Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasywa Ayasha Faydra
"Dalam beberapa dekade terakhir, fokus global semakin bergeser ke arah penanganan perubahan iklim dan promosi pembangunan berkelanjutan, dengan demikian memperkuat diskusi tentang energi terbarukan. Energi terbarukan, yang berasal dari sumber daya yang terus-menerus terisi secara alami, menawarkan solusi penting. Namun, transisi ke energi terbarukan melibatkan dimensi ekonomi, politik, dan lingkungan yang kompleks. Sebagai upaya untuk memahaminya, penulis melakukan tinjauan pustaka sistematis untuk memetakan 28 literatur energi terbarukan dalam ekonomi politik internasional. Penulis melakukan pemetaan dengan metode taksonomi, mengeksplorasi tema dinamika global energi terbarukan, komponen utama transisi energi global, implikasi energi terbarukan bagi IPE, serta peluang dan tantangan yang dihadapinya. Berdasarkan tinjauan literatur, penulis menemukan bahwa bahasan energi terbarukan didominasi oleh pakar Barat dan perspektif liberalisme. Tulisan ini juga menunjukan bahwa transisi energi terbarukan bukan hanya sebuah perubahan teknis, tetapi juga transformasi ekonomi dan politik yang mendalam. Adapun tinjauan literatur ini menemukan celah penelitian dan rekomendasikan sejumlah agenda untuk penulisan lanjutan.

In recent decades, the global focus has increasingly shifted towards addressing climate change and promoting sustainable development, thereby intensifying the discussion on renewable energy. Renewable energy, sourced from naturally replenished resources, offers a crucial solution. However, the transition to renewable energy involves complex economic, political, and environmental dimensions. In an effort to understand these complexities, I conducted a systematic literature review to map the renewable energy literature within the field of international political economy. I conducted a mapping using taxonomy method, exploring themes of global dynamics of renewable energy, key components of global energy transition, implications of renewable energy for International Political Economy (IPE), as well as opportunities and challenges it faces. Based on the literature review, I found that discussions on renewable energy are dominated by Western experts and liberal perspectives. This study also shows that the transition to renewable energy is not just a technical change but a profound economic and political transformation. The literature review identified research gaps and recommended several agendas for further researches.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toelle, Samantha Antoinette Fedora
"Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Tiongkok yang menandakan peresmian kerja sama Indonesia-Tiongkok dalam kerangka kerja Belt and Road Initiative (BRI). Inisiatif ini digagas oleh pemerintah Tiongkok untuk memberi insentif ekonomi (pendanaan, faktor produksi, tenaga kerja dan ahli, asistensi) guna mendukung pembangunan infrastruktur negara mitra dan memperkuat konektivitas di sepanjang jalur BRI (Silk Road Economic Belt dan 21st Century Maritime Silk Road). Kendati sokongan yang disediakan untuk merealisasikan agenda Global Maritim Fulcrum (GMF) Indonesia, terdapat berbagai risiko multisektoral yang mengikuti penerimaan BRI. Terlebih lagi, latar belakang persaingan geopolitis yang menjadi preseden kemunculan BRI semakin menambah daftar ancaman pada tingkat nasional, regional dan internasional. Keresahan tersebut menghadirkan pertanyaan yang diangkat dalam skripsi ini; mengapa Indonesia tetap melakukan penerimaan Belt and Road Initiative Tiongkok? Dengan menggunakan kerangka analisis economic statecraft, penulis menemukan terdapat beberapa faktor yang mendorong sebuah negara untuk menerima economic statecraft, yakni; tingkat stateness Indonesia yang tinggi sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sesuai kepentingan eksekutif dan mengabaikan risiko dan/atau penolakan pada tingkat domestik; keterbatasan fiskal Indonesia dalam memenuhi ekspektasi pembangunan dalam negeri; keselarasan antara kepentingan pembangunan Indonesia dengan benefit yang dapat BRI sediakan; kekuatan Tiongkok sebagai emerging major power yang meningkatkan kredibilitas BRI; dan adanya ancaman geopolitis yang lebih besar apabila Indonesia menolak sebagai konsekuensi dari relasi asimetris antara Tiongkok-Indonesia.

