Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raisha Heidi Rizqiana
"Skripsi ini menganalisis mengenai hubungan antara penggunaan karya tulis untuk kegiatan Machine Learning (ML), three-step test sebagai pedoman pembatasan hak cipta nasional, dan pembatasan hak cipta terhadap penggunaan karya tulis untuk kegiatan ML oleh OpenAI dalam mengembangkan ChatGPT berdasarkan norma hukum pembatasan hak cipta di Amerika Serikat dan Indonesia. ChatGPT merupakan model pemrosesan bahasa yang dapat menciptakan tulisan (output) berdasarkan perintah (input) yang dikembangkan menggunakan data pelatihan yang masif, termasuk karya tulis yang dilindungi hak cipta. Tindakan tersebut berpotensi untuk melanggar hak penggandaan dan atribusi. Three-step test, sebagaimana tertuang dalam perjanjian-perjanjian internasional, menjadi pedoman bagi negara anggota untuk merancang ketentuan pembatasan hak cipta nasional untuk mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan pribadi. Baik fair use di Amerika Serikat ataupun Pasal 43-51 UUHC Indonesia sudah sesuai dengan persyaratan three-step test. Secara umum, penggunaan karya cipta untuk kegiatan ML oleh OpenAI demi mengembangkan ChatGPT termasuk sebagai fair use di Amerika Serikat selama output yang dihasilkan ChatGPT tidak mengandung kesamaan dengan ciptaan yang digunakan sebagai bahan pelatihannya. Sementara itu, tindakan OpenAI tidak termasuk sebagai pembatasan hak cipta berdasarkan hukum hak cipta Indonesia yang tertuang dalam Pasal 43 huruf d, Pasal 44 ayat (1) huruf a, dan juga Pasal 49 ayat (1) UUHC.

This article analyzes the relationship between the use of written works for machine learning activities with copyright, three-step test as a guideline for state parties in stipulating copyright limitation, and the applicability of copyright limitation US and Indonesia on the use of written works for machine learning activities by OpenAI in developing ChatGPT. ChatGPT is a language processing model that can generate written content (output) based on given commands (input) which are built upon a massive amount of training data, including works protected by copyright. This generally constitutes a violation of reproduction and attribtion right. Three-step test as outlined in international intellectual property agreements stipulates the minimum provisions on copyright limitations designed to ensure a balance between public and private interests. Both fair use and copyright limitations in Indonesian Copyright Law has already complied with the requirements of three-step test. The use of written works for ML by OpenAI to develop ChatGPT is fair use as long as the output produced by ChatGPT does not contain verbatim similarities with the works used as training materials. Meanwhile, OpenAI’s actions do not fall under the copyright limitations based on Article 43 (d), Article 44 paragraph 1 (a), and Article 49 paragraph 1 of Indonesian Copyright Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
El Shaddai Putri Constantya Adam
"Sebagai bentuk pemenuhan Hak Ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait, LMK diberikan mandat berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta untuk mewakilkan Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait untuk mengelola Royalti. Namun, kehadiran LMKN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik, menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, terutama bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait mengenai siapa yang sesungguhnya berwenang untuk mengelola Royalti, yang merupakan imbalan atas kreativitas serta jerih payah dalam menciptakan Ciptaan yang dinikmati oleh Masyarakat umum. Royalti diperoleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait saat Ciptaan mereka digunakan secara komersial oleh pihak lain. Maka, pengelolaan dan distribusi Royalti harus dilaksanakan dengan tegas dan rinci. Adapun, penelitian ini bersifat doktrinal dengan metode analisis kualitatif yang menggunakan sumber dari studi kepustakaan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah menyarankan pengaturan yang lebih rinci mengenai kewenangan LMK dan LMKN agar meminimalisir dualitas dalam pengelolaan Royalti. LMK dan LMKN dapat meningkatkan cakupan dan sistematika pengelolaan Royalti untuk memastikan transparansi dan keadilan distribusi. Untuk meningkatkan kinerja LMK terutama LMKN, maka dapat dipelajari sistem pemungutan Royalti yang dianut oleh APRA AMCOS di Australia yang terintegrasi.

To fulfill the Economic Rights of Creator, Copyright Holder and/or Related Rights Owner, LMK, mandated by Law Number 28 of 2014 about Copyright can represent Creator, Copyright Holder and/or Related Rights Owner to manage Royalties. However, the presence of LMKN through Government Regulation Number 56 of 2021 about the Management of Royalties for Copyright of Songs and Music, has caused ambiguity, especially for Creators, Copyright Holders and/or Related Rights Owners over who can manage Royalties, which are a reward for creativity and hardwork in forming Creations that are widely consumed. Royalties are earned by Creators, Copyright Holders and/or Related Rights Owners when their Creations are commercially used by other parties. Therefore, the management and distribution of Royalties must be done in a rigid and detailed manner. This research, employing a doctrinal approach with qualitative analysis, advocates for clarifying the roles of LMK and LMKN to minimize confusion in royalty management. It proposes detailed regulatory adjustments to enhance the scope and systematic management of royalties, emphasizing transparency and fairness in distribution. To improve the performance of LMK especially LMKN, Indonesia can draw inspiration from an integrated Royalty collection system adopted by APRA AMCOS in Australia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Faezaturrahmi
"Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan kesempatan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan penghapusan atau pembatalan terhadap merek terdaftar. Namun dalam UU Merek tidak mengatur siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengajuan permohonan penghapusan merek. Dalam UU Merek hanya mengatur definisi untuk pihak yang berkepentingan dalam pembatalan merek. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas apakah kualifikasi pembatalan merek dapat digunakan pada penghapusan merek serta apakah pertimbangan majelis hakim sudah tepat dalam merumuskan siapa itu pihak ketiga yang berkepentingan dalam gugatan penghapusan merek. Tulisan ini menganalisis bagaimana Majelis Hakim mendefinisikan Pihak Ketiga Yang Berkepentingan dalam gugatan penghapusan merek pada Putusan Nomor 120/Pdt.Sus/Brand/2022/PN Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-Merek/2018/PN Niaga.Jkt.Pst.

Law Number 20 of 2016 on Trademarks and Geographical Indications provides an opportunity for interested parties to file a request for the cancellation or deletion of a registered trademark. However, the Trademark Law does not specify who is considered a third party with an interest in filing a request for the deletion of a trademark. The Trademark Law only defines interested parties for the cancellation of a trademark. Therefore, this paper will discuss whether the qualifications for trademark cancellation can be applied to trademark deletion and whether the judicial panel's considerations are accurate in defining who constitutes a third party with an interest in a trademark deletion lawsuit. This paper analyzes how the judicial panel defines an interested third party in trademark deletion lawsuits in Decision Number 120/Pdt.Sus/Brand/2022/PN Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 25/Pdt.Sus-Merek/2018/PN Niaga.Jkt.Pst."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library