Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustien Bayu Ristanti
Abstrak :
Latar Belakang: Halusinasi verbal auditori (HVA) adalah pengalaman mendengar suara tanpa stimulus eksternal dan sering dikaitkan dengan skizofrenia. HVA diperkirakan terjadi sebagai akibat dari ucapan internal yang disalahartikan sebagai bagian dari sumber eksternal karena gangguan pemantauan persepsi verbal pada orang dengan skizofrenia (ODS). Penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa ada aktivitas otot bicara ketika pasien skizofrenia berhalusinasi. Hingga saat ini, penelitian serupa belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara halusinasi auditorik verbal dengan kejadian bicara internal yang digambarkan oleh aktivitas elektromiografi otot perioral. Metode: Penelitian ini menggunakan teknik potong lintang dan responden dengan HVA dipilih sebagai sampel dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien skizofrenia dengan halusinasi auditorik verbal yang berobat di Poliklinik Jiwa dr. Cipto Mangunkusumo berusia antara 19 - 59 tahun. Dalam penelitian ini, responden yang sehat juga dimasukkan sebagai kelompok kontrol. Aktivitas otot perioral pada masing-masing responden akan direkam dengan elektromiografi selama fase istirahat dan HVA tanpa artikulasi. Pada responden sehat, aktivitas otot perioral dicatat dengan membaca tanpa artikulasi. Analisis data bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon dengan nilai p < 0,05 menggunakan SPSS ver. 20. Hasil: Sebanyak 13 dari 21 responden dengan HVA sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dengan rentang usia 18-25 tahun (38,1%) dan memiliki skor 2 (57,1%) pada skala uji P3 PANSS Wilcoxon. menunjukkan perbedaan yang signifikan (perbedaan: 0,0550mV, p=0,009) antara hasil aktivitas otot perioral awal dan hasil aktivitas otot perioral selama HVA. Selain itu, hasil uji chi-square antara HVA dan internal speech menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p=0,007. Kesimpulan: Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hasil aktivitas otot dasar perioral dengan hasil aktivitas otot perioral saat terjadi HVA. Hasil ini membuktikan bahwa pembicaraan internal terjadi selama halusinasi ......Background: Auditory verbal hallucinations (HVA) are experiences of hearing sounds without external stimuli and are often associated with schizophrenia. HVA is thought to occur as a result of internal speech being misinterpreted as part of an external source due to impaired monitoring of verbal perception in people with schizophrenia (ODS). Previous studies have suggested that there is speech muscle activity when schizophrenic patients hallucinate. Until now, similar research has never been conducted in Indonesia. Objective: To determine the relationship between verbal auditory hallucinations and internal speech events described by electromyographic activity of perioral muscles. Methods: This study used a cross-sectional technique and respondents with HVA were selected as samples using a consecutive sampling technique. Inclusion criteria were schizophrenic patients with verbal auditory hallucinations who were treated at the Mental Polyclinic of dr. Cipto Mangunkusumo is between 19 - 59 years old. In this study, healthy respondents were also included as a control group. Perioral muscle activity in each respondent will be recorded by electromyography during the resting phase and HVA without articulation. In healthy respondents, perioral muscle activity was recorded by reading without articulation. Bivariate data analysis was performed using the Wilcoxon test with a p value <0.05 using SPSS ver. 20. Results: A total of 13 of the 21 respondents with HVA were mostly male (61.9%) with an age range of 18-25 years (38.1%) and had a score of 2 (57.1%) on the P3 PANSS test scale. Wilcoxon. showed a significant difference (difference: 0.0550mV, p=0.009) between baseline perioral muscle activity results and perioral muscle activity results during HVA. In addition, the results of the chi-square test between HVA and internal speech showed a significant relationship with p=0.007. Conclusion: The results of the analysis showed that there was a significant relationship between the results of perioral muscle activity and the results of perioral muscle activity during HVA. These results prove that internal speech occurs during hallucinations
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Audrey
Abstrak :
Adiksi gim merupakan suatu masalah yang dicirikan dengan kontrol buruk terhadap gim, memprioritaskannya di atas kepentingan sehari-hari dan minat lain, serta tetap dilanjutkan meski telah muncul dampak negatif. Saat ini, adiksi gim telah berkembang menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan terutama pada kalangan remaja. Berbagai penelitian telah menunjukkan dampak negatif adiksi gim terhadap kesehatan mental seseorang. Namun, hal ini belum pernah diteliti pada kalangan remaja di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek berusia 14-17 tahun dari siswa kelas X-XII pada salah satu SMA swasta di Jakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2020. Adiksi gim dinilai dengan kuesioner Game Addiction Scale-21 (GAS-21) dan masalah emosi dan perilaku dinilai dengan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) yang keduanya sudah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Analisis hubungan antara adiksi gim dan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Chi-square dan Fischer, sementara uji korelasi antara durasi bermain gim dengan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac versi 23. Sebanyak 53 subjek terlibat dalam penelitian ini. Proporsi kecenderungan adiksi gim pada pelajar SMA ditemukan sebesar 28,3%. Sementara itu, proporsi subjek berisiko masalah emosi dan perilaku adalah sebesar 43,4%, dengan proporsi risiko gejala emosional sebesar 62,3%, masalah perilaku sebesar 26,4%, hiperaktivitas sebesar 39,6%, masalah peer sebesar 49,1%, dan masalah perilaku prososial sebesar 30,2%. Terdapat hubungan yang signifikan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku secara keseluruhan (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), secara spesifik pada domain masalah perilaku (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hiperaktivitas (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Selain itu, ditemukan pula korelasi positif lemah yang signifikan antara durasi bermain gim dengan masalah perilaku (r=0,374, p=0,006). Adiksi gim berhubungan secara signifikan dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Dengan demikian, masyarakat terutama remaja perlu dianjurkan untuk tidak bermain gim secara berlebih guna mencegah adiksi gim mengingat dampaknya terhadap masalah emosi dan perilaku. Penelitian lebih lanjut yang meneliti faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya masalah emosi perilaku pada remaja juga masih dibutuhkan.