In 2018, the Indonesian government signed a Memorandum of Understanding (MoU) with the Chinese government which marked the inauguration of Indonesia-China cooperation within the framework of the Belt and Road Initiative (BRI). This initiative was initiated by the Chinese government to provide economic incentives (funding, production factors, labor and experts, assistance) to support partner countries' infrastructure development and strengthen connectivity along the BRI route (Silk Road Economic Belt and 21st Century Maritime Silk Road). Despite the support provided to realize Indonesia's Global Maritime Fulcrum (GMF) agenda, there are multisectoral risks that follow BRI's acceptance. Moreover, the background of geopolitical rivalry that precedes the emergence of the BRI further adds to the list of threats at the national, regional and international levels. This unrest presents the question raised in this thesis; why does Indonesia continue to accept China's Belt and Road Initiative? By using the economic statecraft analysis framework, the author finds that there are several factors that encourage a country to accept economic statecraft, namely; Indonesia's high level of stateness so that it is able to formulate policies that suit executive interests and ignore risks and/or rejection at the domestic level; Indonesia's fiscal limitations in meeting domestic development expectations; alignment between Indonesia's development interests and the benefits that BRI can provide; China's strength as an emerging major power that increases the credibility of BRI; and the existence of a greater geopolitical threat if Indonesia refuses as a consequence of asymmetrical relations between China-Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Dwi Permata Ayu
"Sanksi ekonomi terus mengalami perkembangan, baik dari segi praktik, bentuk, dan aktor yang memberlakukannya, terlepas dari perdebatan yang terus berlangsung mengenai efektivitas dan dampaknya. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mengkaji dinamika sanksi ekonomi dalam konteks hubungan internasional melalui analisis taksonomi atas 52 literatur yang relevan dengan tiga tema, yakni: (1) motif sanksi ekonomi; (2) efektivitas sanksi sebagai kebijakan luar negeri; dan (3) konsekuensi sanksi ekonomi. Fokus pertama adalah pada pengkategorian sanksi menjadi dua jenis motivasi: instrumental, yang bertujuan mengubah kebijakan negara target, dan simbolik, yang umumnya digunakan untuk memperkuat dukungan domestik Selain itu, tulisan ini mengevaluasi efektivitas sanksi, menunjukkan bahwa meskipun beberapa kasus berhasil, secara umum sanksi sering kali gagal mencapai tujuan yang diinginkan dan memiliki dampak negatif yang luas pada ekonomi dan stabilitas politik negara target. Konsekuensi sosial dan kemanusiaan dari sanksi juga dibahas sebagai bagian dari dampak globalnya. Tulisan ini mendesak adanya pendekatan yang lebih terintegrasi dan multidisiplin dalam memahami pengaruh sanksi ekonomi, dengan menekankan pentingnya menggabungkan berbagai perspektif untuk menilai keefektifan dan etika dari penerapan sanksi sebagai alat kebijakan luar negeri. Dengan demikian, tulisan ini tidak hanya memberikan wawasan terhadap dinamika sanksi ekonomi tetapi juga mengusulkan rekomendasi kebijakan yang strategis.

