Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Triasih Djutaharta
"Tujuan studi untuk melihat pengaruh harga rokok dan lingkungan merokok pada probability merokok, realokasi pengeluaran dan nutrisi rumah tangga. Data yang digunakan Survey Sosial Ekonomi 2014, Riset Kesehatan Dasar 2013 dan Potensi Desa 2014. Almost Ideal Demand System dengan memasukkan Invers Mills Ratio dan koreksi unit value sebagai proksi harga. Hasilnya, kenaikan harga rokok menurunkan probability merokok; meningkatkan share pengeluaran rokok, menurunkan share sebagian besar kelompok pangan; menurunkan konsumsi rokok dan sebagian besar kelompok pangan; menurunkan konsumsi protein dan kalori rumah tangga. Peningkatan lingkungan merokok meningkatkan share pengeluaran rokok. Daerah dengan Kawasan Tanpa Rokok menurunkan probability merokok dan share pengeluaran rokok.

This study assesses the effect of cigarette price and smoking environment in
cigarette demand, food, and its implication on household’s nutrition. Almost Ideal
Demand System Model accomodate Invers Mills Ratio and corrected unit values. Main data is the 2014 National Social Economy Survey. The results are the increase of cigarette price will decrease smoking participation, increase cigarette budget
share and reduce the majority of food budget share; reduce the cigarette and the majority of food group consumption; and reduce households’ protein and calorie consumption. The social environment increase cigarette expenditure. Smoking Free
Area Policy reduce smoking participation and cigarette budget.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Watekhi
"Disertasi ini menganalisis pengaruh liberalisasi perdagangan  yang diukur dengan tarif barang final terhadap ketimpangan upah antarindustri (industry wage premium) pada sektor manufaktur di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengukur ketimpangan upah antara pekerja terampil dan tidak terampil dalam suatu industri (industry-specific skill premium) untuk karakteristik pekerja yang identik. Metode estimasi yang digunakan adalah estimasi dua tahap (Haisken-DeNew & Schmidt, 1997; Krueger & Summers, 1988). Pada tahap pertama mengestimasi industry wage premium dan  industry-specific skill premium dengan cara meregresikan upah terhadap karakteristik pekerja, dummy industri dan interaksi antara dummy industri dengan dummy tingkat keterampilan pekerja. Estimator koefisien dummy industri merupakan industry wage premium dan koefisien interaksi antara dummy industri dengan dummy tingkat keterampilan pekerja merupakan industry-specific skill premium. Data yang digunakan adalah data Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2000 sampai dengan  2015. Pada tahap kedua meregresikan industry wage premium dan industry-specific skill premium masing-masing terhadap tarif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan mengurangi industry wage premium dan liberalisasi perdagangan meningkatkan industry-specific skill premium. Kebijakan perdagangan di Indonesia dimana proteksi lebih tinggi pada industri yang unskilled labor-intensive dibanding industri yang skilled labor-intensive akan mengurangi ketimpangan upah antar industri, namun meningkatkan ketimpangan upah antara pekerja terampil dan tidak terampil dalam suatu industri.

This study analyzes the effect of trade liberalization on wage inequality through industry wage premium and industry-specific skill premium in Indonesian manufacturing sectors. The empirical study is conducted in two stages of estimation approach (Haisken-DeNew & Schmidt, 1997; Krueger & Summers, 1988). Using the survey of labor force dataset from the Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional - Labor Force Survey), first, the study estimates industry wage premiums and industry-specific skill premium conditional on characteristics of the individual worker. In the second stage, the study regresses industry wage premium and industry-specific skill premium on tariff as a measure of trade liberalisation, respectively. The study finds trade liberalization decreases industry wage premium and increases industry-specific skill premium. So, Indonesia needs to be selective in implementing trade liberalization. Higher protection policies in the unskilled labor-intensive sector than the skilled labor-intensive sector will reduce wage inequality between industries. But on the contrary, it will increase wage inequality between skilled and unskilled workers in an industry."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meindra Sabri
"Kawasan industri dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk mengekspor melalui fasilitas yang lebih baik dan ekonomi aglomerasi. Studi ini meneliti apakah keputusan ekspor perusahaan di kawasan industri lebih baik daripada di luar kawasan industri. Kemudian melihat lebih jauh karakteristik kawasan industri seperti apa yang menentukan keputusan perusahaan untuk melakukan ekspor.
