Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Gunawan
Abstrak :
Tesis ini merupakan kajian terhadap suatu brand di Amerika yaitu Aunt Jemima. Produk utama dari brand ini adalah makanan siap saji pancake dan jenis makanan lainnya. Brand ini mempergunakan gambar perempuan kulit hitam sebagai merek dagangnya. Aunt Jemima telah beredar di Amerika Serikat sejak tahun 1889 dan masih diproduksi sampai sekarang (tahun 2003). Fokus perhatian utama dari penelitian saya adalah alasan perubahan citra dari brand tersebut dan hal-hal yang melatar belakanginya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab mengapa merek dagang tersebut bisa bertahan selama puluhan tahun, tanpa melakukan perubahan citra dan apa yang menyebabkan diubahnya citra merek dagang Aunt Jemima pada tahun 1968 dan tahun 1989. Tesis ini menunjukkan bahwa pihak produsen mengubah pencitraan brand Aunt Jemima untuk mensiasati terjadinya perubahan sosial politik masyarakat Amerika terhadap masyarakat kulit hitam dari tahun 1889 hingga 1989. Citra mammy menjadi dasar bagi pencitraan Aunt Jemima di tahun 1889 hingga sebelum tahun 1968. Ia digambarkan sebagai ahli masak, pengabdi majikan, dan periang sesuai dengan karakteristik dasar stereotype flee happy slave, the devoted servants, dan The natural-born cook. Yang ingin disampaikan oleh penggunaan merek dagang tersebut adalah bahwa produk Aunt Jemima rasanya enak karena dibuat oleh ahli masak dari selatan. Citra yang tadinya mengarah pada stereotype "Mommy" tidak dapat dipertahankan lagi karena citra yang tadinya menimbulkan rasa nyaman dan aman tidak pada masa ini menjadi citra yang negatif karena mengingatkan pada masa perbudakan. Di tahun 1968 citra yang dibawakan Aunt Jemima adalah citra seorang perempuan yang mengatur rumah tangga, merawat keluarga dan mengurus dapurnya sendiri. Dengan menampilkan Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga ini, maka akan ada proses identifikasi dari konsumen produk Aunt Jemima yang secara mayoritas adalah ibu rumah tangga. Fungsi digambarkan dengan penghargaan atas peranannya mengurus rumah tangga. Dengan produk-produk sophisticated, dan modern, yang dapat membantu menyelesaikan masalah pekerjaan rumah tangga, seperti produk siap saji Aunt Jemima, pekerjaan ibu rumah tangga akan terlihat lebih menyenangkan. Pada tahun 1980-an banyak kecenderungan atau kemajuan yang dialami perempuan di Amerika. Citra Aunt Jemima di tahun 1989 ini adalah citra yang bukan sekedar wanita karir tetapi juga perempuan yang memperhatikan keluarganya. Secara implisit disampaikan juga bahwa Aunt Jemima menempatkan diri sebagai anggota masyarakat Amerika yang multikultural setara dengan pria atau perempuan lain dari etnik yang berbeda. Hasil analisis teori menunjukkan bahwa kampanye yang dilakukan biro iklan pada tahun 1889 hingga 1950-an adalah menciptakan brand atau citra Aunt Jemima sebagai karakter pelayan yang mewakili masa "keemasan" wilayah Selatan Amerika. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1960-an adalah upaya menciptakan citra Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga yang "modern". Ibu rumah tangga yang berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan rumah tangga yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya dengan mempergunakan teknologi yang canggih. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1980-an adalah menciptakan citra Aunt Jemima sebagai perempuan profesional yang masih mengupayakan kenyamanan bagi keluarganya. Citra Aunt Jemimta mengalami perubahan bertahap. Citra ini dimulai dari Aunt Jemima sebagai pengurus rumah tangga keluarga kulit putih yang menimbulkan rasa nyaman. Kemudian pada tahun 1968, Aunt Jemima digambarkan dengan citra sebagai ibu rumah tangga yang dapat mengurus keluarganya sendiri bukan keluarga lain. Pada tahun 1989, citra Aunt Jemima adalah citra perempuan karir yang masih mempedulikan keluarganya. Brand Aunt Jeminia selama masih beredar di pasaran masih akan mengubah citranya karena masyarakat Amerika masih akan terus berubah dan berkembang.
