Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahimah Syamsi
"Salah satu permasalahan dalam perkawinan poligami adalah apabila suami yang meninggal pernah melakukan perceraian pada salah satu istrinya, namun harta bersamanya belum dibagi. Hal ini disebabkan, banyak masyarakat belum mengetahui cara pembagian harta warisan terhadap harta bersama pada perkawinan poligami terutama dalam syariat Islam. Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, terdapat perbedaan pendapat Majelis Hakim pada tingkat agama dan tingkat banding. Pada putusan pengadilan tingkat agama, Hakim hanya membagi harta bersama sebagai harta warisan tanpa melibatkan istri pertama. Sedangkan, menurut Majelis Hakim tingkat banding pembagian harta tersebut harus melibatkan istri pertama, lalu setelah itu baru dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Jika tidak melibatkan istri pertama, bisa dianggap tidak adil karena hanya mengungkapkan harta bersama dari salah seorang istri saja. Metode penelitian yang digunakan secara yuridis normatif berdasarkan data sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya adalah untuk pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami harus melibatkan para istri, setelah itu harta warisan baru dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak. Cara pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dapat merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II dan menurut pendapat Neng Djubaedah yaitu dengan equal method dan ratio method.

One of the problems in a polygamous marriage is if the deceased husband has divorced one of his wives, but the joint assets have not been divided. This is because many people do not know how to divide inheritance into joint assets in polygamous marriages, especially in Islamic law. In the case of the Decision of the Mataram Religious High Court Number 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, there was a difference of opinion of the Panel of Judges at the first-level religious court and the second-level religious high court. In the decision of the first-level religious court, the judge only divided the joint assets as inheritance without involving the first wife. Meanwhile, according to the second-level religious high court, the distribution of assets must involve the first wife, and only then can it be distributed to the rightful heirs. If it doesn't involve the first wife, it could be considered unfair because it only discloses the joint assets of one of the wives. The research method used is normative juridical based on secondary data. Data collection tool used with literature study. The results of his research are that the distribution of joint assets in a polygamous marriage must involve the wives, after which the new inheritance can be distributed to the rightful heirs. The method for dividing joint assets in polygamous marriages can refer to the Guidelines for the Implementation of Duties and Administration of the Religious Courts Book II and according to Neng Djubaedah's opinion, namely the equal method and the ratio method."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanka Vidianta
"Perbuatan zina dilarang dalam Islam akan tetapi di Indonesia perbuatan tersebut angkanya terus meningkat, bahkan 40% total kejadian hamil diluar nikah di Indonesia terjadi pada tahun 2015 sampai 2019. Dampak dari perbuatan zina tidak hanya sebatas agama, tetapi luas mulai dari dosa yang digandakan, kekal dalam keadaan zina, hingga dampaknya atas anak yang lahir dari perbuatan tersebut, bahkan perbuatan zina juga berdampak pada pembagian waris. Penelitian ini menganalisa dapak anak hasil zina dalam pembagian waris dengan cara Islam dalam kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor 3931/Pdt.G/2021/PA.JS. Dalam putusan tersebut Penggugat selaku kakak pria menggugat adiknya atas harta warisan orang tuanya yang kemudian disebutkan oleh Tergugat bahwa Penggugat tidak memiliki hak karena merupakan seorang anak hasil zina yang dibantah Penggugat menggunakan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian doctrinal yakni menganalisa data sekunder dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Hasil dari penelitian ini adalah Penggugat menurut hukum Islam adalah anak hasil zina, tetapi ditemukan bahwa Pasal 99 KHI terkait anak hasil zina bertentangan dengan KHI dan hukum Islam, dalam pembagian waris hakim mengesampingkan bagian-bagian dan prosedur yang ditentukan dalam hukum Islam maka proses tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam.

