Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albert Sedjahtera
"Latar belakang.Kardiomiopati terimbas kemoterapi berbasis antrasiklin memiliki dampak signifikan terhadap pasien kanker. Pemantuan fungsi jantung berbasis fraksi ejeksi, yang saat ini menjadi standar, tidak dapat mengetahui kerusakan secara awal dan bila ditemukan kardiomiopati maka kerusakan sudah terlambat. Penggunaan biomarker dan teknik pencitraan ekokardiografi dengan strain dipikirkan dapat memberi gambaran kejadian kardiomiopati awal. Oleh karena itu, perlu dilakukan aplikasi dari penggunaan troponin dalam memprediksi kejadian kerusakan jantung pada pasien yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara peningkatan kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin

Metode. Studi kohort prospektif dilakukan pada Januari-September 2023. Pasien kanker berusia diatas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi berbasis antrasiklin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais direkrut untuk penelitian. Pemeriksaan high sensitivity troponin dilakukan pada 6 titik waktu pra dan pascasiklus pertama, kedua, dan ketiga. Pemantauan Global longitudinal strain dilakukan sebelum kemoterapi, pascakemoterapi siklus ke 2,  siklus ke 4 dan siklus ke 6.  Kardiomiopati subklinis didefinisikan sebagai penurunan GLS >15% dari data dasar. Dibuat kurva ROC dari nilai titik potong high sensitivity troponin I  terhadap kejadian kardiomiopati subklinis.  

Hasil. Dari 61 subjek, didapatkan insiden kardiomiopati subklinis sebesar 29,4% (95% IK 9,4-18,6). Tidak didapatkan titik potong dari perubahan high sensitivity troponin I dalam memprediksi kardiomiopati subklinis.

Kesimpulan. Tidak didapatkan hubungan antara kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.


Background. Chemotherapy based anthracycline induced cardiomyopathy has a significant impact on cancer patients. Monitoring heart function based on ejection fraction, which currently is the standard, cannot detect damage early and by the time cardiomyopathy is detected, the damage is already advanced. The use of biomarkers and echocardiographic imaging techniques with strain is thought to provide insight into early cardiomyopathy occurrences. Therefore, there is a need to apply troponin usage in predicting heart damage events in patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Aim. To determine the relationship between an increase in high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy incidence in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Method. A prospective cohort study was conducted from January to September 2023. Cancer patients over 18 years of age receiving anthracycline-based chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital were recruited for the research. High sensitivity troponin examinations were conducted at 6 pre- and post-cycle time points (first, second, and third cycles). Global longitudinal strain monitoring was performed before chemotherapy, after the second cycle, fourth cycle, and sixth cycle. Sublinical cardiomiopathy is defined as a reduction in GLS > 15% from baseline. An ROC curve was generated for the high sensitivity troponin I cutoff values against subclinical cardiomyopathy occurrences.

Results. Out of 61 subjects, incidence of subclinical cardiomyopathy was found to be 29.4% (95% CI 9.4-18.6). No cutoff point was found for changes in high sensitivity troponin I in predicting subclinical cardiomyopathy.

Conclusion. There was no relationship found between high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy occurrences in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ansi Rinjani
"Latar belakang: Insidens metastasis otak lebih tinggi dibanding tumor primer otak dan berisiko menimbulkan kematian dengan penyebab terbanyak berasal dari kanker paru (36,5%) di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Keterlambatan diagnosis berisiko menyebabkan herniasi otak, sehingga terjadi kecacatan dan kematian. Dibutuhkan data mengenai durasi penegakan diagnosis di RSCM.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan rancangan kohort retrospktif untuk mengetahui kesesuaian antara durasi penegakan diagnosis tumor otak metastasis akibat kanker paru dengan pedoman praktik klinis (durasi ≤2 minggu). Subjek merupakan pasien rawat inap di RSCM pada Januari 2019 s/d Desember 2021.
Hasil: Terdapat 12 subjek (30%) dapat ditegakkan dalam waktu ≤2 minggu dengan  median durasi 18,5 hari (IQR (12-34 hari). Selain itu didapatkan durasi 7 hari (IQR 4-11 hari) untuk sampai didapatkannya massa di paru,  durasi 8 hari (IQR 4.5-13 hari) sampai dilakukannya biopsi, dan 6 hari (IQR 3.5-7 hari) sampai keluarnya hasil patologi anatomi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel yang dinilai dengan durasi penegakan diagnosis ≤2 minggu (14 hari).
Kesimpulan: Hanya 30% subjek dengan durasi yang sesuai dengan panduan praktik klinis di RSCM. Dibutuhkan diseminasi hasil dan kolaborasi antar bagian agar penegakan diagnosis lebih cepat.

