Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diana Damayanti H
1984
S12692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiani Harwanto
"Masalah penelitian ini adalah proses kreativitas para perupa kontemporer Indonesia dalam mempertahankan kesehatan jiwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan terlibat dan studi dokumentasi.
Temuan penelitian ini adalah:
(1) Permasalahan kehidupan para perupa yang bersumber pada aspek kebudayaan, psikologis, dan ekologis yang mempengaruhi proses berkarya. Proses berkarya para perupa merupakan strategi untuk mempertahankan kesehatan jiwa. Temuan ini memberikan kontribusi baru dalam seni rupa Indonesia karena pemahaman selama ini proses berkarya hanya selalu dihubungkan dengan seni untuk seni dan art therapy bagi orang yang sakit jiwa. Pemahaman yang kedua hanya bisa digunakan pada cara menyembuhkan orang yang sakit jiwa atau seni rupa orang yang sakit jiwa. Pendapat seni untuk seni semata tidak bisa dipertahankan karena masalah seni bukan hanya dikaji dengan seni semata melainkan dapat juga terkait dengan masalah kesehatan jiwa. Temuan ini diperkuat dengan adanya kecenderungan perkembangan seni yang tanpa sekat dan lintas disiplin (Alisyahbana, 1983). Temuan ini memperkuat pendapat Narol (1962; Lumsden, 1975; McElroy dan Towsend, 1979, Picasso, dalam Soemantri, 1998).
(2) perupa kontemporer mempunyai sikap yang menjunjung kebebasan. Setiap perupa bebas menentukan media visual yang akan dipilih dengan lintas batas-batas bahkan cenderung menggabungkannya. Setiap perupa mempunyai karakteristik masing-masing yang dipengaruhi pengalaman hidup, latar belakang pendidikan, latar belakang sosial budaya, dan proses kreativitas termasuk pandangan mereka tentang hidup dan kehidupan. Temuan ini memberikan pemahaman baru terhadap karakteristik seni rupa kontemporer. Temuan ini menolak pendapat (Soedarso, 2000) karena aspek kontemporer menekankan pada kesatuan unsur -unsur visual dan non-visual, dan proses kreativitas yang memberikan kebebasan, serta selalu berhubungan dengan situasi kekinian (Santayana, 1998). Temuan ini memperkuat pendapat Al Hassan (dalam Gombrich,1965: 15);
(3) strategi penanggulangan perasaan tertekan (coping grass) berhubungan dengan pandangan perupa tentang karya, hidup, dan interaksi manusia dan lingkungan. Pandangan tentang berkarya seni dipahami perupa sebagai pemegang otoritas tunggal, kebebasan bereskpresi, pengakuan terhadap eksistensinya, kompensasi atas permasalahan, sarana kornunikasi dengan siapa saja tanpa mengggunakan topeng "apa adanya atau ada adanya", sarana meditasi, media pemberdayaan manusia, ringannya beban, rasa syukur kepada Tuhan, Yang memberi bakat dan ibadah. Temuan ini berbeda dengan Dewey (1964), Langer (1962), Croce (1964)."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Waliati Sudradjat
"Penelitian, revitalisasi dan konservasi terhadap bangunan tradisional Betawi telah dilaksanakan Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka melestarikan budaya Betawi dan meningkatkan peran pariwisata di Jakarta sebagai salah satu sumber devisa. Desa Marunda Pulo dan Karang Tengah di Rorotan merupakan kawasan Jakarta yang terjauh letaknya dari pusat kota. Desa Marunda Pulo penduduknya merupakan komunitas Betawi Pesisir yang pemukimannya terletak di tepi pantai dan dikelilingi sungai Blencong dan sungai Tiram sedangkan desa Karang Tengah di Rorotan pemukimannya terletak di tengah pesawahan yang sangat luas.
Kedua kawasan ini telah mengalami perubahan sosial budayanya sebagai akibat berkembangnya kawasan industri di sekitar pemukimannya. Walaupun modernisasi sedang dialami kedua masyarakat ini, tetapi pembangunan fisik di kawasan ini belum dirasakan hasilnya, tampak pada rumah tinggal dan kehidupan masyarakatnya.