Metode treatment effect digunakan untuk membandingkan keputusan perusahaan untuk mengekspor di dalam dan di luar kawasan industri. Model probit dikembangkan untuk menilai bagaimana karakteristik industri (jarak pelabuhan, kapasitas pelabuhan, listrik, air, jumlah penyewa dan insentif fiskal) mempengaruhi keputusan ekspor perusahaan. Untuk memperkuat analisis kuantitatif, kami melakukan analisis kualitatif melalui wawancara mendalam dengan pengelola kawasan industri, Himpunan Kawasan Industri  dan institusi terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan perusahaan untuk mengekspor di kawasan industri lebih tinggi daripada di luar kawasan industri. Pada tingkat nasional, karakteristik kawasan industri yang mempengaruhi keputusan ekspor perusahaan adalah sumber air, dan insentif fiskal. Di tingkat daerah, terutama di wilayah Jabotabek+, hampir semuanya berpengaruh kecuali kapasitas pelabuhan. Infrastruktur seperti sumber listrik dan air berpengaruh positif terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan ekspor. Ekonomi aglomerasi yang diwakili oleh jumlah perusahaan manufaktur dan kebijakan fiskal pemerintah efektif dalam meningkatkan keputusan ekspor perusahaan.

The industrial estate might influence the firms decision to export through better facilities and agglomeration economies. This paper investigates whether firms export decision in the industrial estates is better than outside. We then assessed on how the industrial estate characteristics determined firms decision to export.
Treatment effect methods were used to compare firms decision to export inside and outside of the industrial estate. A probit model was developed to assess how industrial estate characteristics (port distance, port capacity, electricity, water, the number of tenants and fiscal incentive) affected firms export decision. To strengthen the quantitative analysis, we conducted a qualitative analysis through in-depth interviews with the industrial estate top level managers and related institutions.
The results showed that firms decision to export in the industrial estate was higher than outside the industrial estates. At the national level, characteristics of the industrial estate that affected firms export decision were water source, and fiscal incentives. At the regional level, especially in the Greater Jakarta area, almost all of them were affecting unless the port capacity. Infrastructures such as electricity and water source were positively affected the firms decision to export. Agglomeration economies which were represented by the number of manufacturing firms and government fiscal policy was effective in increasing export decision of firms.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
D2562
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Irsan A Moeis
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya kondisi yang kontras antara nasib para lansia di negara maju dan di negara berkembang. Dengan fasilitas pensiun yang sangat baik, para lansia hidup dengan kualitas yang tinggi di negara maju. Pensiun dipandang sebagai sebuah penghargaan atas jasa-jasa mereka selama ini. Sehingga, memasuki usia pensiun merupakan masa yang sangat dinanti-nantikan. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah dan proporsi lansia dibandingkan kelompok usia pekerja serta penerapan sistem PAYG, dimana manfaat pensiun ditanggung oleh kelompok bekerja, maka sistem pensiun di negara maju menghadapi permasalahan pembiayaan yang memicu defisit anggaran.
Sementara, di negara berkembang, lansia hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dengan kualitas hidup yang rendah, dimana 80% lansia tidak memiliki jaminan pensiun. Oleh karena itu, pensiun merupakan masa yang menakutkan karena terkesan seperti sebuah hukuman, dimana individu kehilangan kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Kondisi di atas memunculkan isu, bagaimana mempertahankan kualitas hidup lansia yg sudah tinggi di negara maju tanpa mengganggu kesinambungan keuangan negara. Di sisi lain, dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki, bagaimana negara berkembang dapat meningkatkan kualitas hidup lansianya. Lebih lanjut, bagaimana meningkatkan keadilan di masyarakat, khususnya bagi para lansia Apakah benar bahwa perwujudan keadilan dan kesinambungan keuangan negara merupakan sebuah trade-off Adakah suatu cara untuk mengatasinya, yaitu sebuah sistem yang memenuhi asas keadilan sekaligus menjamin kesinambungan keuangan negara Dengan latar belakang dan isu yang ada, maka studi ini ditujukan untuk:  1) merumuskan sebuah model analitis baru bagi sistem pensiun yang adil sekaligus dapat menjamin kesinambungan keuangan negara; 2) memberi solusi terhadap isu tradeoff antara keadilan dan kesinambungan keuangan negara; dan 3) menghadirkan sebuah perspektif ekonomi terhadap keadilan.

Currently, there is a contrast quality of life between older persons in developed countries and in developing countries. With sophisticated facilities, older persons in developed countries are living in high quality standard of live. Pension is seen as a reward for retirees for their contribution for economy in their young ages. Therefore, being retiree is the time that everybody wishes. However, increasing in number and proportion of ageing, decreasing number of young generation and PAYG implementation where pension benefits is paid by active workers, then pension system in developed countries face financial issues such as budget deficit.
