Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cinta Betsy Helena
Abstrak :
Penelitian ini mengaitkan perkembangan rute Air France selama masa Les Trente Glorieuses dengan masyarakat di masa itu. Setelah Perang Dunia II berakhir, pemulihan penerbangan komersial pascaperang adalah salah satu prioritas Pemerintah Prancis. Air France sebagai maskapai nasional Prancis didorong untuk melakukan perkembangan pelayanan berupa peningkatan fasilitas di dalam dan di luar kabin pesawat, juga pembukaan rute-rute baru. Selama l'rga puluh tahun, Air France mewakili Prancis menjalin kerjasama dengan berbagai negara beserla maskapai nasionalnya untuk memperluas jaringan rute. Perkembangan rute dilakukan karena Air France sebagai maskapai nasional berlugas mengakomodir kebutuhan masyarakat Prancis untuk bepergian lebih cepat nyaman, dan dengan pilihan destinasi yang semakin banyak. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini secara deskriptif-analisis membahas keadaan sosial ekonomi masyarakat Prancis pada Masa Les Trente Glorieu.ses agar terlihat kebutuhan mereka sebagai konsumen penerbangan. Latar sosial ekonomi setiap kalangan dalam masyarakat akan menimbulkan motif-motif khusus untuk memanfaatkan rute baru Air France. ...... This thesis specifies on Air France route accession during The Glorious Thirty and its correlation with French society in that period. At the end of World War II, commercial aviation has made it into one of French Govemment's priorities. Air France as a flag-carrier was assigned to improve its service through innovations on the inside and outside of the cabin, as well as route inaugurations. Throughout The Glorious Thirly, Air France on behalf of French Government affiliated with numerous countries along with their flag-carrier to expand its route network. This step was essential for Air France as it has full responsibility to accommodate French people's need to travel. Air France had to offer a faster and more pleasant flight with divers destination choices due to its status as flag-carier. Thus, the during The Glorious Thirty This thesis specifies on Air France route accession during The Glorious Thirty and its correlation with French society in that period. At the end of World War II, commercial aviation has made it into one of French Govemment's priorities. Air France as a flag-carrier was assigned to improve its service through innovations on the inside and outside of the cabin, as well as route inaugurations. Throughout The Glorious Thirly, Air France on behalf of French Government affiliated with numerous countries along with their flag-carrier to expand its route network. This step was essential for Air France as it has full responsibility to accommodate French people's need to travel. Air France had to offer a faster and more pleasant flight with divers destination choices due to its status as flag-carier. Thus, the, o"iul-""o.romic background of French society at that time is descriptively analyzed in order to see their needs as commercial aviation consumer as it will interpret their motivation of travelling with Air France's new routes.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S61104
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Agatha Gunawan
Abstrak :
Skripsi ini membahas perbedaan dan persamaan istilah musik dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Prancis. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-komparatif dengan data berupa istilah-istilah musik dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Prancis dan padanannya dalam bahasa Prancis. Data diperoleh dari Istilah-istilah Musik susunan Latifah Kodijat, Kamus Musik susunan Pono Banoe, dan Kamus Musik susunan Karl Edmund-Prier. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori analisis komponen makna Mortureux dan teori hubungan konseptual antaristilah Sager. Hasil penelitian menunjukkan wilayah makna istilah-istilah musik dalam bahasa Indonesia sama persis dengan bahasa Prancis, namun cakupan istilah-istilah dalam wilayah makna kedua bahasa tersebut berbeda. Selain itu, istilah-istilah musik dalam bahasa Indonesia memiliki hubungan konseptual yang lebih sedikit dan berbeda dengan yang ditemukan dalam bahasa Prancis. ...... This thesis discusses the differences and the similarities between Indonesian and French musical terms. This research uses analytical descriptive and comparative method using Indonesian musical terms of French origin as data. The data sources are Istilah-istilah Musik by Latifah Kodijat, Kamus Musik by Pono Banoe, and Kamus Musik by Karl Edmund-Prier. The semantic componential analysis tehory by Mortureux and the theory of conceptual relationship by Sager are used to analyze the data. The results show that the semantic fields of Indonesian musical terms are identical to French musical terms, although their scopes are not. In addition, there are fewer conceptual relationships among Indonesian musical terms and they are not identical to those in French language.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S64514