Background: Incidence of brain metastases is higher than primary brain tumors, with lung cancer as common etiology (36.5%) at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM). Delay in diagnosis can cause brain herniation, resulting in disability and death. Data is needed regarding the duration of diagnosis in RSCM.
Method: This is a descriptive analytic study with a retrospective cohort design to determine the conformity between the duration of diagnosis of metastatic brain tumors due to lung cancer in daily clinical practice with clinical practice guidelines (duration 2 weeks). Subjects were inpatients at RSCM from January 2019 to December 2021
Results: There were 12 subjects (30%) who could be diagnosed within 2 weeks with a median duration of 18.5 days (IQR (12-34 days). Duration of 7 days (IQR 4-11 days) to obtain a lung mass, 8 days (IQR 4.5-13 days) until a biopsy was performed, and 6 days (IQR 3.5-7 days) until anatomic pathology results were released. There is no statistically significant relationship between the variables assessed and the duration of diagnosis 2 weeks.
Conclusion: Only 30% of subjects with the duration matched the clinical practice guidelines at RSCM. Dissemination of results and collaboration between departments is needed to make diagnosis faster.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angela
"Pasien kanker kepala leher rentan mengalami malnutrisi akibat penurunan sensitivitas indera pengecap yang sudah terjadi sejak awal diagnosis dan akan diperberat oleh terapi. Seng merupakan salah satu zat gizi yang berperan dalam proses metabolisme utama seperti regulasi siklus sel dan pembelahan sel, sintesis protein dan penyembuhan luka termasuk di antaranya sel-sel taste bud pada indera pengecap. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher sebelum menjalani kemoradiasi. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subyek dewasa dengan kanker kepala leher sebelum kemoradiasi di RSCM. Asupan seng dinilai menggunakan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap dinilai dengan menggunakan 3-stimulus drop technique yang dikembangkan oleh Mossman dan Henkin untuk 4 kualitas rasa (asin, manis, asam, dan pahit). Sebanyak 85 subyek penelitian dengan median usia 54 tahun, mayoritas laki-laki, terdiagnosis kanker nasofaring dengan jenis karsinoma sel skuamosa dan stadium IV. Rerata subyek memiliki status gizi normal, dengan median asupan energi 28 (15-58) kkal/kgBB dan protein 1 (0-3) g/kgBB. Median asupan seng pada subyek sebesar 8 (3-24) gram dengan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap subyek didapatkan paling tinggi berturut-turut adalah untuk rasa asam, pahit, asin, dan manis. Dilakukan uji korelasi antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap. Tidak ditemukan adanya korelasi bermakna antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher praradiasi baik rasa manis (r= -0,170, p= 0,120), asin (r= -0,085, p= 0,442), asam (r= 0,080, p= 0,467), ataupun pahit (r= -0,131, p= 0,233).

