Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dias Tarita Nurfitria
Abstrak :
Latar belakang : Dilatarbelakangi risiko pemalsuan usia rentang 16 - 21 tahun seperti pada kasus perdagangan manusia, maka metode identifikasi usia menjadi penting. Tujuan : Menguji keakuratan rumus metode TCI-Benindra dibandingkan dengan metode lainnya. Metode penelitian: Prakiraan usia dilakukan menggunakan rumus Tooth Coronal Index (TCI)-Benindra pada gigi P1 rahang bawah, dibandingkan dengan metode Al-Qahtani dan Blenkin-Taylor. Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara prakiraan usia menggunakan metode TCI-Benindra dengan metode Al-Qahtani dan metode Blenkin-Taylor. Kesimpulan : Rumus metode TCI-Benindra, metode Al-Qahtani dan metode Blenkin-Taylor ketiganya mendekati usia sebenarnya pada rentang 16-21 tahun. ...... Background : Due to the risk for age manipulation in 16-21 years old such as in cases of human trafficking, age estimation method becomes imperative. Aims : to test the accuracy of TCI-Benindra formula method compared with other methods. Methodology : Age estimation is performed using TCI-Benindra formula method in mandibular first premolar, was compared with Al-Qahtani and Blenkin-Taylor methods. Result : There was no significant difference (p>0.05) between age estimation using TCI-Benindra formula method and Al-Qahtani or Blenkin-Taylor methods. Conclusion : TCI-Benindra formula, Al-Qahtani and Blenkin-Taylor methods are close to real age in range of 16-21 years.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45010
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Lathifah
Abstrak :
Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin penting untuk identifikasi forensik. Salah satu metodenya berdasarkan ukuran gigi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi laki-laki dan perempuan serta menentukan nilai referensi gigi molar satu rahang atas untuk penentuan jenis kelamin. Metode: 30 gigi molar satu rahang atas laki-laki dan 30 perempuan diukur lebar mesiodistal dan bukolingual dengan kaliper digital. Hasil: Perbedaan signifikan (p<0,05) ukuran gigi molar satu rahang atas laki-laki dan perempuan. Nilai referensi ukuran bukolingual 11.34 mm (kanan), 11.22 mm (kiri); ukuran mesiodistal 10.61 mm (kanan) 10.51 mm (kiri). Kesimpulan: Ukuran mahkota gigi molar satu rahang atas dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin. ......Background: Sex determination is an important aspect in the human identification. One of the methods is using tooth dimensions. Objective: To obtain the differences of male and female tooth size using maxillary first molar crown dimensions and to determine reference point for sex determination. Methods: 30 males and 30 females, on maxillary first molar study cast. Mesiodistal and buccolingual width were measured using digital calipers. Results: The differences between males and females in all dimensions measured were statistically significant (p<0,05). The reference point for buccolingual width was 11.34 mm (right), 11.22 mm (left); for mesiodistal width was 10.61 mm (right) and 10.51 mm (left). Conclusion: Maxillary first molar crown dimension may be used as an aid in sex determination.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S43922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adani Nur Imanina
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian obat kumur kombinasi IgY anti-comD S. mutans + kitosan terhadap jumlah S. mutans isolat saliva. Masing-masing kelompok subjek diberikan obat kumur yang mengandung IgY anti-comD S. mutans dan obat kumur kombinasi IgY anti-comD S. mutans + kitosan. Obat kumur digunakan 2 kali sehari selama 6 hari. S. mutans isolat saliva subjek sebelum dan sesudah perlakuan dibiakkan di medium agar TYS20B. Jumlah koloni S. mutans dihitung secara manual. Penelitian ini menunjukkan obat kumur kombinasi IgY anti-comD S. mutans + kitosan dapat menurunkan jumlah S. mutans dalam saliva namun tidak signifikan. ......This study aims to evaluate the effect of mouthrinse containing IgY anti-comD S. mutans + chitosan on the quantity of salivary S. mutans in caries and caries free subjects. Each subject group was given IgY anti-comD S. mutans mouthrinse and IgY anti-comD S. mutans + chitosan mouthrinse. Mouthrinse was used twice a day for 6 days. Salivary S. mutans was cultured in TYS20B agar before and after treatment. Quantity of salivary S. mutans colonies were counted manually. This study showed that mouthrinse containing IgY anti-comD S. mutans + chitosan decreased the quantity of salivary S. mutans although insignificantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Intan Kasih
Abstrak :
Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi sekunder untuk penentuan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan jenis dan asal rugae laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal 100 cetakan maksila menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae sekunder dan total semua rugae palatum kiri laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05); rugae fragmenter palatum kanan laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Rugae asal raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05) sedangkan rugae asal medial pada laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Kesimpulan: rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae, rugae primer asal raphae dan medial berbeda antara laki-laki dan perempuan. ......Background: Palatal rugae analysis is a secondary identification for sex determination. Objectives: To identify differences of types and origins palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts by Lysell’s classification. Results: Secondary and total rugae males’ left palate has more number than females (p<0.05); fragmentary rugae males’ right palate has less number than females (p<0.05). Raphae origin males’ rugae has more number than females (p<0.05) while medial origin rugae in males has less number than females (p<0.05). Conclusions: Secondary, fragmentary, total rugae as well as raphae and medial origins palatal rugae is different between males and females.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Uji Tesli Haralini Br.
