Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Maulana
Abstrak :
Reservoir terekahkan merupakan reservoir dimana fluida tersimpan dan dapat teralirkan melalui porositas dan permeabilitas sekunder dari rekahan. Salah satu kompleksitas dari reservoir minyak dan gas bumi yang memiliki rekahan adalah bagaimana kondisi geologis dapat mempenngaruhi bentuk dan persebaran dari rekahan yang ada di bawah permukaan. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi rekahan, membuat model intensitas rekahan, dan mengkaitkannya dengan keadaan geologi pada lapangan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan interpretasi data rekahan dari log FMI, interpretasi data seismik, pembuatan atribut seismik, dan pembuatan model dengan menggunakan neural network untuk mendistribusikan intensitas rekahan dengan arahan atribut seismik yang dibuat. Hasil penelitian menunjukkan rekahan bersifat resistif dan konduktif yang masing-masing berjumlah 163 dan 291 rekahan. Orientasi patahan mayor dan rekahan-rekahan pada tiga sumur menunjukkan orientasi NE-SW, NW-SE, dan N-S. Model intensitas rekahan lateral Lapangan Arwintar menunjukkan bahwa keterbentukan rekahan relatif lebih banyak terjadi pada daerah yang memiliki perubahan elevasi curam, yang mana berarti wilayah tersebut mengalami tingkat deformasi yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian lainnya. Diperkirakan patahan dan rekahan yang ada pada lapangan dipengaruhi oleh kejadian tektonik besar berupa subduksi. ...... Fractured reservoir is a reservoir with fluid storage and pathway comes from fractures as a secondary porosity and permeability. The complexity of fractured reservoirs is how geological conditions can affect the shape and distribution of the subsurface fractures. This research aims to characterize fractures, make a fracture intensity model, and correlate it to the geological conditions in the field. The research was conducted by interpreting fracture data from FMI logs, interpreting seismic data, creating seismic attributes, and making models using a neural network to distribute the fracture intensity with the direction of the seismic attributes created. The results showed there are 163 resistive fractures and 291 conductive fractures. The orientation of the major faults and the fractures showed NE-SW, NW-SE, and N-S trends. The fracture intensity model of Arwintar Field showed that fracture is more common in areas that have steep elevation changes. It means these areas experience a higher level of deformation than in other areas. It is assumed that the faults and fractures were generated because of subduction.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qinanti Anakke Duan Yarita Tawekal
Abstrak :
Perairan utara Papua berada pada lokasi yang strategis, dimana merupakan posisi salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (arlindo) yang merupakan bagian dari siklus oseanografi global. Sedimen laut dapat memberikan data mengenai keadaan lingkungan sekitarnya yang relatif lengkap dan tidak terganggu hingga jutaan tahun. Bukti perubahan lingkungan yang terekam pada sedimen laut berdasarkan karakteristik sedimen dan kandungan foraminifera pada periode transisi Pleistosen dan Holosen juga masih belum banyak dipelajari. Periode transisi Pleistosen-Holosen dapat menimbulkan dampak perubahan lingkungan yang dapat diteliti perbedaan akibat perubahan iklim tersebut. Kondisi tersebut dapat menimbulkan dampak perubahan lingkungan, paleogeografi, dan sumber daya alam yang signifikan. Variasi kelimpahan dan kumpulan foraminifera sendiri merupakan respons adaptif dari foraminifera terhadap perubahan lingkungan dengan habitatnya. Sedimen yang terdapat pada perairan Utara hingga Barat Jayapura ini kemudian dianalisis menggunakan metode Analisis Foraminifera, XRF, Granulometri dan LOI. Berdasarkan hasil kurva dari keempat metode yang dilakukan, dicurigai batas antara Kala Pleistosen dan Holosen berada di kedalaman 61 cm. Hasil tersebut yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan komposisi foraminifera dan karakteristik sedimen akibat perubahan iklim yang terjadi. ......The waters of northern Papua are in a strategic location, which is the position of one of the entrances to the Indonesian cross flow (arlindo) which is part of the global oceanographic cycle. Marine sediments can provide data about the condition of the surrounding environment that is relatively complete and undisturbed for millions of years. Evidence of environmental changes recorded in marine sediments based on sediment characteristics and foraminifera content during the Pleistocene and Holocene transition periods has also not been widely studied. The Pleistocene - Holocene transition period can cause the impact of environmental changes which can be studied for differences due to climate change. These conditions can result in significant changes in the environment, paleogeography and natural resources. Variations in the abundance and collection of foraminifera themselves are an adaptive response of foraminifera to environmental changes in their habitat. The sediment found in the waters north to west of Jayapura was then analyzed using Foraminifera Analysis, XRF, Granulometry and LOI methods. Based on the curve results from the four methods used, it is suspected that the boundary between the Pleistocene and Holocene times is at a depth of 61 cm. These results are used to identify differences in foraminifera composition and sediment characteristics due to climate change.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library