Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adji Sasongko
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian ekologi Pinna muricata yang mencakup kepadatan, morfometri cangkang, sudut posisi kedudukannya lerhadap garis pantai, serta hubungannya dengan kepadalan dan biomassa lamun Cymodocea rotundata di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan Pinna muricata hanya ditemukan di antara lamun Cymodocea rotundata di 6 transek dari 16 transek yang digunakan, 4 transek (transek 7- 10) di bagian Selatan dan 2 transek (transek 12 dan lj) di bagian Utara. Kepadatan terbanyak terdapat di bagian Selatan pulau (0,6 individu per m3}, sedangkan di bagian Utara puiau kepadalannya hanya mencapai 0,03 individu per m2. Pinna muricata mempunyai panjang cangkang yang berkisar antara 12,5 - 17 cm dengan rata-rata 14,25 cm, sedangkan lebar cangkang berkisar antara 7 - 11,4 cm dengan rata-rata 8,43 cm. Sudut kedudukan Pinna muricata terbanyak (17%) antara 130" - 139° terhadap garis pantai. Kepadalan dan biomassa akar lamun Cymodocea roiundata tidak berkorelasi atau tidak ada hubungannya dengan jumlah Pinna muricata, sedangkan bkimassa daun menunjukkan korelasi negative (R= -0,36).
We examined fan mussel Pinna muricata (Mollusca, Bivalvia) such as the density, shell morphomeiry, angel of shell position against the shoreline, as well as his correlations with the density and the biomass of seagrass Cymodocea rotundata in the Semak Daun Island, Jakarta Bay. Results of Ihe research pointed out Pinna muricata were found only in seagrass meadows Cymodocea rotundata in 6 transects from 16 transects lhat was used, 4 transects (transect 7 - 10) on the South and 2 transects (transect 12 and 13) at the North of Island. The Pinna density was recorded 0.6 individuals per m2 at the southern of the island, whereas at the northern of the island only reached 0.03 individuals per m2. The length and wide of shells were measured between 12,5 - 17 cm (average 14,25 cm) and between 7 ? 11,4 cm (average 8,43 cm) respectively. The most angle of shell positions were measured between 120° - 139" against the shoreline. The density and the leave biomass seagrass Cymodocea rotundata did not correlate with the density of Pinna, whereas the root biomass have negative correlation (R= - 0,36).
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2003
SAIN-8-1-2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Handayani
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komunitas zooplankton dan hubungan antara zooplankton dengan fitoplankton di Waduk Krenceng Cilegon. Kelimpahan zooplankton ditentukan dengan metode Sedwigck-Rafter Counting Method. Hubungan antara zooplankton dengan lingkungan dianalisis dengan regresi linier berganda. Keeratan hubungan zooplankton dengan fitoplankton menggunakan analisis korelasi regresi. Hasil identifikasi ditemukan 13 jenis zooplankton yang termasuk dalam 3 kelas. Rotifera merupakan kelompok yang dominan ditemukan pada November 2002 dan Maret 2003. Hasil regresi menunjukkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelimpahan zooplankton pada bulan November adalah pH, BOD 5 , nitrat, CO2 bebas dan kelimpahan fitoplankton, sedangkan pada bulan Maret adalah kecerahan, nitrat, orthoposfat, dan C organik. Keeratan hubungan fitoplankton dengan zooplankton berkorelasi positif.