Abstrak :
Latar Belakang: Gen Wnt3a berperan pada pembentukan orofacial cleft. Tujuan: Melihat distribusi polimorfisme gen Wnt3a rs 752107 pada penderita OFC. Metode: Menggunakan teknik PCR-RFLP pada 30 sampel DNA penderita OFC dan 70 DNA kontrol, diperoleh gambaran polimorfisme gen tersebut. Hasil: 100% sampel penderita OFC memiliki genotip CC (wildtype). Selanjutnya, dengan uji chi-square menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara distribusi polimorfisme gen Wnt3a rs 752107 pada penderita OFC dan kontrol (p>0.05). Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak ditemukan distribusi polimorfisme gen Wnt3a rs 752107 pada penderita OFC.
Background: Wnt3a plays role in the process orofacial cleft. Aim: to observe the distribution of Wnt3a rs 752107 gene polymorphism in OFC. Methods: This research were used PCR-RFLP technique of 30 OFC and 70 control DNA samples, obtained a description of the gene polymorphism. Results: 100% OFC samples have CC genotype (wildtype). Then, with chi-square test in SPSS 22 there were found no significant differences between the distribution of the gene polymorphism in OFC and control (p>0.05). Conclusion: In this research found no distribution of Wnt3a rs 752107 gene polymorphism in orofacial cleft.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Mariska Putri
Abstrak :
Teknik rekayasa jaringan kini dikembangkan untuk perawatan kerusakan tulang yang besar. Pada kasus one wall defect dibutuhkan scaffold dalam bentuk membran yang dikombinasikan dengan RGD untuk memfasilitasi regenerasi jaringan. Tujuan: Mengetahui efek penambahan RGD kepada scaffoldmembran kitosan terhadap proliferasi sel pulpa manusia. Metode: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD dipaparkan kepada sel pulpa manusia hasil primary culture dan diuji menggunakan MTT-assay. Hasil: Terdapat peningkatan proliferasi sel pulpa manusia yang bermakna pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan:Scaffold membran kitosan kulit udang RGD mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia.
Background: Tissue engineering is now being developed to treat large bone defect. A membrane scaffold with addition of RGD is needed to treat one wall defect as it is capable to fasilitate tissue regeneration. Objective: To analyze the effect of RGD addition to shrimp shells chitosan scaffold membrane on human dental pulp cell proliferation. Methods: Human dental pulp cell was exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold with RGD addition and was tested using MTT assay. Result: Proliferation of human dental pulp cell exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold RGD shows a significant increase compared to control. Conclusion: Shrimp shells chitosan scaffold membrane RGD can increase human dental pulp cell proliferation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
Abstrak :
Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT. Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan. ......Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification. Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification. Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT. Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different. Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sita Rose Nandiasa
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Dalam bidang forensik, pengukuran radiografis gigi belum banyak diteliti. Perlu dikembangkan metode pengukuran yang sederhana yang dapat diaplikasikan untuk kepentingan identifikasi personal. Tujuan: Menganalisis keakurasian pengukuran gigi untuk identifikasi personal. Metode: Perbandingan pengukuran tujuh titik anatomis pada premolar kedua dan molar pertama rahang bawah dengan perangkat lunak radiografis digital dan manual. Hasil dan Kesimpulan: Didapatkan tujuh titik anatomis acuan yang reliabel dan metode pengukuran gigi yang akurat untuk kepentingan identifikasi personal.
