Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Mochamad Indrawan
Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia, 2013
570 MOC b
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Septianto Aldiansyah
"Keberadaan Taman Nasional Gandang Dewata menunjukkan kemauan, komitmen dan ambisi untuk memperluas kawasan lindung bagi spesies penting. Anoa (Bubalus quarlesi) berstatus Endangered Species (EN) dan juga masuk dalam Appendix I CITES yang berarti spesies ini terancam punah dan dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Tindakan konservasi bagi spesies ini di pulau Sulawesi memerlukan pendekatan ekologi dan geospasial. Pendekatan yang tepat diharapkan dapat meminimalisir tekanan terhadap populasi dan menghubungkan kawasan konservasi yang mungkin saja menjadi rumah bagi populasi anoa terbesar di dunia. Penelitian ini bertujuan memodelkan prediksi habitat secara spasial dan memprediksi kondisi habitat anoa tahun 2018 dan 2021 serta melihat potensi konservasi melalui pendekatan lansekap. Metode yang digunakan dalam membangun model adalah Maximum Entropy dengan memanfaatkan parameter lingkungan dan data kehadiran anoa. Parameter lingkungan yang digunakan adalah jarak dari jalan, jarak dari permukiman, jarak dari sungai, penggunaan lahan dan tutupan lahan, kemiringan lereng, wilayah ketinggian, dan kerapatan vegetasi. Sedangkan data kehadiran yang digunakan adalah jejak aktivitas anoa. Hasil menunjukkan bahwa jejak aktivitas yang ditemukan adalah sarang, kotoran (feses), jejak kaki, tempat istirahat dan tempat tidur. Anoa pegunungan di Taman Nasional Gandang Dewata dapat ditemui pada wilayah yang jauh dari sumber aktivitas manusia seperti jalan dan permukiman, dekat dengan sungai, terdapat pada tutupan lahan berupa tutupan vegetasi dengan kemiringan lereng landai hingga curam dan dapat ditemukan pada hutan pegunungan bawah hingga hutan pegunungan atas. Dalam waktu 3 tahun, terjadi pengurangan habitat anoa seluas 3.203 ha. Terkait aspek geospasial, korelasi terbesar bersumber dari aktivitas manusia (jarak dari jalan dan jarak dari permukiman). Pendekatan lansekap menemukan kemungkinan migrasi melalui koridor dari Taman Nasional Gandang Dewata menuju Taman Nasional Lore Lindu dengan memanfaatkan struktur topografi dan hutan lindung disekitarnya.
The existence of Gandang Dewata National Park shows the willingness, commitment and ambition to expand the protected area for important species. Anoa (Bubalus quarlesi) has Endangered Species (EN) status and is also included in Appendix I CITES which means this species is threatened with extinction and prohibited in all forms of international trade. Conservation action for this species on the island of Sulawesi requires an ecological and geospatial approach. The right approach is expected to minimize population pressure and link conservation areas that may be home to the world's largest anoa population. This study aims to model habitat predictions spatially and predict the condition of anoa habitat in 2018 and 2021 as well as see the potential for conservation through a landscape approach. The method used in building the model is Maximum Entropy by utilizing environmental parameters and anoa presence data. The environmental parameters used are distance from roads, distance from settlements, distance from rivers, land use land cover, slope, elevation, and vegetation density. While the presence data used is traces of anoa activity. The results showed that the traces of activity found were nests, feces, footprints, resting areas and beds area. Mountain anoa in Gandang Dewata National Park can be found in areas far from sources of human activity such as roads and settlements, close to rivers, found in land cover in the form of vegetation cover with gentle to steep slopes and can be found in lower mountain forest to upper mountain forest. Within 3 years, anoa habitat has been reduced to an area of 3.203 ha. Regarding the geospatial aspect, the largest correlation comes from human activities (distance from roads and distance from settlements). The landscape approach finds the possibility of migration through the corridor from Gandang Dewata National Park to Lore Lindu National Park by utilizing the topographical structure and the surrounding protected forest."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia, 2016
502 SAL
UI - Publikasi Universitas Indonesia Library
Jakarta: Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia, 2015
502 SAL
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Zuliyanto Zakaria
"Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi batas-batas fauna pada tarsius di semenanjung utara Sulawesi serta mengukur dampak perubahan habitat khususnya aktivas perkebunan skala kecil dalam beberapa tahun terakhir terhadap keberlangsungan hidup tarsius. Studi dibagi menjadi tiga makalah yakni: 1) Analisis Kuantitatif Duet call Tarsius dari Survei Lapangan Mengungkap Bentuk Akustik Baru di Gorontalo (Indonesia); 2) Kerapatan Relatif Tarsius supriatnai pada Habitat Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia); dan 3) Preferensi Habitat dan Site Fidelity Tarsius supriatnai di Area Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia). Hasil analisis makalah pertama menemukan empat kelompok akustik yakni: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) dan kelompok yang sebelumnya tidak diketahui tersebar di antara Manado dan Gorontalo, yang dinamakan Labanu. Hasil analisis menunjukkan batas fauna di sepanjang pantai selatan yakni Sungai Bone (antara bentuk akustik Manado dan Labanu), Sungai Paguyaman (antara bentuk Labanu dan Gorontalo), Sungai Palasa (antara bentuk Gorontalo dan Tinombo). Di sepanjang pantai utara ditemukan zona kontak melalui identifikasi kelompok sosial heterospesifik dalam satu spektogram. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa kerapatan relatif di habitat perkebunan adalah 0,38 kelompok/ha dan 0,70 kelompok/ha di hutan sekunder, kepadatan substrat pergerakan, NDSI dan ACI tertinggi ditemukan di hutan sekunder, sedangkan kelimpahan serangga paling banyak ditemukan di habitat perkebunan. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa Tarsius supriatnai dapat beradaptasi dengan habitat perkebunan dengan kepadatan yang jauh lebih rendah. Hasil makalah ketiga menunjukkan bahwa pada habitat perkebunan, tumbuhan dengan INP tertinggi bukan merupakan pohon sarang. Sementara pada hutan sekunder, tumbuhan dengan INP tertinggi pada tipe pertumbuhan pohon (Ficus virens) adalah pohon sarang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa T. supriatnai sebagian besar menggunakan pohon sarang Bambusa vulgaris (26,32%) di areal perkebunan dan Schizostachyum lima dan Calamus zollingeri (28,57%) di hutan sekunder. Hasil survei juga menemukan bahwa 42,9% pohon sarang yang ditemukan pada tahun 2018 masih terus digunakan oleh T. supriatnai dalam lima tahun terakhir.
This study aims to validate the boundaries of the tarsier fauna on the northern peninsula of Sulawesi and measure the impact of changes in habitat, especially small-scale plantation activities in recent years, on the survival of tarsiers. The study is divided into three papers, namely: 1) Quantitative Analysis of Tarsier Duet Calls from Field Surveys Reveals a New Acoustic Form in Gorontalo (Indonesia; 2) Relative Density of Tarsius supriatnai in Agricultural Habitat and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia); and 3) Habitat Preference and Site Fidelity of Tarsius supriatnai in Agricultural Areas and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia). The results of the analysis in the first paper found four acoustic groups, namely: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) and a previously unknown group spread between Manado and Gorontalo, called Labanu. The results of the analysis show that the faunal boundaries along the south coast are the Bone River (between the Manado and Labanu acoustic forms), the Paguyaman River (between the Labanu and Gorontalo forms), the Palasa River (between the Gorontalo and Tinombo forms). Along the north coast, contact zones were found through the identification of heterospecific social groups in one spectrogram. The results of the second paper show that the relative density in agricultural habitat is 0.38 groups per ha and 0.70 groups per ha in secondary forest; the highest density of substrate movement, NDSI and ACI is found in secondary forest, while the abundance of insects is most commonly found in agricultural habitat. The results of the second paper show that Tarsius supriatnai can adapt to agricultural habitats with much lower densities. The results of the third paper show that in agricultaral habitats, plants with the highest IVI are not nest trees. Whereas in secondary forest, the plants with the highest IVI for tree growth species (Ficus virens) were nest trees. The results also showed that T. supriatnai mostly used bamboo nest trees (26.32%) in plantation areas and Schizostachyum lima and Calamus zollingeri (28.57%) in secondary forests. The survey results also found that 42.9% of the nest trees found in 2018 were still used by T. supriatnai in the last five years."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library