Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Surastini Fitriasih
Abstrak :
Dalam pembaharuan hukum pidana (materil), masalah pidana merupakan persoalan yang paling pelik. Pangkal persoalan terletak pada sifat pidana yang menderitakan, sehingga penjatuhannya harus mempunyai alasan pembenar. Selain itu, jenis pidana yang dijatuhkan seharusnya sesuai dengan kebutuhan dan memperhatikan hak-hak asasi manusia. Dari jenis-jenis pidana yang dikenal selama ini, pada awalnya pidana penjara dianggap sebagai primadona. Penelitian-penelitian kemudian membuktikan bahwa banyak dampak negatif yang dihasilkan oleh pidana penghilangan kemerdekaan dalam lembaga ini, yang tidak sesuai dengan tujuan pembinaan. Fakta ini mendorong upaya-upaya untuk mencari alternatif pidana kemerdekaan. Pidana alternatif diharapkan mampu melayani kebutuhan pembinaan tanpa harus dijalani dalam tembok penjara. Jadi merupakan pembinaan di luar lembaga atau bersifat non-custodial. Dalam kaitan inilah Konsep Rancangan KUHP (Baru), memperkenalkan dua jenis pidana pokok baru. Salah satunya adalah pidana pengawasan, yang menurut tim perancangriya pada hakekatnya merupakan penyempurnaan dari pidana bersyarat, yang selama ini sudah ada ketentuannya dalam KUHP yang sekarang berlaku, tetapi dalam prakteknya jarang digunakan. Oleh karena itu, untuk memperoleh sistem pidana pengawasan yang dapat memenuhi harapan, pertama-tama perlu dikaji lagi pasal-pasal dalam konsep yang mengatur pidana alternatif ini. Membandingkannya dengan ketentuan mengenai pidana bersyarat dalam KUHP merupakan cara yang harus dilakukan mengingat sifat penyempurnaan dari pidana pengawasan, seperti yang dimaksudkan oleh tim perancang Konsep. Selanjutnya, permasalahan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan pidana bersyarat harus pula dikaji. Permasalahan yang terjadi, mulai dari proses penjatuhan pidana sampai pada pengawasan dan pembinaan, termasuk di dalamnya kendala di bidang sarana dan prasarana, harus dicari pemecahan dan jalan keluarnya. Dengan sistem pidana pengawasan yang baik, keberadaan terpidana di luar lembaga tidak akan dianggap sebagai pembebasan dan tujuan pemidanaan berupa pembinaan akan tercapai (SF).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iza Fadri
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian mengenai Pembaharuan Hukum Pidana Ekonomi di Indonesia dilakukan dengan mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut: (1) perkembangan hukum pidana ekonomi di Indonesia; (2) perkembangan kejahatan ekonomi; (3) memanfaatkan serta pelaksanaan UU No. 7 Darurat Tahun 1995; (4) praktek penyidikan kejahatan ekonomi di Indonesia; serta (5) aspek-aspek hukum pidana ekonomi yang perlu diperbaharui dan dikembangkan.

Setelah data diperoleh dengan melalui penelitian lapangan dan studi kepustakaan, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode yang yuridis-kualitatif dan analisis isi (content analysis), maka diperoleh kesimpulan seperti dikemukakan di bawah ini.

Perkembangan ilmu pengetahauan dan teknologi yang dicapai dewasa ini telah membawa pengaruh bagi perkembangan kesejateraan dibidang ekonomi. Munculnya institusi-institusi baru, meningkatnya pengetahuan manusia, ditemukannya sarana teknologi yang semakin canggih pendukung aktivitas ekonomi, serta adanya hubungan-hubungan antara negara yang semakin mudah sebagai akibat dari globalisasi dunia, merupakan faktorfaktor yang telah mempengaruhi perkembangan kejahatan di bidang ekonomi.

Dari perkembangan kejahatan tersebut diidentifikasi tiga bentuk kejahatan dibidang ekonomi yang ada, yaitu: (1) kejahatan ekonomi yang bersifat konvensional biasa; (2)kejahatan ekonomi yang konvensional dengan modus baru; dan (3) kejahatan ekonomi yang berdimensi baru.