This research analyzes how Islamic law as contained within the Islamic Law Compilations regarding nasab between a father and an illegitimate child impacts the status of the child as heir to the father’s inheritance in the case of the Religious Court Decision Number 3931/Pdt.G/2021/PA.JS. This research used doctrinal method by collecting and analyzing secondary data using qualitative approach, the collection of data implements document studies and interviews. The Islamic Law Compilation, regarded as peak fiqh knowledge in Indonesia is a guideline for muslims in living their lives by implementing the Islamic teachings in all aspects, including inheritance. In the Religious Court Decision Number 3931/Pdt.G/2021/PA.JS, a dispute arises regarding the legitimacy of a child. Illegitimate children do not have a right to be the heir to their father. The claim of the plaintiff being an illegitimate child comes is due to the fact the parents’ wedding to the birth was only 7 months in between, which arouses the suspicion of adultery. This research analyzes the Islamic law regulations of illegitimate child and their rights to inherit and the distribution of inheritance itself. As result, this research found that although the judge correctly determined the defendant was an illegitimate child, but the case highlights imperfections of Islamic Law Compilation, specifically Article 99 that opposes syariah laws. The distribution process of the inheritance by the judge was also flawed because it ignores the syariah Law, therefor the distribution is not in accordance to the Islamic law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Qalwiah Az-Zahra
"Poligami dapat dilakukan seorang suami jika memenuhi syarat UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yakni memperoleh izin dari Pengadilan Agama dengan persetujuan dari istri sebelumnya. Namun, beberapa kasus poligami memunculkan sengketa warisan dan status anak yang lahir sebagai akibat ketidakterbukaan suami sampai dia meninggal dunia. Beberapa kasus poligami dalam putusan-putusan Pengadilan Agama meliputi: 1) Putusan Nomor 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn; 2) Putusan Nomor 343/PDT.G/2023/PTA.Sby; 3) Putusan Nomor 241/Pdt.G/2012/PA Pdlg; dan 4) Putusan Nomor 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd. Penelitian doktrinal ini ditujukan untuk menganalisis pembatalan perkawinan poligami setelah kematian suami melalui pertimbangan hakim dalam menolak maupun mengabulkan permohonan tersebut. Data penelitian berupa data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama (Putusan Nomor 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn dan Putusan Nomor 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby) menolak permohonan pembatalan perkawinan poligami berdasarkan pada Pasal 38 huruf a UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan SEMA No. 2/2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2019 nomor 1 butir e. Sedangkan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan tersebut memiliki dasar berbeda. Dalam Putusan Nomor 241/Pdt.G/2012/PA didasari Pasal 24 UU Perkawinan. Sedangkan Putusan Nomor 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd berdasarkan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam, Pasal 9 UU Perkawinan, dan SEMA No.2/2019 Nomor 1 huruf f.

A husband can carry out polygamy if he meets the requirements of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law, namely obtaining permission from the Religious Court with prior approval from the wife. However, several cases of polygamy give rise to disputes over inheritance and the status of children born as a result of the husband's non-disclosure until he dies. Several polygamy cases in Religious Court decisions include: 1) Decision Number 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn; 2) Decision Number 343/PDT.G/2023/PTA.Sby; 3) Decision Number 241/Pdt.G/2012/PA Pdlg; and 4) Decision Number 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd. This doctrinal research is aimed at analyzing the annulment of polygamous marriages after the husband's death through the judge's considerations in rejecting or granting the request. Research data is in the form of secondary data collected through literature study and analyzed qualitatively. The results of the analysis show that the considerations of the Religious Court Judge (Decision Number 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn and Decision Number 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby) rejected the request for annulment of a polygamous marriage based on Article 38 letter a of Law No.1/1974 concerning Marriage and SEMA No.2/2019 concerning the Implementation of the Formulation of the Results of the 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting number 1 point e. Meanwhile, the consideration of the Religious Court Judge who granted the request had a different basis. In Decision Number 241/Pdt.G/2012/PA it is based on Article 24 of the Marriage Law. Meanwhile, Decision Number 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd is based on Article 71 letter a of the Compilation of Islamic Law, Article 9 of the Marriage Law, and SEMA No.2/2019 Number 1 letter f."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline
"Kartu kredit di Indonesia berdasarkan statistik Bank Indonesia per April 2010 Jumlah kartu yang beredar saat ini telah mencapai lebih dari 12 juta kartu. Kartu kredit sebagai salah satu instrumen pembayaran non tunai yang diminati telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan perbankan syariah dengan berpedoman pada Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, instrumen kartu sebagai alat pembayaran sudah memasuki dunia perbankan syariah. fatwa DSN No.54/DSNMUI/ X/2006 Syariah Card didefinisikan sebagai kartu yang berfungsi sebagai Kartu Kredit yang hubungan hukum antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa. Di Indonesia baru ada dua kartu kredit syariah, pertama Dirham card dan yang kedua adalah BNI Hasanah card. Penerbitan kartu kredit syariah merupakan suatu produk yang baru maka masih banyak kalangan yang belum memahami mengenai kartu kredit syariah ini. Dengan demikian dalam tesis ini penulis membahas tentang pengaturan penerapan kartu kredit syariah di bank BNI syariah berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia serta perlindungan hukum terhadap nasabah kartu kredit syariah. Dalam penelitiannya penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan wawancara sebagai alat pengumpulan data. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Hasanah Card tidak menganut sistem bunga berbunga seperti kartu kredit konvensional melainkan dengan sistem bagi hasil yang didasarkan pada prinsip syariah. Dalam penerapannya Hasanah Card secara keselurahan telah memenuhi syarat dan ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional. Sistem perlindungan nasabah bertujuan untuk memberikan perlindungan dan memberdayakan nasabah melalui mekanisme pengaduan nasabah, transparansi produk perbankan dan data pribadi nasabah serta penyediaan lembaga mediasi independen.Dalam menyelesaikan sengketa yang timbul antara nasabah dan bank syariah, penyelesaiannya dapat dibawa ke Badan Abitrase Syariah Nasional atau ke pengadilan Agama.

The amount of credit card in Indonesia base on Bank of Indonesia?s April 2010 statistic is more than 12 million cards. Credit card as one of non cash payment instrument has a very significant growth in Indonesia. Parallel with the growth of Syariah Banking base on the Regulation No.21 2008 about Syariah Banking, card instrument as a payment tool has join the world of Syariah Banking. According to Fatwa DSN no.54/DSN/2006 Syariah card is describe as a credit card which legal relationship between all parties base on Syariah principal whish has been ruled in Fatwa. In Indonesia there are two syariah credit card, Dirham card and BNI Hasanah card. Syariah credit card is a new product which hasn?t been fully understood by most people or consumers. Hence in this thesis the writer will discuss and elaborate the rule of application of syariah credit card in BNI Syariah according to Indonesian regulation and the legal protection for consumers. In this research writer is using normative research method with interview as a gathering information tool. This research conclude that Hasanah Card doesn?t have compound interest system as the conventional credit card does, instead with the system profit loss and sharing system base on syariah principal. IN its application Hasanah card has comply with the terms and requirements in Fatwa by Syariah National Committee. Consumer protection system intend to give a protection and empower the consumers through consumer complaint mechanism, banking product transparency & consumers personal data and independent mediation institution. In dispute between consumers and syariah bank, the settlement will be brought to National Syariah Arbitration Institution or Religion Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27428
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Hidayat
"Bagi umat Islam, adalah suatu keharusan melaksanakan syari?at Islam, termasuk pula dalam hal penyelesaian masalah pembagian harta pusaka. Sebab, kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab terhadap keluarganya. Jadi, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing ahli waris terhadap keluarganya. Meskipun demikian, tanggung jawab ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris, tidak selamanya meninggalkan harta warisan saja, akantetapi adakalanya ahli waris harus membayar utang pewaris baik utang kepada Allah swt maupun utang kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, bagaimana Hukum Waris Islam mengatur mengenai kedudukan ahli waris dan harta peninggalan pewaris? Serta bagaimana mana tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris apabila jumlah hutang pewaris lebih besar daripada harta peninggalan pewaris? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan penelitian yang bersifat hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaanan, dimana penelitian lebih ditekankan kepada tinjauan kepustakaan. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder yang kemudian dianalis dan disusun secara kualitatif guna mengetahui apakah perundang-undangan telah mengatur dengan jelas mengenai tanggung jawab ahli waris terhadap pelunasan hutang seorang pewaris. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedudukan ahli waris telah ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur?an, namun tidak demikian dengan kriteria mengenai harta peninggalan pewaris menurut Hukum Islam, sebab diantara para ulama pun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apa saja yang termasuk ke dalam harta peninggalan. Menurut hukum Islam, tanggung jawab ahli waris terhadap utang pewaris hanya terbatas pada jumlah harta peninggalannya, dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi ahli waris itu sendiri.