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Puspitorini
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengeksplorasi fungsi afiks verbal ma-, -um-, mang-, -in-, ka- dalam struktur internal kata dan klausa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fungsional dan metode analisis morfologi sintaksis. Data diambil dari teks prosa Jawa Kuno  diparwa yang diperkirakan disusun pada akhir abad 10. Data dari dua sumber lain, yaitu, Wirāṭaparwa dan Bhīsmaparwa digunakan sebagai pelengkap. Analisis data dilakukan dengan melihat fungsi afiks ma-, -um-, mang-, -in-, ka- dalam struktur internal kata dan korelasinya dengan ciri valensi sintaktis dalam struktur internal klausa. Temuan yang diperoleh dari analisis struktur internal kata adalah (i) afiks ma-,-um-, mang-, -in-, ka- bersifat derivatif karena mengubah makna leksikal dan kelas kata morfem dasar menjadi verba berargumen satu atau dua; (ii) afiks ma-,- um-, mang- membentuk verba berargumen satu, sedangkan afiks -um-, mang-, -in- , ka- membentuk verba berargumen dua. Sebagai pembentuk verba berargumen dua, afiks -um-, mang- juga memiliki fungsi sebagai pemarkah diatesis aktif, sedangkan afiks ?in-, ka- sebagai pemarkah diatesis pasif. Verba berargumen satu dikaji berdasarkan makna aspektual inheren verba. Temuan yang dihasilkan adalah ada dua kelompok verba berafiks, yaitu (i) verba berafiks ma- yang keberlangsungan situasinya bersifat nondinamis (nondynamic situation), (ii) verba berafiks ?um- dan mang- yang keberlangsungan situasinya bersifat dinamis (dynamic situation). Verba yang menyatakan situasi nondinamis dibedakan menjadi dua, yaitu verba statif (keberlangsungannya bersifat tetap) dan verba statis (keberlangsungannya bersifat sementara). Perbedaan verba statif dari verba statis terkait dengan analisis afiks verbal dalam struktur internal klausa yang menghasilkan temuan sebagai berikut. Klausa dengan predikat berupa verba statif tidak dapat diperluas dengan unsur sintaktis lainnya, sedangkan predikat berupa verba statis dan dinamis dapat diikuti unsur sintaktis lain. Verba berargumen dua dikaji berdasarkan ciri ketransitifannya. Afiks ma- cenderung membentuk verba transitif yang tidak mendasar (non-prototypical transitive verbs) dibandingkan afiks ?um- dan mang-. Secara semantis verba macenderung memiliki kadar ketransitifan yang rendah. Sebaliknya, afiks mangcenderung membentuk verba berciri transitif yang prototipikal, yaitu (i) memiliki agen yang melakukan tindakan dengan sengaja dan aktif, (ii) memiliki pasien yang konkret dan terkena tindakan, (iii) verba menyatakan peristiwa berubah dengan cepat, terbatas, tuntas. Oleh karena itu, subjek klausa berpredikat verba mang- cenderung merupakan agent active. Ciri semantis tersebut menjadi pembeda yang paling menonjol antara verba mang- dan verba ?um-. Subjek klausa berpredikat verba ?um- cenderung merupakan a conscious dative. Analisis verba berafiks pada struktur internal klausa menghasilkan temuan dua tipe klausa, yaitu (i) klausa yang urutan predikat dan subjeknya tersela konstituen sintaktis lain, dan (ii) klausa yang urutan predikat dan subjeknya tidak tersela konstituen sintaktis lain. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jenis klausa ditinjau berdasarkan ada tidaknya partikel topikal dalam klausa. Klausa berpola predikat subjek yang tidak tersela konstituen lain dapat menjadi klausa topikal, sedangkan klausa berpola predikat subjek yang tersela konstituen lain tidak dapat menjadi klausa topikal. Temuan tersebut memperlihatkan perbedaan jenis klausa yang dipicu oleh kebutuhan pada tingkat sintaktis dan pragmatik wacana. Temuan penelitian ini berimplikasi pada kajian linguistik bahasa Jawa Kuno dalam hal dua aspek tinjauan afiks verbal, yaitu kata dan klausa. Afiks verbal bahasa Jawa Kuno tidak hanya merupakan kesatuan bentuk dan makna dengan morfem dasar yang diimbuhinya, tetapi juga merupakan kesatuan bentuk dan makna yang berkorelasi dengan ciri sintaktis verba berafiks yang dibentuknya
