Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
I Wayan Kertia W.
"Kejahatan merupakan penomena BOBial yang tidak dikikis habis, selalu ada dan melekat pada masyarakat yang bersangkutan. Kejahatan di samping merupakan masalah Kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial yang ter2 t h 9S n lihat dari akibatnya, tidak diragukan lagi bahwa itu mengganggu, ~merusak dan merintangi tercapainya z. nasional, mencegah penggunaan secara optimal sumber-sumber nasional, dan mengganggu keseimbangan serta kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spiritualĀ« Kejahatan membahayakan martabat kemanusiaan, menciptakan suasana takut dan gelisah, merongrong dan mencemarkan kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna*
Untuk mengantisipasi, menanggulangi, dan menekan kejahatan tersebut, diperlukan kebijakan kriminal yang setidaktidaknya dapat meredam, mencegah, dan menangkal gejala, akabat dan pengaruh negatif yang ditimbulkannya. Kebijakan kriminal antara lain dilakukan melalui tahap -eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit olein aparat penegak hukum. Kepolisian (penyidik) merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana (SPP)? yang mempunyai tugas dan ttanggung jawab-dalam bidang penyidikan perkara pidana* Dalam praktik penegakan hukum tidak dapat dijamin tersangka pasti akan hadir atau pasti dapat dihadirkan setiap diperlukan* Oleh karena itu dalam melakukan penyidikan penyidik diberikan hak dan wewenang untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, yang dikhawatirkan akan melarikan diii, merusaktalat bukti, atau mengulangi melakukan tindak pidana.
Penangkapan/penahanan seperti sekeping uang logam, mempunyai dua sisi. Pada satu sisi merupakan sisi yang gelap, karena pada hakikatnya ia bertentangan dengan HAM dan sering disalahgunakan. Pada sisi yang lain, ia merupakan salah Batu sarana untuk penegakan hukum, agar proses peradilan pidana dapat berjalan lancar, cepat, .pasti', dan prinsip biaya ringan juga terpenuhi. KUHAP melalui pasal-pasalnya mengamanatkan adanya keseimbangan monodualistik, yaitu keseimbangan antara kepentingan perlindungan dan pengayoman HAM (individu) dengan kepentingan penegakan hukum (kepentingan umum).
Pengendalian atau penanggulangan kejahatan memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan melakukan pdnangkapan/penahanan terhadap tersangka berarti memerlukan biaya makan dan perawatan tahanan, dan secara! tersembunyi juga menghilangkan kesempatannya untuk memperoleh penghasilan. Penangkapan/penahanan berarti memperbesar jumlah pengeluaran/biaya." Tetapi a a n kacamata lain, dengan penangkapan dan penahanan nroses penyidikan menjadi jauh lebih cepat* Ditinjau dari penang kapan/penahanan, prinsip peradilan cepat dan prinsip peradilan dengan biaya ringan berada pada dua kutub yang saling berjauhan. Pada suatu saat, proses penegakan hukum akan mendekati salah satu kutub, tetapi menjauhi kutub yang lain.
Penangkapan dan penahanan mempunyai peranan yang besar dan sangat efektif untuk mempercepat proses penyidikan, tetapi mempunyai kelemahan karena akan memperbesar jumlah biaya yang dikeluarkan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses. Oleh karena itu, jika titik berat ditekankan kepada peradilan cepat, maka diperlukan biaya yang lebih besar. Sebaliknya, jika titik berat ditekankan kepada biaya ringan, maka proses peradilan menjadi lebih lambat.
Alternatif terbaik untuk mempertemukan kedua prinsip tersebut adalah memberikan penangguhan penahanan kepada tersangka dengan jaminan orang dan uang yang memadai sepadan dengan tindak pidana yang dilakukan dan kerugian yang ditimbulkannya. Pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.
Di samping itu, juga masih diperlukan partisipasi dan koordinasi yang baik dengan semua pihak (aparat penegak hukum terkait, masyarakat, saksi, tersangka/keluarganya, dan penasihat hukum). Dalam melakukan penyidikan, penyidik harus mendapat dukungan dari semua pihak.
