Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Safira Amelia
"ABSTRACT
Latar Belakang: Perbaikan status nutrisi merupakan salah satu indikator penting dalam menilai keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Tujuan: Mengetahui hubungan antara jenis tuberkulosis dan penyakit komorbid dengan perbaikan status nutrisi pasien tuberkulosis anak setelah dua bulan pengobatan. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data rekam medis dari 207 pasien anak yang terdiagnosis tuberkulosis selama periode 2012-2018. Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara jenis tuberkulosis dengan status nutrisi setelah dua bulan pengobatan fase intensif (nilai p = 0,014; IK95% = 0,422-0,914) dengan kesan bahwa pasien TB ekstraparu mengalami peningkatan status nutrisi lebih baik dibanding pasien TB paru. Selain itu, juga didapat hubungan bermakna antara keberadaan penyakit komorbid dengan status nutrisi pasien (nilai p = 0,020; IK95% = 1,063-2,382), pasien tanpa penyakit komorbid mengalami peningkatan status nutrisi lebih baik dibanding pasien TB dengan penyakit komorbid setelah pengobatan fase intensif. Kesimpulan: Jenis TB dan penyakit komorbid berhubungan dengan kondisi status nutrisi pasien selama dua bulan fase intensif pengobatan tuberkulosis. Tatalaksana komprehensif mencakup manajemen terhadap tuberkulosis dan penyakit komorbid, serta suplementasi nutrisi perlu diperhatikan selama fase awal pengobatan pasien tuberkulosis anak.

ABSTRACT
Background: Nutritional status improvement constitutes one of an indicator to assess anti tuberculosis treatments success. Objective: This research aims to determine whether the diagnosis of tuberculosis (pulmonary or extrapulmonary) and comorbidities are associated with childrens nutritional status during the first 2-month of tuberculosis treatment. Methods: A cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 207 medical records of children diagnosed with tuberculosis from 2012-2018 period of time. Results: Type of TB is associated with nutritional status of children after 2-month intensive phase treatment (p value = 0.014; CI95% = 0.422 to 0.914), children with extrapulmonary TB show better improvement in nutritional status rather than children with pulmonary TB. Comorbidities are associated with nutritional status (p value = 0.020; CI95% = 1.063 to 2.382), tuberculosis children without comorbidities experience better nutritional status improvement rather than those with comorbidities after anti tuberculosis intensive phase treatment. Discussion: Type of TB and comorbidities are significantly associated with nutritional status of tuberculosis children during 2-month intensive phase of anti tuberculosis treatment. Comprehensive treatment including management for tuberculosis and those with comorbidities, along with nutritional supplementation are necessarily maintained during the early phase of treatment in children with tuberculosis."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Grace Natalia Adriana
"ABSTRAK
Latar belakang. Proses timbulnya inhibitor bersifat multifaktorial baik genetik maupun lingkungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko terbentuknya inhibitor namun masih terdapat kontroversial pendapat. Tidak seperti di negara maju, di Indonesia skrining inhibitor tidak rutin dilakukan karena keterbatasan biaya dan alat sehingga diperlukan suatu penelitian yang dapat dijadikan acuan pemeriksaan inhibitor selektif.
Tujuan. Mengetahui prevalens, karakteristik klinis dan faktor risiko timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A di departemen IKA- RSCM.
Metode. Uji potong lintang dilakukan pada anak usia ≤18 tahun dengan perdarahan akut di pusat hemofilia terpadu IKA-RSCM. Pada subjek dilakukan pengambilan darah vena dan dilakukan pemeriksaan inhibitor menggunakan metode Bethesda assay. Orangtua diminta mengisi kuesioner mengenai usia saat pertama kali didiagnosis hemofilia, mendapat terapi faktor VIII, jenis terapi pengganti, derajat hemofilia, jenis perdarahan, dan suku bangsa ibu penderita. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Fisher. Analisis multivariat tidak dilakukan karena tidak memenuhi syarat.