ABSTRACT
This research investigates the functions of Old Javanese verbal affixes ma- -um-, mang-, -in-, and ka- in the internal structure of words and clauses. This qualitative research utilizes functional approach and morphological-syntactical method for analysis. Data were taken from an Old Javanese prose text  diparwa which was composed approximately in the 10th century. Supplementary data were taken from two other textual sources: Wirāṭaparwa and Bhīsmaparwa. Data were analyzed by examining the functions of affixes ma-, -um-, mang-, -in-, and ka- in the internal structure of words and their correlation with syntactical valency in the internal structure of clauses. Analysis of the internal structure of words yields these following results: (i) affixes ma-,-um-, mang-, -in-, and ka- are derivative in character because they can transform lexical meanings and the part of speech of a basic morpheme into a verb with one or two arguments; and (ii) affixes ma-,-um-, and mang- creates verbs with one argument, while affixes -um-, mang-, -in-, and ka- creates verbs with two arguments. As markers of verbs with two arguments, affixes -um- and mang- also function as active diathesis markers, while affixes -in- and kafunction as passive diathesis markers. Verbs with one argument are analyzed according to their inherent aspectual meanings. This analysis found two groups of verbs with affixes: (i) verbs with affix ma- which signify non-dynamic situations and (ii) verbs with affixes -um- and mang- which signify dynamic situations. Verbs which convey non-dynamic situations are further divided into two groups which consist of stative verbs (which indicate permanent situations) and static verbs (which indicate temporary situations). The difference between those two groups of verbs is then linked to the results of an analysis of verbal affixes in the internal structure of clauses, which found that clauses with stative verbal predicates cannot be expanded using other syntactical elements, while clauses with static and dynamic verbal predicates can be expanded using other syntactical elements. Verbs with two arguments are analyzed according to their transitivity. Affix ma- is more likely to create non-prototypical transitive verbs than affixes - um- and mang-. Semantically speaking, verbs with affix ma- tends to show low degree of transitivity, whereas the affix mang- tends to create prototypical transitive verbs with these characteristics: (i) having agents who do intentional and active actions, (ii) having concrete patients who become the objects of those actions, and (iii) signifying events which are rapidly changing, limited, and complete. Because of this, the subjects of clauses with verbal predicate mangtend to be active agents. This semantic characteristic is the most distinguishing feature between verbs with affix mang- and verbs with affix -um-. The subjects of clauses with verbal predicate -um- tend to be conscious datives. The analysis of verbs with affixes in the internal structure of clauses results in two types of clauses which consist of (i) clauses whose predicate and subject are separated by other syntactical constituents, and (ii) clauses whose predicate and subject are not separated by other syntactical constituents. This difference is related to the categorization of clauses which is based on the presence or absence of topical particles in the clauses. Clauses with predicatesubject pattern which are not separated by other syntactical constituents can be considered as topical clauses, whereas clauses with predicate-subject pattern which are separated by other syntactical constituents cannot be considered as topical clauses. These findings demonstrate that clauses can be categorized according to various linguistic needs at syntactical level and pragmatic-discourse level. The research findings can contribute to expanding the linguistic studies of Old Javanese in two aspects related to the study of verbal affixes: words and clauses. Old Javanese verbal affixes are not simply fusions of form and meaning combined with the base morphemes to which they are attached, but also the fusion of form and meaning which correlates with the syntactical characteristics of the affixed verbs they create.