Beberapa penduduk di kawasan ini masih memiliki rumah tradisional Betawi yang lingkungan dan rumah tradisional Betawi di sini memiliki keunikan yang belum disadari keberadaannya oleh Pemda DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta, dengan mengidentifikasi perubahan fungsi ruang pada rumah tradisional Betawi yang sangat berpengaruh kepada bentuknya, sehingga masalahnya dapat diatasi saat restorasi dan konservasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yophie Septiady
"Rumah adat atau rumah tradisional merupakan bahan yang menarik dalam penelitian Antropologi. Beberapa peneliti telah banyak `mengupas' tentang bahan penelitian ini, seperti; Cunningham (1964), Raglan (1964), Rapoport (1969), Singarimbun (1975), Broadbent (1984), Duly (1985), Oliver (1987), Mangunwijaya (1988), Fox (1990, 1993), Waterson (1991, 1993), Egenter (1995), Gintings (1996), Molnar (1996,1999), Suparlan (1999), Woodward (1999), Provencher (1999), dan lain-lain, yang membahas dari tujuan dan sudut pandangnya masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan referensi di atas, saya mencoba mengkaitkan antara simbol-simbol pada bangunan rumah adat Karo di desa Lingga dengan cerita prosa rakyat yang ada pada masyarakatnya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena hubungan yang terjadi di dalamnya berkaitan erat sekali dengan unsur-unsur budaya dari masyarakatnya, seperti; agama, ideologi, kekerabatan, status sosial, pranata, dan adat istiadat. Pemakaian folklor (cerita prosa rakyat) sebagai salah satu bagian dari budaya akan lebih mempertajam pemahaman budaya untuk mengetahui budaya pada masyarakatnya.
Cerita prosa rakyat dan simbol memiliki hubungan yang sating mendukung. Cerita prosa rakyat dalam penyampaian atau penuturannya kadang kala menggunakan alat bantu pengingat (mnemonic device), biasanya berupa benda-benda yang memiliki mutan simbol-simbol untuk mempermudah dan memperkuat penuturannya. Begitu pula dengan simbol, beberapa di antaranya membutuhkan cerita prosa rakyat untuk lebih menegaskan pemahaman dan penyampaian maksud dari dibuatnya simbol tersebut.
Cerita prosa rakyat yang terbagi menjadi 3 katagori; mite, legenda, dan dongeng, memiliki ciri dan wujud masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya yang dapat dihubungkan dalam makna dari simbol-simbol yang ada, sehingga makna tersebut menjadi semakin jelas arahnya tujuannya. Cerita prosa rakyat dan simbol-simbol yang ada pada rumah adat Karo menunjukkan suatu hubungan yang saling mendukung untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan dan budaya mereka agar hidup selaras, baik antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alamnya. Untuk meneliti masalah ini tidaklah mudah, sebagai seorang peneliti haruslah benar-benar `masuk' (dapat menyelami) dan sabar dalam mengamati masalah penelitiannya, karena pengamatan penelitian bukan hanya pada tahap; melihat apa yang mereka kerjakan, mencatat apa yang mereka tuturkan dan benda apa yang mereka gunakan, tetapi juga memahami perilaku dan konsep berfikir yang ada pada diri mereka, serta `mewaspadai' konsep berfikir kita sendiri adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiyono
"ABSTRAK
Pada awal dekade 90-an disiplin antropologi mendapat serangan besar, menyangkut konsep kebudayaan yang digunakan dan etnografi sebagai model presentasi. Konsep kebudayaan dalam tradisi Boasian dan etnografi Malinowskian yang menjadi anutan dalam disiplin ini, serta merta dianggap mengidap penyakit esensialisme dan reifikasi. Salah satu kelemahan penggunaan konsep "kebudayaan" seperti itu ialah, gagal menyangkut muatan kekuasaan yang bersembunyi di kebudayaan. Diilhami oleh anjuran agar antropologi belajar pada studi budaya yang mengangkat produksi dan reproduksi bentuk budaya sebagai permasalahan, tulisan ini mencoba melihat bagaimana kebudayaan sebagai terumbu karang (coral reef) tempat besembunyi kekuatan ideologis dan hegemonik.