The changing Image of Aunt Jemima Brand from 1889 to 1989This thesis is study on an American brand - Aunt Jemima. The main product of this brand is an instant ready to cook pancake. This brand uses a picture of a black woman as its trademark. Aunt Jemima has been around since 1889 are still produced until now (2003). The main focus of this research is the reason behind the changing image of the brand and to find out what was the background of these changes. The aim of this research is to examine the reason why this brand can survive without changing its image for a long years and what makes it change in 1968 and 1989. This research shows that the company changes the image of Aunt Jemima's brand in order to keep up with the changing social and political attitude toward American black peoples. The mammy stereotype was the basic of the Aunt Jemima's image from 1889 until 1968. Aunt Jemima was pictured as the happy slave, the devoted servants, and the natural-ban: cook. What was conveyed from using this image is that Aunt Jemima's product is tastes delicious since a Southern cook made it. This mammy image becomes a negative image. Mammy image reminds some people of slavery and it became less comforting. In the year 1968 the image that was carried out by Aunt Jemima was an image of a housewife. She was a black woman who took care of her house, kitchen, and nurturing her husband and children. By showing this image, there will be a process of identification from the consumer - which assumed came from the housewife majority. The role as a modem housewife was considered as an honorable career. As a modern housewife it was logical if they also use modern and sophisticated products such as Aunt Jemima's. Aunt Jemima helps modern housewife solves their problems. The jobs of a housewife will look more pleasant. In the eighties, there were a lot of progresses experienced by American women. The image of Aunt Jemima in the year 1989 became a career woman but she still care for her family. Implicitly it conveyed that Aunt Jemima positioning herself as a member of the multicultural society of America, equal to any other ethnic man or woman. This research is a qualitative research, which employs a descriptive analysis method. An analysis shows that the campaign executed by advertising agencies in the year 1889 to 1968 was to create the image of Aunt Jemima as a servant to represent the golden age of the South. The campaign since 1968 was to create an image of a modern housewife. The campaign in the 1989 was to create an image of an independence woman who still cares for her family. The image of Aunt Jemima changed gradually. It started as a housekeeper or servant of a white family that was comforting. She was a woman who doesn't have her own family. And then she became a housewife in 1968. She has her own family now. And she took good care of them. The third, in 1989, was an image of an independence woman who can decide her own path. In the future, Aunt Jemima brand will still continue to change in accordance with the changing American society.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulansari
Abstrak :
The Names dan White Noise adalah novel karya Don Delillo yang banyak berhubungan dengan masalah dunia dengan beragam orang dengan profesinya, nama-nama tempat dan budayanya. The Names adalah novel terbaik ke-tujuh yang pernah ditulis oleh Delillo yang tidak hanya menawarkan sebuah paparan melalui percakapan di dalamnya tetapi juga mampu membuka wawasan pembaca akan adanya wacana konsumerisme yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya melalui beragam peran,dan profesinya. White Noise adalah novel terbaik ke-delapan karya Delillo, setelah The Names. Penghargaan National Book Award diberikan untuk karya Delillo, White Noise, sebagai bukti dari wujud kecerdasan dan kesetiaannya dalam sejarah kesusasteraan Amerika. Di dalam White Noise, Delillo mencoba menggali keberadaan budaya popular yang mempertajam dunia konsumerisme melalui kehidupan akademik dan intelektual. Keragaman dari tokoh dengan kecerdasan berpikirnya, latar tempat dengan detil dan pernik-pemiknya yang jelas, dan budaya-budayanya mewakili perbedaan berfikir, berasal, dan alasan mereka dalam melibatkan mereka dalam memunculkan budaya konsumerisme. Kecenderungan tokoh-tokoh dalam bersaing dan memperlihatkan peran dan kemampuan mereka dalam menilai keterbaikan mereka dan keterburukan orang lain adalah keunikan mereka untuk semakin mengukuhkan keceradsan budaya konsumerisme. Konflik yang terjadi di dalam keluarga, perpecahan dalam rumahtangga, dan perkembangan mental anak yang tidak jelas adalah resiko yang tidak dapat dihindari dari proses pemahaman kemajuan dari media masa, elektronik, dan telekomunikasi yang tidak terkontrol. Kemajuan teknologi, dan cara berpikir yang intelek tidak mutlak mengubah budaya tradisional dan cara berpikir beberapa orang. lronisnya, The Names dan White Noise menunjukkan kegagalan dari kaum intelektual yang konsumtif dan teknologi dalam menciptakan struktur yang mapan seperti yang diharapkan masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan sosiokultual yang mendukung konsep dan aspek-aspek yang mengukuhkan budaya konsumerisme yang akan dianalisa melalui tokoh-tokoh, latar tempat, dan medianya dalam cerita. Teoriteori yang memperlihatkan peran media masa, elektronik, dan telekomunikasi dalam