Game addiction is characterized by impaired control over gaming, increased priority of gaming over daily activities and other interests, as well as its continuation despite the occurrence of negative consequences. Currently, game addiction has increasingly become an alarming issue especially among adolescents. Various studies have documented the negative effects of game addiction in mental health. However, such association has not been investigated among adolescents in Jakarta. Therefore, the aim of this study is to investigate the association between game addiction and emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. This cross-sectional study involves subjects aged 14-17 years old from grade 10-12 students in a private high school in Jakarta, conducted in March 2020. Game addiction was evaluated with Game Addiction Scale-21 (GAS-21), while emotional and behavioral problems were assessed with Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ), in which both questionnaires have been validated in Indonesian language. Analysis of association between game addiction and emotional and behavioral problems was performed with Chi-square and Fischer’s exact test. Meanwhile, correlation between gaming time and emotional and behavioral problems scores was analysed with Spearman test. All analyses were performed with Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac version 23. Fifty-three subjects were involved in this study. The proportion of game addiction tendency among the high school students was 28,3%. Meanwhile, the proportion of subjects at risk of emotional and behavioral problems was 43,4%. Within each domain, the proportion of risk of emotional problems was 62,3%, conduct problems 26,4%, hyperactivity 39,6%, peer problems 49,1%, and prosocial behavior problems 30,2%. A significant association was found between game addiction and emotional and behavioral problems in general (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), specifically in the domains of conduct problems (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hyperactivity (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Moreover, there was also a significant weak positive correlation between gaming duration and conduct problems (r=0,374, p=0,006). Game addiction was significantly associated with emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. Therefore, playing games excessively should be avoided in order to prevent game addiction considering its impacts on emotional and behavioral problems especially in adolescents. Further research such as studies investigating other factors which could increase the possibility of developing emotional and behavioral problems among adolescents are also still required.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Carnation Tandri
Abstrak :

Pendahuluan: Adiksi gim merupakan gangguan pola bermain gim yang tergolong berlebihan ketika individu lebih memprioritaskan gim dibandingkan aktivitas sehari-hari dan minat lainnya, sehingga menimbulkan gangguan. Fenomena ini terus meningkat seiring perkembangan zaman dan dapat mengganggu kondisi bio-psiko-sosial seseorang, salah satunya dengan menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresif merupakan tindakan dengan tujuan untuk merugikan, membahayakan, dan menyakiti orang lain, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara adiksi gim dengan perilaku agresif pada pelajar SMA di Jakarta.

Metode: Penelitian ini dilakukan secara potong lintang menggunakan data primer yang diambil dari pelajar salah satu SMA swasta di Jakarta pada bulan Maret 2020.Kuesioner adiksi gim(GAS-21) dan kuesioner kecenderungan perilaku agresif (BPAQ) disebarkan ke seluruh siswa/i dan subjek penelitian dipilih secara acak. Kedua kuesioner yang digunakan telah divalidasi dalam versi bahasa Indonesia. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan uji korelasi Pearson dan korelasi Spearman. Pengolahan data dilakukan dengan aplikasi Statistical Package for Social Sciences(SPSS) versi 23.