Sebagai salah satu negara sedang membangun, maka menjaga dan mengamankan hasil-hasil pembangunan bagi Indonesia adalah merupakan suatu keharusan, di mana salah satu cara yang digunakan adalah dengan melakukan pengaturan hukum termasuk hukum pidananya. oleh karena UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang secara faktual kurang mampu mengakomodasikan seluruh aspek hukum yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi yang berkembang dewasa ini, maka diupayakan suatu kebijakan di bidang hukum pidana ekonomi yang diarahkan pada usaha pembaharuan hukum pidana ekonomi di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana ekonomi ini dapat dilakukan dengan merevisi ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini, melakukan kompilasi terhadap pengaturan hukum pidana ekonomi, atau pun menciptakan ketentuan yang sama sekali baru, serta membuat undang-undang pokok dibidang tindak pidana ekonomi.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizanizarli
Abstrak :
Dalam alinea ketiga pembukaan Undang Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan yang luhur tersebut ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Dengan demikian keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan itu, bukan hanya sekedar cita-cita untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, tetapi "berkehidupan yang bebas dalam keteraturan" atau kehidupan bebas dalam suasana tertib hukum. Hal tersebut di atas, dapat berarti bahwa kemerdekaan seperti yang terungkap dalam Petabukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan juga usaha pembaharuan hukum di Indonesia. Amanat untuk melakukan pembaharuan hukum itu akan lebih kongkrit bila kita menelaah ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945, antara lain membebankan bangsa Indonesia untuk melakukan pembaharuan terhadap peraturan-peraturan bekas pemerintahan jajahan (Hindia Belanda dan Bala Tentara Jepang) yang terpaksa masih diberlakukan pada periode transisi hukum. Garis kebijaksanaan umum pembaharuan hukum tersebut secara operasional telah dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993) khususnya mengenai. Wawasan Nusantara (Bab II huruf f) pada butir bidang hukum. Di dalam Pola Pembangunan Nasional, khususnya mengenai Wawasan Nasional ditegaskan antara lain bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional?
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usman
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud melakukan reevaluasi dan reorientasi terhadap penggunaan pidana penjara jangka pendek dalam sistem pemidanaan. Kemudian mengetengahkan pemikiran alternatif sehubungan dengan eksistensi pidana penjara jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana..

Pokok permasalahan difokuskan pada: 1) Sejauh mana penerapan pidana penjara jangka pendek dalam praktek peradilan pidana, serta faktor yang melatarbelakanginya? Bagaimana relevansi pidana penjara jangka pendek dengan sistem pemasyrakatan sebagai cara pelaksanaan pidana penjara? 3) Dalam rangka pembaharuan hukum pidana, apakah pidana penjara jagka pendek masih perlu dipertahankan, dan alternatif apa yang dapat dikemukakan untuk mengatasi masalah banyaknya penerapan pidana penjara janga pendek?

Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan yuridis-sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, dengan instrunen berupa: studi dokumen, wawancara, angket, dan dilengkapi dengan pengamatan. Penentuan responden dilakukan secara "purposive", kemudian analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: Dalam kesimpulan umum dapat dikemukakan, bahwa walaupun pidana penjara merupakan jenis pidana yang secara universal banyak digunakan sebagai sarana politik kriminal, akan tetapi dalam perkembangannya terdapat keoenderungan untuk menggunakannya secara selektif dan limitatif. Dalam kebijakan legislatif di Indonesia selama ini masih kurang menunjang kebijakan yang selektif dan limitatif dalam penggunaan pidana penjara jangka pendek. Dari konsep RUU KUHP terlihat adanya upaya untuk membatasi penggunaan pidana penjara jangka pendek. Dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam RUU Pemasyarakatan yang sedang dibahas di DPR saat ini terlihat adanya kemajuan dibanding aturan dalam Reglemen Penjara tahun 1917.

Sebagai kesimpulan khusus dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Pidana penjara jangka pendek merupakan jenis pidana yang paling banyak diterapkan dalam praktek peradilan pidana. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor hukumnya itu sendiri di samping adanya alasan praktis; b) Pidana penjara jangka pendek kurang sinkron dengan sistem pemasyarakatan, karena dalam kenyataannya tidak memungkinkan untuk dilakukan proses pemasyarakatan yang memadai terhadap narapidana jangka pendek; c) Kurang memadainya pembinaan terhadap narapidana jangka pendek juga dipengaruhi oleh: faktor peraturan perundang-undangan, petugas, fasilitas, dan partisipasi masyarakat. Pidana penjara jangka pendek juga kurang dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang integratif. d) Dalam rangka pembaharuan hukum pidana, pidana penjara jangka pendek masih dapat dipertahankan dalam sistem pemidanaan sepanjang digunakan secara selektif dan limitatif.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Supriyanto
Abstrak :
Latar Belakang
Komunikasi antarmanusia merupakan ciri pokok kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dalam tingkat kehidupan yang sederhana maupun dalam tingkat kehidupan yang lebih komplek seperti pada kehidupan modern dewasa ini.

