penunjang, dan validitas Aquarel dinilai berdasarkan nilai korelasi kuesioner Aquarel dengan Kuesioner SF-36, dan korelasi kuesioner dengan pemeriksaan penunjang. Reliabilitas kuesioner dinilai berdasarkan konsistensi internal dan repeatabilitas. Hasil : Kuesioner SF-36 berbahasa Indonesia memiliki korelasi positif antara 6MWT dengan domain PF (Physical Functioning) (r= 0,363; p=0,001), dan memiliki korelasi negatif antara NT Pro-BNP dengan domain GH (General Health) (r= 0,269; p = 0,020) dan MH (Mental Health) (r= -0,271; p = 0,019). Kuesioner Aquarel berbahasa Indonesia memiliki korelasi positif antara 6MWT dengan domain dyspneu (r=0,228; p=0,048), dan memiliki korelasi negatif antara NT proBNP dengan Domain Chest Discomfort (r = -0.231; p = 0.043) dan Dyspneu (r = 0.268; p = 0.020). Kedua kuesioner SF-36 berbahasa Indonesia (Cronbach α = 0.789) dan Aquarel berbahasa Indonesia (Cronbach α = 0.728) memiliki reliabilitas dan repeatabilitas yang baik. Kesimpulan : Pada proses adaptasi bahasa dan budaya tidak terdapat modifikasi yang berarti pada kedua kuesioner dan dapat diterima baik oleh pasien. Kuesioner SF-36 berbahasa Indonesia dan Kuesioner Aquarel berbahasa Indonesia bersifat valid dan reliable.

acemaker implantation has became common procedure in the last decades. The goal of our therapy was no longer about morbidity and mortality, but quality of life. In assessing the quality of life, we need a questionnaire that can change qualitative value to quantitative value. There is no quality of life questionnaires in Bahasa Indonesia, therefore we need language and cultural adaptation before we can use it in Indonesia. Moreover the translation questionnaire must has good validity and good reliability. We choose SF-36 as generic health related quality of life (HRQoL), as it is the most popular HRQoL questionnaire. Specifically for pacemaker patients, we choose Aquarel Questionnaire. Methods : This cross sectional study was divided into 2 steps. The first step was language and cultural adaptation to create SF-36 and Aquarel questionnaire in Bahasa Indonesia. The final step was validation and reliability test of the translated questionnaire. The subjects were 30 people for the first step , and 20 people for the final step. All the subject were patient with permanent pacemaker. We also conduct two diagnostic tests (6 Minutes Walk Test (6MWT) and NT pro-BNP). SF-36 validity was assessed by its correlation with diagnostic tests, and Aquarel validity was assessed by its correlation with SF-36 and with The diagnostic tests. Both questionnaire reliability assessed by its Internal consistency and repeatability. Results : Our indonesian version of SF-36 shows positive correlation between 6MWT and PF (Physical Functioning) ( r = 0.363 ; p = 0.001) and negative correlation between NT Pro-BNP value with GH (General Health) (r = -0.269; p = 0.020) and MH (Mental Health) (r = -0.271; p = 0.019). Our Indonesian version of Aquarel shows positive correlation between 6MWT with Dyspneu domain ( r = 0.228 ; p = 0.048 ) and shows negative correlation between NT Pro-BNP with Chest Discomfort (r = -0.231; p = 0.043) and Dyspneu (r = -0.268; p = 0.020). Both the Indonesian SF-36 (Cronbach ? = 0.789) and the Indonesian Aquarel (Cronbach ? = 0.728) shows good reliability and repeatability. Conclusions : We succed doing language and cultural adaptation of SF-36 and Aquarel questionnaire. Both Indonesian version questionnaire are valid and reliable .
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55664
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agoes Kooshartoro
"Latar Belakang : Indonesia memiliki angka kematian karena penyakit kardiovaskular yang semakin meningkat, dengan angka kematian diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian. Mengingat tingkat mortalitas yang sangat tinggi pada pasien dengan sindrom koroner akut SKA, maka diperlukan sebuah prediktor Major Adverse Cardiac Event MACE yang objektif dan terukur untuk manajemen pasien SKA dalam jangka panjang. Pada SKA dapat ditemukan heterogenitas repolarisasi ventrikel yang dapat dilihat pada elektrokardiografi EKG sebagai QTmax-QTmin, atau dapat disebut sebagai QTD.QTD disinyalir dapat dijadikan penanda untuk risiko MACE pada pasien SKA.
Tujuan : Mengetahui peran dispersi QT dan QTcD sebagai prediktor MACE pada pasien sindrom koroner akut SKA.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 230 rekam medis pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM dalam rentang waktu Januari 2016 hingga November 2017. EKG standar 12 sadapan saat serangan dianalisis dan dilakukan pengukuran interval QTmax dan QTmin yang kemudian dihitung QTd. Selanjutnya dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett QTcD.
Hasil : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet dapat menjadi prediktor MACE pada pasien dengan SKA OR 1,25 IK95 0,17 ndash; 2,71 . Setelah dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett, pemanjangan QTcD juga dapat menjadi prediktor MACE pada pasien SKA 1,89 IK95 0,05 ndash; 67,37.
Kesimpulan : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet atau QTcD lebih dari 12,72mdet dapat menjadi prediktor MACE.