Penegakan hukum atau kebijakan kriminal tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi merupakan tuga6 dan tanggung jawab semua pihak. Janinan keamanan dan ketertiban masyarakat mutlak diperlukan, untuk memberi rasa aman dan tenteram kepada setiap warga masyarakat, sehingga mendorong dan menumbuhkan kreativitas, meningkatnya produktivitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur, yang merupakan tujuan akhir dari kebijakan kriminal."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T36449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarsintorini
"ABSTRAK
Ditinjau dari perjalanan sejarah, perawat sebagai profesi, telah turut aktif dalam upaya menyejahterakan umat manusia, dan akan terus berkembang di masa yang akan datang.
Tujuan Pembangunan Kesehatan secara jelas telah dikemukakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Mengingat pentingnya kesehatan dalam segala segi kehidupan individu, keluarga dan masyarakat, maka upaya kesehatan diarahkan untuk seluruh masyarakat, dengan peran serta masyarakat, mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Upaya ini bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan.
Perawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dan salah satu faktor yang ikut menentukan tercapainya Tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, karena perawat harus siap 24 jam mendampingi pasien.
Maka peran, fungsi dan tanggung jawab perawat sangat panting, baik tanggung jawab hukumnya yaitu tanggung jawab hukum pidana, perdata, dan administrasi maupun tanggung jawab non hukumnya yaitu tanggung jawab terhadap sumpah, kode etik keperawatan, dan organisasi profesinya yaitu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia).
Tanggung jawab perawat terhadap Sumpah dan Kode Etik Keperawatan adalah tanggung jawab moralnya, karena Sumpah dan Kode Etik merupakan aturan perilaku dan sikap seorang perawat yang baik. PPNI adalah satu-satunya organisasi yang legal dan eksistensinya diakui pejabat Pusat dan Daerah, yang bertujuan melindungi perawat, membina dan membimbing serta mengusahakan kesejahteraan perawat, tetapi juga memberikan sanksi terhadap pelanggaran Sumpah Perawat dan Kode Etik Keperawatan. Maka perawat mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan AD/ART dan program kerja PPNI dengan baik.
Tanggung jawab terhadap hukum, bahwa perawat tidak terlepas dari kekuatan hukum yang mengikat, artinya perawat seperti juga orang-orang lain terikat pada hukum perdata dan hukum administratif. Sedangkan kepada hukum pidana, perawat maupun orang-orang lain harus tunduk. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum pidana yang disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perawat dapat melakukan perbuatan pidana, sebagaimana orang-orang lain, tetapi apakah perawat yang melakukan perbuatan pidana kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan ini ia mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan harus ada unsur:
1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
3. mempunyai kesalahan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
4. tidak adanya alasan pemaaf.
Dalam KUHP kita, tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab. Dari pendapat para sarjana, maka untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Pada umumnya perawat mempunyai batin yang normal, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan jiwa tidak normal. Jiwa yang normal mampu bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana pada perawat terjadi bila perawat berbuat pidana ataupun berbuat malpraktik yaitu kelalaian dalam melaksanakan profesinya, dan tidak ada alasan pemaaf. Tetapi perawat melaksanakan pelayanan kesehatan bersama dokter, rumah sakit, lalu siapa yang bertanggung jawab jika ada perbuatan pidana?
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dengan penelitian ini diusahakan untuk mengungkapkan, pertama sejauh mana pertanggungjawaban pidana pada perawat, kedua sejauh mana perawat dapat berbuat malpraktik, ketiga sejauh mana tata nilai Sumpah dan Kode Etik mencapai tujuannya, dan keempat sejauh mana PPNI dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya.
Untuk mengungkapkan data tersebut di atas, dilakukan penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dengan cara wawancara, studi dokumentasi, observasi, dan analisis keputusan hukum pidana. Metode dan pendekatan yang dilakukan bersifat analitis, yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder, dilengkapi dengan pendekatan yuridis empiris.
Dari bermacam-macam hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran masyarakat bahwa kesehatan adalah penting dalam segala segi kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Orang yang tidak sehat tidak dapat berbuat apa-apa. Orang sakit berarti butuh biaya yang mahal.
2. Telah tampak peran serta masyarakat dalam upaya-upaya kesehatan, yang mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya adanya imunisasi, rawat mondok, dan lain-lain.