Kasus pertunjukan wayang kulit yang dilihat sebagai sebuah teks menyediakan bukti bagi penelitian ini; bahwa dalam bentuk budaya (cultural form) tersebut tersembunyi kekuatan ideologi yang hegemonik bercorak penyiapan penanda-penanda (signifiers) sekaligus petanda (signified) tentang sebuah struktur dunia berupa negara di mana posisi paling superior ditempati oleh raja yang (harus) disangga oleh kesatria. Sebagai "kau'', penonton ternyata tidak serta merta menyetujui penanda dan petanda yang disiapkan oleh subject of speech dalam teks. Melalui tokoh punakawan yang tampil dalam adegan gara-gara dan limbukan, penonton menentukan sandhi signifiers dan signified bagi struktur dunianya. Di sini mereka menemukan ruang untuk menjadikan dirinya sebagai subyek dalam kerangka wacana tentang negara. Struktur dunia yang ditampilkannya bercorak datar, dengan ciri: para tokohnya terdiri dari orang biasa, melibatkan penonton secara langsung, bercerita tentang ihwal keseharian, menggunakan bahasa ngoko yang juga merupakan bahasa keseharian yang cenderung kasar, dan lebih dari itu bersifat lucu yang tidak serius, apalagi formal.
Dalam rumusan yang singkat: Kebudayaan bukan saja merupakan arena dialog, pertentangan bagi suara-suara dari berbagai kelompok dan individu untuk berebut dan menentukan ruang makna; lebih dan itu kelompok-kelompok atau individu-individu itu memiliki peluang dan mencoba untuk masuk menjadi subyek dalam teks itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Rahmawati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji masalah adaptasi transmigran di lokasi transmigrasi.
Transmigrasi merupakan salah satu program pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan, yaitu persebaran penduduk Indonesia yang tidak merata, terutama kesenjangan penduduk antara Jawa dan Luar Jawa, Prosfek keberhasilan program ini ditujukan untuk menjamin pemerataan penduduk dan kesejahteraan penduduknya, dengan jalan penyediaan lapangan kerja dan peningkatan taraf hidup, melalui pemanfaatan sumber daya alam dan tenaga manusia.
Keberhasilan program transmigrasi sangat tergantung dari keberhasilan transmigrannya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan membentuk kehidupan masyarakat baru. Hanya saja, perubahan dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain bukan hal yang mudah, karena setiap individu sudah terbiasa hidup dalam konteks lingkungan tertentu, sehingga perubahan lingkungan akan mengganggu keseimbangan hidup. Tantangan kehidupan di lokasi baru menuntut individu transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, yang relatif berubah.
Kenyataannya, ada transmigran yang berhasil beradaptasi dan ada yang gagal beradaptasi, ditandai dengan keberadaan transmigran yang bertahan tinggal di lokasi dan berhasil meningkatkan taraf hidupnya, di sisi lain banyaknya transmigran yang pergi meninggalkan lokasi untuk kembali ke daerah asal.
Untuk itu, perlu diadakan penelitian tentang adaptasi transmigran. Secara khusus, kajian ini akan membahas hubungan keberhasilan dan kegagalan adaptasi transmigran dengan keberadaan hubungan sosial.
Pertanyaan penelitiannya adalah pola hubungan sosial yang bagaimana yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan adaptasi transmigran di lingkungan pemukiman yang Baru. Apakah keberadaan dukungan sosial mempunyai makna panting bagi kelangsungan hidup transmigran. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang bagaimana yang mempengaruhi keberhasilan adaptasi transmigran.