Hasil: Berdasarkan pengisian GAS-21, didapatkan 17 dari 59 subjek penelitian (28,8%) yang memiliki kecenderungan adiksi gim.Sementara itu, berdasarkan pengisian BPAQ, didapatkan 9 orang (15,3%) yang memiliki kecenderungan perilaku agresif dengan rata-rata jumlah skor BPAQ 66,220 ±12,729. Adiksi gimdan perilaku agresif memiliki korelasi positif yang bermakna secara statistik (r=0,432), dan menyumbang sebesar 18,7% dari varian proporsi perilaku agresifDi antara domain perilaku agresif, adiksi gim memiliki korelasi terkuat dengan domain agresi fisik (r=0,469), diikuti domain amarah (r=0,307), dan permusuhan (r=0,285). 

Simpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwaadiksi gimmemiliki korelasi yang bermakna dengan perilaku agresif pada pelajar SMA dengan koefisien korelasi yang bermakna, kekuatan sedang, dan arah positif. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberi edukasi untuk remaja terkait penggunaan gim dan menyebarkan hasil penelitian pada sekolah, orang tua, atau psikiater untuk pengembangan ilmu kesehatan jiwa. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk melihat pengaruh faktor lain terhadap perilaku agresif seperti genre gim, pola asuh orang tua, atau sosioekonomi keluarga.


Introduction: Game addiction is a disruption in the pattern of playing games that is classified as excessive when individuals prioritize games over daily activities and other interests, causing disorder. This phenomenon continues to increase over time and can affect bio-psycho-social condition, one of which is by causing aggressive behavior. Aggressive behavior is an action with the intention of harming and hurting others, physically, verbally, and psychologically. This study aims to identify the correlation between game addiction and aggressive behavior among high school students in Jakarta.

Methods: This research was conducted in a cross-sectional manner using primary data taken from students in one private high school in Jakarta on March 2020. The 21 Item Game Addiction Scale (GAS-21) and Buss and Perry Aggression Questionnaire (BPAQ) were distributed to all students and the subjects were selected randomly. The two questionnaires used have been validated in the Indonesian version. The collected data were then analyzed using Pearson correlation test and Spearman correlation test. The data analysis was performed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 23 application.

Results: Based on GAS-21, 17 subjects out of 59 (28.8%) have a tendency to game addiction. Meanwhile, based on BPAQ, 9 subjects (15.3%) have a high tendency to aggressive behavior with an average BPAQ score of 66,220 ±12,729. Game addiction and aggressive behavior had a statistically significant positive correlation (r=0.432), and contributed 18.7% of the proportion variance of aggressive behavior. Among the domains of aggressive behavior, game addiction has the strongest correlation with the domain of physical aggression (r = 0.469), followed by the anger (r = 0.307), and hostility (r = 0.285).

Conclusion: This study concluded that game addiction has a significant correlation with aggressive behavior in high school students with a significant correlation coefficient, moderate strength, and positive direction. Prevention efforts can be done by educating adolescents regarding the use of games and disseminating research results to schools, parents, or psychiatrists for the development of mental health science. Further research can be conducted to see the influence of other factors on aggressive behavior such as game genre, parenting style, or family socioeconomics.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Indriani Rosep Putri
Abstrak :
Pendahuluan: Kekerasan yang dilakukan pasien dengan gangguan kejiwaan merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan maupun orang di sekitar pasien. Karena itu, kemampuan dan pengetahuan psikiater memberikan tata laksana tindak kekerasan berperan penting dalam mencegah potensi keberbahayaan. Edukasi manajemen kekerasan pasien dengan gangguan jiwa dapat meningkatkan kepercayaan diri dan sikap tenaga kesehatan serta polisi menghadapi kekerasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan edukasi dengan tingkat pengetahuan psikiater menangani kekerasan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental analitik dengan metode pretest-posttest yang diujikan pada sampel pada dua waktu berbeda, yaitu sebelum dan sesudah edukasi. Uji analisis bivariat dilakukan menggunakan SPSS 20. Hasil: Hasil analisis menujukan bahwa ada hubungan bermakna antara edukasi dan peningkatan pengetahuan psikiater(p=0.03). Selain itu, ditemukan juga hubungan bermakna pengetahuan awal dengan beberapa data latar belakang psikiater, yaitu jenjang pendidikan tertinggi(0.039) secara negatif, juga materi kurikulum pendidikan spesialis(0.028) dan penilaian diri menangani kasus kekerasan psikis(p=0.025) secara positif. Kesimpulan: Pemberian edukasi berpengaruh untuk meningkatkan pengetahuan psikiater akan tata laksana kekerasan pasien. Dokter spesialis kejiwaan yang mendapatkan materi penanganan kekerasan dalam kurikulum pendidikannya, percaya diri dalam menangani kekerasan psikis, dan belum mendapatkan jenjang pendidikan lanjutan memiliki pengetahuan awal yang lebih baik sebelum edukasi. ......Introduction: Violence in patients with psychiatric disorders is a challange for health workers and those