Head and neck cancer patients are susceptible to malnutrition due to decreased taste sensitivity that has occurred since first diagnosed and worsened by therapy. Zinc is a nutrient that plays a role in major metabolic processes such as regulation of the cell cycle dan cell proliferation, protein synthesis and wound healing, including taste bud cells. This study aims to examine the relationship between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before undergoing chemoradiation. The study used a cross-sectional design on adult head and neck cancer subjects who have not been undergone chemoradiation at RSCM. Zinc intake was assessed using a semi-quantitative food frequency questionnaire. Taste sensitivity was assessed using the 3-stimulus drop technique developed by Mossman and Henkin for 4 taste qualities (salty, sweet, sour, and bitter). A total of 85 subjects with a median age of 54 years, most of them are male, diagnosed with nasopharyngeal cancer and already at stage IV. On average, the subjects had normal nutritional status, median energy intake was 28 (15-58) kcal/kgBW and protein 1 (0-3) g/kgBW. The median zinc intake in subjects was 8 (3-24) grams assessed with a semi-quantitative FFQ. The highest taste sensitivity of the subjects was sour, bitter, salty, and sweet, respectively. A correlation test was conducted between zinc intake and taste sensitivity. There was no significant correlation between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before chemoradiation, either sweet (r= -0.170, p= 0.120), salty (r= -0.085, p= 0.442), sour (r= 0.080), p= 0.467), or bitter (r= -0.131, p= 0.233)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Ayuningtyas
"Latar Belakang : Krisis Miastenia (KM) terjadi karena perburukan gejala miastenia gravis (MG) ditandai dengan gagal napas akut, pemanjangan intubasi pasca-timektomi atau kelemahan bulbar yang menyebabkan dispnoe. Therapeutic Plasma Exchange (TPE) telah diterima sebagai terapi lini pertama untuk KM. Keterbatasan sumber daya di RSUPNCM membuat tatalaksana TPE tidak ideal sesuai dengan rekomendasi American Society of Apheresis (ASFA). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi luaran pasien KM di RSUPNCM yang menjalani TPE.
Metode : Penelitian ini berdesain potong lintang dengan mengambil data sekunder kasus KM yang menerima TPE di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2014-September 2018. Diagnosis KM didasarkan pada pemeriksaan klinis. Dilakukan analisa bivariat terhadap faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi luaran TPE pada KM.
Hasil : Sebanyak 38 kasus memenuhi kriteria inklusi. Luaran baik setelah menjalani TPE didapatkan pada 60,5% kasus. Awitan MG (p = 0,039) (OR 7,00; IK 1,18-41,5) dan jenis MG (p = 0,001) (OR 14,40; IK 2,88-71,82) memiliki hubungan bermakna dengan luaran TPE pada KM. MG awitan awal dan MG okular yang menjadi umum menunjukkan luaran yang lebih baik. Variabel spesifisitas antibodi menunjukkan trend kuat dalam mempengaruhi luaran TPE pada KM (p = 0,055) (OR 0,46; IK 0,27-0,80).
Variabel lainnya : jenis kelamin, ada tidaknya pneumonia, patologi timus, durasi MG, terapi MG, durasi awitan KM-TPE, total sesi TPE, volume plasma tukar, interval TPE, komplikasi TPE dan kesesuaian dengan ASFA tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan luaran TPE pada KM. Penderita KM yang menjalani TPE sesuai ASFA menunjukan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan yang menjalani TPE tidak sesuai ASFA.
Kesimpulan : MG awitan awal dan MG okular yang menjadi umum merupakan faktor yang dapat mempengaruhi luaran baik TPE pada KM. Penderita yang menjalani TPE sesuai ASFA menunjukan perbaikan klinis yang lebih cepat.