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian di atas, dilakukan studi lapangan melalui metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan life history. Adapun pengumpulan datanya menggunakan Cara pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan fokus grup diskusi terhadap beberapa orang informan terpilih. Data yang sudah terkumpul tersebut kemudian diolah dan dianalisa dengan Cara mengkategori data dan mendeskripsikannya, sehingga diperoleh data tentang strategi adaptasi transmigran,
Dalam melihat masalah adaptasi transmigran, pendekatan "Actor Based Model" digunakan sebagai kerangka acuan, yaitu adaptasi dipandang sebagai suatu
tindakan yang dihasilkan dari keputusan sejumlah individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sejumlah pilihan keputusan individu dalam beradaptasi dengan lingkungan akan menunjukkan pola yang sama apabila individu-individu tersebut mempunyai norma budaya yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masalah adaptasi transmigran merupakan masalah interaksi social. Keberhasilan dan kegagalan adaptasi transmigran tergantung dari kemampuan transmigran tersebut dalam memahami sumber mata pencaharian yang ada dan mengatasi berbagai tantangan lingkungan. Bagaimana transmigran memobilisasi kemampuan tersebut sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya interaksi dan dukungan sosial.
Ada sejumlah individu transmigran yang melakukan strategi adaptasi dengan jalan mencari dukungan sosial, melalui hubungan sosial, baik berupa hubungan kekerabatan, pertemanan, ketetanggaan maupun melalui institusi dan organisasi sosial yang ada di lokasi transmigrasi.
Hubungan kekerabatan dibedakan kualitasnya berdasarkan ikatan yang melatar belakangi hubungan tersebut, yaitu ikatan darah dan ikatan perkawinan. Bentuk hubungan kekerabatan ini menjamin transmigran untuk memperoleh dukungan sosial, hanya saja hubungan kekerabatan atas dasar ikatan darah lebih efektif dan lebih pasti dalam menjamin keberadaan dukungan sosial.
Hubungan pertemanan biasanya terbentuk karena ada kesamaan, misalnya kesamaan daerah asal dan bersifat sukarela. Masing-masing anggota secara sukarela menjalin hubungan dengan anggota lainnya tanpa ada tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan hubungan pertemanan, hubungan ketetanggaan terbentuk karena ada kepentingan tertentu dan tujuan yang diharapkan, misalnya untuk mencari dukungan ekonomi atau dukungan-dukungan lainnya.
Institusi dan organisasi sosial yang ada di lokasi transmigrasi bisa diharapkan sebagai sumber dukungan sosial ketika transmigran tersebut mengalami hambatan interaksi dan komunikasi dengan sesama transmigran lainnya
Transmigran yang mempunyai hubungan sosial akan memperoleh dukungan sosial, sedangkan transmigran yang tidak mempunyai hubungan sosial tidak akan memperoleh dukungan sosial. Sementara itu, dukungan sosial yang ada dan diterima oleh transmigran tidak semuanya efektif bagi kelangsungan adaptasi transmigran. Ada yang sifatnya terbatas, ada juga yang menjamin kelangsungan adaptasi. Hal ini tergantung dari harrnonis tidaknya hubungan sosial tersebut dan intensif tidaknya frekwensi interaksi dan komunikasi yang yang dijalin oleh masing-masing transmigran.
Strategi adaptasi masing-rnasing transmigran dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakang budaya transmigran yang bersangkutan, sehingga arti penting keberadaan dukungan sosial tidak sama bagi semua transmigran. Ada sejumlah transmigran yang menganggap dukungan sosial bukan sebagai dukungan sosial, melainkan sebagai tindakan balas jasa atas kebaikan transmigran tersebut di masa lalu, atau hutang yang harus dibayar di masa datang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Subiyantoro
"ABSTRAK
Seni ukir adalah aset bangsa, bukan hanya dari segi budaya tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, Sehingga harus dilestarikan bahkan dikembangkan untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan masyarakat dan derajat kehormatan bangsa, sebagaimana yang diamanatkan pasal 32 UU 1945. Untuk mewujudkan amanat tersebut sangat berkaitan dengan kegiatan enkulturasi, yang memerlukan, pewaris-pewaris kreatif yang mampu meneruskan pengetahuan-pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap serta nilai-nilai seni ukir kepada generasi berikutnya secara berkesinambungan. Apalagi pada masa-masa seperti sekarang ini, laju modernisasi telah menuntut pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Masalah penelitian yang dikaji adalah bagaimana proses enkulturasi seni ukir berlangsung, meliputi: unsur-unsur maupun proses-proses dan cara-cara serta pola-pola enkuturasi (pembudayan) dari generasi ke generasi terhadap berbagai sarana atau instisirsi sosial yang terkait satu sama lain dalam kerangka kebudayaan masyarakat setempat.