involved with the patient. Thus, psychiatrists comprehension and skill to provide a proper violence management are crucial in preventing further harm. Education of violence management can improve the confidence and attitudes of both health workers and the police in dealing with violence abroad. This study aims to determine the relationship of education with the comprehension level of Indonesian psychiatrists dealing with violence. Methods: This study used an analytical experimental design with a pretest-posttest method, tested on samples before and after education by violence management workshop. The bivariate analysis test was performed using SPSS 20. Results: Analysis showed a significant effect of education in increasing psychiatrists' comprehension at managing violence (p = 0.03). Some additional findings was observed, namely the association between initial knowledge and samples background. Highest level of education (0.039) impacted pretest negatively, while violence management in specialist education curriculum material (0.028) and self-assessment handling cases of psychological violence (p = 0.025) had a positive impact. Conclusion: Education significantly increase psychiatrists comprehension of patients violence management. Psychiatric specialists who were given more material of handling violence in their educational curriculum, more confident in dealing with psychological violence, and have not received postgraduate degree past psychiatric residency have better initial knowledge prior to education.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Maulana Wildani
Abstrak :
Gangguan menstruasi terjadi akibat disregulasi hormon yang terjadi dalam tubuh dan memberikan dampak pada wanita usia produktif, termasuk mahasiswi kedokteran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan menstruasi, dan stress psikologis merupakan salah satu penyebabnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa mahasiswi kedokteran rentan mengalami tingkat stress yang tinggi, dan hal tersebut berhubungan dengan kejadian gangguan menstruasi. Terdapat sedikit studi yang membahas mengenai hubungan antara gangguan menstruasi dengan tingkat stress pada populasi mahasiswi kedokteran di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mencari prevalensi gangguan menstruasi pada mahasiswi kedokteran dan hubungannya dengan tingkat stress. Kuesioner dibagikan untuk mengumpulkan data cross-sectional dari subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dibagi menjadi populasi klinik dan preklinik, dan data akan dibagi menjadi data karakteristik subjek, parameter menstruasi, dan juga parameter nyeri haid. Terdapat proporsi yang besar terhadap tingkat pendarahan abnormal (59.0%) dan nyeri haid (67.0%). Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stress dan tingkat kehilangan darah (p = 0.049). Studi analisis data menunjukkan hubungan bermakna antara stress psikologis dengan gangguan menstruasi yang ditandai dengan tingkat pendarahan abnormal. ......Menstrual disorder happens as hormonal dysregulation occurred inside the body and it affects women in productive age, including medical students. There are many factors that influence the occurrence, and psychological stress is one of them. Studies shows that medical students are prone to high level of stress, and it correlates with the occurrence of menstrual disorder. There are few researches that discuss correlation between menstrual disorder and level of stress on Indonesian medical students’ population. This study aims to find the prevalence of menstrual disorder among female medical student and its correlation with psychological stress. Questionnaire were distributed to collect cross-sectional data from subjects who had fulfilled inclusion and exclusion criteria. Subjects will be divided into clinical and preclinical population and the data will be classified into subjects’ characteristics, menstruation parameters, and dysmenorrhea parameters. There are large proportions of subjects who experienced abnormal blood loss (59.0%) and dysmenorrhea (67.0%). There was significant association between level of stress and amount of blood loss (p = 0.049). Study data analysis showed statistically significant association of psychological stress with menstrual disorder that is marked by abnormal blood loss.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Chairunnisa
Abstrak :
Bonding merupakan ikatan emosi yang terbentuk antara seorang ibu dengan anaknya sejak pertama kali terjadinya kontak antara ibu dan anak. Bonding yang erat pada masa awal perkembangan anak, khususnya pada usia bawah tiga tahun, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi dan sosial anak. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap bonding ibu-anak adalah psikopatologi ibu. Terdapat berbagai studi yang meneliti hubungan antara psikopatologi ibu dengan bonding, tetapi studi-studi tersebut umumnya berfokus pada depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara jenis psikopatologi lainnya pula dengan bonding ibu-anak usia bawah tiga tahun. Pada penelitian cross-sectional ini, sebanyak 65 ibu yang memiliki anak berusia 0-36 bulan diminta untuk mengisi kuesioner Mother Infant Bonding Scale (MIBS) sebagai instrumen pengukuran bonding ibu-anak dan kuesioner Symptoms Checklist 90 (SCL-90) sebagai instrumen pengukuran psikopatologi pada ibu. Uji korelasi Spearman kemudian dilakukan untuk melihat korelasi antara skor total MIBS dengan skor total SCL-90 maupun skor per dimensi psikopatologi, yang mencakup gejala depresi, ansietas, obsesif kompulsif, phobic anxiety, hostilitas, ideasi paranoid, somatisasi, sensitivitas interpersonal, serta psikosis. Ditemukan korelasi positif lemah yang bermakna antara psikopatologi ibu secara keseluruhan (r=0,228), gejala depresi (r=0,236), ansietas (r=0,313), phobic anxiety (r=0,207), dan psikosis (0,221) dengan bonding ibu-anak usia bawah tiga tahun. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara gejala obsesif kompulsif, hostilitas, ideasi paranoid, somatisasi, dan sensitivitas interpersonal dengan bonding (p>0,05). Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan antara psikopatologi yang memiliki korelasi tidak bermakna tersebut dengan bonding, serta penelitian untuk mengeksplorasi faktor-faktor lain yang dapat turut memengaruhi bonding ibu-anak usia bawah tiga tahun. ...... The term bonding refers to the emotional tie between a mother and her infant which forms since their earliest contact. Bonding during the childs early years, especiallyup until the age of three, is crucial for the childs emotional and socia development. Maternal psychopathology is one of the most important factors affecting mother-child bonding. Studies in this area have primarily focused on the association between depression and mother-child bonding, with limited studies investigating other types of psychopathology. This cross-sectional research aims to identify the correlation between various types of psychopathology and bonding among mothers and children under three years old. As many as 65 mothers of children aged 0-36 months were asked to complete two questionnaires: the Mother-Infant Bonding Scale (MIBS) as a measure of mother-child bonding and the Symptoms Checklist 90 (SCL-90) as a measure of maternal psychopathology. Spearmans correlation test was then performed to investigate the correlation between the total scores of each questionnaire, as well as the correlatio between MIBS total score and the SCL-90 subscores for each type of psychopathology. This includes depression, anxiety, obsessive-compulsiveness, phobic anxiety, hostility, paranoid ideation, somatization, interpersonal sensitivity, and psychoticism. Weak but significant positive correlation between maternal psychopathology in general and mother-child bonding was observed (r=0.228). Similar correlation was also observed between bonding and maternal depression (r=0,236), anxiety (r=0.313), phobic anxiety (r=0.207), and psychoticism (r=0,221). No significant correlation was found between bonding and maternal obsessive-compulsiveness, hostility, paranoid ideation, somatization, as well as interpersonal sensitivity (p>0.05). Further research investigating the association of these five psychopathologies with mother-child bonding is needed. Factors other than materna psychopathology that might have affected mother-child bonding also needs to be explored.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamila Ratu Chaidir
Abstrak :
Empati pada manusia dibutuhkan untuk berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan diduga mempunyai empati yang berbeda karena struktur anatomi otak yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sosial dan perilaku anak-anak terhadap lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan empati pada anak laki-laki dan perempuan di sekolah dasar. Penelitian dilakukan secara studi potong lintang. Kuesioner EQ-C/SQ-C versi bahasa Indonesia dipakai dalam penelitian untuk mengidentifikasi kecondongan tipe otak pada anak. Kuesioner disebarkan secara daring dan cetak untuk diisi oleh orangtua. Ketentuan orangtua yang dapat mengisi kuesioner yaitu tingkat pendidikan minimal SMP dan memiliki anak sekolah dasar. Sejumlah 620 data terkumpul lalu dipilih secara acak untuk mendapatkan 384 data untuk dianalisis. Analisis dilakukan dengan uji Chi Square dan uji Mann-Whitney dengan program SPSS versi 20 untuk Mac. Ditemukan perbedaan proporsi tipe otak di antara dua jenis kelamin tetapi, perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan (p=0,460). Proporsi tipe otak Extreme E lebih banyak pada laki-laki, sementara, proporsi tipe otak E, B, S, dan Extreme S lebih banyak pada perempuan. Meskipun begitu, ditemukan perbedaan bermakna pada rerata skor total EQ-C pada laki-laki dan perempuan (p=0,049). Disimpulkan bahwa pada hasil penelitian ini tidak terdapat perbedaan proporsi tipe otak yang bermakna pada kedua jenis kelamin, namun, ditemukan perbedaan bermakna pada rerata skor total EQ-C di kedua jenis kelamin pada anak sekolah dasar di Indonesia,. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan yang mendukung dapat menghasilkan pertumbuhan empati yang baik pada anak laki-laki maupun perempuan di sekolah dasar. Empati pada manusia sangat dibutuhkan untuk berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Jenis kelamin pria dan wanita dianggap memiliki empati yang berbeda karena struktur anatomi otak yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sosial dan perilaku anak terhadap lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan empati pada anak laki-laki dan perempuan di sekolah dasar. Penelitian dilakukan dalam bentuk studi potong lintang. Kuesioner EQ-C / SQ-C versi bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian untuk mengidentifikasi bias tipe otak pada anak-anak. Daftar pertanyaan didistribusikan secara online dan dalam bentuk cetak untuk diisi orang tua. Ketentuan bagi orang tua yang dapat mengisi kuesioner adalah tingkat pendidikan minimal SLTP dan memiliki anak SD. Sebanyak 620 data dikumpulkan dan kemudian dipilih secara acak sehingga diperoleh 384 data untuk dianalisis. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square dan uji Mann-Whitney dengan SPSS versi 20 for Mac. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan proporsi tipe otak antara kedua jenis kelamin tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p = 0,460). Proporsi tipe otak Extreme E lebih besar pada laki-laki, sedangkan proporsi tipe otak E, B, S, dan Extreme S lebih sering terjadi pada wanita. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan rerata total skor EQ-C untuk pria dan wanita (p = 0,049). Disimpulkan bahwa dalam hasil penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan proporsi tipe otak pada kedua jenis kelamin, namun ditemukan adanya perbedaan yang signifikan rerata total skor EQ-C pada kedua jenis kelamin. anak sekolah dasar di indonesia. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan yang mendukung dapat menghasilkan tumbuhnya empati baik bagi siswa laki-laki maupun perempuan di sekolah dasar. ......Empathy is a necessary skill for humans to be able to relate to others in their surroundings. This skill might be influenced by gender because of differing structural anatomy of the brain. This might cause problems in social life and behavior of children toward their environment. This research is conducted to observe if there are differences in empathy skills between boys and girls in elementary school children. This is a cross-sectional study utilizing EQ-C/SQ-C questionnaires to identify the brain type of children. The questionnaires were distributed via online and printed which were filled in by parents who have elementary school children in Indonesia. The minimum requirements of parents’education is junior high school. The number of subjects who fulfilled the questionnaire was 620 and sorted out by random sampling to obtained 384 sample. The sample was analyzed using Chi Square and Mann-Whitney test with SPSS program for Mac version 20. A difference in the proportion of brain type was found between the two genders but the differences were not statistically significant (p=0,0460). Proportion of brain type Extreme E was dominated by boys. Meanwhile the E, B, S, and Extreme S-brain type was dominated by girls. Nonetheless, the difference of average EQ-C total score between the two genders was statically significant (p=0,049). It is concluded that there is no significant difference of brain type proportion in the two gender but there is a significant difference of average EQ-C total score. Therefore, construct a stimulating environment that supporting empathy skills could be generating for all gender in elementary school.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Penduduk dengan gangguan jiwa berat diketahui berisiko melakukan kejahatan kekerasan yang lebih tinggi dari biasanya. Untuk mencegah kekerasan, kemampuan untuk menilai risiko kekerasan diperlukan untuk menilai apakah kekerasan akan berulang atau tidak. Salah satu metode penilaian risiko kekerasan ini adalah dengan Alat Penilaian Risiko Kekerasan (VRA), tetapi metode dan kemampuan untuk menilai Risiko kekerasan belum umum diajarkan dan digunakan di Indonesia. Masalah ini menimbulkan pertanyaan dari tim peneliti tentang bagaimana mengembangkan keterampilan ini di Indonesia. Metode: Pengumpulan data dilakukan di dua lokasi yaitu di Padang pada tanggal 1 Agustus 2019, dan pada tanggal 14 September 2019 di Diklat RSCM, Jakarta. Pesertanya adalah dokter spesialis psikiatri dan/atau sedang menjalani PPDS untuk psikiatri. Peserta mengisi lembar angket dan lembar sebelum pendidikan dan lembar post-test setelah pendidikan. Data Skor dan post-test peserta kemudian dianalisis menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dengan SPSS versi 23 untuk melihat signifikansinya. Data demografi juga dianalisis dengan peningkatan nilai post-test dengan Uji Korelasi Spearman, Uji U Mann-Whitney, dan . uji Kruskal-Wallis. Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara nilai pre-test dan post-test, sedangkan analisis data demografi seperti tingkat pendidikan terakhir, pengalaman sebelumnya, menjalani pendidikan penilaian risiko kekerasan selama program pendidikan spesialis (PPDS) psikiatri, pengalaman menjalani pendidikan penilaian risiko kekerasan di luar PPDS untuk psikiatri, pengalaman menangani kasus kekerasan, lama kerja, jumlah kasus ditangani per bulan, dan data penilaian diri terhadap kemampuan menangani berbagai kasus kekerasan (fisik, seksual, psikologis dan penelantaran) hingga peningkatan nilai post-test tidak ada hubungan atau perbedaan yang signifikan. Kesimpulan: Ada peningkatan yang signifikan antara skor pre-test dan post-test setelah diberikan pendidikan. Korelasi dan pengaruh karakteristik demografi peserta terhadap peningkatan skor post-test tidak memiliki nilai signifikan. Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk menyusun modul atau materi baru dalam psikiatri PPDS
ABSTRACT
