Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyuni Indawati
Abstrak :
Fungsi paru bayi pada usia awal kehidupan dapat memprediksi penyakit pernapasan dan perkembangan fungsi paru di kemudian hari. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik fungsi paru pada bayi di Indonesia dan membandingkannya dengan populasi di negara barat. Penelitian potong lintang dilaksanakan di RS Budi Kemuliaan, Jakarta. Dengan menggunakan automated single occlusion technique, peneliti mengukur fungsi paru pada 124 bayi. Data komplians (Crs) dan resistensi (Rrs) total dari sistem pernapasan kemudian dibandingkan dengan data dari studi WHISTLER di Belanda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selain faktor usia, berat badan, dan panjang badan, polusi udara juga merupakan faktor determinan penting pada fungsi paru bayi di Indonesia. ...... Infant lung function in early life can predict respiratory disease and later lung development. We aimed to understand the characteristics of lung function in Indonesian healthy infant and to compare these with a Western population. We performed a cross-sectional study in Budi Kemuliaan Hospital in Jakarta. Using the automated single occlusion technique we measured lung function in 124 infants. The data of compliance (Crs) and resistance (Rrs) of the respiratory system were compared with data from the WHISTLER study in Neatherlands. Our results suggest that besides age, weight and height, air pollution is an important determinant of infant lung function in Indonesian children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanta Imanda
Abstrak :
Latar Belakang: Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan penunjang utama yang membantu diagnosis tuberkulosis anak di Indonesia. Jenis TB yang diderita pasien ternyata dapat mempengaruhi hasil negatif palsu dari uji tuberkulin. Tujuan: Menganalisis hubungan antara hasil uji tuberkulin dan jenis tuberkulosis pasien TB paru dan ekstraparu pada pasien tuberkulosis anak. Metode: Penelitian potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data usia, jenis kelamin, penyakit komorbid, hasil uji tuberkulin, dan jenis tuberkulosis dari formulir TB-01 dan rekam medis dari 230 pasien anak yang terdiagnosis tuberkulosis selama periode 2014-2018. Hasil: Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil uji tuberkulin dengan jenis tuberkulosis (nilai p = 0,607; RR = 0,937; IK95% = 0,729 sampai 1,203). Kesimpulan: Hasil uji tuberkulin tidak berhubungan dengan jenis tuberkulosis yang dimiliki pasien anak. Pada kasus yang diduga mengalami anergi, diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dengan gambaran klinis pasien, pemeriksaan radiologis, dan hasil uji bakteriologis. ......Background: Tuberculin skin test is one of the primary diagnostic tools for diagnosing tuberculosis in children. Objective: This research analyse the association between the result of tuberculin skin test and the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. Methods: This research is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusomo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 230 data of age, gender, comorbidities, result of tuberculin skin test, and type of tuberculosis from TB-01 form and medical records of children diagnosed with tuberculosis from 2014 until 2018. Result: There is no significant correlation between the result of tuberculin skin test and type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis (p value = 0.607; RR = 0.937; CI 95% = 0.729 to 1.203). Discussion: The result of tuberculin skin test does not have significant correlation with the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. In cases with suspected anergy, the diagnosis can be formed by patients clinical features, radiology examination and the result of biological testing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairiyadi
Abstrak :
Latar belakang: Pesantren dianggap sebagai tempat yang berisiko untuk penularan TB. Sampai saat ini belum ada penelitian proporsi TB aktif dan Infeksi TB laten ITBL di pesantren dan Hubungan faktor-faktor risiko TB dengan kejadian ITBL dan TB aktif di pesantren. Tujuan: untuk mengetahui proporsi ITBL dan TB aktif dan untuk mengetahui hubungan ITBL dan TB aktif dengan faktor risiko umur, status gizi, riwayat imunisasi BCG, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, durasi mondok di pesantren, dan kepadatan kamar. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 300 siswa pondok pesantren putra Darul Hijrah pada siswa SLTP periode September ndash;Oktober 2017. Pemeriksaan anamnesis, fisis, pemeriksaan sputum sewaktu dan uji tuberkulin dilakukan untuk mencari hubungan faktor risiko TB dengan ITBL dan TB aktif. Hubungan faktor risiko dengan kejadian ITBL atau TB aktif dianalisa dengan uji chi-square atau fisher dilanjutkan dengan regresi logistik. Hasil: Proporsi siswa dengan ITBL 11,4 dan tidak ditemukan TB aktif. Hubungan faktor risiko umur >14 tahun berhubungan dengan ILTB P = 0,015 ?OR 4,1 1,4-11,6 ; IK95 . Faktor risiko status gizi, riwayat imunisasi BCG, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, lama tinggal pesantren, kepadatan kamar dengan tidak berhubungan ITBL. Kesimpulan: Proporsi siswa pesantren dengan ILTB sebesar 11,4 dan tidak didapatkan TB aktif. Faktor risiko yang berhubungan dengan ITBL adalah umur lebih dari 14 tahun. Kata kunci: faktor risiko, hubungan, pesantren, proporsi, tuberkulosis
Background Islamic boarding school IBS is considered as a place that is at risk for TB transmission. There has been no research on the proportion of TB in IBS and association of risk factors to LTBI and active TB in IBS. Objectives To identify the proportion LTBI and active TB. To identify association of age, nutritional status, history of BCG immunization, contact history with TB patients, duration of stay in IBS, room density to LTBI and active TB. Methods Cross sectional study was conducted on 300 male students of Darul Hijrah IBS in junior high school on September ndash October 2017. Anamnesis, a physical examination, sputum examination dan tuberculin test was done to find the risk factor of TB. The association of risk factors with the incidence of TB or active TB was analyzed by chi square test or fisher test followed by logistic regression. Results The proportion of students with LTBI was 11.4 and there was no active TB. There was an association of age 14 years to LTBI with P 0.015 OR 4.1 1.4 11.6 IK95 . Another risk factors was not related with ILTB. Conclusion The proportion IBS of students with ITBL was 11.4 and the proportion of students active TB 0 . The risk factors associated with ITBL were age 14 years. Keywords Islamic boarding school proportion risk factors tuberculosis
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Shinta Devi
Abstrak :
ABSTRAK
Penurunan level oksigen didalam darah hipoksemia telah dilaporkan berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada anak yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan akut. Tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan gambaran mengenai pemenuhan kebutuhan oksigenasi anak melalui penerapan pengkajian dini tingkat keparahan gangguan sistem pernapasan pada anak dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Terdapat lima kasus infeksi saluran pernapasan akut pada anak dengan usia 0 ndash; 2 tahun yang diberikan asuhan keperawatan menggunakan Model Adaptasi Roy. Aplikasi Model Adaptasi Roy dapat membantu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada anak dan membantu dalam memahami bahwa setiap anak itu unik dan memiliki respon perilaku yang berbeda terhadap sebuah stimulus berdasarkan level adaptasinya. Instrumen Modified Tal rsquo;s Score memiliki validitas dan reliabilitas, serta sensitivitas, dan spesifisitas yang baik dalam menilai keparahan gangguan sistem pernapasan pada anak. Instrumen ini dapat digunakan dalam pengkajian perilaku pada mode adaptasi fisiologis oksigenasi sehingga dapat memudahkan perawat dalam memahami kondisi anak.
ABSTRACT
Low levels of oxygen in the blood hypoxemia has been reported being responsible for high mortality in children caused by acute respiratory infections. The purpose of this study is to describe the fulfillment of the oxygenation needs in children through the application of early assessment tools of the respiratory status severity using the Roy Adaptation Model. There are five cases of acute respiratory infections in children aged 0 - 2 years who are given nursing care using the Roy Adaptation Model. The results of this study describe that application of Roy Adaptation Model can provide a comprehensive nursing care in children and helps in understanding that each child is unique and has different behavioral responses to a stimulus based on their adaptation level. Modified Tal 39;s Score instruments have a great validity and reliability, as well as sensitivity, and specificity in assessing the severity of respiratory status in children. This instrument can be used to assess the behavioral assessment especially in physiologic-physical mode: oxygenation and can facilitate the nurse understanding the condition of the child.