In contrast, in the developing countries, older persons live in the low quality of live. There are 80% older persons live without pension benefits. Hence, retirement is a dark period as the individuals lost their chance to have a job and to generate income. The contrast condition creates an issue, how to keep high quality of live for retirees in the developed countries without harms state budget. In another hand, with limited budget, how can developing countries increase quality life for the retirees Based in the issues above, the main objective is to construct a new analytical model for a just and financially sustainable pension system in developing countries. It is a model, which overcomes the issue of the trade-off.  It also aims to illustrate the constructed model with Indonesias case. The other objectives are to scrutinize states role in social protection system among regimes and to know public expectation on pension system in Indonesia."
2018
D2567
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Azis Muslim
"Disertasi ini mengkaji fenomena histeresis ekspor Indonesia yang dipicu oleh depresiasi nilai tukar saat krisis ekonomi 1997-1998. Histeresis didefinisikan sebagai sifat dari sistem yang telah berubah tetapi gagal untuk kembali ke keadaan semula, setelah faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut telah hilang. Istilah histeresis ini dipakai dalam bidang Ekonomi, khususnya pada bidang Perdagangan Internasional. Fenomena dimana shock nilai tukar sesaat namun pengaruhnya berkepanjangan pada ekspor atau impor adalah versi histeresis pada bidang Ekonomi. Berlandaskan teori, depresiasi nilai tukar yang sangat besar akan menurunkan sunk cost untuk masuk pasar ekspor, dan apabila terjadi apresiasi eksportir akan tetap berada di pasar ekspor.
Histeresis perdagangan diidentifikasi dengan menggunakan fenomena structural break. Histeresis teridentifikasi jika terjadi perubahan positif pada konstanta intersep. Terjadinya break diuji dengan menggunakan Chow test, namun dengan menggunakan logika fuzzy dapat diperlihatkan secara jelas kapan perubahan secara gradual terjadi. Analisis kointegrasi Metode Bounds Testing Cointegration dengan pendekatan ARDL (Autoregressive Distributed Lag) digunakan untuk mendapatkan signifikansi hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan histeresis perdagangan terjadi pada periode 1997-1998, untuk kasus total ekspor dan ekspor manufaktur Indonesia ke Dunia, ekspor Indonesia ke USA, Jerman dan India. Total ekspor dan ekspor manufaktur Indonesia memperlihatkan terjadinya histeresis perdagangan, sedangkan ekspor non manufaktur Indonesia tidak memperlihatkan terjadinya histeresis. Ekspor Indonesia ke USA, Jerman, dan India memperlihatkan terjadinya histeresis perdagangan, sedangkan ekspor Indonesia ke Jepang, Cina, India dan Rusia tidak memperlihatkan terjadinya histeresis. Hanya pada kasus ekspor Indonesia ke India terbukti secara signifikan terjadi penurunan elastisitas ekspor terhadap nilai tukar setelah terjadi histeresis.

This dissertation examines the trade hysteresis phenomenon of Indonesian exports which is triggered by the depreciation of the exchange rate in economic crisis on 1997-1998. Hysteresis is defined as the nature of the system that has changed but failed to return to its original state when the cause of the change has been removed. The term hysteresis is used in economics, particularly in the field of International Trade. The Phenomenon whereby the exchange rate shock for a moment but prolonged effect on the export or import is a version hysteresis in Economics. Based on theory, the exchange rate depreciation would lower the entry sunk cost to enter to the export market, and in case of appreciation exporters will remain in the exportmarket.
Hysteresis is identified with structural break. Hysteresis is identified if there is a positive change in the intercept. The break was tested by using the Chow test but using the fuzzy logic could be shown clearly when changes occur gradually. Bounds cointegration analysis method with the approach of ARDL Cointegration Testing (Autoregressive Distributed Lag) is used to get the significance of the research results.