3. Profesi perawat sangat penting, karena tanpa perawat maka pelayanan keperawatan tidak mungkin terlaksana dan upaya kesehatan akan terganggu. Untuk pengadaan perawat telah didirikan Sekolah Perawat dan Akademi Perawat pada beberapa rumah sakit dan lulusannya menjadi perawat rumah sakit yang bersangkutan, atau dapat juga rumah sakit lain.
4. Adanya kerja sama yang baik antara perawat, dokter, dan rumah sakit sehingga tujuan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dapat tercapai, mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Perawat adalah mitra dokter, bukan pembantu dokter. Perawat mempunyai profesi keperawatan, dokter mempunyai profesi kedokteran.
5. Pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana pada perawat terlihat masih belum memadai, masih banyak yang belum mengetahui secara jelas, perlu peningkatan penyuluhan dan ceramah.
6. Demikian juga tentang malpraktik pada perawat, masih belum dipahami oleh perawat. Sedangkan pengetahuan tentang malpraktik sangat penting, karena akibat malpraktik ini, ada kemungkinan pemberatan pidana 1/3 nya.
7. Pada umumnya perawat mempunyai jiwa yang normal, artinya faktor akal (intelektual factor) dan faktor perasaan / kehendak (volitional factor) dapat bekerja dengan baik. Faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Faktor perasaan/kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan mana yang diperbolehkan, mana yang tidak.
8. Perawat yang melaksanakan perintah dokter tetapi keliru, pertanggung jawabannya dilihat per kasus, yaitu dengan melihat pada kesalahannya.
9. Sumpah perawat telah dilaksanakan dengan baik untuk setiap perawat yang telah lulus pendidikan, dan sumpah jabatan bila diangkat sebagai pegawai.
Sumpah dan Kode Etik Keperawatan pada umumnya para perawat masih mengingat isinya, tetapi masih banyak pula yang lupa isinya. Rumah Sakit sudah menyelenggarakan penyuluhan, ceramah tentang Sumpah dan Kode Etik Keperawatan ini dan memperbanyak dalam bentuk buku saku kecil. Dirasakan Kode Etik kurang berpengaruh pada sikap perawat, karena pelanggaran Kode Etik Keperawatan, sanksinya masih nampak belum jelas, hanya berupa tindakan persuasif, pendekatan nasehat, bimbingan dan pembinaan.
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Kode Etik Keperawatan yang bertugas mengadili pelanggaran Kode Etik, belum terbentuk karena berbagai kendala, antara lain karena terbatasnya waktu para pakar warga keperawatan yang menguasai masalah tersebut.
PPNI juga belum berhasil menjabarkan Kode Etik Keperawatan yang telah ditetapkan pada Kongres I PPNI karena terbatasnya waktu dan sumber daya, sedangkan hal ini sangat diperlukan untuk dikukuhkan dengan peraturan perundangan tentang berlakunya Kode Etik Keperawatan Indonesia tersebut.
10. Ada sistem kontrol dengan kontinuitas yang cukup baik terhadap tugas perawat, sehingga belum pernah terjadi malpraktik, di samping juga karena pengaruh Sumpah, Kode Etik dan fungsi PPNI serta kesadaran para perawat untuk bersikap hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai peraturan yang ada.
11. Tidak ada perbedaan yang pokok perlakuan antara perawat wanita dan perawat pria, perbedaan itu hanya pada giliran kerja malam, perawat pria lebih sering mendapat giliran malam. Ada 3 shift, pada akhir tugas harus dioperkan, tidak bisa pergi kalau yang mengganti belum datang, alat/bahan dioperkan kepada penggantinya dengan Berita Acara.
12. Siaran Berkala Bina Sehat yang diterbitkan oleh PPNI merupakan upaya agar semua perawat mengerti, melaksanakan asuhan keperawatan yang aktual.
13. Menteri Kesehatan RI telah menetapkan "Standar Praktik Perawat Kesehatan" yang merupakan acuan dan alat untuk menilai secara obyektif keberhasilan upaya keperawatan. Sedang dipersiapkan dalam konsep adalah pola pelayanan keperawatan dan legislasi keperawatan.
14. Bidang pendidikan keperawatan yang telah dicapai adalah Para Penjenang atau Perawat Kesehatan yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan tambahan untuk memperoleh persamaan ijazah perawat kesehatan.