mendukung tokoh, sebagai agen, penghasil, dan target pasar konsumerisme diambil untuk memperjelas hubungan yang jelas dan panting diantara keduanya. Hasil penelitian diharapkan dapat memperlihatkan adanya keragaman pekerjaan, dan profesi tokoh-tokoh intelektual, latar-latar tempat tertentu, dan peran media dalam :aengukuhkan budaya konsumerisme. Tokoh dengan beragam pekerjaan, asal-usul, latar tempat, dan media bertindak dan melakukan praktek budaya konsumerisme demi kepentingan mereka dalam mengaktualisasi din mereka dan juga untuk mempergunakan orang lain untuk dikonsumsi. Kegagalan dari budaya konsumerisme yang diperlihatkan dalam penelitian ini adalah dehumanisasi yang telah dihasilkan dari telmologi dan cars berpikir yang konsumtif. The Names and White Noise are Don Delillo's novels, which cover and deal much with the world that is full of plural people, places, and cultures. The Names is the seventh greatest novel of Delilo's work that does not offer a shared narration through conversation, but it also brings us to the implied consumerism done by the characters through their various roles, function, and profession. White Noise is the eight best literary works that Delillo has ever written. The convincing National Book Award addressed to his White. Noise was the evidence of his brilliant mind and loyalty in participating much his life in America's literary history. In White Noise, Delillo explores the existence of pop culture in sharpening the consumerism world through the world of the academic life and intellectual life. The plurality of characters with different intellectual mind, many settings with their explicit details and accessories, and cultures represent the different ways of thinking, origins, and reasons in getting involved in emerging the consumerism culture. The characters' tendencies to compete and show off their roles and competences in judging their best and the others' worst are their idiosyncrasies in constructing the existed consumerism culture. The conflicts happen in family, the friction in marriage, and the unpredictable mental growth of children are just only the unavoidable risks of the process in understanding the advance of the uncontrollable sophisticated mass, electronics, and telecommunication media. The advance of technology, and the intellectual mind cannot easily change the traditional culture and mind of some people. Ironically, The Names and White Noise show the failure of the consumed intellectuals and technology in establishing the settled structure of expected society. Applying the socio-cultural approach in which the supporting concepts and elements in constructing the consumerism culture are analyzed through the characters, settings, and media in both novels does the study. The theories on how mass media, electronic media, and telecommunication media back up much the characters as the agent, the producer and the marketer of consumerism culture and also the settings usually used in the transaction of consumerism are taken to clarify their significant correlation. The result of the discussion presents the answer that the existed various jobs, professions of the intellectual characters, the specific settings, and the roles of media participate much in either constructing and criticizing the existed consumerism culture. The characters with different jobs, origins, and from different places and different media act, and practice the consumerism culture for the sake of their own needs in actualizing themselves and exploiting others to be consumed as well. The failure of consumerism in this study is proven by the dehumanization done by the consumed technology and mind.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Maharani
Abstrak :
Kedudukan autos pahlawan olahraga mempunyai peran lebih dari sekedar atlit dalam masyarakat majemuk Amerika sejak tahun 1950an. Mereka tidak hanya dituntut untuk mendominasi bidang olahraganya tetapi juga mewakili perjuangan berbagai kelompok dalam proses penerapan multikulturalisme. Isu-isu yang timbul yaitu pengakuan identitas kolektif dan berbagai isu lain sehubungan dengan perubahan tradisi dalam institusi olahraga tersebut. Tiger Woods seorang pemain golf profesional yang mendominasi bidang olahraganya menjadi sarana dari isu-isu berbagai kelompok yang saling bertentangan, saling mendominasi ataupun benegosiasi. Tiger Woods yang dalam hal ini menjadi media bersikap pragmatis dengan memanfaatkan kembali isu-isu tersebut bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok lain. Melalui pendekatan kualitatif dan cultural studies, dengan menganalisa representasi tokoh Tiger Woods maka dapat ditunjukkan adanya tuntutan suatu media yang dapat mengakomodasi berbagai benturan dan dukungan dalam berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat Amerika sehubungan dengan proses multikulturalisme. Representasi dari Tiger Woods yang dimaknai berbeda-beda membuat perubahan pada pemahaman suatu identitas yang sifatnya fixed atau stasis menjadi dinamis dan merupakan negosiasi antara masa lalu dan masa kini. Tiger Woods juga menjadi representasi dalam masyarakat multikultural Amerika bukan hanya karena identitas yang ada pada dirinya tetapi karena fungsi representasi dari Tiger Woods bagi kepentingan berbagai kelompok tersebut. Identitas individu yang dipahami oleh masyarakat didasari oleh kalegori yang berdasarkan pads