Penulisan ini bersifat deskripstif dan analisis. Model penjelasan mengacu pada konsep enkulturasi (Herkovits, 1964: 325; Theodorson, 1979: 131; Seymour, 1992: 92-93) kerangka proses enkulturasi konsep Fortes (dikutip Koentjaraningrat, 1990: 229-231) dan teori pola enkulturasi ((Devault, 1971: 315; Baumrind,1963: 479; Jaeger, 1977: 96).
Penelitian bersifat kualitatif, dilakukan dengan field voile research, menggunakan metode survey, pengamalan dan pengamatan terlibat (participant observation) serta wawancara mendalam (indepfh interview) terutama dalam menghimpun individual life history.
Hasil studi menunjukkan bahwa
1. Hal-hal yang melatarbelakangi proses enkulturasi nilai seni ukir berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi, telah didasari oleh motif ekonomi dan kesadaran sosial terutama para pewaris (pihak pembudaya) yang dilandasi oleh faktor historis masyarakat setempat (budaya).
2. Sarana proses berlangsungnya enkulturasi dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah proses enkulturasi yang bersifat langsung (eksplisit) dan golongan kedua adalah proses enkulturasi yang bersifat tidak langsung (implisit). Sarana proses enkulturasi yang bersifat langsung terjadi di sekolah dan di tempat magang seni ukir. Samua proses enkulturasi yang bersifat tidak langsung terjadi melalui: institusi keluarga, kelompok sebaya atau peer group, tempat pekerjaan, lembaga agama seperti masjid, dan media massa.
3. Sistem magang merupakan sarana proses berlangsungnya enkulturasi secara langsung dan efektif yang membentuk pribadi perajin seni ukir, Nilai-nilai seni ukir yang dienkulturasikan pada instltusi ini ada empat, yakni nilai keindahan, nilai teknik dan nilai kegunaan yang dilandasi oleh nilai ekonomi. Proses enkulturasi melibatkan dua peran, pertama peran orang yang belajar yaitu melalui tahapan: meniru [mitas), identifikasi, internalisasi dan eksternalisasi; kedua peran pendidik ukir sebagai, pembimbing yang memberikan: instruksi, persuasi, rangsangan dan hukuman. Cara enkulturasi melibatkan anak langsung ke dalam kegiatan praktek sehari-hari di tempat magang, baik sistem magang model ginaon maupun model ngenek,
4. Keseluruhan dalam proses mengenkulturasikan nilai-nilai, pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dalam proses pembudayaan seni ukir, pola yang diterapkan adalah bervariasi dan cenderung berbeda pada setiap model sistem magang. Pola enkulturasi merupakan perpaduan, dan bukannya menggambarkan pada satu pola tertentu. Pola-pola tersebut adalah: (1) pola otoriter demokratis, (2) pola otoriter-dominan demokratis (3) pola demokratis. Pola yang diterapkan pada pewaris generasi terdahulu dengan pola enkulturasi yang diterapkan pada generasi sekarang telah mengalami perubahan, yakni dari pola yang semula demokratis bergeser ke pola perpaduan antara otoriter demokratis, hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang merupakan motif dominan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan melalui seni ukir sebagai medianya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus SAA
"Tesis yang berjudul di atas terdiri dari 173 halaman. Tesis tersebut terbagi dalam lima bab, yakni Bab I, Pendahuluan, Bab II, Gambaran umum Kabupaten Jayawijaya. Bab III, tentang pola pemukiman orang Dani. Bab IV, Aktivitas keluarga orang Dani. Bab V, perumahan sehat yang diperkenalkan pemerintah dan Bab VI, berisi kesimpulan dan saran. Tesis ini berisi tiga peta wilayah penelitian, delapan tabel, delapan bagan, dan dua gambar bangunan perumahan.