Introduction: People with severe mental disorders are known to be at risk of committing crimes higher hardness than usual. To prevent violence, the ability to assess the risk of violence is needed to assess whether violence will repeat or not. One of these violence risk assessment methods is with the Violence Risk Assessment Tool (VRA), but methods and capabilities to assess The risk of violence is not yet commonly taught and used in Indonesia. This problem raises questions from the research team about how to develop these skills in Indonesia. Methods: Data collection was carried out in two locations, namely in Padang on August 1, 2019, and on September 14, 2019 at the RSCM Training and Education, Jakarta. Participants are specialist doctors psychiatrist and/or undergoing PPDS for psychiatry. Participants fill in questionnaire sheets and sheets before education and post-test sheets after education. Data Participants' scores and post-test were then analyzed using the Wilcoxon Signed Rank Test with SPSS version 23 to see the significance. Demographic data were also analyzed by increase in post-test scores with the Spearman Correlation Test, the Mann-Whitney U Test, and . test Kruskal-Wallis. Results: There was a significant difference (p<0.05) between the pre-test and post-test scores, while the analysis of demographic data such as the last education level, previous experience, undergo violence risk assessment education during the specialist education program (PPDS) psychiatry, experience undergoing violence risk assessment education outside pendidikan PPDS for psychiatry, experience in handling violent cases, length of work, number of cases handled per month, and self-assessment data on the ability to handle various cases of violence (physical, sexual, psychological and neglect) to increased post-test scores there is no significant relationship or difference. Conclusion: There is a significant increase between pre-test and post-test scores after given education. Correlation and influence of participant demographic characteristics on improvement post-test scores have no significant value. This research can be the basis for compiling new modules or materials in PPDS psychiatry
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metta Dewi
Abstrak :
Latar Belakang: Inflamasi pada kehamilan normal disebabkan oleh oksidatif stress yang disebabkan oleh produksi radikal bebas dan peningkatan biomarker inflamasi, seperti IL-6. 830 wanita meninggal setiap harinya karena hamil dan melahirkan, diantaranya 15% disebabkan oleh komplikasi pada kehamilan seperti preeklampsia. Preeklampsia merupakan sebuah sindrom yang muncul pada kehamilan, terutama pada trimester ketiga, dan terasosiasi dengan inflamasi yang berlebihan. Sebagai antioksidan, vitamin C diduga berperan menurunkan stress oksidatif pada kehamilan dan persalinan, sehingga menurunkan tingkat kematian ibu, sehingga dilakukan penelitian untuk mencari hubungan antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 sebagai biomarker dari inflamasi. Metode: Penelitian berdesain potong- lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Magunkusumo pada 40 orang ibu hamil trimester ketiga dikelompokkan menjadi preeklampsia dan non-preeklampsia. Subjek diwawancara menggunakan semi-kuantitatif food frequency questionnaire yang diolah dengan NutriSurvey untuk asupan vitamin C, dan ELISA untuk kadar IL-6. Data diuji distribusinya dengan uji normalitas Shapiro-Wilk, kemudian dilakukan analisis univariat dengan uji T tidak berpasangan, Mann-Whitney, dan Chi-square; serta bivariat dengan uji korelasi Spearman. Analisis dilakukan dengan SPSS for Windows ver. 20. Hasil: Hasil yang tidak signifikan ditunjukkan pada usia subjek dan usia gestasi terhadap preeklampsia dan non- preeklampsia dengan p=0,545 dan p=0,34. Asupan vitamin C yang ditunjukkan oleh subjek preeklampsia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-preeklampsia dengan median sebesar 76,37(28,05–396,88) mg dan 68,87(8,57–198,53) mg dengan p=0,358. Sedangkan, kelompok preeklampsia menunjukkan kadar IL-6 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non-preeklampsia [15,8(2,2–67,4) pg/ml vs 6,8(1,8–43,5) pg/ml] dengan perbedaan yang tidak signifikan. Uji korelasi non-parametrik menunjukkan tidak adanya asosiasi yang signifikan antara vitamin C dan kadar IL-6 (p=0,361; r= -0,147). Selain itu juga, tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 untuk setiap kelompok dengan r= -0,143 dan -0,198 secara berturut-turut. Pembahasan: Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 pada ibu hamil trimester ketiga pada penelitian ini. Hasil ini dapat disebabkan oleh asupan vitamin C pada subjek yang kurang (<85 mg) pada kedua kelompok dan juga inflamasi pada trimester ketiga yang meningkat. Selain itu, penelitian ini hanya meneliti hubungan asupan vitamin C dengan kadar IL-6, sedangkan peran melawan stress oksidatif dan inflamasi melibatkan seluruh antioksidan, baik eksogen maupun endogen. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antioksidan lainnya dengan IL-6 sangat disarankan. ......Background: Inflammation in pregnancy is primarily caused by systemic oxidative stress due to production of free radicals and increased levels of inflammatory biomarkers such as IL-6. Every day, 830 women associated with pregnancy and childbirth die globally, approximately 15% of which is caused by prenatal complications such as preeclampsia. Preeclampsia is a syndrome developed during pregnancy which occurs mostly on the third trimester and is strongly associated with inflammation. As an antioxidant, vitamin C could potentially play a role in reducing oxidative stress in either pregnancy or delivery, thus decreasing mortality rate. Therefore, a research to investigate the relationship between vitamin C intake and levels of IL-6 as a biomarker of oxidative stress was conducted. Methods: A cross-sectional study done in Cipto Mangunkusumo National General Hospital. 