ras, etnik, gender dan kelas sehingga muncul berbagai tuntutan pada diri Tiger Woods yang memiliki latar belakang biologis multiras dan multi etnik. Kesadaran akan klasifkasi identitas bagi general multiras dimunculkan dalam fenomena ini. Hal ini menunjukan bahwa klasifikasi identitas yang ada dalam masyarakat dituntut untuk dapat disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi sehubungan dengan proses multikulturalisme. Tiger Woods dapat mendominasi olahraga golf yang menjadi supremasi monokulturalisme (rich, middle-age white men). Perubahan yang terjadi dalam tradisi golf menjadikan Tiger Woods dimaknai sebagai simbol perjuangan multikulturalisme. Olahraga golf disini menjadi sarana pergesekan antara monokulturalisme dan multikulturalisme. Representasi Tiger Woods dalam perubahan tradisi golf dimanfaatkan oleh berbagai kelompok untuk kepentingan mereka sehubungan dengan olahraga golf isu sendiri maupun kepentingan diluar urusan golf. Dari berbagai pemaknaan dan penggunaan mitos pahlawan olahraga Tiger Woods ini menunjukkan bahwa masyarakal Amerika memerlukan suatu media yang tidak saja merefleksikan suatu proses multikulturalisme tetapi juga terlibat dan berperan dalam pembentukan proses itu sendiri. Representasi Tiger Woods menjadi signifikan karena memproduksi berbagai simbol dan anti, mengorganisir berbagai pemaknaan dan digunakan sebagai acuan berbagai objek, isu, golongan, peristiwa ataupun aturan-aturan secara nyata dalam masyarakat majemuk Amerika, berdasarkan kode-kode yang sesuai dengan latar belakang konsep pemikiran masing-masing kelompok.
The myth of sports heroes or heroines has played some important role in the American multicultural society since the 1950s. They are not demanded not only to dominate the sports but also to represent some groups in the process of implementing multiculturalism. The issues raised are collective identity recognition and some other issues related to the tradition changes in the related sports institutions. Tiger Woods, a dominant professional golfer has facilitated the issues from different groups that opposites, dominated, and negotiated to each other. He, in this respect a negotiator, is pragmatic by employing the issues for his own or other groups' interests. Through qualitative approach in cultural studies, analyzing the representation of the sports figure Tiger Wood, I can demonstrate that there is a demand that media must be capable of accommodating various conflicts and supports within the American social groups especially if connected to the multicultural process. The representation of Tiger Woods, which is interpreted differently, has changed the understanding of an identity that used to be fixed or static into the one dynamic and negotiating the past and present. Tiger Woods represents the multicultural American society not because of what he has personally but because of his functioning as the representative of those groups. Individual identity is understood as categorization with the basis of race, ethnic, gender, and class; therefore, there come demands to Tiger Woods, the one who is biologically of multi races and multi ethnics. The awareness of identity classification of the multiracial generation is raised in this phenomenon. This shows that such social classification is required to adjust to the progress of multicultural process. Tiger Woods can dominate golf, a monoculture hegemony (rich, middle-aged white men). The changes of this tradition have made Tiger Woods a symbol of the multicultural movement. Golf facilitates the negotiation of monoculture-multicultural conflicts. This representation in changing golf tradition is made good use of by some groups for sports and non-sports purposes. From the meaning and use of the myth of sports heroes, Tiger Woods shows that American society needs a medium that not only reflects the multicultural process but also involves and takes part in the process itself. The representation becomes significant because it produces symbols and meanings, manages several meaning-makings, and is used as standards of various objects, issues, social groups, events or regulations explicitly in the multicultural America with the basis of codes which conform the background thoughts of each social group.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Ahdiati
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang kebangkitan dan transformasi dalam perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika tahun 1990-an. Tujuan yang ingin dicapai dalam tesis ini adalah memahami hakekat dan tujuan perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika pada tahun 1990-an yang merupakan kebangkitan dan tranformasi yang sudah dirintis sejak tahun 1960-an. Tesis ini memantaatkan model tahapan gerakan sosial yang diambil dari pemikiran Warner E. Gettys dan prinsip multikulturalisme sebagai kerangka teorinya untuk menganalisa bentuk atau pola kebangkitan dan transformasi dalam perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika tahun 1990-an. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metodologi penelitiannya. Sedangkan metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan melalui metode analisa sejarah untuk menemukan pola perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika tahun 1990-an. Hasil penelitian tesis ini adalah bahwa perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika tahun 1990-an merupakan kebangkitan dari perjuangan di tahun-tahun sebelumnya dimana kebangkitan tersebut menjadi dasar bagi kaum feminis lesbian untuk mentransformasikan bentuk perjuangannya dari gerakan sosial separatis menjadi gerakan politik praktis. Kebangkitan dan transformasi tersebut menjadi sarana bagi kaum feminis lesbian untuk melembaga dan mendapat legitimasi dari masyarakat Amerika secara keseluruhan. Sedangkan keberhasilan kaum feminis lesbian melalui kemenangan Tammy Baldwin untuk melembaga dalam pemilihan anggota kongres tahun 1998 memberikan peta kekuatan baru dalam sistem politik di Amerika, khususnya dalam Kongres Amerika. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari multikulturalisme yang diyakini dan dianut oleh masyarakat Amerika, yaitu kesetaraan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesetaraan. This thesis discusses the resurgence and transformation in the struggle of the lesbian feminists in the United States of America during 1990s. The aim of this thesis is to understand the nature and the goals of the struggle itself since 1960s. This thesis takes `the patterning of social movement' from Warner E. Gettys and the principle of multiculturalism as the theoretical framework of this thesis to analyze the form or pattern of the resurgence and transformation in the struggle of the lesbian feminists in the United States during 1990s. This thesis uses a qualitative approach as its methodology and a library research through historical analysis as its method to find the patterns of the struggle of the lesbian feminists in the United States of America during 1990s. The result of this thesis is that the struggle of the lesbian feminists in the United States during 1990s constitutes the resurgence and transformation of the struggle of the lesbian feminists in the previous years. The resurgence itself becomes a reason for the lesbian feminists to transform the form of their struggle, i.e. from social separatist movement into practical-political movement. The resurgence and transformation becomes the medium for the lesbian feminists to be institutionalized and get legitimacy from the American society. The success of the lesbian feminists through Tammy Baldwin's win in the process of the 1998 congressional election gives a new power map in the American political system, especially in the US Congress. The success of the lesbian feminists in their struggle cannot be apart from multiculturalism that shelters the lives of the Americans, i.e. equality in difference and difference in equality.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11087
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Abdul Wahid
Abstrak :
Tekanan publik Ameriika terutama kalangan LSM dan kelompok konsumen akibat tuduhan pelanggaran HAM terutama eksploitasi buruh sejak tahun 90-an membuat banyak perusahaan multinational termasuk Gap membuat barikade melalui pelaksanaan Code of Conduct. Code of Conduct adalah satu set aturan dan etika bisnis yang memuat aspek-aspek dasar hak asasi manusia khususnya dalam bidang perburuhan seperti yang harus diikuti oleh setiap vendor, pabrik, atau subkontraktor sebagai prasyarat untuk melakukan transaksi bisnis. Isi Code of Conduct terdiri dari penghormatan terhadap hukum setempat, pembatasan jam kerja, larangan penggunaaan buruh paksa dan buruh anak, kebebasan berserikat, pembayaran upah minimum, kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan non-diskriminasi. Banyak pihak yang melihat bahwa Code of Conduct merupakan bagian dari startegi kehumasan semata. Oleh karena itu tujuan penelitian yang menggunakan metode studi kasus ini adalah untuk melihat pelaksanaan Code of Conduct sebagai upaya public relations dalam menghadapi tekanan dari publik terutama dari kalangan LSM seperti aktivis HAM, gerakan buruh, konsumen, pelajar dan mahasiswa. Masalah yang diidentifikasi dalam thesis ini adalah kegiatan public relations melalui penerapan Code of Conduct termasuk bagaimana perusahaan Gap sebagai suatu institusi bisnis melakukan aktivitas HAM perburuhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagai insitusi bisnis ternyata menunjukan bahwa Code of Conduct bukan semata-mata berfungsi sebagai alat PR, namun lebih jauh telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh yang diperlihatkan dengan kerjasama berbagai LSM dan pemutusan hubungan bisnis dengan partner bisnisnya yang melakukan pelanggaran isi dari Code of Conduct. Many multinational company like Gap, due to growing pressure from American public particularly from non-government organizations and consumer group on human rights violations has created their own Code of Conduct. This voluntary business ethic comprised of a set of rule of basic labor rights as a compulsory measurements for each business partner e.g. vendors, factories, and subcontractors, as a condition to engage business transaction with Gap. Code of Conduct covers a full compliance with the laws of their respective countries, stipulating among others limitation of working hours, the prohibition of forced and child labor, minimum wage, workers health and safety, non-discriminatory policy, etc. Outside parties such as NGO's tend to see that this constitutes of public relations spin, hence the purpose of this research which using case study is to identify the implementation of Code of Conduct under the pressure from labor and human rights movement. Key issues in this thesis is to investigate whether or not there was a deliberate attempts to use the Code of Conduct as public relations gimmick amid a business environment. The research result revealed that COC is not merely a public relations tool as there were many actual engagement with various non-government organizations and the termination of business relationships with its business partners due to Code of Conduct violations.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasmiyah A. Rauf