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ditia Gilang Shah Putra Rahim
Abstrak :
Latar belakang : Pasien penyakit jantung bawaan memiliki risiko untuk mengalami kehilangan berbagai macam mikronutrien sesudah operasi koreksi dengan mesin pintas jantung paru, salah satunya adalah vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat memperberat komplikasi yang terjadi sesudah operasi koreksi dengan mesin pintas jantung paru. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari mesin pintas jantung paru terhadap kadar vitamin D sesudah operasi koreksi penyakit jantung bawaan. Metode : Penelitian dilakukan secara kohort prospektif dari bulan Maret-Juli 2020. Pada penelitian ini didapatkan total 30 pasien yang menjalani operasi koreksi dengan mesin pintas jantung paru. Pemeriksaan kadar vitamin D dilakukan sebelum operasi dan 24 jam sesudah mesin pintas jantung paru dimatikan. Hasil : Rerata kadar vitamin D preoperasi adalah 27,24 ng/mL dengan yang mengalami insufisiensi dan defisiensi sebanyak 70%. Rerata kadar vitamin D sesudah operasi adalah 20,73 ng/mL dengan jumlah subjek yang mengalami insufisensi dan defisiensi meningkat sebanyak 90%. Setelah operasi, terdapat penurunan vitamin D sebanyak 6,52 ng/mL (24% dari kadar sebelum operasi). Uji korelasi antara penurunan kadar vitamin D dengan penggunaan mesin PJP menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai P < 0,001. Sedangkan tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dan durasi aortic cross clamp dengan penurunan kadar vitamin D. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan mesin pintas jantung paru dengan penurunan kadar vitamin D, namun penurunan ini tidak dipengaruhi oleh durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dan durasi aortic cross clamp. ......Background: Patients with congenital heart disease are at risk of losing various micronutrients after corrective surgery with a cardio-pulmonary bypass machine, one of which is vitamin D. Vitamin D deficiency can exacerbate complications that occur after corrective surgery with a cardio-pulmonary bypass machine. This study aimed to assess the effect of the cardio-pulmonary bypass machine on vitamin D levels after corrective surgery for congenital heart disease. Methods: This study was conducted in a prospective cohort from March to July 2020. In this study, a total of 30 patients underwent corrective surgery with cardio-pulmonary bypass machine. Vitamin D level checks were carried out before surgery and 24 hours after the machine was turned off. Results: The mean preoperative vitamin D level was 27.24 ng / mL with insufficiency and deficiency as much as 70%. The mean postoperative vitamin D level was 20.73 ng/mL with the number of subjects experiencing insufficiency and deficiency increasing by 90%. After surgery, there was a decrease in vitamin D by 6.52 mg / mL (24% of the preoperative level). The correlation test between decreased levels of vitamin D and the use of cardio-pulmonary bypass machines showed significant results with a P-value <0.001. Meanwhile, there was no significant relationship between the duration of using the cardio-pulmonary bypass machine and the duration of aortic cross clamp with a decrease in vitamin D Conclusion: There is a significant relationship between the use of cardio-pulmonary bypass machines and a decrease in vitamin D levels, but this decrease was not influenced by the duration of using the cardio-pulmonary bypass machine and the duration of the aortic cross clamp.
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Renno hidayat
Abstrak :
Latar Belakang : Pasien anak dengan keganasan yang mendapatkan pengobatan kemoterapi sering mengalami episode demam neutropenia. Kondisi ini akan meningkatkan risiko infeksi yang berat akibat penurunan fungsi utama neutrofil sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme asing. Rondinelli, dkk telah mengusulkan suatu sistem skoring untuk memprediksikan terjadinya komplikasi infeksi berat pada pasien keganasan dengan demam neutropenia selama pemberian kemoterapi sehingga diperoleh tata laksana yang sesuai. Faktor risiko prediktif terjadinya infeksi berat tersebut meliputi usia < 5 tahun, penggunaan kateter vena sentral, suhu tubuh > 38,50 C, kadar hemoglobin < 7 g/dL, adanya fokus infeksi, dan terdapatnya infeksi saluran nafas akut bagian atas. Tujuan : Mengetahui apakah sistem skoring Rondinelli dapat membantu mendeteksi risiko terjadinya komplikasi infeksi berat pada anak dengan LLA-L1 yang mengalami demam neutropenia selama pemberian kemoterapi fase induksi di Divisi Hematologi-Onkologi IKA FKUI/RSCM. Metode : Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan metode potong lintang retrospektif dengan membandingkan sistem skoring Rondinelli terhadap baku emas terjadinya komplikasi infeksi berat berupa kondisi septikemia disertai terdapatnya bakteremia pada kultur darah. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien-pasien LLA-L1 yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan Agustus 2012. Subyek penelitian adalah pasien anak berusia 0 hingga 18 tahun dengan Leukemia limfoblastik akut L1 (LLA-L1) yang mengalami episode demam neutropenia yang pertama kali selama pemberian kemoterapi fase induksi. Hasil : Penelitian dilakukan pada 30 subyek yang memenuhi kriteria inklusi. Insidens komplikasi infeksi berat saat episode demam neutropenia yang pertama kali pada pasien LLA-L1 selama pemberian kemoterapi fase induksi sebesar 30%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif skoring Rondinelli untuk mendeteksi komplikasi infeksi berat pada pasien LLA-L1 dengani demam neutropenia selama pemberian kemoterapi fase induksi berturut-turut adalah 66,7%; 90,5%; 75%; 86,3%; 6,94; dan 0,36. Area di bawah kurva ROC pada penelitian ini 0,759. Simpulan : Sistem skoring Rondinelli merupakan instrumen yang cukup baik untuk mendeteksi komplikasi infeksi berat pada anak dengan LLA-L1 yang mengalami demam neutropenia selama pemberian kemoterapi fase induksi. ......Background: Pediatric patients with malignancy who are receiving chemotherapy often experience febrile neutropenia episodes. This condition increase the risk of serious infection due to decreased of neutrophil which have primary function as a defense against foreign microorganisms. Rondinelli, et al have been proposed a scoring system for predicting the occurrence of severe infection complications in malignancy patients with febrile neutropenia after receiving chemotherapy in order to obtain appropriate treatment. Predictive risk factors for severe infection include age < 5 years, use of central venous catheter, body temperature > 38.50 C, hemoglobin level < 7 g/dL, the presence clinical focus of infection, and the absence of upper respiratory tract infection. Objective: To know whether Rondinelli scoring system can help in detecting the risk of severe infection complications in ALL-L1 with febrile neutropenia during the induction phase chemotherapy in the Pediatrics Hematology-Oncology Division, Universitas Indonesia Faculty of medicine / CMH. Method: This is a diagnostic study with a retrospective cross-sectional method by comparing the Rondinelli scoring system with the gold standard of severe infection complications such as septicemia condition and bacteremia in blood culture. Subjects were taken from the medical record of LLA-L1 patients in Pediatric Department, Universitas Indonesia Faculty of medicine / CMH starting from January 2010 until August 2012. Subjects were pediatric patients aged 0 to 18 years with ALL-L1 who experienced the first episodes of febrile neutropenia during the induction phase chemotherapy. Results: The study was conducted in 30 subjects who met the inclusion criteria. The incidence of severe infectious complications at the first episode of febrile neutropenia in patients ALL- L1 during the induction phase of chemotherapy was 30%. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio Rondinelli scoring for detecting severe infection complications in ALL-L1 neutropenia patients with febrile neutropenia during the induction phase of chemotherapy respectively are 66.7%; 90.5%, 75%, 86.3%, 6.94, and 0.36. In this study, area under the ROC curve was 0.75. Conclusion: Rondinelli scoring system is fairly good instrument for detecting complications of severe infections in ALL-L1 with febrile neutropenia during the induction phase chemotherapy
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sharfina Fulki Adilla Hidayat
Abstrak :