Komunikasi mempunyai peranan asasi dalam segala aspek kehidupan manusia, masyarakat dan negara, karena komunikasi merupakan wahana utama dari kegiatan dan kehidupan manusia sehari-hari. Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena memang di antara mereka saling membutuhkan, dan juga karena manusia hanya bisa berkembang melalui komunikasi, sehingga komunikasi merupakan kebutuhan vital bagi manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat.

Manusia tidak hanya hidup dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan saja. Kebutuhan akan komunikasi dan informasi merupakan bukti tentang adanya desakan dari dalam tubuh manusia untuk menuju kesatuan kehidupan yang diperkaya dengan kerjasama antarmanusia. Pada mulanya komunikasi itu hanya terjadi pada masyarakat yang terbatas luasnya, yaitu kelompok-kelompok yang hidup berdampingan atau merupakan bagian dari unit politik yang sama. Di beberapa tempat mayoritas terbesar penduduk dunia hidup dalam batas-batas unit sosial kecil atau desa. Komunikasi antar pribadi (interpersonal-comunication) merupakan bentuk pokok hubungan sosial).

Komunikasi dalam suatu negara berkembang dan sedang melaksanakan pembangunan dalam seluruh sektor kehidupannya memegang peranan yang sangat penting. Apalagi seperti negara Indonesia; dengan letak geografis dan situasi kondisi sesuai dengan wawasan nasional Indonesia, yaitu Wawasan Nusantara, mengharuskan adanya komunikasi massa yang dapat menjalin hubungan antara satu daerah dengan daerah lainnya, menyampaikan komunikasi dan informasi untuk melancarkan pembangunan nasional dan sekaligus juga berperan dalam meningkatkan ketahanan nasional berupa menangkal pengaruh-pengaruh komunikasi massa dari luar yang semakin canggih dan terus - menerus memasuki wilayah Indonesia.

Dikatakan oleh futurolog Alvin Toffler, dunia sedang dilanda revolosi ketiga, yaitu revolusi informasi, sehingga suatu negara sebagai media penyebar informasi akan mudah memasukkannya ke negara-negara lain. 2)

Macam-macam informasi yang disampaikan terus menerus dalam berbagi sajian dan melalui berbagai sajian dan melalui berbagai macam media akan dapat mengubah pandangan dan sikap hidup manusia. Hal itu terjadi karena manusia setiap hari hidup dalam curahan informasi dari berbagai media informasi yang diterimanya setiap hari, sehingga tentu mempengaruhi pandangan dan perilakunya, dan terjadilah infiltrasi sosial budaya melalui informasi yang lebih hebat dibandingkan infiltrasi minter. Oleh karena itu jelas dibutuhkan adanya usaha - usaha intensif untuk memantapkan norma - norma, baik norma-norma yang melandasi tugas dan fungsi pokok komunikasi massa sebagi sarana dan proses penyaluran informasi kepada masyarakat, maupun pembinaan dan pengembangan eksistensi fisik teknologinya untuk menunjang pembangunan nasional.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
Abstrak :
Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai. Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut. Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut : Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat 1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai. 2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan. 3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Trimartini
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans J. Rengka
Abstrak :
ABSTRAK
Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang di Indonesia merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti itu tidak dikenal. Dia baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan sistem hukum Barat yang bermula pada tahun 1848, ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.

Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1 perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie) yang lazim disingkat dengan R.O.

Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali lembaga advokat, maka dapat diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia. Tetapi nampaknya peranan Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena jumlah para advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang sedikit.

Begitu pula pada masa pendudukan Jepang, belum ada tanda tanda kemajuan. Meskipun R.O. peninggalan Belanda masih diberlakukan, namun kondisi dan situasi pada saat itu sangat tidak memungkinkan untuk pengembangan program bantuan hukum secara baik. Karena pusat perhatian kita pada waktu itu adalah menitikberatkan pada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan baik secara fisik maupun secara politis.