The results showed trade hysteresis occurred in 1997-1998 for the case of total exports and manufacturing exports from Indonesia to the World, Indonesian exports to the USA, Germany and India. Total exports and exports of Indonesian manufacturing shows the hysteresis while Indonesian non-manufacturing exports did not show the occurrence of hysteresis. Indonesian exports to the USA, Germany, and India showed the trade hysteresis, while Indonesian exports to Japan, China, India and Russia did not show the occurrence of hysteresis. Only in the case of Indonesia's exports to India was shown to significantly decrease the elasticity of exports to exchange rate after a hysteresis.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika Djamaluddin
"Studi ini bertujuan untuk mengukur nilai kualitas hidup kota berdasarkan besarnya kompensasi yang bersedia dibayarkan rumah tangga terhadap kenyamanan fasilitas publik kota. Pengukuran kenyamanan dilakukan dengan menggunakan model Hedonik Berger-Blomquist-Hoehn yang dikembangkan. Hasil pengukuran tersebut digunakan untuk Menganalisis perkembangan nilai kualitas hidup kota, mengidentifikasi sektor-sektor publik yang menjadi sumber perubahan kenyamanan kota serta menganalisis variasi kenyamanan antar kota. Pengukuran dilakukan terhadap 28 kota di Pulau Jawa tahun 2002 dan 2005. Pengukuran indeks kualitas hidup menggunakan basis data Survei Ekonomi Nasional (susenas) core dan Potensi Desa (podes). Jumlah total individu yang libatkan pada estimasi model hedonik upah adalaha sebesar 30.007 individu tahun 2002 dan 34.760 individu tahun 2005. Adapun otal rumah tangga ang dilibatkan adalah sebesar 21.439 rumah tangga pada tahun 2002 da 24.530 rumah tangga pada tahun 2005. Hasil pengukuran IKH menunjukkan bahwa kualitas hidup kota di Pulau Jawa pada tahun 2002 dan tahun 2005 sangat bervariasi. Beberapa kota mengalami peningkatan kualitas hidup seperti Kota Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga dan Semarang. Penurunan kualitas hidup hampir terjadi di semua kota besar diantaranya kota-kota di DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Malang mengalami penurunan kualitas hidup. Perbedaan kualitas hidup antar kota berpotensi mendorong terjadinya migrasi. Rumah tangga cenderung pindah menuju kota yang kualitas hidupnya tinggi. Guna membatasi masuknya migran, pemerintah kota dapat mengenakan kebijakan (sejenis pajak) kepada migran maksimum senilai perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Sebaliknya jika beniat mendorong masuknya migran, pemerintah dapat mengenakan kebijakan (sejenis subsidi), minimun sebesar perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Selain mengetahui nilai kenyamanan kota secara total, analisis dekomposisi memungkinkan pemerintah mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan kualitas hidup suatu kota, baik secara menyeluruh maupun parsial. Analisis tersebut juga mampu menunjukkan pergeseran peranan masing-masing sektor publik antara waktu. Sebagai studi aplikasi pertama yang mengukur nilai kualitas hidup atau kenyamana kota di Indonesia, penulis berharap studi-studi lanjutan dapat dikembangkan di masa akan datang guna menganalisis hubungan antara kualitas hidup dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti migrasi, investasi daerah, pertumbuhan kota.

The objective of the study is to measure the quality of life according to the amount a household is willing to pay as a compensation for the public facilities in their cities. The level of amenities is measured by using Hedonic Model developed by Berger-Blomquist-Hoehn. The result will be used in analyzing the progress of the quality of life in each town, identifying certain public sectors which drive changes in amenities level as well as analyzing the amenities variation among the cities. The study, which measures the quality of life of 28 cities in Java during 2002 and 2005, is making use of data from National Social Economic Survey (susenas) and Village Potential Statistics (podes). In total, thc number of individual observation involved in hedonic wage model estimation was 30,007 in 2002 and 34,760 in 2005. ln addition, the number of households being involved in 2002 and 2005 amounted to 21,439 and 24,530 households respectively. The result of the quality of life index measurement shows that quality of life in cities in Java both in 2002 and 2005 quite vary. Among the cities which experienced an improved quality of life including Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga and Semarang. In the contrary, a decrease in quality of life almost took place in all other big cities such as Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Malang and all cities in Jakarta Provinces. In fact, the difference level of quality of life among the cities may potentially drive migration in which people tend to move to other city with higher quality of life. ln order to restrict migration to their town, the local government CBI) apply certain policy (such as tax) to the migrants as much as maximum the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. However if local government wants to attract migrants coming to their towns, they can apply a favorable policy such as certain subsidy to the migrants at least as much as the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. Through decomposition analysis, the government may not only able to know the city?s quality of life in total but also able to identify each sector?s contribution to the quality of life?s changes within the city. The analysis can show any changes in each public sector's role every year. As the first study which measures quality of life index in Indonesia, the author is expecting some relevant studies which take in to account other variables such as migration, regional investment and city?s growth to be done in the near fiiture."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
D969
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zaekhan
"Disertasi ini dimotivasi oleh issue energi (ketahanan energi) dan issue lingkungan (perubahan iklim), khususnya inefisiensi energi dan emisi CO2 di industri manufaktur Indonesia. Sektor industri manufaktur harus menerapkan standar yang menitikberatkan upaya efisiensi energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi rendah karbon. Kebijakan konservasi energi (efisiensi energi) dan diversifikasi energi (pergeseran komposisi energi) yang efektif dan tepat sasaran sangat penting dan modal bagi industri manufaktur berkelanjutan. Target yang akan dicapai adalah eksistensi decoupling, yaitu aktivitas ekonomi industri meningkat, tetapi konsumsi energi bahan bakar fosil dan emisi CO2 menurun. Sehingga, informasi deskripsi dan eksposisi yang jelas tentang eksistensi decoupling sangat diperlukan.
