Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara Ramadhiani
Abstrak :
Psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik kulit yang didasari oleh proses imunologi. Derajat keparahan psoriasis vulgaris dinilai secara klinis dengan penilaian body surface area (BSA) dan psoriasis area and severity index (PASI). Inflamasi kulit pada psoriasis vulgaris diperankan oleh berbagai sitokin inflamasi yang dapat meningkatkan inflamasi sistemik dan aktivasi trombosit. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) sebagai penanda inflamasi sistemik serta mean platelet volume (MPV) sebagai penanda aktivasi trombosit diduga dapat dijadikan prediktor derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini berdesain observasional analitik potong lintang. Setiap subjek penelitian (SP) dengan psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan PASI dan BSA. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dan MPV. Dari 32 SP, didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara hs-CRP dengan BSA (r=0,118; p=0,518) dan PASI (r=0,322; p=0,073). Korelasi negatif tidak bermakna ditunjukkan antara MPV terhadap BSA (r=-0,035; p=0,848)dan PASI (r=-0,035; p=0,848). Korelasi antara hs-CRP dengan MPV tidak bermakna (r=-0,178; p=0,329). Nilai hs-CRP dan MPV tidak memiliki korelasi bermakna terhadap PASI dan BSA sehingga tidak dapat digunakan sebagai prediktor yang spesifik untuk keparahan psoriasis vulgaris. ......Psoriasis vulgaris is a chronic immunologic inflammatory skin disease. The severity of psoriasis vulgaris is clinically-assessed by using body surface area (BSA) and the psoriasis area and severity index (PASI). Skin inflammation in psoriasis vulgaris is played by various inflammatory cytokines that can perpetuate systemic inflammation and platelet activation. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) as a marker of systemic inflammation and mean platelet volume (MPV) as a marker of platelet activation are thought to be predictors of psoriasis vulgaris severity. This is a cross-sectional analytic observational study. Each subject with psoriasis vulgaris who met the inclusion and exclusion criteria underwent anamnesis, physical examination, and assessment of PASI and BSA, then examined for hs-CRP and MPV levels. Among the 32 subjects, a weak insignificant positive correlation was found between hs-CRP and BSA (r=0.118; p=0.518)and PASI (r=0.322; p=0.073). A weak negative insignificant correlation was shown between MPV and BSA (r=-0.035; p=0.848) and PASI (r=-0.035; p=0.848). No significant correlation was found between hs-CRP and MPV (r=-0.178; p=0.329 The hs-CRP and MPV levels ​​do not have a significant correlation with PASI and BSA, therefore cannot be used as specific predictors of psoriasis vulgaris severity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Selviana
Abstrak :
Latar belakang: Dokter umum harus memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional, dimana dokter memiliki kewajiban memberikan konseling, anamnesis, pemeriksaan, pengobatan, dan menentukan tindakan medis terhadap pasiennya, hal ini berbeda dengan tenaga perawat atau nakes lainnya sehingga dokter secara tidak langsung memiliki beban kerja dengan tekanan yang lebih tinggi karena dokter memiliki wewenang dan hak untuk melakukan pelayanan kesehatan, selain itu dokter secara rutin dan berkelanjutan melakukan shif kerja lama lebih dari 12 jam tiap shiftnya beresiko tinggi mengalami kelelahan dan berhubungan dalam meningkatkan resiko kecelakaan kerja yang dampaknya bisa merugikan lingkungan kerja, dokter umum sendiri, dan keselamatan pasien jika dibandingkan dengan lama shift kerja sebanyak 8 jam perhari. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara shift kerja dan faktor-faktor risiko lain terhadap derajat kelelahan pada dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit di Kota bekasi tahun 2022. Metode: Metode penelitian cross-sectional dengan sifat penelitian observational berupa pengisian kuesioner yang disebarkan secara online dengan menggunakan google form  kepada dokter umum yang bekerja secara shift dan non-shift di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia, dengan teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan quota sampling. Kemudian data di analisa dengan menggunakan  IBM SPSS versi 20, dimana data dikumpulkan dari bulan maret sampai mei 2022. Hasil: Analisis multivariat membuktikan bahwa Pekerja yang mendapatkan jaga shift, cenderung lebih beresiko 38 kali (OR: 38,1; IK 95% :3,897-373,285, p <0,0500. Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan bahwa shift kerja memiliki hubungan paling signifikan terhadap risiko kelelahan pada dokter umum dibandingkan dengan faktor risiko lain. ......Background: General Practitioners must provide quality and professional services, which includes the obligation to provide counseling, history taking, examination, providing treatment, and determining medical actions for their patients, This is different from other health workers, in which doctors directly have a workload with high pressure. Besides that doctors regularly and continuously perform long work shifts for more than 12 hours. Each shift has high risk to induce fatigue and this is also associated with an increasing the risk of work accidents whose impacts can be detrimental to the work environment, doctors themselves, and especially to the patient safety when compared to the 8 hour work shift per day. Method: This study was an observational study with a cross-sectional design by using of Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) 30-Item fatigue symptoms. Participants were general practitioners who work at hospital, both shift work and non-shift. They were selected by quota sampling technique. Data were collected from March to May 2022, data were analyzed by IBM SPSS Statistic ver.20. Results: We collected data primarily through online questionnaire using Google Form Platform, multivariate analysis showed that doctors who work with shift had a risk of 38 times more to experience moderate to severe fatigue compared to doctors who worked with non-shifts. (OR:38,1 CI 95%: 3,897-373,285, p <0,05). Conclusion: This study proves that shift workers have the most significant correlation to induce fatigue among general practitioner compared to other risk factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikhael Yosia
Abstrak :
Pekerja yang bekerja dengan menggunakan suara, dianggap sebagai professional voice users atau pengguna suara okupasi (occupational voice users-OVU). Pekerja dengan suara memiliki resiko tinggi penurunan kualitas suara dan terdapat faktor-faktor lain saat bekerja yang dapat memperburuk kualitas suara dan meningkatkan risiko kejadian disfonia. Identifikasi faktor-faktor risiko ini penting untuk dapat meminimalisir risiko gangguan suara pada pekerja OVU dan non-OVU. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang akan dilakukan pada bulan Juni-Juli 2022. Data MDVP, demografi, dan informasi mengenai faktor-faktor risiko yang ada pada pekerja akan didapatkan melalui pemeriksaan pada guru yang bekerja di Sampoerna Foundation, Jakarta. Dari total 83 partisipan, ditemukan bahwa OVU memiliki hasil parameter suara (dengan perbedaan signifikan pada jitter, NHR, ATRI) lebih tinggi. Dari semua partisipan ditemukan bahwa merokok menyebabkan perbedaan signifikan pada hasil analisa suara (Jitter, Shimmer, NHR, ATRI lebih tinggi).Tidak ada perbedaan signifikan akan nilai anailsa suara pada partisipan dengan risiko dehidrasi, konsumsi alkohol, dan riwayat hipertensi atau gastritis. Studi ini menemukan bahwa OVU memiliki parameter kualitas suara yang cenderung lebih buruk dibanding non-OVU, dan merokok merupakan faktor risiko yang secara signifikan dapat memperburuk parameter kualitas suara. ......Workers using their voices are considered professional or occupational voice users (OVU). Workers who utilize their voice extensively have a high risk of reduced voice quality which can be exacerbated by other risk factors, resulting in an increased risk of dysphonia. Identifying these risk factors is essential to minimize the risk of voice disorders in OVU and non-OVU workers while increasing workers' and companies' awareness of voice usage at work. This research is a cross-sectional study conducted in June-July 2022. MDVP data, demographics, and information about risk factors in workers were obtained by examining teachers who work at a school in Jakarta. From a total of 83 participants, it was found that OVU had significantly higher Jitter, NHR, and ATRI compared to non-OVU. From all participants, it was found that smoking caused a significantly higher Jitter, Shimmer, NHR, and ATRI. There was no significant difference in the sound analysis scores in participants with a risk of dehydration, alcohol consumption, and a history of hypertension or gastritis, yet this warrant careful interpretation because numerous pieces of literature have proven otherwise. Improving sound quality through avoiding risk factors and implementing voice hygiene and proper phonation may be helpful for OVU.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Nurhayati
Abstrak :
PENDAHULUAN: Penggunaan komputer di seluruh dunia mengalami peningkatan, banyak orang menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer tanpa istirahat. Computer vision syndrome (CVS) menjadi masalah kesehatan mata terkait dengan penggunaan komputer berlebihan ini, dan seringkali mempengaruhi produktivitas pekerja. Karyawan dapat secara fisik hadir dalam pekerjaan mereka namun mengalami penurunan produktivitas dan kualitas kerja di bawah normal, sebuah konsep yang dikenal sebagai presenteeism. Diperlukan suatu studi apakah computer vision syndrome (CVS) berhubungan dengan presenteeism pada pekerja. TUJUAN : Penelitian ini akan menganalisis hubungan computer vision syndrome (CVS) dengan presenteeism pada pekerja pemakai VDT di bagian pelayanan masyarakat online di kantor pemerintahan. METODE : Penelitian ini menggunakan metode kuesioner menggunakan stanford presenteeism scale (SPS-6) dan computer vision syndrom questionnaire (CVSQ) secara potong lintang. Faktor risiko perancu lainnya seperti jabatan, status pekerja, masa kerja, gangguan kesehatan lain juga diteliti dan dihubungan dengan presenteeism secara multivariat. HASIL : Sebanyak 201 pekerja mengikuti penelitian ini, dengan 44,28% mengalami presenteeism dan 84,58% mengeluhkan gejala computer vision syndrome. Studi multivariat menunjukkan bahwa jabatan, status pekerja, dan usia berhubungan signifikan dengan presenteeism (p multivariat <0,001). KESIMPULAN : presenteeism yang terjadi pada pekerja pemakai VDT lebih dipengaruhi oleh faktor perancu daripada keluhan computer vision syndrome (CVS). ......INTRODUCTION: The use of computers around the world has increased, many people spend hours in front of a computer screen without a break. Computer vision syndrome (CVS) is an eye health problem related to this excessive activity, and often affects worker productivity. Employees may be physically present at their jobs