Sasaran kajian pada orang Dani yang bermukim di lembah Balim Kecamatan Wamena. Masalah penelitian adalah mengapa perumahan ideal di lingkungan pemukiman sehat yang diperkenalkan pemerintah tidak diterima dan dihuni komunitas lokal orang Dani? Untuk meniawab permasalahan di atas dilakukan melalui beberapa pertanyaan penelitian, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Tehnik pengumpulan data di lapangan melalui pengamatan dan wawancara. Pemukiman yang dimaksud dalam tesis ini adalah pemukiman yang mengandung unsur-unsur, yaitu tata ruang, bangunan perumahan, keluarga penghuni dan adaptasi keluarga.
Tesis ini membahas tentang empat temuan utama, yakni pertama, konsep penataan ruang pemukiman dan fisik konstruksi bagunan perumahan tradisional dan pola baru yang diperkenalkan pemerintah atau pemukiman sehat. Kedua, tidak dihuninya pemukiman sehat. Ketiga, modifikasi perumahan sehat. Keempat, pengorganisasian anggota keluarga penghuni pemukiman.
Hasil temuan pertama menunjukkan bahwa pola pemukiman orang Dani di lembah Balim Wamena, dewasa ini terdiri dari dua pola pemukiman, yakni pola tradisional yang di sebut silimo dan pola baru yang diperkenalkan pemerintah yang disebut perumahan ideal dilingkungan pemukiman sehat. Makna pemukiman tradisional atau silimo mengandung dua komponen utama, yakni ruang dan penghuni. Hasil kajian menuniukkan bahwa penataan ruang silimo adalah melingkar dan dikelilingi pagar, di dalamnya terbagi dalam sebelas ruang, yakni muso hulak, hunu, ebe-ae, hakse, honai, pilamo, wam dabula, wam lalma, oaiyagi dan sili. Kesebelas ruang tersebut ditata secara berurutan mulai dari muso hulak sampai dengan oaiyago, setiap ruang mempunyai fungsi dan makna mendalam bagi kehidupan mereka. Sebelas ruang antar satu dengan lainnya berbeda tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai silimo yang ideal. Wujud fisik kesebelas ruang dalam silimo ada yang tsrbuka dan ada yang tertutup, ruang yang tertutup berada dalam bangunan, masing-masing ruang dipisah dengan pagar mini, intensitas pemanfaatan ruang sill sedangkan ruang lainnya terbatas.
Silimo yang ideal terdiri dari lima bangunan, yakni ebe-ae, honai, pilamo, wam dabula dan hunu. Wujud fisik konstruksi bangunan terbagi dua, yakni bangunan bulat dan bangunan memanjang. Fisik bangunan honai, ebe-ae dan pilamo berbentuk bulat dan hanya satu ruang berlantai dua, sedangkan bangunan hunu dan wam dabula memanjang, di dalamnya disekat menjadi beberapa ruang sesuai kebutuhan penghuni. Honai dan ebe-ae berfungsi sebagai tempat tinggal, reproduksi dan sosialsasi. Pilamo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral kebudayaan mereka dan lantai dasar sebagai sarana sosialsasi. Pertumbuhan penghuni mempengaruhi penambahan dan pemugaran bangunan di dalam silimo. Hunu berfungsi sebagai tempat pengelolaan makanan dan wamdabula berfungsi sebagai tempat pemeliharaan ternak babi.
Penghuni silimo terdiri dari manusia dan hewan, tumbuhtumbuhan dan benda-benda kebudayaan mereka. semuanya menempati ruang masing-masing. Keluarga penghuni silimo di organisir melalui tiga kelompok, yakni keturunan patrilineal, perkawinan dan tempat tinggal. Adanya pemisahan keluarga penghuni dalam rumah khusus, yaitu wanita di ebe-ae dan laki-laki di honai. Kebudayaan orang Dani adanya larangan perkawinan dalam klen dan gabungan klen yang tergolongan dalam satu moleti atau paroh masyarakat, yaitu waya dan vita. Keluarga penghuni silimo dapat membangun dan menata tata ruang silimo maupun fisik konstruksi bangunan perumahan yang sesuai dengan tuntutan alami, kehidupan sosial dan kebudayaan mereka.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan terintegrasi sesama anggota keluarga di silimo dilakukan berbagai aktivitas. Aktivitas yang diangkat dalam karya tulis ini, yakni sistem kepemimpinan, mats pencaharian hidup, poly pengelolaan makanan, kepercayaan, pola pengasuhan anak dan transformasi budaya. Semua aktivitas ini merupakan kegiatan yang dilakukan anggota keluarga dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka di silimo.