Disertasi ini terbagi menjadi 2 studi;
Studi pertama, mengidentifikasi eksistensi decoupling di industri manufaktur Indonesia pada periode 2010-2014 melalui pendekatan konsumsi energi dan emisi CO2. Identifikasi dibedakan berdasarkan kategori karakteristik perusahaan (industri) seperti: sub-sektor, intensitas teknologi, regional pulau, ukuran perusahaan, kepemilikan modal, dan ekspor. Identifikasi menggunakan metode indeks decoupling yang dihitung dari komponen-komponen hasil dekomposisi konsumsi energi dan emisi CO2.
Metode dekomposisi yang digunakan adalah Logarithmic Mean Divisia Index (LMDI). Aktivitas ekonomi industri merupakan komponen penggerak utama peningkatan konsumsi energi dan emisi CO2, sedangkan intensitas energi dan struktur komposisi energi merupakan komponen penghambat peningkatan konsumsi energi dan emisi CO2.
Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa tidak terjadi efek decoupling antara konsumsi energi atau emisi CO2 dengan pertumbuhan aktivitas ekonomi industri pada periode 2010-2014, tetapi eksistensi decoupling relatif pada periode 2012-2013 (secara agregat). Eksistensi decoupling relatif di perusahaan dengan intensitas teknologi medium-low dan perusahaan dengan jumlah pekerja 500-999 (disagregasi). Di masa depan, pemerintah hendaknya fokus melakukan perubahan teknologi rendah karbon atau revitalisasi mesin yang tidak efisien pada perusahaan di sub-sektor yang berpotensi decoupling, berteknologi medium atau high, sudah tua, berada di wilayah Jawa-Bali, firm size 200-499, milik PMDN, dan berorientasi ekspor.
Studi kedua, melakukan identifikasi determinan potensial (karakteristik perusahaan) atau insentif harga energi yang dapat menjadi faktor pendorong terjadinya decoupling (emisi CO2). Identifikasi melalui pendekatan empiris ekonometri regresi data panel perubahan share konsumsi energi, ketika kondisi pertumbuhan aktivitas ekonomi meningkat atau stagnan. Studi ini menggunakan metode estimasi Seemingly Unrelated Regression (SUR). Pendekatan empiris dimodelkan dengan permintaan faktor input masing-masing sub-energi di industri yang diturunkan dari fungsi biaya translog. Data set bersumber dari data survei statistik industri besar dan menengah Indonesia, yang disiapkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia.
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa penurunan pajak/harga pada bahan bakar gas akan mendorong terjadinya decoupling. Tidak ada perubahan teknologi seiring berjalannya waktu. Perusahaan dengan teknologi medium, wilayah Jawa-Bali, ukuran perusahaan semakin besar, milik PMA lebih less polluters dan berpotensi mendorong terjadinya decoupling sedangkan perusahaan yang semakin tua dan berorientasi ekspor cenderung menjadi heavy polluters. Pemerintah hendaknya fokus melakukan peralihan teknologi dari medium-low ke medium, memberikan insentif atau penghargaan serta peningkatan kapitalisasi pada perusahaan yang berteknologi medium, dan memberikan subsidi atau insentif pada perusahaan yang cenderung heavy polluters yaitu yang tua, wilayah luar Jawa-Bali, firm size kecil, milik PMDN, dan berorientasi ekspor.

This dissertation is motivated by the issue of energy (energy security) and environmental issues (climate change), specifically energy inefficiency and CO2 emissions in the Indonesian manufacturing industry. The manufacturing industry sector must adopt standards that emphasize energy efficiency, energy diversification, eco-design and low-carbon technology efforts. Energy conservation policies (energy efficiency) and energy diversification (shifting energy composition) that are effective and targeted are very important and capital for sustainable manufacturing industries. The target to be achieved is the existence of decoupling, namely increased industrial economic activity, but the consumption of fossil fuel energy and CO2 emissions decreases. Therefore, clear description and exposition information about the existence of decoupling is needed.