Perawat Kesehatan dan yang setingkat (Pengatur rawat, Perawat Bidan dll) serta memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan ke Akademi Perawatan atau DIII Keperawatan. Di samping itu dapat mengikuti pendidikan khusus untuk kebidanan atau training khusus untuk asuhan keperawatan penyakit jantung, ginjal, gawat darurat, perawat kesehatan masyarakat dll.
Lulusan Akademi Perawat dengan persyaratan tertentu dapat mengikuti pendidikan Sarjana strata 1 (S1) pada fakultas kesehatan masyarakat di UI, UNHAS, UNAIR, UNDIP dan Program Studi Ilmu Keperawatan FKUI yang diharapkan segera menjadi Fakultas Keperawatan mandiri.
Di samping itu kesempatan juga terbuka bagi tenaga keperawatan untuk belajar di luar negeri sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
15. Dalam upaya pengembangan profesi, yang paling lemah adalah penelitian di bidang keperawatan karena keterbatasan kemampuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
16. Dalam rangka pengembangan karier, upaya agar semua institut/lembaga keperawatan dipimpin oleh tenaga perawat, sudah ada persetujuan prinsipiil dari pimpinan Departemen Kesehatan, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan disebabkan berbagai hambatan, termasuk ketidaksiapan PPNI sendiri, terutama dalam memenuhi persyaratan pimpinan suatu unit kerja.
17. PPNI provinsi Jateng telah mendirikan Yayasan dan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) PPNI, serta Koperasi namun masih perlu mawas diri agar tidak menyebabkan turunnya citra perawat.
18. Masalah ketidaklancaran kenaikan pangkat dan terbatasnya kesempatan untuk menjadi anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia, disebabkan karena persyaratan-persyaratan yang dirasa berat, kesulitan untuk melaksanakannya.
19. Namun masih perlu diperhatikan anggapan bahwa profesi perawat belum setaraf dengan profesi kesehatan lainnya, baik dari masyarakat luas maupun dari anggota organisasi tertentu dan bahkan mungkin dari warga keperawatan sendiri karena tidak mengikuti perkembangan ilmu, teknologi dan organisasi keperawatan saat ini.
20. Semua provinsi di Indonesia sudah terbentuk pengurus PPNI, namun daerah Tingkat II baru mencapai sekitar 90 % .
21. Kebanyakan tenaga keperawatan adalah tenaga dengan pendidikan menengah ke bawah sehingga sulit untuk dikembangkan. "
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryono Sutarto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soekarni
"ABSTRAK
Penelitian ini bersifat eksploratoris, bertujuan mendiskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa melanggar peraturan lalu - lintas dan hubungan (asosiasi ) antara variabel bebas (independent) dengan variabel tergantung (dependent).
Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini terdiri dari identitas mahasiswa yang digunakan sebagai responden, sedangkan variabel tergantung ( dependent variable) terdiri dari sikap dan perilaku melanggar ketentuan lalu - lintas.
pengumpulan data dilakukan dengan tennik studi dokumentasi dan angket. Tehnik studi dokumentasi dipergunakan untuk memperoleh informasi tentang pelanggaran dan kecelakaan, pelaku dan kecelakaan, peraturan lalu lintas, sedangkan angket dipergunakan untuk memperoleh data tentang sikap dan perilaku mahasiswa melanggar ketentuan lalu lintas.
populasi penelitian ini mencakup seluruh mahasiswa Fakultas Hukum UNS yang memakai sepeda motor.
Adapun sampel dalam penelitian ini di tentukan dengan tehnik purposive, dan mahasiswa Fakultas Hukum UNS yang ke kampus berkendaraan sepeda motor pada tanggal 2 april 1984, sebanyak 100 (seratus) orang.
Duta yang sudah terkumpul dianalisa dengan tehnik prosentase dan statistik melalui tabulasi silang.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa ;
A. Faktor-faktor yang pokok maupun yang kurang pokok yang langsung maupun yang tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa melanggar ketentuan lalu lintas.
1. pelanggaran ketentuan lalu lintrs tidak ada hubungannya dengan faktor usia.
2. pelanggaran ketentuan lalu lintas ada hubungannya dengan faktor jenis kelamin.