Zooplankton communities in the Krenceng Reservoair, Cilegon, Banten. This research was carried out to know the structure of zooplankton communities and relations between the phytoplankton and zooplankton in the Krenceng Reservoair, Cilegon. The zooplankton abundance with used Sedwigck Rafter Counting Method, diversity and evenness were counted. Relations between zooplankton and the environmental factors as well as its relations to phytoplankton calculated with regression. The results showed that are 13 species of the zooplankton found which including in three classes with the highest abundance on Novembers 2002 and March 2003 of the Rotifera. The analysis of regression pointed out that the environmental factors such: pH, BOD5, nitrate, CO2 and abundance of phytoplankton influence the abundance zooplankton in November. While in March, the abundance of zooplankton is influenced by brigthtness, nitrate, orthophosphates and C organic. The abundance of phytoplankton influenced positively by the abundance of zooplankton.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jatna Supriatna
Abstrak :
Pendahuluan Penelitian mengenai monyet Sulawesi kebanyakan terfokus pada pertanyaan mengapa lebih banyak jenis monyet marga Macaca di Sulawesi dibanding dengan keseluruhan monyet di Asia. Padahal yang jauh lebih menarik adalah pertanyaan bagaimana monyet tersebut berada dan menyebar di Sulawesi dan bagaimana bentuk morfologi yang berlainan tersebut terbentuk. Luas pulau Sulawesi hanya 2% dari luas penyebaran jenis-jenis marga Macaca, namun jenis yang terdapat melebihi 25% dari keanekaragaman dari marga (Albrecht, 1978). Taksonomi monyet Sulawesi sampai saat ini masih sangat membingungkan. Fooden (1969) mendeskripsi ada 7 jenis monyet Sulawesi (M. maura di Sulawesi Selatan, M. tonkeana di Sulawesi Tengah, M. hecki di Sulawesi tengah-utara, M. nigrescens di dekat Gorontalo-Kotamubagu, M. nigra di Sulawesi Utara, M. ochreata di Sulawesi tenggara dan M. brunnescens di pulau Muna dan Buton) yang merupakan hasil revisi dari yang telah diusulkan oleh Napier dan Napier {1967). Mereka mengusulkan taksonomi monyet Sulawesi menjadi 2 marga yaitu Cynopithecus dengan 1 jenis yaitu cynopithecus nigra, dan Macaca yaitu Macaca maura. Setahun setelah publikasi Fooden, Thorington dan Groves (1970) menyatakan bahwa monyet. Sulawesi mungkin satu spesies yang "Polytypic" (banyak variasi morfologi) dan bervariasi secara "Clinal" (berubah bentuk sejalan dengan jarak). Pendapat lain yaitu Groves (1980) yang menyatakan hanya ada 4 spesies monyet Sulawesi (M. maura, M. tonkeana, M. nigra dan M. ochreata) dan subspecies (M. tonkeana hecki, M. nigra nigrescens dan M. ochreata brunescens). Pendapat ini tidak mendapat banyak sokongan. Hasil penelitian intensif oleh banyak peneliti dengan memakai berbagai metoda seperti morfologi, genetik dan dermatografik menyimpulkan paling tidak ada 7 spesies monyet Sulawesi (Albrecht, 1978; Kawamoto et al. 1985; Takenaka et al. 1987; Campario-Ciani et al. 1987; Watanabe & Brotoisworo 1982, 1989; Supriatna et al. 1990). Bahkan Froehlich dan Supriatna {1992) mengusulkan monyet Togian (M. tonkeana togeanus) menjadi spesies tersendiri yang disebut Macaca togeanus, sehingga jumlah spesies monyet Sulawesi diperkirakan ada 8 spesies. Groves (1980) yang meneliti monyet Sulawesi di daerah, perbatasan penyebaran hewan tersebut berkesimpulan bahwa intergradasi telah terjadi antar taxa dibeberapa monyet Sulawesi dan ini yang menyebabkan perlunya diturunkan statusnya ke tingkat subspesies. Walaupun alasannya berlainan untuk setiap daerah perbatasan, namun pada prinsipnya monyet hibrid terbentuk di daerah perbatasan. Anehnya, Groves tidak melihat adanya intergradasi di daerah sebaran antara M. maura dan M. tonkeana. Groves melihat ke dua jenis ini parapatrik di daerah Maroangin. Sebaliknya Supriatna dan kawan-kawan (1988, 1989, 1990) menemukan hewan hibrid di Maroangin, tempat Groves mengadakan penelitian, sejak penelitian dimulai pada tahun 1985. Dari hasil penelitian morfologi dan perilaku monyet Sulawesi antara M. maurus dan M. tonkeana tampak bahwa kedua jenis ini jelas berbeda. Di daerah hibrid tampak bahwa morfologi dan perilakunya bercampur atau sukar dibedakan apakah termasuk spesies M. maurus atau M. tonkeana (Supriatna et al. 1990). Walapun dari hasil penelitian itu masih belum yakin bagaimana proses terbentuknya dan sejarah terjadinya daerah hibrid. Dalam tulisan ini electrophoresis protein pada sampel monyet Sulawesi di atas dianalsis dengan harapan dapat membantu mengungkapkan fenomena menarik mengenai hibridisasi pada primata
Depok: Universitas Indonesia, 1993
LP 1993 28
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Handayani
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas filoplankton serta hubungannya lerhadap kondisi fisiko-kimia perairan di Waduk Krenceng Cilegon. Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan lackey drop microlransect method, keanekaragaman jenis dengan indeks Shannon Wiener, kesamarataan jenis dengan indeks Evenness. Hubungan anlara fitoplankton dengan lingkungan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil identifikasi ditemuka 26 jenis fitoplankton yang termasuk dalam 4 klas dengan kelimpahan tertinggi jenis Microcysiis aeroginasa. Hasil analisa regresi menunjukkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton pada bulan Nopember adalah: kecerahan, suhu, pH, oksigen terlarut, nitrat, dan orthofosfat. Sedangkan pada bulan Marel faktor-faktor lingkungan seperti keceraahan, suhu, pH, oksigen terlarut, nitrtal, dan CO; lebih berpengaruh.