ABSTRACT Background: In forensic field, research about tooth measurement is still limited. Simple measurement method needs to be developed for personal identification puspose. Aim: To analyze the accuracy of tooth measurement for personal identification. Methods: Measurement comparation of seven reference points on ,mandibular second premolar and first molar using digital radiography software and manual. Result and Summary: Reliable seven reference points and accurate tooth measurement method have been developed for personal identification purpose.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki
Abstrak :
ABSTRAK
Mandibula merupakan salah satu tulang yang penting dalam Forensik Odontologi untuk estimasi jenis kelamin. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan sudut gonion, jarak inferior foramen mentalis, dan tinggi ramus mandibula pada pria dan wanita. Metode penelitian dilakukan analisis radiomorfometri pada 200 radiograf panoramik. Hasil penelitian menunjukkan besar sudut gonion pria 121.8 , wanita 125.5 , jarak inferior foramen mentalis pria 14.73 mm, wanita 13.35 mm, tinggi ramus mandibular pria 56.82 mm, wanita 51.37 mm. Tingkat akurasi persamaan regresi ketiga variabel sebesar 83.5 . Kesimpulan, adanya perbedaan signifikan besar sudut gonion, foramen mentalis, dan tinggi ramus mandibular pada pria dan wanita
ABSTRACT
Mandibular bone has important role for sex determination in Odontology Forensic investigations. The aim of this research is to analyze gonial angle, mental foramen, and mandibular ramus height. Radiomorphometric analysis was performed in this research on 200 panoramic radiographs. Result of this research demonstrate gonion angle in men are 121.8 whereas 125.5 in women, inferior distance of mental foramen in men are 14.73 mm and 13.35 mm in women, mandibular ramus height in men are 56.82 mm and women are 51.37 mm. Regression equation of three variables has 83.5 accuracy. Conclusion, there is significant difference between male and female for gonial angle, mental foramen, and mandibular ramus height.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Iriani Febrina
Abstrak :
Pemanfaatan rugae palatal sebagai salah satu metode identifikasi merupakan metode yang menjanjikan karena morfologi yang unik pada setiap individu. Analisis rugae palatal dapat diterapkan secara efektif dalam forensik selama bencana massal, aksi teroris, kecelakaan lalu lintas, dan korban terbakar, dimana metode identifikasi primer sulit untuk dilakukan atau tidak memungkinkan. Keunikan rugae palatal, stabilitas, ketahanan terhadap perubahan PM dan biaya pemanfaatan rugae palatal yang rendah, menjadikan rugae palatal sebagai salah satu parameter yang ideal untuk identifikasi forensik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola rugae palatal pada populasi Indonesia Barat dan Timur guna membantu kepentingan identifikasi khususnya pada populasi Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Total sampel penelitian adalah 120 model studi rahang atas yang terdiri dari 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Barat dan 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Timur. Analisis perbedaan rugae palatal menggunakan klasifikasi Thomas dan Kotze dengan menghitung jumlah setiap sisi kanan dan sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal dari setiap populasi. Hasil uji Mann Whitney U didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada jumlah rugae palatal di sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur dengan nilai p<0.05. Jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Timur lebih banyak dibandingkan jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Barat (p<0.05). Hasil uji Chi-Square didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada bentuk dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur. Bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi bentuk konvergen, gelombang, dan lurus, sedangkan bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Timur didominasi bentuk sirkular, divergen, dan kurva (p<0.05). Panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi secondary rugae, dan primary rugae mendominasi panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Timur (p<0.05). ......Utilization of palatal rugae as an identification method is a promising method because of the unique morphology of each individual. Palatal rugae analysis can be applied effectively in forensics during mass disasters, terrorist acts, traffic accidents, and burn victims, where primary identification methods are difficult or impossible. The uniqueness of the palatal rugae, its stability, resistance to changes in PM and the low utilization cost of the palatal rugae make it an ideal parameter for forensic identification. The purpose of this study was to determine the pattern of palatal rugae in the population of West and East Indonesia in order to assist identification purposes, especially in the Indonesian population. This research is a quantitative research with an observational analytic research design with a cross sectional approach. The total study sample was 120 maxillary study models consisting of 60 maxillary study models from the West Indonesian population and 60 maxillary study models from the Eastern Indonesian population. Analysis of differences in palatal rugae used Thomas and Kotze's classification by calculating the number of each right and left side, shape, and length of palatal rugae from each population. The results of the Mann Whitney U test showed statistically significant differences in the number of palatal rugae on the left side, the shape, and the length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia with a p<0.05. The number of palatal rugae on the left side of the Eastern Indonesian population was greater than the number of palatal rugae on the left side of the Western Indonesian population (p<0.05). The results of the Chi-Square test showed statistically significant differences (p<0.05) in the shape and length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia. The shape of the palatal rugae in the population of West Indonesia is dominated by convergent, wavy, and straight shapes, while the shape of the palatal rugae in the population of East Indonesia is dominated by circular, divergent, and curved shapes (p<0.05). The length of the palatal rugae in the population of West Indonesia was dominated by the secondary rugae, and the primary rugae dominated the length of the palatal rugae in the population of East Indonesia (p<0.05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>