Abstrak :
Masalah yang diteliti di dalam tesis ini adalah perubahan bentuk dari Sufisme Islam menjadi Sufisme Amerika. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa adanya perubahan dari Sufisme Islam menjadi Sufisme Amerika disebabkan oleh akulturasi antara Sufisme Islam dengan nilai-nilai Amerika. Kelompok Sufi yang diambil sebagai model analisis di dalam tesis ini adalah kelompok Sufi Ruhaniat International. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode kajian kepustakaan, yang menggunakan teknik deskriptif-interpretatif Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah, konsep nilai, konsep akulturasi, konsep Multikulturalisme, konsep Pragmatisme, dan konsep Liberalisme. Hasil penelitian dari tesis ini menunjukkan bahwa nilai Liberalism, nilai Multikulturalisme, dan nilai Pragmatisme, terdapat di dalam unsur-unsur yang membentuk kelompok Sufi Ruhaniat International, sehingga kelompok Sufi tersebut secara khas dapat dikatakan mewakili bentuk Sufisme Amerika.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Diah Soelistyarini
Abstrak :
Perang Saudara (1861-1865) dan masa Rekonstruksi (1865-1877) merupakan sebuah periode sejarah yang berulangkali mengalami reinterpretasi. Hingga saat ini peristiwa ini terus diingat bukan sekedar sebagai sebuah episode dalam sejarah Amerika melainkan telah menjadi sebuah legenda. Salah satu upaya untuk menghidupkan terus legenda seputar Perang Saudara dan masa Rekonstruksi yang menandai kelahiran kembali bangsa Amerika adalah diproduksinya film The Birth of a Nation yang disutradarai oleh DW Griffith pada tahun 1915. Masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah reinterpretasi sejarah bangsa Amerika masa Perang Saudara dan masa Rekonstruksi seperti yang ditampilkan dalam film The Birth of a Nation. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa interpretasi kembali sejarah bangsa Amerika masa Perang Saudara dan masa Rekonstruksi dalam film tersebut merupakan upaya untuk melakukan rasionalisasi dan justifikasi atas kekalahan Selatan dalam Perang Saudara dan kegagalan program Rekonstruksi dengan menghidupkan kembali legenda The Lost Cause. Dengan demikian, film ini berharap dapat mengembalikan harga diri dan kehormatan Selatan yang harus menelan kekalahan pahit dalam Perang Saudara. Selain itu, Rekonstruksi pasca perang dianggap semakin mengacaukan kondisi masyarakat Amerika di Selatan sehingga film ini ingin mewujudkan tatanan ideal masyarakat sebagaimana sebelum pecahnya perang tersebut dengan membangkitkan kembali kejayaan `the Old South`.
Reinterpreting the American History of the Civil War and Reconstruction Era: A Study of The Birth of a Nation. American Studies. Civil War (1861-1865) and Reconstruction (1865-1877) is a historical period that time and again has undergone so many reinterpretations. Hitherto, this event has been remembered not simply as an episode in the American history but more as a legend. One of the attempts to preserve the legend of Civil War and Reconstruction that marked the rebirth of America as a nation was the production of The Birth of a Nation, a film directed by DW Griffith in 1915. The research problem of this thesis is the reinterpretation of the American history of the Civil War and Reconstruction era as depicted in the film The Birth of a Nation. This thesis proposes that the reinterpretation of the American history in the Civil War and Reconstruction era as portrayed in this film is an attempt to rationalize and justify Southern defeat and the failure of Reconstruction by reviving the myth of The Lost Cause. By doing so, this film is expected to salvage Southern pride and honor from the all-encompassing defeat. Furthermore, as the post-war Reconstruction has long been considered to bring ruin and degradation to the Southern society, this film wished to realize the ideal image of the antebellum Southern life by revitalizing the glory of `the Old South.`
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chen Siu Li
Abstrak :
ABSTRAK
Citra wanita tradisional Amerika diambil alih oleh golongan W.A.S.P. sesuai gagasan Ratu Victoria, yang menggambarkan kewanitaan yang sejati sebagai lambang kesucian (purity), kesalehan (piety), ketaatan (submissiveness), dan sopan santun wanita (female propriety). Ratu Victoria yang bertahta di Inggris dari tahun 1837 sampai tahun 1901, mengutuk kaum wanita yang ingin berjuang untuk persamaan hak dengan kaum pria. Beliau mengajak kaumnya, baik di Inggris maupun di Amerika, untuk Join in checking this wicked folly of women's rights, on which my poor sex is bent, forgetting every womanly feeling and propriety (Djajanegara, 1987:32). (bersama-sama membendung perjuangan hak-hak wanita yang tolol dan buruk itu, dan yang menjadi tekad kaumku yang malang dengan melupakan segala perasaan serta sopan santun kewanitaan).