Prevalens SNAD NKB < 34 minggu dan atau BLSR di Indonesia masih tinggi. Asuhan antenatal yang tidak adekuat, gejala infeksi saat lahir yang sulit dibedakan dengan prematuritas, dan modalitas diagnostik yang suboptimal membuat diagnosis SNAD pada populasi ini sulit. Presepsin salah satu marker infeksi meningkat saat awal infeksi berpotensi dijadikan salah satu parameter diagnostik SNAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat akurasi presepsin sebagai salah satu parameter diagnosis SNAD dan dibandingkan dengan CRP. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 71 NKB < 34 minggu dan atau BLSR dengan faktor risiko SNAD lebih tinggi atau faktor risiko SNAD rendah yang menunjukkan gejala sepsis di Unit Perinatologi RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas presepsin sebagai parameter diagnostik SNAD pada berbagai waktu pengambilan, kemudian membandingkannya dengan CRP. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan optimal presepsin. Penelitian ini mendapat nilai presepsin lebih tinggi pada kelompok SNAD dibandingkan dengan non-sepsis (median 814, 802, dan 693 pg/mL, p<0,05). Presepsin mencapai nilai puncaknya pada T1 sedangkan CRP pada T24. Nilai batas optimal, batas bawah dan batas atas presepsin T1 adalah 621,5, 458, 808 pg/mL. Pada T4 yaitu 733, 518,5, 733 pg/mL serta T24 yaitu 667,5, 556,5, 820,5 pg/mL. Nilai batas presepsin T1 memiliki sensitivitas 82,14%, spesifisitas 81,4%, NDP 74,19%, NDN 87,5%, dan akurasi 81,69%. Sedangkan presepsin T4 memiliki sensitivitas 60,71%, spesifisitas 93,02%, NDP 85%, NDN 78,43% dan akurasi 80,28%. Nilai batasan presepsin T24 memiliki sensitivitas 64%, spesifisitas 86%, NDP 75% dan NDN 78,7% dan akurasi 77,46%. Sebagai kesimpulan, presepsin meningkat sesaat setelah lahir jika terjadi infeksi. Presepsin T1 dapat digunakan sebagai parameter skrining SNAD dengan menggunakan nilai batasan optimal 621,5 pg/mL. Presepsin dengan berbagai nilai batasan tertentu memiliki fungsi yang berbeda dan dapat diaplikasikan ke dalam alur diagnosis dan tata laksana SNAD berdasarkan faktor risiko populasi tersebut. ......Early onset neonatal sepsis prevalence in Indonesia remains high among preterm neonates born at <34 weeks' gestation and or VLBW. Inadequate antenatal care, infectious symptoms at birth that are confusing to distinguish from prematurity, and poor predictive performance of laboratory tests made diagnosis of EOS is wearisome. Presepsin, one of the biomarkers, increases early in onset of infection has potential to become diagnostic tools for EOS. The objective of this study is to find the accuracy of presepsin as one of EOS diagnostic tools and compared it with CRP. This study is a cross-sectional study of of 71 neonates born at < 34 weeks' gestation and or VLBW at higher risk of EOS or at lower risk for EOS that showing some degree of respiratory or systemic instability. Presepsin which was collected in different time interval (T1, T4 and T24), compared to diagnostic criteria of sepsis as the gold standard. The accuracy of CRP with currently cut-off points also analyzed in this study. The ROC curve was performed to determine the optimal cut-off points of presepsin. Presepsin values were higher in the EOS group than in uninfected group at T1(median 814 vs 438 pg/mL; p<0.05) T4 (802 vs 445 pg/mL; p<0.05), and T24 (693 vs 469 pg/ mL; p <0.05). Presepsin achieved best accuracy at T1 and reaches its peak value at T1 while CRP have it at T24. Optimal cut-off points, the lower limit and the upper limit of presepsin at T1 are 621.5, 458, 808 pg/mL. At T4 are 733, 518.5, 733 pg/mL and T24 are 667.5, 556.5, 820.5 pg/mL. With those optimal cut-off value, presepsin has 82.14% sensitivity, 81.4% specificity, 74.19% PPV, 87.5% NPV, and accuracy of 81.69%. Whereas presepsin at T4 has 60.71% sensitivity, 93.02% specificity, 85% PPV, 78.43% NPV and an accuracy of 80.28%. Presepsin at T24 has a sensitivity of 64%, a specificity of 86%, an NDP of 75% and an NDN of 78.7% and an accuracy of 77.46%. In conclusion, presepsin increases shortly after birth in EOS group. Presepsin at T1 can be used as EOS screening tools by using an optimal cut-off value of 621.5 pg/mL. Presepsin with certain boundary values have different functions and perhaps can be applied to the EOS diagnosis and management pathways in RSCM.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Adhyanisitha
Abstrak :