This dissertation is divided into 2 studies; The first study, identified the existence of decoupling in the Indonesian manufacturing industry in the period 2010-2014 through the approach of energy consumption and CO2 emissions. Identification is distinguished by the category of company (industry) characteristics such as: sub-sectors, technological intensity, regional islands, company size, capital ownership, and exports. Identification uses the decoupling index method which is calculated from the components of decomposition of energy consumption and CO2 emissions. The decomposition method used is the Logarithmic Mean Divisia Index (LMDI). Industrial economic activity is the main driving component of increasing energy consumption and CO2 emissions, while energy intensity and energy composition structure are inhibiting components of increasing energy consumption and CO2 emissions.
The identification results show that there is no decoupling effect between energy consumption or CO2 emissions with the growth of industrial economic activity in the period 2010-2014, but the existence of relative decoupling in the 2012-2013 period (in aggregate). The existence of relative decoupling is in companies with medium-low technology intensity and companies with 500-999 (disaggregated) workers. In the future, the government should focus on changing low-carbon technology or revitalizing inefficient machines to companies in sub-sectors that have the potential of decoupling, medium or high technology, are old, in the Java-Bali region, firm size 200-499, owned PMDN, and export-oriented.
The second study, identifies potential determinants (company characteristics) or energy price incentives that can be a driving factor for decoupling (CO2 emissions). Identification through an empirical approach to econometric regression of panel data changes the share of energy consumption, when conditions for economic activity increase or stagnate. This study uses the Seemingly Unrelated Regression (SUR) estimation method. The empirical approach is modeled by the demand for input factors of each sub-energy in the industry derived from the translog cost function. The data set is sourced from Indonesian large and medium industry statistical survey data, prepared by the Statistics Indonesia.
Estimation results show that a reduction in taxes / prices on natural gas will encourage decoupling. There are no technological changes over time. Companies with medium technology, the Java-Bali region, the size of the company is bigger, owned by PMA, less polluters and has the potential to encourage decoupling while companies that are older and export-oriented tend to become heavy polluters. The government should focus on transferring technology from medium-low to medium, providing incentives or rewards as well as increasing capitalization in medium-tech companies, and providing subsidies or incentives for companies that tend to be heavy polluters, namely the old, regions outside Java-Bali, small firm size, belongs to PMDN, and is export-oriented.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
D2731
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahman Hakim
"Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat, dan pola migrasi terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Literatur menginformasikan tidak hanya faktor ekonomi mempengaruhi migrasi tapi juga amenities, karena amenities kota dapat menarik individu untuk memilih tinggal di lokasi tertentu daripada yang lain. Terdapat tiga kelompok amenities utama yaitu alam, sosial, dan fasilitas publik. Namun studi yang membahas mengenai amenities dan migrasi kurang memperhatikan tiga kelompok amenities utama. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung indeks amenities (amenities implicit price index) yang mengakomodasi tiga kelompok utama yaitu fasilitas publik (public facility implicit price), lingkungan alam (natural environment implicit price), dan sosial (social implicit price), serta melihat pengaruhnya pada migrasi kota di Indonesia. Studi juga menguji bagaimana pengaruh amenities dan faktor ekonomi pada migrasi kota di Indonesia.
Hasil penelitian menemukan bahwa kota-kota di pulau Jawa memiliki nilai indeks yang tinggi, dan kota-kota di luar Jawa yang menjadi ibu kota provinsi dapat bersaing dengan banyak kota lain di Jawa berdasarkan kondisi amenities-nya saat ini. Amenities fasilitas publik meningkatkan migrasi ke kota karena seringkali lebih lengkap, lebih baik, dan berkualitas. Amenities alam dapat menjadi perhatian orang untuk pindah ke kota, karena bisa menjadi ajang tempat berkumpul dan berinteraksi warga sekaligus arena rekreasi. Amenities sosial yang diukur dengan kejahatan, apabila semakin meningkat dapat mengurangi keinginan orang untuk datang ke kota, karena kejahatan yang tinggi merepresentasikan ketidakamanan. Hasil empiris juga menemukan bahwa amenities, upah minimum, produk domestik regional bruto, sektor tersier, dan pertumbuhan berkontribusi terhadap migrasi kota. Studi kami mengkonfirmasi jika amenities dan faktor ekonomi berperan penting terhadap migrasi kota di Indonesia.