but experience decreased productivity and below normal quality of work, a concept known as presenteeism. A study is needed whether computer vision syndrome (CVS) is related to presenteeism in workers. OBJECTIVES: This study will analyze the relationship between computer vision syndrome (CVS) and presenteeism in VDT users in online public service departments in government offices. METHODS: This study used a questionnaire method using the Stanford Presenteeism Scale (SPS-6) and the Computer Vision Syndrome Questionnaire (CVSQ) in cross-section. Other confounding risk factors such as position, employment status, years of service, other health problems were also investigated and related to presenteeism in a multivariate manner. RESULTS: A total of 201 workers participated in this study, with 44.28% experiencing presenteeism and 84.58% complaining of symptoms of computer vision syndrome. Multivariate studies show that job title, employment status, and age are significantly related to presenteeism (multivariate p <0.001). CONCLUSION: presenteeism that occurs in workers using VDT is more influenced by confounding factors than complaints of computer vision syndrome (CVS).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Azhari Maulana
Abstrak :
Latar Belakang: Pandemi COVID-19 terjadi di seluruh Dunia. Semua sektor terkena imbas dari hal tersebut, termasuk tenaga kesehatan. Terjadi peningkatan resiko gangguan kesehatan fisik dan mental dari Tenaga Kesehatan saat Pandemi salah satu nya Burnout. Vaksinasi adalah salah satu usaha dalam memberikan imunitas kelompok pada masyarakat. Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah yang menerapkan percepatan dari vaksinasi pada masyarakat, hal tersebut dapat meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja yang menjadi anggota Tim Vaksinasi COVID-19 sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya kejadian Burnout pada anggota Tim Vaksinasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan Burnout pada Tim Vaksinasi COVID-19 Kab.Subang 2020 -2022 Metode: Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei – Juli 2022 di seluruh puskesmas Kabupaten Subang dengan pembagian kuesioner via online google form. Metode sampling menggunakan simple random sampling. Jumlah sampling dihitung mengunakan metode Slovin dengan hasil 131 orang yang terdiri atas Tim Vaksinasi COVID-19 Kabupaten Subang. Variabel yang digunakan adalah demografi (umur, jenis kelamin, status pernikahan, dan status pendidikan) faktor pekerjaan (jarak antara rumah ke tempat kerja, lama kerja, dan tugas dalam Tim Vaksinasi), beban kerja mental, dan lokus kendali kerja. Analisis yang digunakan adalah analisis hubungan dengan chi square (Bivariat) dan analisis faktor yang paling berhubungan dengan regresi logistik (Multivariat) Hasil dan diskusi: Hasil dari penelitian ini 44 (33,3%) orang dari Tim Vaksinasi mengalami Burnout. Pada penelitian ini tidak ada faktor demografis yang memiliki hubungan dengan Burnout (nilai p > 0.05). Faktor yang berhubungan dengan Burnout yaitu faktor masa kerja (nilai p = 0.022), faktor lokus kendali kerja (nilai p = 0.022), dan faktor beban kerja mental (nilai p = 0.009). Pada uji multivariat ditemukan faktor yang saling berhubungan adalah lokus kendali kerja(aOR =2,9) dibandingkan dengan faktor lain nya. Kesimpulan: Faktor masa kerja, lokus kendali kerja dan beban kerja mental memiliki hubungan dengan Burnout. Faktor lokus kendali kerja merupakan faktor yang paling dominan berhubungan terhadap terjadinya Burnout pada Tim Vaksinasi COVID- 19 Kabupaten Subang. ......Background: The COVID-19 pandemic was happening worldwide. All sectors were impacted because of this pandemic, including health workers. The physical and mental health risks increased during this pandemic, including burnout. Vaccination was one of many methods for giving humans immunity against the disease. Because of that, Subang was one of many districts with a government policy for accelerating vaccinations. These policies may impact vaccination teams because high demand for the group can increase the potential for burnout. Aim: This study is conducted to detect what factors are associated with burnout in the vaccination team in the Subang district. Methods: The research was conducted in May – July 2022 in the public health care Subang district. The sampling method uses simple random sampling of vaccination team members, about 131 people. The variable factors in this research are characteristic sample (age, sex, marital status, education status), Work Factor (commuting distance, work periods, and job in vaccination team), mental workload, and work locus of control. This analysis will be conducted with the chi-square method for correlation in bivariate and logistic regression for correlation in multivariate. Result and Discussions: in this research there are 44(33,3%) people of team members who have Burnout. No demographic factors have correlation with Burnout (p value > 0.05). There is correlation between work periods(p value = 0.022), mental workload (p value = 0.009 ) and work locus of control (p value = 0.022) to Burnout. In multivariate factors, this research found work locus of control (p Value = 0.012) have dominant correlation with Burnout (aOR= 2,9). Conclusion: Work periods, mental workload, and work locus of control factor correlate with Burnout. Work locus of control is the most dominant factor correlates with a burnout in the vaccination team in the Subang district.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library