40 women in third trimester pregnancy are then grouped into preeclampsia and non- preeclampsia, and surveyed via Food Frequency Questionnaire and NutriSurvey for vitamin C, as well as ELISA assay for IL-6 expression. All data was firstly analyzed using Shapiro- Wilk normality test, then analyzed univariately using unpaired T-test, Mann-Whitney, and Chi-square; bivariate analysis was conducted with Spearman correlation test. All analysis was done using SPSS software ver. 20. Results: There is no significant difference shown between mean age and gestational age of the preeclampsia and non-preeclampsia group with p=0.545 and p=0.34 respectively. Subjects in the preeclampsia group were shown to consume vitamin C slightly higher than the non-preeclampsia with median values of 76.37(28.05–396.88) mg and 68.87(8.57–198.53) mg respectively with p=0.358. On the other hand, the preeclampsia group expressed higher level of IL-6 than the non-preeclampsia [15.8(2.2–67.4) pg/ml vs 6.8(1.8–43.5) pg/ml] with no significant difference. A nonparametric correlation test showed no significant association between vitamin C (p=0.361; r = -0.147) and total IL-6 level. There was also no significant difference between vitamin C consumption and IL-6 level for each group with r= -0.143 and -0.198 respectively. Discussion: There was no significant association between vitamin C intake and IL-6 level on third trimester pregnancy women (p= 0.361). This result could be caused by inadequate intake of vitamin C in both groups and the increase of inflammation on the third trimester. In addition, this study only examined association between vitamin C and IL-6 level, while role of neutralizing oxidative stress and inflammation involved both endogenous and exogenous antioxidants. Therefore, further research should be considered to study vitamin C alongside the other antioxidants level and IL-6 level.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Yasmine Dyahputri
Abstrak :
Pendahuluan: Perawakan pendek merupakan masalah pertumbuhan yang banyak dijumpai di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi anak usia sekolah dasar dengan perawakan pendek mencapai 23,6% pada tahun 2018. Perawakan pendek pada anak dikaitkan dengan masalah psikososial yang diduga disebabkan oleh bullying, stigmatisasi, dan isolasi sosial yang dihadapi anak. Namun, penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik ini telah menghasilkan hasil dan angka yang bervariasi tidak memadai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar. Metode: Rancangan penelitian potong lintang digunakan pada anak usia sekolah dasar di SDN 01 Kampung Melayu. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kelompok tinggi badan anak dengan masalah psikososial hasil skrining menggunakan kuesioner PSC-17, yang menilai tiga subskala masalah perilaku (internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian). Hasil: Prevalensi anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu mencapai 15,28%. Prevalensi anak dengan masalah psikososial adalah 18,12% dan prevalensi anak perawakan pendek dengan masalah psikososial adalah 22,73%. Hasil analisis perawakan pendek pada masalah psikososial pada anak menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistik, baik secara umum (p = 0,268), subskala internalisasi (p = 0,532), eksternalisasi (p = 0,400), perhatian (p = 0,414), dan skor total PSC-17 (p = 0,614). Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar.
Introduction: Short stature is a common growth problem in developing countries. In Indonesia, the prevalence of primary school-age children with short stature reached 23.6% in 2018. Short stature in children is associated with psychosocial problems which are thought to be caused by bullying, stigmatization, and social isolation faced by children. However, previous studies dealing with this topic have yielded varying results and figures inadequate. Therefore, this study aims to determine the relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children. Methods: A cross-sectional study design was used on elementary school-aged children at SDN 01 Kampung Melayu. The study was conducted by comparing the height group Children with psychosocial problems were screened using the PSC-17 questionnaire, which assessed three behavioral problem subscales (internalization, externalization, and attention). Results: The prevalence of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu reached 15.28%. The prevalence of children with psychosocial problems was 18.12% and the prevalence of short stature children with psychosocial problems was 22.73%. The results of the analysis of short stature on psychosocial problems in children showed a statistically insignificant relationship, both in general (p = 0.268), internalization subscale (p = 0.532), externalization (p = 0.400), attention (p = 0.414), and score total PSC-17 (p = 0.614). Conclusion: There is no significant relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>