Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan
Abstrak :
Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA. Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel. ......Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed. Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value. Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients. Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher. Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa. Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p ......Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available. Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients. Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer. Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilah
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, disfonia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Disfonia atau gangguan perubahan kualitas suara dapat mengganggu aktifitas dan kegiatan sosial bagi penderita. Pasien dengan disfonia memerlukan penilaian secara spesifik dan terarah. Pemeriksaan objektif penting untuk menilai disfonia, penilaian subjektif juga tidak kalah pentingnya. Gangguan kualitas hidup akibat disfonia dapat dinilai menggunakan kuesioner VHI (Voice Handicap Index) serta penilaian perseptual menggunakan metode GRBAS (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Penilaian objektif berupa pemeriksaan videostroboskopi dan MDVP (Multi dimenssion voice program) akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien dengan disfonia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penilaian subjektif dan objektif pada pasien dengan gangguan suara. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilakukan di poliklinik THT KL FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo periode bulan September 2019 sampai dengan Novemberi 2019 pada pasien disfonia usia 18-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi yang signifikan secara statistik antara penialian subjektif dan objektif pada pasien gangguan suara. In recent years, dysphonia is one of most important public health problems in recent years. Dysphonia or voice quality changing can interfere patients daily life and social activities. Patients with dysfonia need specific and directed assessment. Subjective assessment is needed in addition to objective examination. Limitation due to dysphonia can be measured using the Voice Handicap Index questionnaire and perceptual evaluation using the GRBAS method (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Objective examination using video stroboscopy and MDVP (Multi-dimenssion voice program) will be very helpful in managing patients with dysphonia.. The purpose of this study was to determine the relationship between subjective and objective judgments in patients with voice disorders. This study uses a cross-sectional design, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo in September 2019 to November 2019 for dysphonia patients aged 18-60 years old. From this study there is a statistically significant correlation between subjective and objective assessment of sound impaired patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
Abstrak :
Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara. Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES. Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan. Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES. Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES. ......Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country. Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination. Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions. Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination. Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Junicko Sacrifian Anoraga
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Audiometri impedans belum digunakan secara rutin dalam uji tekanan khususnya di Indonesia. Calon penyelam sering langsung menerima pajanan tekanan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) tanpa diketahui keadaan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius. Pemeriksaan audiometri impedans sangat penting untuk mengetahui fungsi ventilasi tuba Eustachius (TE). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai tekanan telinga tengah yang berhubungan dengan fungsi ventilasi TE pada calon panyelam. Metode: Penelitian ini melibatkan 29 subjek calon penyelam berusia 20-40 tahun tanpa gangguan pendengaran konduktif. Semua subjek menjalani pemeriksaan audiometri impedans yang dimodifikasi untuk kepentingan penyelaman baik sebelum maupun sesudah uji tekanan dalam RUBT beruang ganda. Hasil: Didapatkan perubahan nilai tekanan di telinga tengah yang bermakna sebelum dan sesudah uji tekanan dengan perasat Toynbee pada telinga kanan dan kiri, masing-masing p < 0,001 dan p = 0,018. Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri impedans sangat diperlukan dalam seleksi calon penyelam khususnya dalam uji tekanan dalam RUBT.