Menurut nilai-nilai Victoria, ruang lingkup kegiatan wanita harus terbatas pada rumah tangga dan dalam W.A.S.P. (White Anglo-Saxon Protestants/Kaum Protestan Anglo-Saxon kulit putih), kelas menengah yang berkuasa dalam kehidupan nasional, lingkungan keluarga, terkecuali kegiatan-kegiatan agama yang bertujuan meningkatkan moralitas warga masyarakat. Yang ditonjolkan ialah sifat inferior wanita apabila dibandingkan dengan kaum lelaki. Wanita dianggap sebagai mahluk yang lemah, pasrah, tak dapat berpikir, tak dapat mandiri dan secara total tergantung pada kaum pria yang berperan sebagai majikan mereka. Pada umumnya, citra wanita ideal hanya diterapkan pada kaum menengah atas kulit putih. Wanita diibaratkan sebagai sebuah barang hiasan yang mahal tetapi mudah patah. (Friedan, 1984:81). Fungsi wanita yang senantiasa dipuji-puji dan dianjurkan ialah: mengasuh anak-anak dan menyenangkan serta merawat para suami (the nurturing function of women).

Wanita dilarang banyak belajar karena hal ini akan merusak keseimbangan jiwa mereka dan mengakibatkan kemandulan. Kepercayaan ini didukung dengan antusias oleh mayoritas kaum pria pada pertengahan abad kesembilanbelas, bahkan juga oleh kaum wanita sendiri. Namun di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh kaum pria ini terdapat sekelompok wanita intelektual yang menyadari ketimpangan kepercayaan umum ini, yang ingin membendung berkembangnya potensi-potensi pada wanita untuk dapat mencapai status yang sama dengan pria.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murniati
Abstrak :
Pada abad ke-19, semangat romantisisme sangat berpengaruh terhadap sebagian besar penulis Amerika. Unsur-unsur primitivisme yang berhubungan dengan konsep 'natural goodness' nampak banyak terlihat dalam karya-karya mereka. Pemikiran Rousseau tentang pentingnya manusia kembali ke tengah-tengah alam berpengaruh sangat kuat dalam mengangkat citra orang Indian sebagai 'noble savage'. Citra 'noble savage' Indian kemudian banyak mengilhami penulis Amerika untuk mengangkat karya sastra dengan menggali sumber dari negeri sendiri, yaitu yang berciri khusus Amerika, Mereka menampilkan orang Indian yang ideal, yang luhur dan agung. Di antara sebagian besar karya-karya tersebut adalah The Last of The Mohicans yang ditulis oleh James F.Cooper dan Hobomok yang ditulis oleh Maria Lydia Child yang dibahas dalam tesis ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan atas kedua novel ini, pengidealan orang Indian tidak hanya terbatas pada penggambaran bentuk fisik, perilaku dan kehidupan moral mereka, namun juga bagaimana orang Indian bersikap terhadap orang kulit putih. Semakin ia (orang Indian) loyal, mau menerima kerangka pola pikir orang kulit putih, dan banyak membantu mereka, semakin ia (orang Indian tersebut) diidealkan. Namun demikian, nampak bahwa keluhuran yang disandangkan kepadanya, tidak bisa membantu mengangkat kehidupan orang Indian. Orang Indian tetap saja bernasib tragis. Dalam The Last of The Mohicans kedua tokoh 'noble savage' Chingachgook dan Uncas mengalami nasib yang mengenaskan. Chingachgook harus hidup sendirian sebatang kara setelah anak satu-satunya yang diharapkan sebagai pewaris terakhir sukunya harus tewas dalam perkelaian dengan Maguwa, seorang Indian dari suku yang lain, dalam membela kepentingan orang kulit putih. Demikian pula halnya dengan Hobomok, tokoh 'noble savage' dalam Hobomok. Setelah kehidupannya dicurahkan untuk kebahagiaan Mary, tokoh kulit putih dalam novel ini, ia harus memupus begitu saja cintanya yang telah melekat pada gadis kulit putih tersebut hanya karena tunangan Mary, seorang pria kulit putih yang telah dikabarkan meninggal dunia, ternyata masih hidup. Hobomok menghilang ke tengah hutan, mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan kedua orang kulit putih. Nasibnya tidak diketahui. Secara garis besar kedua novel memberikan gambaran, bagaimana kebudayaan, untuk segala kebesaran dan kebaikan yang dimilikinya, dengan tak dapat dihindarkan telah merusak kehidupan orang Indian. Sekalipun orang Indian tersebut sebagai orang Indian yang 'noble' ia hancur, tak mampu menahan arus kebudayaan orang kulit putih. ......In the nineteenth century the spirit of romanticism deeply influenced American writers. The elements of primitivism which related to the concept of natural goodness could be perceived in their works. The thought of Rosseau concerning the necessity of men coming back to the nature deeply influenced the improvement of Indian image as noble savage. This noble savage Indian image then inspirited American writers for the publication of the American stylist literatures. They performed the ideal, noble and glorious Indian. Among the literature which presented the Indian was The Last of the Mohicans that was written by James F.Cooper and Hobomok that was written by Maria Lydia Child, which this thesis discusses. The