Economic sanctions continue to evolve in terms of their practice, form, and the actors who implement them, despite ongoing debates about their effectiveness and impact. Considering this, this paper examines the dynamics of economic sanctions in the context of international relations through a taxonomic analysis of 52 relevant pieces of literature focusing on three themes: (1) the motives behind economic sanctions; (2) the effectiveness of sanctions as a foreign policy tool; and (3) the consequences of economic sanctions. The first focus is on categorizing sanctions into two types of motivations: instrumental, aimed at changing the policies of the target country, and symbolic, generally used to strengthen domestic support. Additionally, this paper evaluates the effectiveness of sanctions, showing that while some cases are successful, in general, sanctions often fail to achieve the desired goals and have wide-ranging negative impacts on the economy and political stability of the target country. The social and humanitarian consequences of sanctions are also discussed as part of their global impact. This paper advocates for a more integrated and multidisciplinary approach to understanding the influence of economic sanctions, emphasizing the importance of incorporating various perspectives to assess the effectiveness and ethics of using sanctions as a foreign policy tool. Thus, this paper not only provides insights into the dynamics of economic sanctions but also proposes strategic policy recommendations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Soeryadinata
"Informasi dan teknologi komunikasi seringkali dianggap sebagai faktor pendorong terjadinya globalisasi, Internet merupakan salah satu bukti kongkrit dari fenomena ini. Internet menjadi bentuk teknologi informasi yang sangat modern, pesat perkembangannya, tersebar secara luas, dan signifikan. Namun dibalik berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh internet, teryata internet juga membawa berbagai dampak negatif. Salah satunya adalah mengganggu stabilitas sosial dan politik. Dan sebagaimana negara di belahan dunia lainnya, perkembangan internet di Cina Juga sangatlah pesat. Cina mengalami apa yang dinamakan paradoks modern. Di satu sisi pemerintah memahami bahwa teknologi informasi adalah mesin menuju ekonomi global, sehingga pertumbuhan ekonomi Cina akan sangat tergantung dengan upaya untuk mengintegrasikan Cins dengan Infrastruktur informasi global. Namun di satu sisi, berbagai peristiwa telah membuktikan bahwa internet berkembang menjadi sarana komunikasi bagi kelompok oposisi yang menentang pemerintah, salah satu contoh kongkritnya adalah Falingong Bahkan berbagai kelompok pendukung hak asasi manusia, baik dalam peristiwa Tiananmen maupun Tibet, seringkali memanfaatkan media internet ini untuk menyebarluaskan ide-ide mereka dan menjaring massa dan dukungan. Yang menarik, seolah mengesampingkan berbagai dampak negatif terhadap stabilitas sosial dan politik, pemerintah Cina pada saat bersamaan mendorong masyarakatnya untuk memanfaatkan internet dan mendorong penggunaan internet di semua sektor kehidupan, khususnya ekonomi. Pemerintah secara proaktif berinisiatif mengembangkan infrastruktur internet, meskipun dengan biaya yang tidak sedikit. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah Cina mengambil kebijakan yang mendorong pengembangan intermet di Cina? Apakah faktor-faktor yang melatarbelakanginya? Fenomena ini tentunya sangat menarik dibahas dalam kajian hubungan internasional. Karena sebagai negara yang memiliki karakteristik yang sangat khas, fenomena internet menjadi sebuah kasus yang dapat menggambarkan reaksi pemerintah Cina terhadap sistem internasional secara keseluruhan. Alat untuk menganalisa adalah beberapa kerangka pemikiran yang diantaranya pemikiran tentang pentingnya informasi dalam kepentingan ekonomi, pemikiran Peter F Drunken dalam teori ckonomi baru, pemikiran tentang e-commerce, pemikiran dari Michael Foucault yang mengembangkan ide Jeremy Bentham tentang panoptikon, dan pemikiran fungsi kontrol yang dikemukakan olch Lawrence Lessig Adapun faktor yang meriyebabkan pemerintah Cina mendorong pengembangan internet dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, perkembangan infrastruktur teknologi informasi sebagai infrastruktur internet, akan mendorong kompetituf dan pendapatan ekonomi yang lebih baik bagi perekonomian Cina. Kedua, bahwa justru dengan mendukung penggunaan internet tersebut, pemerintah Cina dapat menerapkan kontrol yang lebih luas sesuai dengan konsep panoptikon yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Kontrol ini dapat dilihat dalam hukum dan peraturan yang dijalankan, arsitektur yang dibentuk, norma sosial yang berkembang, dan mekanisme pasar yang ada. Kedua elenmen ini saling mempengaruhi dan tarik menarik satu dengan lainnya. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan modemisasi teknologi Informasi. Namun disisi lain modernisasi teknologi ini berpotensi untuk mengesampingkan kontrol politik. Oleh karena itu pemerintah Cina kemudian justru menggunakan internet sebagai media dan sarana untuk mengontrol masyarakat pengguna internet di Cina.