3. Pelanggaran ketentuan lalu lintas kurang ada hubungannya dengan faktor pengetahuan seseorang tentang peraturan tertentu.
4. Pelanggaran ketentuan lalu lintas tidak ada hubungannya dengan faktor sikap seseorang terhadap peraturan tertentu.
5. Pelanggaran ketencuan lalu lintas meskipun kurang berarti ada hubungannya dengan faktor aktivitas seseorang daian organisasi kemasyarakatan.
6. pelonggaran ketentuan lalu lintas ada hubungannya dengan faktor tingkat ekonomi keluarga
7. pelanggaran ketentuan lalu lintas ada hubungannya dengan faktor perilaku melanggar ketentuan yang berlaku dengan alasan keperluan mendesak, tidak tahu ada aturan dan tidak ada petugas yang mengawasi.
B. Masalah-masalah yang ada sehubungan dengan hasil penelitian yang dilakukan ;
1. Peraturannya apakah telah dibuat sedemikian rupa dengan memperhitungkan pelaksanaannya atau tidak.
2. syarat-syarat untuk pelaksanaannya yang bersangkutan dengan perspektif organisasi dan perspektif individual:
a. perspektif organisasi meliputi pengelolaan :
1) . Sumber daya manusia seperti : polisi ,jaksa, hakim, panitera.
2 ) . Sumber daya fisik seperti : gedung, jalan jembatan, perlengkapan, kendaraan.
3 ) . Sumber daya keuangan seperti ; belanja Negara dan sumber-sumber lain.
4 ) . Sumber daya selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi dalam usahanya
mencapai tujuannya.
b. perspektif individual meliputi :
1 ) . Apakah perundang-undangan itu telah diketahui oleh warga masyarakat.
2 ) . Apakah perundang-undangan itu sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dari warga masyarakat yang dikenai peraturan itu.
Peneliti menyarankan bahwa :
1. Perlu adanya peraturan lalu lintas yang sederhana, lengkap, komunikatif dan operasional dengan penentuan sanksi yang bervariasi antara lain berkaitan dengan ; Siapa yang melanggar, motivasi pelanggaran dan lingkungan sosialnya (tampaknya ada pejabat dan anak orang kaya dalam kenyataan pembayaran sanjcsi denda tidak merupakan hal yang memberatkan atau tidak dirasakan sebagai nestapa atau derita) . Misalnya: ada ketentuan untuk sopir atau pengemudi yang baik mendapatkan sanksi yang positif antara lain; memperoleh kemudahan dalam mendapatkan perpanjangan SIM dan STNK dengan kri teria apa yang dinamakan pengemudi yang baik atau pengemudi teladan.
2. Mengingat perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah polisi dengan warga masyarakat dan mengingat pula sikap budaya masyarakat yang masih lebih menganggap polisi sebagai pejabat hukum perlu dipertimbangkan adanya ;
a. penambahan personel polisi yang memadai.
b. Adanya pendidikan polisi yang memungkinkan cara kerja polisi tidak hanya sebagai petugas, tetapi
juga sebagai pengelola sumber daya yang dapat dipergunakan untuk membantu tugas-tugas kepolisian
c. Adanya pembinaan disiplin berlalu lintas dengan menyiapkan tenaga-tenaga pembantu polisi secukupnya.
d. Perlu adanya penambahan kursus-kursus pengetahuan, seminar-seminar peninjauan ke negara lain (luar negeri) untuk bahan perbandingan dalam menangani masalah lalu lintas.
e. Penyediaan dan peningkatan sumber daya fisik dan sumber daya keuangan ataupun sumber daya lainnya, untuk menggerakkan organisasi penegakan hukum untuk mencapai tujuannya.
f. Perlunya meningkatkan penyuluhan hukum, sehingga Undang-undang Lalu Lintas baik formil maupun materiil benar-benar diketahui dan dihayati oleh warga masyarakat, hingga sopan santun berlalu lintas merupakan kebutuhan setiap warga masyarakat.
g. Media komunikasi antara lain: dengan memperbanyak, mencetak, menjual buku peraturan lalu lintas kepada murid-murid sekolah, mahasiswa, pengemudi, atau kepada mereka yang akan memperoleh SIM.
"
Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library