research taken on these two novels shows that the Indian idealization was not only shown by the illustration of their physical, behavior and moral acts, but also shown by the Indian behavior toward White people. The more loyalty they (the Indians) were, by accepting the frame of thinking of the White people and by very much helping them, the more they (the Indians) were idealized. Even then, it seemed that the solemnity which was put on them did not help improving the Indians livings. In The Last of the Mohicans the two noble savage characters, Chingachgook and Uncas experienced bad fates. Chingachgook must live by himself after his only son who was expected to be his tribe's last inheritance died in his fighting with Magua, the Indian from another tribe. in defending the White people's interests. The same happened with Hobomok, the noble character of the Hobomok. After he bestowed his life for the well-being of Mary, the white character in this novel, he had to exterminate his love stuck to this White girl just because Mary's fiancee, a White man who had been reported dead, was actually still alive. Hobomok disappeared in the jungle, sacrificed his life for the sake of two White people's happiness. His fate was unknown. The idealization of the Indians in these two novels is seemed not for the interest of the Indians, but more to fulfill the interest of the White men in that New World. Noble savage was presented as the medium of the White people in entering the wilderness world of America. After all knowledge's, skills, and their way of livings were absorbed, the Indian were then thrown, left without etiquette. These novels' mainstream presented the picture on how culture, in all its glory and goodness, has unavoidably destroyed the livings of the Indians. Even though the Indians had been presented as noble Indians, they were destroyed, without the ability to stop the White people's stream of culture which physically had more power.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leany Nani Harsa
Abstrak :
ABSTRAK Dalam mengintegrasikan diri dengan masyarakat Amerika, imigran Jepang menghadapi hambatan yang berhubungan dengan masalah sosial, budaya dan politik. Diskriminasi ras terhadap imigran Jepang memuncak pada Perang Dunia II sehingga mereka harus masuk ke kamp relokasi. Namun segera setelah Perang Dunia II usai, imigran Jepang berhasil menyesuaian diri dengan budaya Ameria. Oleh karena itu saya ingin meneliti apakah relokasi berperan dalam proses akulturasi tiga generasi Issei, Nisei dan Sansei. Untuk mencapai tujuan penelitian saya menggunakan metoda kualitatif yaitu mengumpulkan data-data dari primary source dan secondary source. Primary source terdiri dari tiga memoar - Farewell To Manzanar (1973), Beyond Manzanar (1983) dan Turning Japanese (1991) yang masing-masing ditulis oleh Houston, Wakatsuki dan Mura. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari ketiga memoar ada delapan nilai yang dapat dicermati untuk memperlihatkan adanya perubahan sikap dan penerapan dalam kehidupan lssei, Nisei dan Sansei. Kedelapan nilai tersebut adalah: shikata ga nai, psychological privacy, on dan girl, Nilai Patriarkhi, adat-istiadat, agama, daya tarik antarlawan jenis dan identitas wanita. Pada kedelapan nilai budaya tersebut terlihat bahwa relokasi berperan sebagai pendorong dalam perubahan sikap dan penerapan semua nilai kecuali on dan gin serta identitas wanita.
ABSTRACT The fact that the Japanese immigrant having well-integrated with the host society shows their ability in overcoming many barriers put up against them. During the period of World War II the immigrants had to be relocated into barbed wire-camps because they were accused of being disloyal to the American government. However, no sooner was the World War II finished than they were successful in integrating with the American society. This phenomenon leads me to study the role of relocation in the acculturation process of these generations - lssei, Nisei and Sansei. To achieve the objective I use qualitative method - collecting data from Primary and Secondary Sources. The Primary Source consists of three memoirs, Farewell To Manzanar (1973) by Houston, Beyond Manzanar (1984) by Wakatsuki and Turning Japanese (1991) by Mura. The outcome of the research makes evident there are eight observable values which can be considered playing the role of relocation in acculturation-process in the life of the three generations. Those values are shikata ga nai, psychological privacy, on & girl, patriarchy, capacity to appeal between inter-sexes, as a well as women's identity. It is obviously seen that the three generations had gradually changed practicing all of the values in their life but on & girl and women's identity. They still practice the same concept of the two values mentioned.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>