Studi menyarankan pemerintah kota perlu memprioritaskan penyediaan amenities berkualitas dan penciptaan ekonomi kota yang lebih baik. Selain itu, amenities berperan penting dalam migrasi kota di Indonesia, sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan amenities dalam merumuskan kebijakan pembangunan kota."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Kartiasih
"Tujuan dari disertasi ini adalah (1) mengukur tingkat pembangunan TIK dengan pendekatan rumah tangga dan individu di level kabupaten/kota; (2) menganalisis peran TIK dan skill tenaga kerja terhadap distribusi pendapatan; dan (3) menganalisis peran TIK dan sektor informal terhadap distribusi pendapatan di Indonesia. Data yang digunakan adalah raw data Susenas, Sakernas dan data lainnya yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Studi pertama menggunakan analisis faktor menunjukkan bahwa pembangunan digital menyebar dari Indonesia bagian barat ke bagian tengah dan timur, dan dari kota-kota besar ke wilayah sekitarnya. RDDI di kabupaten/kota yang kurang berkembang, tumbuh lebih cepat dibandingkan kota yang lebih maju. Akibatnya, kesenjangan pembangunan TIK menurun dari 2015 ke 2019, dan wilayah Indonesia menjadi lebih konvergen secara digital. Studi kedua menggunakan teknik estimasi two-step system Generalized Method of Moments (GMM). Tiga indikator TIK yang digunakan yaitu RDDI, penetrasi komputer dan penetrasi telepon seluler. Hasil studi menunjukkan conditional effect TIK dengan skill tenaga kerja menurunkan terhadap ketimpangan. Hasil studi ketiga menunjukkan conditional effect TIK dan sektor informal juga mengurangi ketimpangan pendapatan. Peningkatan TIK memiliki dampak yang lebih luas dalam memodulasi dinamika sektor informal dan mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia jika minimum threshold penetrasi telepon seluler sebesar 36,56 persen dapat dicapai.

The objectives of this dissertation are (1) to measure the level of ICT development using a household and individual approach at the district/city level; (2) to analyze the role of ICT and workforce skills on income distribution; and (3) to analyze the role of ICT and the informal sector on income distribution in Indonesia. The datasets used are Susenas raw data, Sakernas and other data obtained from the Central Statistics Agency (BPS). The first study using factor analysis shows that digital development spreads from western Indonesia to the central and eastern parts of the country, and from big cities to surrounding areas. RDDI in less developed districts/cities grows faster than in more developed cities. As a result, the ICT development gap decreased from 2015 to 2019, and the Indonesian region became more digitally converged. The second study uses the two-step estimation technique of the Generalized Method of Moments (GMM) system. The three ICT indicators used are RDDI, computer penetration, and cell phone penetration. The results of the study show that the conditional effect of ICT on workforce skills reduces inequality. The results of the third study show that the conditional effect of ICT and the informal sector also reduces income inequality. If the minimum threshold for cellular phone penetration of 36.56 percent is met, the increase in ICT will have a broader impact in modulating the dynamics of the informal sector and reducing income inequality in Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambarsari Dwi Cahyani
"Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-7 untuk memperbaiki akses energi modern yang dapat dijangkau, layak, dan berkelanjutan untuk semua pihak. Pemerintah telah melakukan banyak perbaikan akses listrik dan liquid petroleum gas (LPG). Tanpa kedua jenis energi modern tersebut, rumah tangga menggunakan kayu bakar atau biomas yang menghasilkan dampak negatif. Perbaikan pasokan listrik dan LPG yang cukup masif seharusnya menurunkan ketimpangan penggunaan energi modern, tetapi ketimpangan energi meningkat di beberapa kelompok populasi. Ketimpangan penggunaan energi dipengaruhi juga oleh faktor permintaan. Pembahasan ketimpangan energi modern adalah penting karena mencerminkan ketimpangan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan yang esensial untuk standard kehidupan yang lebih baik.
Studi ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengukur ketimpangan penggunaan listrik dan LPG dengan menggunakan data Susenas. Metode yang digunakan adalah pengukuran indeks Theil dan Gini. Indeks Theil dihitung secara statik dan dinamik. Pengukuran ketimpangan mempertimbangkan dimensi spasial dan tingkat pendapatan. Indeks menunjukkan turunnya ketimpangan penggunaan energi modern secara nasional dan pada beberapa dimensi kelompok populasi, tetapi ketimpangan meningkat di perkotaan, di kelompok pendapatan tinggi, serta di beberapa provinsi.