ABSTRACT
Background: Impedance audiometry is not yet used in the pressure test routinely, especially in Indonesia. Prospective divers often receive exposure of pressure in hyperbaric chamber directly without assesment of the middle ear and Eustachian tube (ET) ventilation function. Impedance audiometry examination is very important to asses the ET ventilation function. Objective: This study determined the middle ear pressure value changes associated with ET ventilation function of prospective divers. Method: This study involved 29 prospective diver subjects aged 20-40 years without a conductive hearing loss. All subjects underwent a modified diving impedance audiometry examination both before and after the pressure test in hyperbaric double lok chamber. Result: Obtained value changes of pressure in the middle ear meaningful before and after the pressure test with Toynbee maneuver on the right and left ear, respectively p <0.001 and p = 0.018 Conclution: Impedance audiometry examination is needed in the selection of candidates divers who underwent pressure test within hyperbaric chamber.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring
ABSTRACT Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Trifani Putri
Abstrak :
Gangguan suara adalah istilah umum yang mencakup segala perubahan suara sesorang baik cakupan nada, intensitas, waktu fonasi dal lain-lain yang disebabkan kelainan laring. Adanya gangguan suara atau disfonia akan mengganggu suatu proses komunikasi yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial seperti depresi, terganggu dalam aktifitas dan pekerjaannya, serta akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup adalah dengan menggunakan kuesioner adaptasi terjemahan versi Bahasa Inggris agar dapat diaplikasikan sesuai budaya dan bahasa di negara tersebut. Kuesioner Voice Handicap Index (VHI) berdasarkan Agency of Healthcare Research and Quality pada tahun 2012 merupakan instrumen diagnostik yang valid dan reliabel dalam menilai handicap yang disebabkan oleh gangguan suara. Peneliti bertujuan untuk mendapatkan instrumen VHI adaptasi bahasa Indonesia yang sudah divalidasi dan reliabilitas yang teruji menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017 sampai dengan April 2018 terhadap pasien gangguan suara usia dewasa. Dari penelitian ini didapatkan instrumen VHI bahasa Indonesia yang telah teruji valid dan reliabel sebagai instrumen penilaian kualitas hidup pasien gangguan suara. ......Voice Disorders is a general term that includes any change of a persons voice including range of tone, intensity, and other phonation time caused by laryngeal abnormalities. The presence of noise or dysfonia will interfere with a communication process that will have a negative impact on social life such as depression, disrupted in activities and work, and will affect the quality of life. One tool that can be used to evaluate the quality of life is to use an translation adaptation questionnaire of the English version to be applied to the culture and language of the country. The Voice Handicap Index (VHI) Questionnaire based on the Agency of Healthcare Research and Quality in 2012 is a valid and reliable diagnostic instrument in assessing handicap caused by voice disorders. This study aimed to receive Indonesian adaptation of VHI that also tested in validity and reliability to measue the quality of life in patients with dysphonia. Cross-sectional design is entirely used in this study, conducted at ENT Department out-patient clinic, Cipto Mangunkusumo hospital between December 2017 and April 2018 towards adult patients with dysphonia. The Indonesian version of VHI has been proven valid and reliable as an instrument to asses quality of life in dysphonia patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ageng Rizki
Abstrak :
Latar belakang: Sleep disordered breathing (SDB) merupakan satu spektrum kelainan abnormalitas pola pernapasan pada saat tidur. Diperlukan visualisasi untuk menilai kedinamisan saluran napas atas untuk menentukan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan saluran napas atas saat terjaga dan saat tidur secara spesifik pada setiap subjek berdasarkan hasil inklusi dari kuisioner STOP BANG dikarenakan karakteristik dan faktor risiko yang berbeda-beda pada setiap individu. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas yang terjadi antara pemeriksaan (Perasat Muller) PM saat terjaga dan pemeriksaan Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) saat tidur serta dengan menggunakan pemeriksaan polisomnografi (PSG) untuk menentukan derajat gangguan tidur. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan perbedaan saturasi oksigen terendah antara pemeriksaan PSG dan DISE saat tidur, dengan tujuan untuk mendapatkan cara diagnosis yang dapat memberikan nilai tambah pada pasien SDB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang (cross sectional) dengan data sekunder yang bersifat retrospektif; 1) Deskriptif analitik, dan 2) Membandingkan gambaran lokasi, derajat dan konfigurasi sumbatan jalan napas dengan pemeriksaan PM, DISE dan PSG pada kasus SDB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 46 subjek yang diambil dari data Januari 2017 hingga April 2019. Hasil: Karakteristik kelompok pasien SDB pada penelitian ini mempunyai rentang usia antara 18-73 tahun dengan laki-laki dan perempuan mempunyai proporsi yang sama besar. Pada anamnesis didapatkan STOP BANG risiko tinggi sebesar 58,7%, Epworth Sleepiness Scale (ESS) risiko gangguan tidur 93,5%, skor Nasal Obstruction Score Evalutaion (NOSE) dengan risiko hidung tersumbat 97,8%, subjek obesitas 56,5%, subjek dengan Refluks laringofaring (RLF) 67,4%, hipertensi 28,3%, kelainan jantung 30,4%. Terdapat 13 subjek (28,2%) SDB non OSA, 18 subjek (39,13%) OSA ringan, 10 subjek (21,73%) OSA sedang, dan 5 subjek (10,86%) OSA berat. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan konfigurasi sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,036; p<0,001 dan p = 0,036. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan derajat sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring, dasar lidah dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. Subjek dengan SDB non OSA dan OSA ringan dapat juga menunjukkan sumbatan multilevel dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Derajat RDI tidak selalu berhubungan dengan konfigurasi sumbatan jalan napas atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar saturasi oksigen terendah saat tidur pada saat DISE dan PSG dengan nilai p = 0,055. Pada penelitian ditemukan sumbatan jalan napas atas pada fase tidur REM dan NREM diihat berdasarkan derajat RDI pada PSG, terlihat kecenderungan adanya RDI REM dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan RDI NREM pada subjek dengan OSA ringan dan OSA sedang. Pada SDB non OSA dan OSA berat nilai RDI NREM sama dengan RDI REM. ......Background: Sleep disordered breathing (SDB) is a spectrum of breathing abnormality during sleep. Direct visualization needed to evaluate the level, configuration and degree of upper airway obstruction during sleep in each patient due to the difference in characteristic and risk factor of SDB based on STOP BANG questionnaire. Purpose: Evaluate the differences of location, configuration, and degree of upper airway obstruction between Muller Maneuver (MM) during awake and Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) during sleep using polysomnography (PSG) to determine the degree severity of sleep disorder. To evaluate the lowest oxygen saturation between PSG and DISE during sleep thus acquired a better diagnostic value for SDB patient. Methods: Analitical decriptive of cross sectional study with retrospective secondary data evaluate the difference of location, configuration and degree of upper airway obstruction in SDB subject using Mueller Maneuver (MM) and DISE in ENT-HNS Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 until April 2019 with 46 subjects. Result: The age range of subjects between 18-73 years old, both each male and female are 26 subjects, using anamnesis and questionnaire STOP Bang with high risk 58,7%, ESS high risk of SDB 93,4%, NOSE score with nasal congestion 97,8%, obesity 56,5%, Laryngopharungeal Reflux 67,4%, hypertension 39%, heart disease 30,4%. Based on polysomnography data there were 28,2% subjects with SDB non OSA (Obstructive Sleep Apnea), 39,1% subjects mild OSA, 21,7% subjects moderate OSA, 10,7% subjects severe OSA. Statistically difference in configuration of upper airway obstruction between MM and DISE in level velum (p = 0,036), oropharynx (p<0,001), epiglotits (p = 0,036), also statistically different in location and degree of upper airway obstruction between MM and DISE in velum, oropharynx, tongues base and epiglottis with p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. No statisticaly difference on lowest oxygen saturation during polysomnography and DISE (p = 0,055). Subjects with SDB non OSA and mild OSA alos shown multilevel obstruction with different airwal collaps configuration. RDI degree didnt always correlate with upper airway obstruction configuration. RDI NREM was higher in subject with mild OSA and moderate OSA, in SDB non OSA and severe OSA RDI REM as same as RDI NREM.
Depok: Fakultas Kedokteran, 2019
T55573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ayu Anatriera
Abstrak :
Latar belakang: Teknik rekayasa jaringan kartilago memiliki potensi besar dalam rekonstruksi trakea. Scaffold sebagai salah satu unsur utama rekayasa jaringan berperan dalam menyediakan lingkungan tempat sel punca bertumbuh. Komposit campuran kolagen tipe I dan II dipadukan dengan kondroitin serta teknik crosslinkingkedua bahan scaffolddengan genipin dilakukan untuk meningkatkan sifat mekanis. Tujuan: Mengetahui karakteristik morfologi permukaan, biomekanik, dan sitotoksisitas scaffold komposit kolagen-kondroitin crosslink secara in vitro. Metode: Scaffold campuran komposit kolagen tipe I dan tipe II perbandingan 3:1 kemudian dicampur kondroitin dengan rasio 1:3 dibagi dalam kelompok dengan dan tanpa genipin. Hasil: Gambaran morfologi permukaan scaffold dengan genipin menunjukkan matriks padat homogen sedangkan matriks scaffoldtanpa genipin berupa fibriler longgar. Hasil sitotoksisitas menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p=0,09) pada rerata jumlah sel pada scaffolddengan dan tanpa genipin serta kontrol. Kesimpulan: Scaffold kolagen kondroitin dengan genipin memiliki mikrostruktur yang lebih padat dan ukuran pori kecil. Genipin dapat menunjang mikrostruktur pada scaffold berbahan kolagen-kondroitin. Scaffold kolagen kondroitin dengan dan tanpa genipin tidak bersifat toksik terhadap sel punca mesenkimal. ......Background: Tissue engineering for trachea reconstruction nowadays plays an important rule to endow an ideal biomaterial for cartilage, the tracheal backbone. In this study, the biocomposit of collagen type I, type II, and chondroitin sulfate was investigated. Chemical crosslinking using genipin to improve its properties was then studied. Objective: To find out the surface morphology characteristics, biomechanics, and cytotoxicity of crosslinked scaffold collagen-chondroitin composites in vitro. Method: hydrogel mixture of collagen type I and type II at the ratio of 3:1, was then added into chondroitin sulfate (1 in 3), crosslinked using genipin. Sample without genipin was compared. Results: Crosslinked collagen chondroitin biocomposit showed a homogeneous shape while the non-crosslinked biocomposit had rough surface and bigger pore size. Both types of biocomposits were biocompatible, showed no toxic effects, as the ATP counts had no different compared to the cell colony only. Conclusion: collagen chondroitin crosslinked with genipin had generated a fine microstructure scaffold with smaller pore size, while no exhibition of residual toxicity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olvi Nancy Marimpan
Abstrak :
ABSTRAK
Implan lemak dalam bidang plastik rekonstruksi sudah lama digunakan oleh para ahli bedah, namun dengan seiringnya waktu lemak dapat mengalami absorpsi 30-50 , terutama pada lemak yang disentrifugasi. Untuk itu diperlukan suatu bahan autologous untuk mempertahankan viabilitas lemak. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan antara lemak mikrolobular, lemak yang disentrifugasi, lemak mikrolobular dengan penambahan PRF dan lemak yang disentrifugasi dengan penambahan PRF. Tiga puluh enam kelompok dilakukan implan lemak di daerah dorsal telinga kelinci sebanyak 0,5cc, dievaluasi selama 4 minggu. Penilaian dilakukan secara makroskopik dengan menilai hiperemis, nekrosis dan menghitung diameter pada minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada minggu pertama hingga minggu keempat terjadi penurunan jumlah kelompok yang mengalami hiperemis, semua jaringan tidak terdapat nekrosis sejak minggu pertama dan diameter lemak yang mengalami penyusutan hanya terdapat pada perlakuan lemak yang disentrifugasi sebanyak dua kelompok, namun secara statistik tidak didapat perbedaan bermakna p>0,05 . Evaluasi mikroskopik didapatkan bahwa jumlah adiposit median= 547,74 , fibroblas median= 600,52 , pada perlakuan lemak mikrolobular dengan penambahan PRF lebih banyak dibandingkan kelompok perlakuan lainnya, namun secara statistik tidak bermakna p>0,05 , sedangkan parameter neovaskularisasi lebih banyak ditemukan pada kelompok lemak mikrolobular mean= 12,67 , tetapi secara statistik tidak bermakna p=0,268 Namun analisis regresi membuktikan bahwa peningkatan neovaskularisasi sejalan dengan pertambahan jumlah adiposit, hal ini membuktikan bahwa viabiltas adiposit bergantung pada neovaskularisasi.
ABSTRACT
Fat graft in plastic reconstructive surgery has been used for a long time by surgeons. However, problem lies with fat being absorbed up to 30 50 , especially centrifuged fats. Therefore, an autologous material is needed to maintain fat viability. This research aims to compare the viability of microlobular fat, centrifuged fat, microlobular fat with PRF, and centrifuged fat with PRF. As much as 0.5 mL of these fat were grafted to thirty six groups of rabbits at the dorsal area of rabbits rsquo ear, which were then evaluated for 4 weeks. Macroscopic evaluation was performed on the first, second, third, and fourth week while microscopic evaluation was performed only on fourth week. Macroscopic evaluation performed since the first to the fourth week on hyperemia parameter showed reduction of redness hyperemia in all treatment groups and necrosis parameter was not found since the first week in all treatment groups. Although the diameter parameter was seen in two centrifuged fat groups on fourth week, it showed no statistically significant difference p 0,05 . Upon microscopic evaluation, the amount of adipocytes in microlobular fat with PRF group showed a greater number median 547.74 and also fibroblast median 600,52 compared to other treatment groups, but it was also not statistically significant p 0,05 . Neovascularization parameter was greater on microlobular fat group mean 12,67 , but it was not statistically significant p 0,268 . Result of regression analysis proved that increase in neovascularization was in line with the increase amount of adipocytes. Therefore, it is proved that the viability of adipocytes depends on neovascularization
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>