2016
D2233
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyu Retno Ningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan spektrum yang dihubungkan dengan gangguan pada aspek sosial dan aspek kognitif. Gangguan autisme tersebut berdampak terhadap gangguan kebahasaan, yaitu abnormalitas prosodi. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan karakteristik prosodi pada penutur ASD. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan eksperimental atau model IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek yang meliputi produksi ujaran, analisis akustik, dan uji persepsi serta analisis statistik non parameterik. Penelitian ini menitikberatkan pada persepsi. Subjek penelitian adalah penutur ASD yang berusia 7 sampai dengan 12 tahun. Subjek kontrol penelitian adalah penutur yang tidak mempunyai gangguan autisme dengan rentang usia yang sama. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara prosodi pada penutur ASD dan subjek kontrol. Perbedaan tersebut meliputi ekspresi prosodi, modus kalimat, dan kontras tuturan. Karakteristik prosodi pada penutur ASD ditandai oleh intonasi cenderung datar dan monoton, tidak mempunyai batas-batas tuturan, dan tidak ada kontras ujaran. Sementara itu, aspek segmental pada tuturan ASD menunjukkan produksi tuturan yang cenderung pendek, kurang ekspresif, dan tidak mampu memproduksi tuturan pertanyaan, serta merespon pertanyaan. Karakteristik ini berlaku secara personal pada penutur ASD dari tingkat ringan hingga tingkat parah atau abnormalitas.
ABSTRACT
Autism or Autism Spectrum Disorder ASD is a spectrum disorder which is connected to social and cognitive aspects. The autism spectrum disorder has an impact to language disorder, that is prosodic abnormality. The aim of this research is to formulate prosodic characteristics for ASD speakers. The research method applied is experimental approach or IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek model that covers speech production, acoustic analysis, and perception test also nonparametric statistic analysis. This research focused on perception. The research subjects were ASD speakers whose ages were 7 12 years old. The controlling subjects of this research were speakers who did not suffer autism or typical development with the same age ranges. The findings of the research demonstrated significant differences between prosody of ASD speakers and the controlling subjects. The differences covered prosodic expressions, sentence modes, and contras utterances. The prosodic characteristics of ASD speakers were marked by the flat and monotone intonations, having no utterances border, and there was no utterance contrast. On the other hand, segmental aspects of ASD speakers showed utterance production that tended to be shorter, less expressive, and have no ability to produce question utterances, including responding questions. These characteristics applied personally to ASD speakers from the low level to the very serious level or abnormality.
2017
D2347
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
ABSTRAK
Ujaran secara garis besar dibentuk oleh dua unsur, yakni unsur segmental dan unsur supraseginental atau prosodi. Unsur suprasegmental merupakan unsur nonsegmental yang menyertai realisasi pengujaran unsur-unsur segmental itu. Hadirnya unsur nonsegmental dalam pengujaran unsur-unsur segmental itu menunjukkan bahwa unsur segmental dan unsur supraseg__nental bersama-lama membentuk makna sebuah ujaran. Intonasi sebuah ujaran_Vyang merupakan salah satu perwujudan prosodi_Vmemiliki pola-pola tertentu dalam menampilkan ""makna"" tertentu pula, antara lain menyatakan modus kalimat. Perbedaan intonasi modus-modus kalimat direalisasikan dengan perbedaan yang tipis atau sebaliknya direalisasikan dengan kontras intonasi yang sangat mencolok. Bahasa Jawa, yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia, kiranya merupakan objek penelitian intonasi yang sangat menarik. Penelitian intonasi bahasa Jawa ini berpeluang untuk mengambil peran dalam pengembangan penelitian fonetik bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Tujuan pertama penelitian ini adalah menemukan pola intonasi kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif dalam ragam bahasa Jawa yang digunakan di dalam keraton Yogyakarta. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk menemukan ciri signifikan yang menandai kontras modus-modus kalimat itu. Penemuan ciri-ciri yang menandai kontras modus ini diharapkan memberikan gambaran yang menunjukkan bahwa sebuah pola
2003
D1590
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library