Setelah tahun 1950 hingga pertengahan tahun 1959 yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan.dengan menggantikan konstitusi, pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku satu hukum acara bagi seluruh penduduk, akan tetapi peradilan yang dipilih bukan Raad van Justitie melainkan Landraad hukum acaranya bukan Rechtsvorderjng, melainkan HIR.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan lain perkataan yang berlaku sejak tahun 1950 hingga saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi bangsa Indonesia yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.

Selain itu, pada masa ini campur tangan eksekutif begitu besar di bidang peradilan, sehingga banyak hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktik dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya, tidak ada lagi kebebasan bagi para hakim untuk memutuskan sesuatu perkara secara tidak memihak. Lebih jauh lagi wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada masa inilah bantuan hukum yang diemban oleh profesi advokat Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa jika tidak dikatakan hancur sama sekali. Pada saat ini pula banyak advokat meninggalkan profesinya, karena merasa mereka tak berperanan lagi, karena kebanyakan orang yang berperkara lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa, hakim untuk menyelesaikan perkaranya.

Campur tangan kekuasaan eksekutif kepada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 19 Tahun 1964. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas dalam negara hukum atau "rule of law". Sejak itu boleh dikatakan peranan advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali meskipun hukum acara tidak mengalami perubahan apa-apa. Periode ini oleh Buyung dikatakan periode paling pahit bagi sejarah bantuan hukum Indonesia.
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Rehnalemken
Abstrak :
ABSTRAK
Perubahan sosial budaya pada kehidupan masyarakat sekarang ini, sedikit banyak telah didominasi oleh perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan teknologi modern. Salah satu bidang dalam kehidupan masyarakat yang telah dijamah oleh ilmu dan teknologi adalah bidang kedokteran. Melalui perkembangan teknologi medis yang canggih tersebut, maka diagnosa penyakit dapat dilakukan secara lebih sempurna dan pengobatan pun bisa dijalankan dengan metode yang lebih efektif.

Meskipun kemajuan dibidang kesehatan itu telah dapat memperingan rasa sakit, menghilangkan rasa sakit, menyembuhkan penyakit, bahkan memperpanjang umur pasien untuk jangka waktu tertentu dengan memasang "respirator" pada tubuh penderita, akan tetapi adakalanya pasien tidak dapat disembuhkan lagi. Dalam upaya mempertahankan hidup pasien yang demikian itu, konflik pun timbul karena biaya perawatan yang mahal. Untuk menekan biaya perawatan di rumah sakit, biasanya pasien dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya dengan terlebih dahulu dimintakan persetujuan dokter yang merawatnya. Dengan perawatan dirumah oleh keluarga, penderita akhirnya meninggal dunia secara alamiah. Sebenarnya dalam hal ini telah terjadi euthanasia pasif, karena pihak keluarga pasien telah mengurangi kualitas perawatan dari perawatan dokter atau rumah sakit ke perawatan keluarga. Euthanasia semacam ini sering terjadi di tanah air kita. Nampaknya secara moral, euthanasia pasif sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

Perkembangan selanjutnya menjadi menarik perhatian karena munculnya suatu ide atau gagasan untuk melakukan euthanasia aktif yang diusulkan oleh pasien ataupun pihak keluarga penderita. Tidakkah ide semacam ini berarti pembunuhan? Meskipun ada alasan yang cukup logis, yaitu untuk mengakhiri penderitaan pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi serta menekan biaya perawatan yang menjadi semakin mahal. Dalam pada itu tugas dokter untuk tidak bertindak sebagai pembunuh akan tetap berlaku sampai kapanpun juga. Oleh karena itu permintaan untuk melakukan euthanasia aktif akan selalu menimbulkan konflik batin bagi para dokter. Apakah euthanasia aktif akan dapat diterima, terserah pada sikap masyarakat pada umumnya.

Masalah euthanasia ini menyangkut nyawa manusia. Bila dilihat dari kacamata hukum, khususnya hukum pidana, maka euthanasia dapat dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap nyawa orang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 334 KUHP. Secara historis, pasal ini belum pernah menjaring pelaku euthanasia, sehingga dianggap tidak efektif. Oleh karena itu dalam rangka pembangunan hukum, terutama pembaharuan hukum pidana, maka Pasal 344 KUHP tersebut perlu ditinjau kembali, agar dapat berdayaguna, berhasilguna dan sesuai dengan perkembangan sosial.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>