Background: Myasthenic crisis (MC) occurs due to worsening symptoms of myasthenia gravis (MG) characterized by acute respiratory failure, prolongation of post-thymectomy intubation or bulbar weakness causing dyspnoea. Therapeutic Plasma Exchange (TPE) has been accepted as first-line therapy for MC. The limited resources in RSUPNCM make the management of TPE not ideal according to the recommendations of the American Society of Apheresis (ASFA). The purpose of this study was to determine the factors that influenced the outcomes of MC patients at RSUPNCM who underwent TPE.
Method: This study was a cross-sectional design by taking secondary data on MC cases that received TPE at RSUPNCM from January 2014 to September 2018. The diagnosis of MC is based on clinical examination. Bivariate analysis was carried out on factors that were thought to influence TPE outcomes in MC.
Results: A total of 38 cases met the inclusion criteria. Good outcomes after undergoing TPE are found in 60.5% of cases. Onset of MG (p = 0.039) (OR 7.00; IK 1.18-41.5) and type of MG (p = 0.001) (OR 14.40; IK 2.88-71.82) have a significant relationship with TPE outcome on MC. Early-onset MG and ocular to generalized MG show better outcomes. Antibody specificity variables showed a strong trend in influencing TPE outcome in MC (p = 0.055) (OR 0.46; IK 0.27-0.80).
Other variables: gender, pneumonia, thymic pathology, MG duration, MG therapy, duration of onset MC-TPE, total TPE session, plasma exchange volume, TPE interval, TPE complications and suitability with ASFA did not have a statistically significant relationship with TPE outcome on MC. Patients with MC who underwent TPE according to ASFA showed faster clinical improvement than those who underwent TPE not according to ASFA
Conclusion: Early onset MG and ocular to generalized MG are factors that can affect the good outcome of TPE in MC. Patients who undergo TPE according to ASFA show faster clinical improvement.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Wahyuningsih
"Latar Belakang. Insidens Limfoma Non-Hodgkin (LNH) meningkat pada populasi usia lanjut. Kemoterapi merupakan modalitas utama terapi LNH. Profil kesintasan dan respons terapi pasien usia lanjut dengan LNH yang menjalani kemoterapi belum diketahui di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui profil kesintasan 1 tahun dan respons terapi pasien usia lanjut dengan LNH yang menjalani kemoterapi di Indonesia.
Metode. Penelitian deskriptif ini dilakukan secara kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel diambil secara total sampling dari rekam medik bulan Januari 2017 – Desember 2019. Melalui telaah rekam medik, data pasien yang dikumpulkan berupa demografi subjek, profil kesintasan 1 tahun, skrining gizi, status kemandirian, komorbiditas, laboratorium, patologi anatomi, gejala toksisitas, dan respons terapi.
Hasil. Dari 78 subjek, didapatkan hasil mayoritas kelompok usia 60-69 tahun (74,35%; n=58), median usia 66 tahun (rentang 60-91; SB 5,91), berjenis kelamin laki-laki (61,54%; n=48), kesintasan 1 tahun 58,7%. 17 subjek hanya dihitung persentase kelompok jenis kelamin, usia, dan dicatat angka kesintasannya dari electronic medical record karena tidak didapatkan data rekam medis, 61 subjek dapat ditelaah keseluruhan datanya. Dari 61 subjek didapatkan mayoritas subjek berisiko malnutrisi sebelum menjalani kemoterapi (80,33%; n=49), termasuk kategori pasien mandiri sebelum menjalani kemoterapi (55,74%; n=34), komorbiditas terbanyak hipertensi (54,10%; n=33), memiliki multikomorbid (34,43%; n=21), memiliki kadar Hb ≤11 sebelum menjalani kemoterapi (42,62%), merupakan tipe LNH agresif (65,57%; n=40), mengalami toksisitas sistem gastroenterologi (68,85%; n=42) dan hematologi (63,93%; n=39), mengalami respons komplit setelah 6 siklus kemoterapi (34,43%; n=21).
Kesimpulan. Mayoritas pasien usia lanjut dengan LNH yang menjalani kemoterapi lini pertama di Indonesia memiliki profil median usia 66 tahun, berjenis kelamin laki-laki, merupakan tipe LNH agresif, berisiko mengalami malnutrisi, termasuk kategori yang mandiri, memiliki multikomorbid dengan komorbiditas terbanyak adalah hipertensi, mengalami anemia, kesintasan 1 tahun 58,7%, dan mengalami toksisitas gastroenterologi dan hematologi.