Bagian kedua menjawab pertanyaan apakah faktor-faktor permintaan berpengaruh pada distribusi penggunaan energi, yang dapat menjelaskan ketimpangannya. Serta, apakah pengaruhnya berbeda antara di perkotaan dan pedesaan. Pengukuran ini dipisah untuk masing-masing energi. Estimasi distribusi penggunaan listrik menggunakan Quantile Regression dan OLS. Estimasi distribusi penggunaan LPG menggunakan Quantile Count Regression dan Negative Binomial Regression.
Estimasi pada model listrik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi penggunaan listrik adalah pendapatan, harga listrik, gender, tingkat pendidikan, dan status bekerja, jumlah anggota usia lanjut, status rumah, peralatan listrik, dan daya terpasang. Faktor yang pengaruhnya berbeda antara di perkotaan dan di pedesaan adalah pendapatan, tingkat pendidikan, status bekerja, dan status rumah. Sementara itu, estimasi pada model LPG menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi distribusi penggunaan LPG adalah pendapatan, harga LPG, gender, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status rumah. Semua faktor tersebut berkorelasi secara berbeda antara perkotaan dan pedesaan.
Studi ini berimplikasi pada kebijakan untuk mengatasi kekurangan energi di satu sisi, tetapi mendorong penghematan energi di sisi lain. Dalam hal kekurangan energi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengenali kelompok yang rentan menjadi miskin-energi. Di antaranya adalah rumah tangga berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, kepala rumah tangga wanita, dan pekerja mandiri di pedesaan. Program listrik semacam tenaga surya hemat energi perlu dilanjutkan di samping mendorong penggunaan energi lokal. Dalam hal energi memasak, program penggunaan tungku bersih murah perlu dipertimbangkan untuk dijalankan kembali. Di samping itu, peningkatan rasio elektrifikasi serta distribusi LPG perlu terus didorong terutama di daerah terpencil, pedesaan, dan wilayah timur Indonesia. Dalam hal penghematan energi, pendidikan tentang pentingnya hemat energi dan dampak eksternalitas perlu menyasar pada rumah tangga pengguna listrik yang tinggi, yaitu rumah tangga dengan tingkat pendidikan menengah dan universitas, terutama di perkotaan pada provinsi-provinsi di Sumatra, Jakarta, dan Kalimantan.

Indonesia has committed to achieving Sustainable Development Goal 7 to improve access to modern energy that is affordable, feasible, and sustainable for all. The government has made many improvements in accessing electricity and liquid petroleum gas (LPG). Without these types of modern energy, households use firewood or biomass, resulting in negative impacts. Massive improvements in electricity supply and LPG should reduce inequality in modern energy use, but energy inequality increases in some population groups. Demand factors also influence inequality in energy use. Addressing modern energy inequality is important because it reflects economic inequality and the fulfillment of essential needs for a better standard of living.
This study consists of two parts. The first part measures the inequality of electricity and LPG use using Susenas data. The methods are the decomposable Theil and Gini indexes. Theil index is calculated statically and dynamically. The inequality measurement considers the spatial dimensions and income levels. The index shows a decrease in inequality in modern energy usage nationally and some population groups, but inequality increases in urban areas, high-income groups, and some provinces. The second part addresses whether demand factors affect the distribution of modern energy usage, explaining inequality. And whether the effect is different between urban and rural areas. The estimate is separated for each energy. The electricity usage model is estimated using Quantile Regression and OLS. The LPG model is estimated using Quantile Count Regression and Negative Binomial Regression.
Estimating the electricity model, factors influencing the electricity usage distribution are income, electricity price, gender, education level, occupation, number of elderlies, homeownership, electric appliances, and installed power. The factors that affect urban and rural areas are income, education level, work status, and home status. Meanwhile, the LPG model's estimation shows that the factors influencing the LPG usage distribution are income, LPG price, gender, education level, occupation, and home status. All of these factors correlate differently between urban and rural areas.
This study has implications for policies to address energy insufficiency on the one hand but encourages energy savings on the other. In terms of energy insufficiency, the government needs to consider identifying groups vulnerable to being energy-poor. Among them are low-income, low-educated households, female household heads, and rural self-employed workers. Electricity programs such as energy-efficient solar power need to be continued and encourage the use of local energy. The program for using cheap, clean stoves needs to be considered for re-implementation in cooking energy. In addition, the increase in the electrification ratio and LPG distribution needs to be encouraged, especially in remote, rural, and eastern Indonesia. In terms of energy saving, education on the importance of energy-saving and the impact of externalities needs to target high electricity user households, namely households with secondary and university education levels, especially in urban areas in the provinces of Sumatra, Jakarta, and Kalimantan.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>