Latar belakang: Koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan komplikasi dari sepsis yang ditandai oleh perdarahan dan trombosis mikrovaskular dan berkaitan erat dengan terjadinya disfungsi organ multipel. KID terjadi akibat ketidakseimbangan antara sistem koagulasi dengan sistem fibrinolisis. Plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) merupakan protein fase akut yang berperan penting penekanan sistem fibrinolisis. Peningkatan PAI-1 pada sepsis diketahui memiliki korelasi dengan luaran yang buruk. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar PAI-1 dengan kejadian KID dan kematian pada pasien sepsis anak. Metode: Penelitian analitik prospektif dilakukan pada 35 subjek sepsis yang dirawat di PICU, Instalasi Gawat Darurat serta Ruang perawatan anak RS Cipto Mangunkusumo antara bulan Januari-April 2015. Pengukuran kadar PAI-1 dilakukan pada hari pertama dan keempat sejak sepsis ditegakkan. Pemeriksaan profil koagulasi sistemik dilakukan pada hari keempat sepsis. Diagnosis KID overt menggunakan skor KID berdasarkan International Society of Thrombosis and Haemostasis. Subjek diikuti sampai hari ke 28 perawatan untuk menilai luaran kematian. Hasil: Kadar PAI-1 lebih tinggi secara bermakna pada sepsis berat. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada KID non overt (95,25 (SB 46,57) ng/mL vs 60,36 (SB 37,31) ng/mL, p=<0,001) dan subjek hidup (82,47 (SB 44,43) ng/mL vs 58,39 (SB 32,98) ng/mL, p=0,021). Terdapat perbedaan kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada subjek KID overt (111,25 (SB 32,93) ng/mL vs 96,26 (SB 52,84) ng/mL) dan subjek meninggal (99,33 (SB 47,53) ng/mL vs 128,58 (SB 37,12) ng/mL), namun tidak bermakna secara statistik. Korelasi kadar PAI-1 dengan skor KID adalah r = 0,606 (p = <0,001). Simpulan: Kadar PAI-1 mengalami penurunan yang bermakna pada hari keempat sepsis dibanding hari pertama pada subjek yang mengalami KID non-overt dan subjek yang bertahan hidup. Sedangkan pada subjek yang mengalami KID overt dan subjek yang meninggal, kadar PAI-1 hari keempat sepsis tetap tinggi. Terdapat korelasi kuat berbanding lurus antara kadar PAI-1 dengan skor KID.
Background: Sepsis-induced disseminated intravascular coagulation (DIC) is characterized by massive bleeding and microvascular thrombosis and it is closely related to the development of multiple organ dysfunctions. The imbalance between activation of coagulation system and inhibition of the fibrinolysis system in sepsis leads to the development of DIC. The acute-phase protein, plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) is a key element in the inhibition of fibrinolysis. Elevated levels of PAI-1 have been related to worse outcome in sepsis. Objective: To investigate the relationship between plasma PAI-1 level and clinical outcome in children with sepsis. Methods: A total of 35 children with sepsis admitted to Cipto Mangunkusumo hospital between January and April 2015 were enrolled to this analitic prospective study. Plasma PAI-1 was measured on day 1 and 4 since sepsis was diagnosed. Systemic coagulation profile was measured on day 4. The Diagnosis of overt DIC was made using the International Society of Thrombosis and Haemostasis scoring system. Subjects were followed up until death or 28 days of care. Results: PAI-1 levels were significantly higher in severe sepsis. There were significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non- overt DIC subjects (95.25 (SB 46.57) ng/mL vs 60.36 (SB 37.31) ng/mL, p=<0.001) and survivors (82.47 (SB 44.43) ng/mL vs 58.39 (SB 32.98) ng/mL, p=0.021). There were no significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in overt DIC subjects (111.25 (SB 32.93) ng/mL vs 96.26 (SB 52.84) ng/mL) and nonsurvivors (99.33 (SB 47.53) ng/mL vs 128.58 (SB 37.12) ng/mL). The correlation observed between PAI-1 and DIC score was r=0.606 (p= < 0.001). Conclusions: There were significant decrease of PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non-overt DIC subjects and survivors. Meanwhile, in overt DIC subjects and nonsurvivors there were no differences. PAI-1 levels were positively correlated with DIC score.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rhodia
Abstrak :