Background. The incidence of Non-Hodgkin's Lymphoma (LNH) is increasing in the elderly population. Chemotherapy is the main modality of LNH therapy. The characteristics of the profiles of survival rate and response rate of elderly patients with LNH undergoing chemotherapy are not known in Indonesia.
Objective. The objective of the study is to understand the profile, 1-year survival, and response rate of elderly patients with LNH undergoing chemotherapy in Indonesia.
Method. This descriptive study was carried out in a retrospective cohort method at the Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Samples were taken by total sampling from medical records in January 2017 - December 2019. Through a review of medical records, patient data that were collected consisted of subject demographics, 1-year survival, nutritional screening, independence status, comorbidities, laboratory, anatomical pathology, toxicity of chemotherapy, and responses evaluation.
Results. Of the 78 subjects, the largest age group is 60-69 years (74.35%; n=58), with a median age of 66 years (range 60-91; SD 5.91), male (61,54%; n=48), the 1-year survival rate is 58.7%. 17 subjects were only included data in gender, age, and survival percentage calculation due to lack of medical record, the entire data of 61 subjects can be analyzed . Of the 61 subjects, the majority of subjects are at risk of malnutrition before undergoing chemotherapy (80.33%; n=49), are included in the category of independent patients before undergoing chemotherapy (55.74%; n=34), has hypertension as the most recorded comorbidity (54.10%; n=33) and has more than 1 comorbid (34.43%; n=21), has Hb levels ≤11 before undergoing chemotherapy (42,62%), are aggressive LNH types (65.57%, n=40), are experiencing gastroenterological system toxicity (68.85%; n=42) and hematology (63.93%; n=39), and are experiencing complete responses after 6 cycles of chemotherapy (34.43%; n=21).
Conclusion. The majority of elderly patients with LNH who undergo first-line chemotherapy in Indonesia has a profile median age of 66 years old, are male, are aggressive LNH type, are at risk of malnutrition, are independent, have multimorbidities with the most comorbidity is hypertension, have anemia, 1-year survival 58.7%, have gastroenterological and hematological toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Gemiana
"Latar Belakang : Efusi pleura merupakan salah satu komplikasi dari kanker atau penyakit keganasan yang sering terjadi. Efusi pleura maligna termasuk dalam 15% sampai dengan 35% dari seluruh kejadian efusi pleura dan angka kejadiannya mencapai 660 orang per 1 juta populasi secara global. Beberapa model prediksi telah dievaluasi untuk memprediksi mortalitas pada pasien efusi pleura maligna. Skor PROMISE merupakan sebuah model prediksi mortalitas 3 bulan pada pasien dengan efusi pleura maligna.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif yang melibatkan pasien efusi pleura maligna yang terdaftar tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian mortalitas tiga bulan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor Clinical PROMISE terhadap luaran mortalitas tiga bulan.
Hasil : Diperoleh 120 subjek yang disertakan dalam penelitian dengan proporsi mortalitas 60,8%. Mayoritas subjek adalah perempuan (73,3%), rerata usia 55 tahun, kanker tipe lain (78,3%). Skor Clinical PROMISE memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,230, koefisien korelasi r = 0,945). Performa diskriminasi skor Clinical PROMISE baik dengan AUC 0,849 (IK95% 0,776 –0,922).
Kesimpulan : Performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna adalah baik.