Konsep pemukiman sehat dan perumahan ideal yang diperkenalkan pemerintah pada orang Dani mengandung dua kontponan besar yakni pertama ruang dan kedua penghuni. Penataan ruang pemukiman sehat terbagi dua, yaitu ruang hidup atau ruang serba guna dan ruang tidur. Untuk membatasi ruang yang satu dengan ruang lain nya dengan dinding bangunan perumahan. Ruang hidup atau ruang serba guna berfungsi sebagai sarana untuk berbagai aktivitas penghuni, sedangkan ruang tidur berfungsi untuk tidur.
Konsep penataan ruang perumahan sehat terbatas hanya dua ruang, sedangkan konsep penataan ruang silimo sebelas ruang, persepsi orang Dani bahwa Ruang dalam perumahan sehat tidak mencukupi kebutuhan atau dianggap kurang lengkap untuk dihuni, fisik konstruksi bangunan sebagaimana dikemukakan diatas adalah tidak sesuai dengan kondisi lingkungan alam, penggabungan keluarga dalam satu bangunan perumahan tidak sesuai dengan kehidupan sosial dan kebudayaan orang Dani. Ketidak sesuaian konsep pemukiman sehat berakibatkan perumahan sehat yang di perkenalkan pemerintah sejak tahun 1970-1990 tidak diterima dan dihuni orang Dani. Penghuni perumahan sehat yang diperkenalkan pemerintah di peruntukan bagi keluarga inti.
Berkat transformasi kebudayaan, di mana orang Dani yang membuka diri dan menerima konsep perumahan sehat yang diperkenalkan pemerintah dapat memodifikasi bangunan tersebut. Wuaud modifikasi adalah di belakang perumahan sehat di bangun honai sebagai tempat tingggal, reproduksi dan sosialisasi di belakang honai di bangun wam dabula sebagai sarana pemeliharaan ternak babi sedangkan perumahan sehat digunakan untuk menyimpan peralatan kerja mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T7149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitrif Yunus
"Perkawinan adalah suatu peristiwa sosial penting dalam lingkaran hidup manusia. Perkawinan merupakan transisi dari fase kehidupan remaja menuju fase kehidupan berkeluarga. Perkawinan di berbagai kebudayaan masyarakat mengikuti aturan-aturan tertentu sesuai adat kebiasaan yang berlaku setempat.
Bermacam-macam adat kebiasaan dan aturan tentang persyaratan perkawinan yang berlaku diberbagai masyarakat. Berkenaan dengan persyaratan perkawinan, setidaknya ada tiga aturan yang bersifat universal, yaitu: aturan mas kawin (bride price), pertukaran gadis (bride-exchange), dan pencurahan tenaga untuk kawin (bride-service). Ketiga aturan tersebut berlaku pada masyarakat yang berbeda-beda. Salah satu atau dua syarat yang berlaku harus dipenuhi oleh orang yang mengambil inisiatif dalam perkawinan; biasanya yang menjadi pengambil inisiatif adalah laki-laki (Koentjaraningrat, 1985: 99).
Di samping itu dikenal pula dua persyaratan perkawinan yang berlaku pada masyarakat tertentu, yaitu berupa barang antaran (bride-wealth) sebagaimana ditemui pada masyarakat Koromojong dan suku Nuer di Afrika, dan berupa harta bawaan (dowry) seperti pada masyarakat Subanun di Philipina (Keeling, 1992: 7-9).
Pada masyarakat Pariaman Sumatera Barat terdapat adat kebiasaan dan aturan tentang persyaratan perkawinan yang khas, berbeda dengan aturan yang dikemukakan di atas, disebut uang japutan. Syarat perkawinan itu harus dipenuhi oleh keluarga calon pengantin perempuan yang menjadi pengambil inisiatif dalam perkawinan.