Latar Belakang: Kerusakan ginjal dapat berkembang ke arah penyakit ginjal kronik PGK dan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan pembiayaan yang dibutuhkan. Data mengenai PGK pada anak di dunia masih terbatas terutama di negara berkembang. Belum adanya data secara nasional yang dapat menggambarkan karakteristik penyakit ginjal pada anak di Indonesia menjadi alasan dilakukannya studi ini dengan mengolah data yang didapatkan dari Riskesdas 2013, sebuah riset kesehatan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI . Tujuan: Mengetahui karakteristik penyakit ginjal pada anak usia 15-18 tahun di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013. Metode: Studi potong lintang dengan mengolah data sekunder yang didapatkan dari Riskesdas 2013. Terdapat dua kelompok data berdasarkan pencatatan di lapangan. Kelompok data 1 meliputi subjek yang diikutkan pada pengumpulan data kuesioner berupa riwayat batu ginjal, gagal ginjal kronik, riwayat hipertensi, dan minum obat antihipertensi, serta pemeriksaan fisis berupa pengukuran tekanan darah TD . Kelompok data 2 juga diikutkan pada pencatatan data kuesioner dan pemeriksaan fisis, namun disertai data laboratorium kadar hemoglobin Hb dan kreatinin serum. Setelah itu dilakukan pengklasifikasian data sesuai status nutrisi, estimasi LFG, TD, dan kadar Hb. Hasil: Sejumlah 52.454 subjek diikutkan pada kelompok data 1, didapatkan hasil 20.537 subjek dengan penyakit ginjal, dengan karakteristik sebagian besar perempuan dan status nutrisi gizi baik. Terdapat riwayat batu ginjal 0,2 , gagal ginjal kronik 0,1 , riwayat hipertensi 0,6 , minum obat antihipertensi 0,1 , serta pra-hipertensi dan hipertensi berdasarkan pemeriksaan fisis sejumlah 51,4 dan 48,3 . Pada kelompok data 2 didapatkan hasil subjek dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 1,4 . Simpulan: Angka hipertensi dan pra-hipertensi pada remaja 15-18 tahun di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pemeriksaan TD secara teratur perlu digiatkan kembali sebagai upaya deteksi dini, mencari etiologi dan tata laksana mencegah berkembangnya penyakit. Kata kunci: penyakit ginjal, hipertensi, gagal ginjal, batu ginjal, remaja, Riskesdas.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Widhidewi
Abstrak :
ABSTRAK Infeksi saluran pernafasan akut ISPA merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada manusia dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama di negara-negara Asia Tenggara dan Afrika. Sudah diketahui bahwa sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, namun data mengenai etiologi virus di negara berkembang, terutama Indonesia masih terbatas. Studi ini menggunakan metode molekuler berupa PCR dan sekuensing untuk deteksi serta karakterisasi virus saluran nafas umum, termasuk virus zoonosis pada sampel swab orofaring. Subjek studi sebanyak 100 pasien anak dan dewasa dengan gejala infeksi saluran nafas yang datang ke RSU Tabanan. Dari 100 pasien didapatkan angka deteksi virus positif sebesar 40 dan angka ko-deteksi 7 . Pada anak-anak angka deteksi positif mencapai 46 28/61 , sedangkan pada dewasa sebesar 31 12/39 . Virus utama yang terdeteksi adalah influenza 15 , enterovirus 14 dan herpesvirus 11 . Subtipe virus yang mendominasi hasil deteksi yaitu H3N2, human rhinovirus A dan human betaherpesvirus 5. Sebagai kesimpulan, diantara pasien-pasien dengan ISPA di Tabanan, sebagian besar virus yang terdeteksi adalah virus influenza dengan subtipe H3N2.
ABSTRACT Acute respiratory tract infection ARTI is the most common infection in human being. The morbidity and mortality rate is high, especially in Southeast Asia and Africa. While it is known that ARTIs are most commonly caused by virus, there are limited data about viral etiology of ARTI in developing countries, especially Indonesia. This study used molecular method to detect 10 common respiratory viral pathogens and zoonotic respiratory viruses. We collected oropharyngeal swabs from 100 patients in Tabanan Regency Hospital suspected with respiratory illness from all age groups. Among 100 patients tested, 40 tested positive for virus, with co detection rate 7 . In addition, positive detection rate in children was 46 28 61 and in adult 31 12 39 . Viruses that were most commonly detected include influenza 15 , enterovirus 14 and herpesvirus 11 . Among them, influenza virus subtype H3N2, human rhinovirus A and human betaherpesvirus 5 was the most frequently detected. In conclusion, among patients with ARTI in Tabanan Regency Hospital, influenza virus subtype H3N2 was the most predominant virus detected.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>