Information and communication technology is often considered a driving factor for globalization, the Internet is one concrete proof of this phenomenon. The internet is a very modern form of information technology, rapidly developing, widely spread and significant. However, behind the various conveniences offered by the internet, it turns out that the internet also brings various negative impacts. One of them is disrupting social and political stability. And like countries in other parts of the world, internet development in China is also very rapid. China is experiencing what is called a modern paradox. On the one hand, the government understands that information technology is the engine for the global economy, so China's economic growth will depend heavily on efforts to integrate China with the global information infrastructure. However, on the one hand, various events have proven that the internet has developed into a means of communication for opposition groups opposing the government, one concrete example of which is Falingong In fact, various groups supporting human rights, both in the Tiananmen and Tibet incidents, often use this internet medium to disseminate their ideas and gain mass support. What is interesting, as if to put aside the various negative impacts on social and political stability, the Chinese government at the same time encourages its people to take advantage of the internet and encourages internet use in all sectors of life, especially the economy. The government has proactively taken the initiative to develop internet infrastructure, although at a significant cost. The question then is why did the Chinese government adopt policies that encourage internet development in China? What are the factors behind it? This phenomenon is certainly very interesting to discuss in the study of international relations. Because as a country that has very distinctive characteristics, the internet phenomenon is a case that can illustrate the Chinese government's reaction to the international system as a whole. The tools for analysis are several frameworks of thought, including thoughts about the importance of information in economic interests, Peter F Drunken's thoughts in new economic theory, thoughts about e-commerce, thoughts from Michael Foucault who developed Jeremy Bentham's idea of ​​the panopticon, and the control function thought put forward by Lawrence Lessig. The factors that cause the Chinese government to encourage internet development are influenced by various factors. First, development information technology infrastructure as internet infrastructure, will encourage better competitiveness and economic income for the Chinese economy. Second, that precisely by supporting internet use, the Chinese government can implement broader controls in accordance with the panopticon concept put forward by Jeremy Bentham. This control can be seen in the laws and regulations that are implemented, the architecture that is formed, the social norms that develop, and the existing market mechanisms. These two elements influence each other and attract each other. On the one hand, economic growth requires modernization of information technology. However, on the other hand, this technological modernization has the potential to override political control. Therefore, the Chinese government then actually used the internet as a medium and means to control the internet user community in China.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S10541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan William
"Proliferasi perdagangan bebas telah mendorong perpajakan internasional menjadi isu yang semakin penting. Selagi aktor-aktor swasta berlomba-lomba untuk memanfaatkan keuntungan yang disediakan oleh dunia yang semakin terglobalisasi, pemerintah-pemerintah lazimnya ingin memastikan bahwa transaksi lintas yurisdiksi tersebut tidak luput dari pemajakan. Tulisan ini menelaah isu perpajakan internasional dan mencoba menggambarkan seluk beluk isu-isu yang terkait melalui tinjauan literatur. Terdapat 36 literatur terpilih yang dipaparkan, dibahas, dan kemudian diolah untuk menunjukkan konsensus serta perdebatan yang ada. Menggunakan metode taksonomi, tinjauan pustaka ini menemukan bahwa topik perpajakan dalam ekonomi politik internasional dapat dikategorikan menjadi tiga tema utama: (1) konseptualisasi perpajakan internasional; (2) tantangan-tantangan; serta (3) ragam aktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi dalam tatanan perpajakan internasional. Tulisan ini mengidentifikasi bahwa perpajakan internasional merupakan topik yang menjadi ranah utama ilmu hukum, terutama hukum perpajakan internasional, sementara pengkajian pajak melalui kaca mata hubungan internasional masih belum banyak ditemukan. Perdebatan dalam literatur meliputi perbedaan pendapat mengenai kebijakan mana yang ideal serta konseptualisasi koordinasi. Terakhir, tinjauan literatur ini memberi rekomendasi dalam ranah akademis berupa pendalaman studi perpajakan internasional menggunakan kerangka hubungan internasional, serta rekomendasi bagi Indonesia untuk memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral, serta meningkatkan kerja sama ranah pajak di tingkat regional.