For moslem, it is necessary to constitute Islamic rules, include in overcoming the problem of legacy distribution, because in Islamic legacy system, the property that accepted by lineal heir from heir are continuing responsibilities to their fmiliy, so the property that are accepted by each lineal heir balanced with the responsible differences each lineal heir toward their family. In spite of it, lineal heir have responsibility toward the legacy of heir, not only they have legacy but also they must pay debt to God or to other persons that the number of debs can be more than its property heir. Because of that, how does Islamic legacy law manage about the position of lineal heir and legacy heir? And also how responsibility of lineal heir toward heir debt if the number of heir debt more than the property legacy? To answer the question above, the authors use a normative juridicial researches or researches literature juridicial where a research more emphasized in literature outlook. So, data used in research is secondary data then analyzed and constructed qualitatively to get a result whether the laws have regulated clearly about the lineal heir responsibilities toward paying off of heir debt. The result of research can be summarized that the position of lineal heir have fixed clearly in Al-Qur?an, but it does not mention its criteria about heir legacy on Islamic law. Because among ulamas have different outlook about what property are in legacy. According to Islamic law that the responsibility of lineal heir toward debt heir only limited in amount of property heir and it may not cause be disadvantages for all lineal heir."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27390
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nieke Larasati
"Sebelum undang-undang tentang yayasan diberlakukan, terdapat ketidakpastian mengenai pengertian dan bentuk yayasan, maupun batasan yang tegas terhadap maksud, tujuan, dan kegiatan yayasan. Akibatnya yayasan cenderung disalahgunakan sebagai wadah berkedok sosial untuk memperkaya pihak-pihak tertentu. Diberlakukannya UU Yayasan memberi jawaban atas dibutuhkannya payung hukum mengenai pendirian, pengelolaan, dan pengawasan yayasan yang tadinya belum memiliki kepastian hukum. Namun UU Yayasan belum menekankan secara khusus batasan antara perbedaan yayasan keagamaan dengan yayasan pada umumnya. Padahal yayasan keagamaan khususnya yayasan Islam memiliki karakter berbeda dibandingkan dengan yayasan yang hanya bersifat sosial dan kemanusiaan, sebagai contoh fungsi yayasan sebagai instrumen syiar keagamaan, penyelenggara pendidikan diniyah, berperan sebagai lembaga amil zakat, dan lain sebagainya. Atas sebab itu timbul pertanyaan mengenai bagaimana peran UU Yayasan dalam mengakomodir pendirian yayasan keagamaan khususnya yayasan Islam.