Background: Pleural effusion is a frequent complication of malignancy. Malignant pleural effusion accounts for 15% to 35% of all pleural effusion cases and the incidence rate reaches 660 people per 1 million population globally. Several prediction models have been evaluated to predict mortality in malignant pleural effusion patients. The PROMISE score is a prediction model for 3-month mortality in patients with malignant pleural effusion.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on patients with malignant pleural effusion registered in 2015-2022 at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. A three-month mortality assessment was carried out. The collected data was analyzed using the Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit test to determine the calibration performance and creation of a Receiver Operating Curve (ROC) curve to determine the discrimination performance of the Clinical PROMISE score on three-month mortality outcomes.
Results: A total 120 subject were included in the study. The majority of subjects were women (73.3%), mean age 55 years and other types of cancer (78.3%). The Clinical PROMISE score had good calibration performance (p = 0.230, coefficient of correlation r = 0.945). The discrimination performance of the Clinical PROMISE score was good with an AUC of 0.849 (95% CI 0.776 –0.922).
Conclusion: The calibration and discrimination performance of Clinical PROMISE score to predict 3-month mortality of malignant pleural effusion is good.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Cahaya Tahir
"Pendahuluan: Sirosis hati merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas global, terutama melalui komplikasi hipertensi porta yang menyebabkan perdarahan varises esofagus (VE). Pasien yang pernah mengalami perdarahan pertama memiliki tingkat kejadian perdarahan berulang yang tinggi dengan angka survival yang rendah. Meskipun endoskopi dapat memprediksi perdarahan berulang, pendekatan ini mahal dan bersifat invasif. Oleh karena itu, pemeriksaan non invasif lain dengan tingkat akurasi yang tinggi perlu dipelajari.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prediktor non-invasif perdarahan berulang VE (kekakuan hati, kekakuan limpa, skor Child Pugh, dan jumlah trombosit) pada pasien sirosis hati.
Metode: Sebanyak 102 sampel pasien sirosis hati yang mengalami riwayat perdarahan VE. Variabel prediktor dalam memprediksi kejadian perdarahan berulang varises esofagus pada penelitian ini meliputi kekakuan hati, kekakuan limpa, skor Child Pugh, serta jumlah trombosit. Analisa multivariat dan uji skor dengan validasi internal untuk mendapatkan model performa terbaik sebagai prediktor perdarahan VE berulang.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa kekakuan hati, kekakuan limpa, skor Child Pugh, dan trombositopenia signifikan sebagai prediktor perdarahan berulang VE. Dengan menggabungkan variabel ini, model prediksi dihasilkan dengan AUC 0,870. Diperoleh uji skor dengan validasi bahwa keempat variabel tersebut signifikan sebagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan berulang varises esofagus. Kesimpulan: kombinasi kekakuan hati, kekakuan limpa, skor Child Pugh, dan jumlah trombosit memiliki performa baik dalam memprediksi risiko perdarahan varises esofagus berulang pada pasien sirosis hati.

Background: Liver cirrhosis is a global cause of mortality and morbidity, especially through complications of portal hypertension which causes esophageal variceal (VE) bleeding. Patients who have experienced a first bleed have a high rate of recurrent bleeding with a low survival rate. Although endoscopy can predict recurrent bleeding, this approach is expensive and invasive. Therefore, other non- invasive examinations with a high accuracy need to be researched.
Objective: This study aims to identify non-invasive predictors of recurrent VE bleeding (liver stiffness, spleen stiffness, Child Pugh score, and platelet count) in liver cirrhosis patients.
Methods: A total of 102 samples of liver cirrhosis patients who had a history of VE bleeding were included in this study. Predictor variables in predicting the incidence of recurrent esophageal variceal bleeding in this study include liver stiffness, spleen stiffness, Child Pugh score, and platelet count. Multivariate analysis and internal validity test were used to obtain the best performance model as a predictor of recurrent VE bleeding.
Results: The results showed that liver stiffness, spleen stiffness, Child Pugh score, and thrombocytopenia were significant as predictors of recurrent VE bleeding. By combining these variables, a prediction model was generated with an AUC of 0.870. Validity test of these four variables were significant as factors associated with recurrent esophageal variceal bleeding.
Conclusion: The combination of liver stiffness, spleen stiffness, Child Pugh score, and platelet count has good performance in predicting the risk of recurrent esophageal variceal bleeding in patients with liver cirrhosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library