The proliferation of free trade has propelled international taxation into newfound significance. As private actors rush to exploit the benefits of a world more globalized than ever, governments often, but not always, proactively try to make sure that these cross-jurisdiction transactions do not go untaxed. This paper examines the issues surrounding international taxation and attempts to portray the intricacies through a literature review. A total of 36 selected literature sources are presented, discussed, and analysed to reveal existing consensus and debates. Using the taxonomy method, the literature review identifies three main themes in the field of international political economy of taxation: (1) the conceptualization of international taxation, (2) challenges, and (3) the various actors that influence and are influenced within the international taxation landscape. This study highlights that international taxation is predominantly studied within the domain of legal scholarship, particularly in the field of international tax law, while the examination of taxation through the lens of international relations is relatively limited. Meanwhile debates in the literature include disagreements on which policy (or policies) is ideal and the conceptualization of coordination. Lastly, this literature review provides recommendations in the academic realm, including deeper exploration of international taxation studies using an international relations framework. Furthermore, practical recommendations for Indonesia involve strengthening bilateral and multilateral cooperation and enhancing tax-related collaboration at the regional level."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benedicta Nathania
"Skripsi ini mengangkat fenomena pergeseran kebijakan energi Jerman setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 di bawah kepemimpinan Kanselir Olaf Scholz. Dengan memanfaatkan Teori Permainan Dua Tingkat (Two-Level Game Theory) karya Robert Putnam, penelitian ini mengkaji interaksi antara negosiasi internasional, khususnya sanksi pembatasan harga minyak, dan negosiasi domestik yang berfokus pada percepatan transisi energi. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa bahwa win set yang tumpang tindih dalam perundingan internasional dan domestik memungkinkan keberhasilan kesepakatan dan ratifikasi sanksi pembatasan harga minyak. Peristiwa ini menandakan perubahan penting dalam kebijakan energi Jerman, menyoroti langkah menuju pengurangan ketergantungan pada energi Rusia dan mempercepat transisi ke sumber energi terbarukan.

This thesis investigates the shift in Germany's energy policy following the Russian invasion of Ukraine in 2022 under Chancellor Olaf Scholz. Utilizing Robert Putnam's Two-Level Game Theory, the study examines the interplay between international negotiations, specifically the oil price cap sanction, and domestic negotiations focusing on accelerating the energy transition. The analysis concludes that the overlapping win sets of international and domestic negotiations enabled the successful agreement and ratification of the oil price cap sanction. This event signifies a pivotal change in Germany's energy policy, highlighting a move towards reducing dependency on Russian energy and hastening the transition to renewable energy sources."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Glorius Hasiholan
"Penelitian ini menganalisis dominasi dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang internasional, mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap posisi dominannya dan implikasinya terhadap ekonomi global. USD telah lama menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, dan pasar keuangan global. Penelitian ini mengkaji sejarah evolusi USD sebagai mata uang cadangan utama, peran lembaga keuangan internasional, serta kebijakan ekonomi dan moneter Amerika Serikat yang memperkuat dominasi ini. Selain itu, penelitian ini membahas dampak dari dominasi USD terhadap stabilitas ekonomi global, termasuk keuntungan dan risiko bagi negara-negara pengguna serta tantangan bagi mata uang lain yang berusaha memperoleh status internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan dari mata uang lain seperti Euro dan Renminbi, USD tetap dominan karena kombinasi kekuatan ekonomi, kebijakan yang stabil, dan kepercayaan global terhadap sistem keuangan Amerika Serikat.

This study analyzes the dominance of the United States dollar (USD) as an international currency, exploring the factors contributing to its dominant position and its implications for the global economy. The USD has long been the primary currency in international trade, foreign exchange reserves, and global financial markets. This research examines the sources of power for USD as the main reserve currency, the role of international financial institutions, and the economic and monetary policies of the United States that reinforce this dominance. Additionally, the study discusses the impact of USD dominance on global economic stability, including the benefits and risks for user countries and the challenges faced by other currencies striving to attain international status. The findings indicate that despite challenges from other currencies such as the Euro and the Renminbi, the USD remains dominant due to a combination of economic strength, stable policies, and global confidence in the U.S. financial system."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library