Hasil penelitian. Dari 40 subjek penelitian, didapatkan prevalens inhibitor sebanyak 37,5% (15/40) dengan inhibitor high responder sebanyak 3/15 dan low responder 12/15. Median (rentang) usia subjek penelitian adalah 10 (1,5-18) tahun. Median usia saat diagnosis hemofilia pertama kali ditegakkan dan saat pertama kali mendapat terapi faktor VIII pada inhibitor positif adalah 8 dan 9 bulan. Hampir seluruh subjek (39/40) mendapat terapi konsentrat plasma, 11/15 subjek dengan inhibitor positif mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun, 14/15 subjek merupakan hemofilia berat dan sebagian besar (12/15) mendapat manifestasi perdarahan sendi. Suku bangsa ibu Jawa lebih sering ditemukan pada inhibitor positif (8/15). Tidak ditemukan hasil yang bermakna secara statistik antara faktor risiko dengan timbulnya inhibitor.
Simpulan. Prevalens inhibitor pada penelitian ini sebesar 37,5%. Inhibitor positif lebih sering ditemukan pada penderita hemofilia berat yang mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan faktor risiko bermakna untuk timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A.

ABSTRACT
Background. Several factors may influence inhibitor incidence including genetics and environment. Several studies have been conducted to determine the risk factors for inhibitor formation but there is still a controversial opinion. Unlike in developed countries, in Indonesia inhibitor screening is not routinely performed due to limited funds thus required a research that can be used as reference checks selective inhibitors.
Objective. To find out the prevalence, clinical characteristics and risk factors of factor VIII inhibitor in children with hemophilia A in Child Health Department- Cipto Mangunkusumo Hospital
Methods. A cross sectional descriptive study conducted in children aged ≤ 18 years old with acute bleeding at the National Hemophilia Care Center, Cipto Mangukusumo Hospital. All the subjects performed venous blood sampling and the examination of inhibitor using the Bethesda assay. Parents were asked to fill out questionnaires on age at first diagnosis of hemophilia, treated with factor VIII replacement therapy type, degree of hemophilia, types of bleeding, and the patient's mother tribes. Bivariate analysis performed by Fisher's test. Multivariate analysis was not performed because it does not qualify.
Results. Out of 40 children study, showed prevalence inhibitor 37.5% (15/40) with a high responder inhibitor 3/15 and low responders 12/15. Median (range) age of subjects was 10 (1.5 to 18) years. The median age at diagnosis of hemophilia was first established and the first time the subjects get a factor VIII inhibitor therapy positive was 8 and 9 months. Almost all subjects (39/40) treated with plasma concentrates, 11/15 subjects with a positive inhibitor therapy gets first time before age 1 year, 14/15 subjects is severe hemophilia and most (12/15) of them had joint bleeding manifestations. Java native tribes more often found in the positive inhibitor (8/15). No results found a statistically significant association between the risk factors with the onset of inhibitor.
Conclusion. The prevalence of inhibitors in this study was 37.5%. Positive inhibitors was more frequent in patients with severe hemophilia who received therapy for the first time before the age of 1 year old. This study failed to prove significant risk factor for the onset of inhibitors in children with hemophilia A."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Linda Sari
"ABSTRAK
Anak dengan gangguan pernapasan sering mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas akibat sekret yang menumpuk. Pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan oksigenasi dapat dioptimalkan melalui inhalasi menggunakan cairan salin hipertonik. Penggunaan model konservasi Levine dapat diaplikasikan dalam penerapan asuhan keperawatan yang menerapkan prinsip konservasi energi, konservasi integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial. Perlunya berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam pelaksanaan intervensi sebagai upaya memperbaiki kerusakan silia yaitu menerapkan konservasi integritas struktural. Dukungan sarana prasarana seperti alat nebuliser, pengadaan kemasan dan penyimpanan cairan salin hipertonik dapat meningkatkan kompetensi perawat spesialis dalam melakukan praktek pada anak dengan gangguan pemenuhan oksigenasi.

ABSTRACT
Children who experience respiratory distress often encounter ineffective airway clearance caused by secret accumulation. Nursing care in children with oxygenation disturbance can be optimized through the use of hypertonic saline inhalation. The use of Levine?s conservation model applied in the implementation of nursing care facilitated children?s energy conservation, structural integrity conservation, personal integrity and social integrity. There was a need for collaboration with other health professionals in the implementation of the intervention as an effort to repair the damage of cilia, namely implementing structural integrity conservation. Infrastructure support such as nebuliser, packaging procurement and storage of hypertonic saline may improve the competence of specialist nurses in practice in children with impaired oxygenation fulfillment."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Putriasih
"Latar belakang. Pemakaian kotrimoksazol sedini mungkin sejak diberikan ARV bermanfaat mencegah infeksi oportunistik terkait HIV (PCP dan toksoplasmosis) dan mengurangi mortalitas terkait pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV perlu dicari sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan tata laksana pada anak terinfeksi HIV di Indonesia.