Adat kebiasaan itu dewasa ini telah mengalami perubahan. Perubahan itu berawal dari perubahan sosial dan perubahan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup anggota masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial dan perubahan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mempunyai hubungan yang signifikan dengan perubahan adat kebiasaan.
Perubahan itu berlangsung antara lain melalui proses inovasi, dan inovasi itu diterima secara sosial. Inovasi terjadi karena adanya perubahan pada sistem kognitif anggota masyarakat. Perubahan sistem kognitif itu berdampak pada perubahan perilaku dan tindakan-tindakan individu anggota masyarakat. Karena perubahan perilaku dan tindakantindakan itu dapat diterima atau disetujui secara sosial, maka terjadilah perubahan pada kebudayaan masyarakat setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiratma
"Di Negara Kita Indonesia yang termasuk negara berkembang, kerajinan merupakan usaha produktif di'sektor non pertanian, baik merupakan mata pencaharian utama maupun sampingan. Lebih dari 4000 sentra kerajinan yang menghasilkan berbagai je nis terdapat di Indonesia. Mulai dari usaha keluarga, sampai ke bentuk koperasi dalam skala sedang dan besar berkembang.. Berbagai produk kerajinan yang paling sederhana hingga indah yang bernilai artistik berkembang, sehingga menyerrap tenaga kerja yang makin hari semakin besar jumlahnya. Na mun sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang lebih maju, pembangunan industri yang menghasilkan barang secara mas sal (skala besar) karena dukungan teknologi maju dalam system produksinya, maka produk-produk kerajinan yang mengandalkan keterampilan tangan dan wawasan seni, mulai surut dan digusur. Hal itu tercermin pada beberapa sentra kerajinan yang menunjukkan keadaan yang cukup memprihatinkan. Keadaan seper ti itu tidak dialami oleh Sentra Kerajinan Keramik di Klampok Banjarnegara Jawa Tengah. Sentra ini telah berdiri sejak tahun 1957 dan sampai sekarang masih dapat bertahan bahkan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana para pengusaha/perajin bisa bertahan? Pengkajian ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan mengungkapkan cara-cara pengu saha kecil mempertahankan usahanya, dengan meningkatnya peng usaha besar yang berproduksi secara massal. Fokus pengkajian ini diarahkan pada pokok-pokok masalah tentang pengusaha meng arahkan, mengelola usahanya; pola hubungan kerja para pelaku yang terkait; peremajaan tenaga terampil yang diperlukan sis tem pewarisan keahlian dalam pembuatan produk-produk kerajinan keramik di daerah tersebut, dan tentang distribusi pemasaran nya.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekat an etnografis. Data dan informasi yang diperlukan dikumpulkan melalui observasi dan wawancara secara mendalam dengan infor man yang ditentukan sesuai dengan pengetahuan dan sifat data yang ingin diperoleh. Untuk melengkapi dokumen yang bersifat visual telah digunakan pemotretan untuk obyek dalam proses pembuatan dan produk-produk kerajinan keramik. Kemudian secara rinci, untuk memperoleh garnbaran yang menyeluruh, obyek-obyek visual ( dalam hal ini terutama denah penyaringan bahan baku untuk pembuatan keramik, seperti tanah liat) juga digambar dengan denah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusaha/perajin ke ramik di Klampok, Banjarnegara masih tetap dapat bertahan sampai saat ini karena adanya berbagai faktor yang mendukung. Faktor pertama, karena Sentra Seni Kerajinan Keramik di Klampok menghasilkan barang-barang yang tidak mungkin diproduksi secara massal, hanya dapat dibuat dengan keterampilan pera jin/manual. Faktor yang ke dua, proses pembuatan Seni Kera jinan Keramik di Klampok dapat membentuk keterampilan, maka sumber daya manusia tingkat terampil yang dibutuhkan terse - dia. Ke tiga, meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya, maka meningkat pula kebutuhan yang dikehendaki, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer tetapi juga kebutuhan non primer, seperti: souvenir antik, spesifik, dan kekhususan antara lain dari barang-barang keramik. Faktor yang terakhir Sentra Kerajinan Keramik di Klampok menghasilkan produk-produk yang spesifik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>