Background: In Indonesia, the number of death due to cardiovascular disease is rapidly rising and it was approximated to have resulted in 17,3 million deaths. Due to this steadily increasing cases, it is necessary to find a predictor for Major Adverse Cardiac Event MACE that is objective and standardized for long term care of patients with acute coronary syndrome ACS. In ACS, one of the underlying mechanisms is the presence of heterogeneity in ventricle repolarization that is seen on ECG machine as QTmax ndash QTmin, or what is identified as QTD. QTD is hypothesized to have role as marker in patients with MACE in ACS.
Aim: Identify the role of QTD and QTcD as MACE predictor in patients with acute coronary syndrome.
Methods: This study is a retrospective cohort with the subject of 230 ACS patients that was hospitalised on RSCM ICCU among January 2016 to November 2017. Data was taken from medical record and 12 lead ECG during attack were taken and analysed manually to calculate QTmax and QTmin and substraction of both into QTD. Followed by correction using the heart rate with Bazett formula QTcD.
Result: QTD prolongation of more than 100ms in patients with ACS may lead to MACE OR 1,25 IK95 0,17 ndash 2,71 . Following correction with Bazett formula, QTcD prolongation is also predictor 1,89 IK95 0,05 ndash 67,37.
Conclusion: QTD prolongation of more than 100ms or QTcD of more than 12.72ms might lead to MACE
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T59198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Salwani
"Latar Belakang: Pasien hemodialisis (HD) kronik memiliki peningkatan risiko kematian. Penyakit kardiovaskular seperti aritmia merupakan penyebab kematian utama pasien HD kronik. Kidney Disease Outcome Quality Initiative merekomendasikan HD 3 kali per minggu, tetapi sebagian besar pasien di Indonesia menjalani HD dengan frekuensi 2 kali per minggu. Hal ini menyebabkan interdialytic weight gain, volume ultrafiltrasi, dan laju ultrafiltrasi menjadi lebih besar dan perubahan kadar elektrolit yang mendadak dapat mencetuskan arritmia.
Tujuan: Mengetahui pengaruh volume ultrafiltrasi, kadar kalsium ion pre HD, penurunan kadar kalium dan magnesium serum terhadap pemanjangan dispersi QTc pasien yang menjalani HD 2 kali seminggu.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif di lakukan di ruang Hemodialisis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 128 pasien memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kalium, magnesium dan elektrokardiogram untuk menilai dispersi QTc dilakukan sebelum dan sesudah HD serta kalsium ion sebelum HD. Analisis data dihitung menggunakan perangkat SPSS. Perbandingan antara pasien dengan atau tanpa pemanjangan dispersi QTc dilakukan dengan uji Chi-square dan uji Fisher exact untuk data kategorik dan uji T tidak berpasangan untuk data kontinu distribusi normal atau uji Mann whitney bila distribusi tidak normal. Analisis multivariat regresi logistik multivariabel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanjangan dispersi QTc.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 112 pasien. Terdapat pemanjangan dispersi QTc sebanyak 51 %. Pengaruh volume ultrafiltrasitehadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (risiko relatif 1,069 dan IK (95%) 0,742-1,530 serta p=0,715). Pengaruh perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (p=0,943 dan p=0,842). Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc didapatkan berbeda bermakna secara statistik (p=0,023). Tidak dilakukan analisis multivariat karena hanya terdapat satu variabel dengan p < 0,02.
Simpulan: Pengaruh volume ultrafiltrasi, perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc  tidak bermakna secara statistik. Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc berbeda bermakna secara statistik.

Introduction: Patients with end-stage renal disease (ESRD) requiring hemodialysis have a high mortality rate. Cardiovascular mortality is usually occurs suddenly. Kidney Disease Outcome Quality Initiative recommended three time a week HD but in Indonesia only two time a week HD. Two time a week HD increase the risk of higher interdialytic weight gain and  ultrafiltration volume (UFV) contributing to high serum electrolyte changes that cause arrhytmia. 
Objective: The aim of this study is to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre hemodialysis serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week.
Methode: This study is a prospective cohort study. A total 112 patient underwent twice-weekly regimens of HD in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Blood samples were Drawn for measurement of serum electrolytes, and a 12-lead ECG were performed to measure the QTc interval and QTc dispersion, immediately before and just after dialysis sessions. Analyzes were performed with SPSS. Chi-square or Fisher exact was used to compare QTc dispersion changes before and after dialysis and ultrafiltration volume. Paired t test was used to compare QTc dispersion changes and serum electrolytes before and after dialysis within the study group. Mann Whitney test was used for abnormal distribution. Multivariate analysis was used to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre HD serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week. 
Result: One hunDred twelve patients underwent twice weekly HD  were analyzed. Proportion of patients with prolong of QTc dispersion was 51 %.  The effect of ultrafiltration volume with the prolong of QTc dispersion was not statistically significant (relative risk 1,069, CI (95%) 0,742-1,530, p=0,715). The effect of serum potassium changes and pre HD serum ionic calsiumon increased QTc dispersion were not statistically significant (p=0,943 and p=0,842). The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant (p=0,023). Multivariate analysis was not done.
Conclusion: The effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes and Pre HD serum ionic calsium on increased QTc dispersion was not statistically significant. The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library