Tujuan. Evaluasi pemakaian kotrimoksazol dan hubungannya terhadap mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV di RSCM pada tahun 2005-2018.
Metode. Uji deskriptif-analitik menggunakan analisis kesintasan yang dilakukan secara kohort retrospektif di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) menggunakan data rekam medis periode Januari 2005 - Desember 2018. Subyek adalah anak berusia 1 bulan-18 tahun yang mendapat ARV pertama kali di RSCM. Hubungan pemakaian kotrimoksazol dengan mortalitas dianalisis dengan uji log rank. Faktor-faktor risiko selanjutnya dianalisis secara multivariat.
Hasil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 403. Proporsi pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV pada anak terinfeksi HIV adalah 88%. Tidak terdapat hubungan antara pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV dengan mortalitas (HR 1,498; IK 95% 0,620-3,618, p=0,369), namun pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada kondisi imunodefisiensi berat (HR 2,702; IK 95% (1,036-7,049); p=0,042). Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang mendapat terapi ARV adalah stadium HIV (stadium 3-4).
Kesimpulan. Pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada anak terinfeksi HIV dengan imunodefisiensi berat. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV adalah stadium HIV 3-4.

Background. The use of cotrimoxazole as early as possible since being administered antiretroviral drugs is beneficial in preventing HIV-related opportunistic infections (PCP and toxoplasmosis) and reducing mortality associated with HIV patients with low CD4 counts. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received antiretroviral drugs need to be sought so that they can help clinicians in providing HIV-infected children in Indonesia.
Objective. Evaluation of the use of cotrimoxazole and its association with mortality in HIV-infected children who had received ARV at RSCM in 2005-2018.
Methods. Descriptive analytic test using survival analysis were carried out in a retrospective cohort in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital using medical record data for the period January 2005 - December 2018. Subjects were children aged 1 month - 18 years who have received ARV for the first time at RSCM. The association of cotrimoxazole use with mortality was analyzed by log rank test. Risk factors are then analyzed multivariately.
Results. This study involved 403 subjects. The proportion of cotrimoxazole use at ARV initiation in HIV-infected children was 88%. There was no association between the use of cotrimoxazole at ARV initiation and mortality (HR 1.498; 95% CI 0.620-3.618; p=0,369), but the use of cotrimoxazole at ARV initiation reduced mortality in severe immunodeficiency conditions (HR 2.702; 95% CI 1,036-7,049; p=0.042). Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who received ARV therapy are stages of HIV (stage 3-4).
Conclusion. The use of cotrimoxazole at ARV initiation reduces mortality in HIV-infected with severe immunodeficiency. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received ARV are stage 3-4.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primo Parmato
"Latar belakang: Palsi serebral (PS) adalah salah satu gangguan fisis penyebab utama gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Permasalahan PS yang menjadi perhatian bagi orangtua adalah keterlambatan perkembangan motorik terutama kemampuan berjalan. Sampai saat ini belum didapatkan data prevalens dan faktor prediktor pada masa anak apa saja yang berhubungan dengan kemampuan berkalan pasien PS.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens kemampuan berjalan pasien PS, dan mengetahui faktor prediktor apa saja yang berhubungan dan yang paling berperan terhadap kemampuan berjalan pasien PS pada masa anak.
Metode: 102 pasien PS yang berusia 6 tahun ke atas dilakukan pengambilan data melalui wawancara orang tua dan rekam medis mengenai kemampuan berjalan pasien PS dan faktor prediktor pada masa anak yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Hasil: Sebanyak 27 pasien (26.5%) berjalan tanpa alat bantu, 13 pasien (12.7%) berjalan dengan alat bantu, dan 62 pasien (60.8%) tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun (P<0.001; OR=6.89; IK 95%=2.42-19.71) dan tipe PS spastik unilateral (OR=7.36; IK 95%=1.86-29.18).