This research was carried out lo know the structure of the phytoplankton communities as well as his relations lo the physical and chemical water conditions in the Krenceng Reservoir, Cilegon. The phytoplankton abundance, diversity and evenness were counted. Relations between the phytoplankton and the environment were calculated with regression. We identified 26 species of the phytoplankton that including in four classes with the highest abundance of the Microcystis aeroginosa. The analysis of regression pointed out that the environmental factors such as brightness, temperature, pH, dissolve oxygen, nitrate, and orthophosphates influence the phytoplankton abundance in November, whereas in March the influenced factors are brightness, temperature, pH, dissolve oxygen, nitrates, and CO2.
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2003
SAIN-8-2-2003-6
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhlisin
Abstrak :
Studi tentang struktur komunitas makrozoobentos dan kualitas perairan telah dilakukan di Waduk Krenceng pada November 2002 dan Maret 2003 yang masing-masing mewakili bulan November 2002 dan bulan Maret 2003. Makrozoobentos diambil dengan Peterson Grab dan kualitas air ditentukan dengan Indeks Storet dan Indeks Keanekaragaman. Dari hasil Identifikasi ditemukan 6 jenis makrozoobentos yang terdiri dari: Oligochaeta (3 jenis) dan In sect a (3 jenis). Kelimpahan jenis berkisar antara 3-2254 ind/nT dan didominasi oleh Aloudrilus pigueti Kowalewski, keanekaragaman jenis berkisar antara 0,76-1,67, dan penyebaran jenis mengelompok, kecuali Chironomus sp. yang menyebar acafc. Berdasarkan Indeks Storel, kualitas perairan Waduk Krenceng termasuk katagori tercemar sedang sampai sangat baik sedangkan dengan Indeks Keanekaragaman termasuk katagori tercemar sedang sampai tercemar berat. Kesesuaian antara indeks Storet dan Indeks keanekaragaman adalah 67% sehingga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menilai kualitas perairan Waduk Krenceng.
Community Structure Of Macrobenthic Faunas And Water Quality Of Waduk Krenceng In Cilegon, Banten: Community structure of macrobenthic faunas and water quality assessment was studied in Waduk Krenceng on November 2002 (dry month) and Maret 2003 (wet month). Macrobenthic fauna dredged by Peterson grab, water quality assessment used Storet index and Diversity index. From the result of macrobenthic identification, six species of two classes and 3 families were found: Oligochaeta 3 species and In sect a 3 species. Species abundance ranging from 3 to 2254 ind/ha and species diversity ranging from 0,76 to 1,67. tutodrilus pigueti Kowalewski (Oligochaeta: Tubificidae) showed the highest abundance both in November 2002 (dry month) and March 2003 (wet month). The result of dispersion analysis showed that the dispersion of all macrobenthic species in Waduk Krenceng is aggregated, except Chironomus sp. that is random dispersion. The physico-chemical condition showed that water quality of Waduk Krenceng ranging from moderatly polluted to standard for clean water condition. Based on diversity index of macrobenthic fauna showed that water quality ranging from heavily polluted to moderatly polluted. There are 67% equivalency between Storet indeks and Diversity Index. Therefore Diversity index can be used to evaluate water quality at Waduk Krenceng.
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2003
SAIN-8-3-2003-15
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Kusmana
Abstrak :
A study on the structure of the gonad of Fluta alba was made in the Laboratory. Data concerning the sexuality and body length showed that the smallest female and male recorded were 17.6 and 21.1 cm respectively. It was also found that smallest intersexes were 25 to 29.9 cm. One of the intersexual eels collected had the longest body length, i.e. 64.4 cm. Histological evidence showed that the change of the gonad from female to male were usually found after the lost of ovarian tissues and of proliferation of the interstitial cells in the inner zone of the gonadal lamella. At the same time the formation of the testicular lobules occured by proliferation of spermatogonia. The karyotype of Fluta alba exhibited six pairs (12 chromosomes) and all chromosomes were metacentric. There were no differences in number and morphological structures of chromosomes among sexes, therefore it is suggested that the change of the gonadal function in F. alba is not a genetically inherited, but it might be due to the hormonal regulations produced by the gonad.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library