Simpulan: Prevalens pasien PS yang dapat berjalan tanpa alat bantu adalah 26.5%, berjalan dengan alat bantu adalah 12.7%, dan tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu 60.8%. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun dan spastik unilateral. Faktor prediktor yang paling berperan adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun.

Background: Cerebral palsy (CP) is one of the main disorder of growth and development in child. The problem of CP often asked by parents is delayed of motoric development particularly about walking ability. There has been no data about prevalence and childhood predicting factor which has relationship with walking ability in CP patient.
Objectives: To determine the prevalence of walking ability in CP patient, to identify childhood predicting factor relating to walking ability in CP patient, and also to determine the most childhood predicting factor of walking ability in CP patient.
Methods: Data has been taken from 102 CP patients which has age above 6 years old, by interviewed to the parents or by medical record. The places of research are Cipto Mangunkusumo Hospital and Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Results: 27 patients (26.5%) could walk without assistive device, 13 patients (12.7%) could walk with assistive device, and 62 patients (60.8%) could not walk even with assistive device. The childhood predicting factor of waking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old (P<0.001; OR=6.89; CI 95%=2.42-19.71) and the spastic unilateral CP type (OR = 7.36; CI 95% = 1.86-29.18).
Conclusions: The prevalence of walking ability in CP patient is 26.6% walk without assistive device, 12.7% walk with assistive device, and 60.8% could not walk even with assistive device. The predicting factor relating to walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old and the spastic unilateral CP type. The most predicting factor of walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Sari
"Latar belakang: Persalinan prematur semakin banyak dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prematur menyumbang angka kematian tertinggi selain asfiksia, infeksi dan kelainan kongenital. Korioamnionitis merupakan salah satu penyebab persalinan prematur dan berhubungan dengan kejadian sepsis neonatal awitan dini pada bayi prematur atau berat lahir rendah. Penelitian dilakukan untuk mengetahui korioamnionitis sebagai prediktor sepsis neonatal awitan dini.
Metode : Penelitian kohort prospektif dilakukan bekerja sama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM dan RSUD Koja. Pengumpulan sampel dilakukan selama periode Maret-September 2022. Dilakukan evaluasi terhadap gejala klinis dan pemeriksaan penunjang ibu yang terkait korioamnionitis, dihubungkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang bayi terkait sepsis neonatal awitan dini yang dirawat di NICU.
Hasil : Insidens korioamnionitis sebesar 90% dan sepsis neonatus awitan dini 16%. Jenis persalinan spontan dan section caesarea dengan KPD tidak berhubungan dengan kejadian korioamnionitis (RR:1,049; IK 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; IK 95% 0,967-1,231; p=1,000).Korioamnionitis tidak berhubungan dengan sepsis neonatal awitan dini dengan p=0,358. Demam pada ibu berhubungan dengan kejadian SNAD EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022)
Simpulan : Korioamnionitis bukan prediktor sepsis neonatal awitan dini pada bayi usia gestasi ≤32 minggu atau bayi berat lahir ≤ 1500 gram.

Background: Increasing number of preterm birth correlated with high morbidity and mortality rates. Prematurity contributed in high mortality rates alongside asphyxia, infections and congenital malformations. Chorioamnionitis were associated with preterm birth and early onset sepsis in preterm or low birth weight infants. Research was aimed to determine chorioamnionitis as a predictor of early onset neonatal sepsis (EONS) in preterm or low birth weight.
Methodes : Multicentre, Cohort prospective study conducted in collaboration with Obstetrics and Gynaecology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital (CMH) and Koja General Hospital. Samples were obtained in NICU Unit during March - September 2022. Maternal clinical symptoms and diagnostic tests for chorioamnionitis evaluated as a predictor to early onset neonatal sepsis.
Results : The incidence of chorioamnionitis and early onset neonatal sepsis were 90% and 16% respectively. Spontaneous and caesarean section delivery with PPROM is not associated with the incidence of chorioamnionitis (RR:1,049; CI 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; CI 95% 0,967-1,231; p=1,000). Chorioamnionitis is not a predictor of early onset neonatal sepsis with p=0,358. Maternal fever is associated with the incidence of EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022).
Conclusion : Chorioamnionitis is not a predictor on early onset neonatal sepsis in gestational age ≤32 weeks or birth weight of ≤ 1500 grams.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library