Penelitian ini berlatar belakang dari adanya pemikiran terhadap perlunya UU Yayasan memberi batasan yang tegas antara yayasan keagamaan dengan yayasan sosial dan yayasan kemanusiaan. Sehingga pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai apakah UU Yayasan sudah dapat mengakomodir pendirian yayasan keagamaan, dan bagaimana bentuk yayasan keagamaan yang sesuai dengan hukum Islam. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian eksplanatoris yakni menggambarkan dan menjelaskan tentang proses pendirian yayasan keagamaan khususnya yayasan Islam untuk menjadi badan hukum, penelitian evaluatif yakni memberi penilaian atas peranan UU Yayasan dalam mengakomodir pendirian Yayasan Keagamaan khususnya terhadap Yayasan Islam, serta penelitian analitis yakni analisis terhadap pendirian yayasan keagamaan yang sesuai dengan kaidah Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Perolehan data dalam penelitian ini adalah berdasarkan studi dokumen, wawancara, dan penelitian lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa UU Yayasan belum sepenuhnya mengakomodir pendirian yayasan keagamaan khususnya yayasan Islam, oleh karena UU Yayasan belum memandang yayasan keagamaan sebagai yayasan yang berbeda dengan yayasan pada umumnya, sehingga pendirian yayasan Islam tidak dituntut untuk sesuai dengan kaidah hukum Islam. Atas sebab ini maka hal-hal yang belum diakomodir UU Yayasan tersebut harus ditutupi dengan pengetahuan tentang keagamaan dan permohonan izin operasional dari Departemen Agama. Selain itu diketahui pula bahwa yayasan keagamaan yang sesuai dengan hukum Islam adalah yayasan keagamaan yang dilandasi akhlak, akidah, dan syariat, sehingga pendirian yayasan keagaman yang sesuai dengan Hukum Islam berarti yayasan keagamaan didirikan dengan memenuhi kaidah normatif dan yuridis dalam syariat Islam.

Before the establishment of Foundation Act there was uncertainty in the meaning and form of foundations, as well as strict limits on the purposes, objectives, and activities of the foundation. Hence foundations tend to be misused under "social" guise to enrich certain parties. The implementation of Foundation Act has provided answers to the necessity for the legislation on foundations establishment, management, and supervision which previously hadn't complied to the need of legal certainty. On the other hand, Foundation Act doesn't emphasize the boundary between the difference of religious foundation with the foundation in general. Whereas religious foundations in particularly Islamic foundations, have different characters compared to foundations based on merely social and humanitarian purpose, as examples their establishment purpose for the benefit of missionary endeavor, to conduct diniyah education program, to conduct a role as the formal institution of zakat, et cetera. These factors have raised questions on the extent of Foundation Act to be able to facilitate the establishment of religious foundations, in particularly Islamic foundations.
This research background was incited by the thought of how important it is to emphasize the boundary between religious foundation and social or humanitarian foundations. Hence the main issues in this research are about whether Foundation Act has been able to accommodate the establishment of religious foundations, and how to establish Islamic foundation that is in accordance with the rules of Islam. Research methods used to answer these issues were explanatory research to describe and explain the process of religious foundations establishment in particularly Islamic foundations to become legal entities, evaluative research to assess the role of Foundation Act in accommodating the establishment of Religious Foundations in particularly Islamic foundations, and analytical research to analyze the establishment of religious foundations that comply with Islamic rules and Indonesian regulations. This research obtained informations by document studies, interviews and field research.
The research results noted that Foundation Act hasn't entirely accommodated the religious foundations establishment in particularly Islamic foundations, since Foundation Act hasn't noticed the difference between religious foundations and foundations in general, thus compliance with the rules of Islamic law is not a requisite in Islamic foundation establishment. What haven't been accommodated by Foundation Law shall be covered by religious knowledge and activity license approval from the Ministry of Religious Affairs. Also note that the religious foundation that complies with Islamic law is a foundation based on religious morals, faith, and the Shari'a, thus establishment of religious foundations that in accordance with Islamic law means that the establishment has met the normative and juridical rules in Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27533
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indri Rahmiliandini
"Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf ini sangat dianjurkan oleh Islam karena sangat bermanfaat bagi umat sebagaimana firman Allah dalam al- Qur?an surat al-Hajj (22) ayat 77, al-Imran (3) ayat 92, al-Baqarah (2) ayat 67. Pelaksanaan perwakafan perlu dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu usaha pemerintah dalam memasyarakatkan wakaf untuk kepentingan umum adalah dengan memberlakukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan wakaf yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam prakteknya masih ada beberapa masalah yang timbul diantaranya yaitu pelaksanaan perwakafan masih belum terlaksana berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, dan terdapat beberapa kendala-kendala yang dihadapi dalam pensertipikatan tanah wakaf di Kabupaten Landak. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian empiris yaitu metode yang menyandarkan diri pada fakta yang ada dalam masyarakat melalui penelitian, dan metode kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengambil data atau keterangan dari buk dan literature. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Landak ini ditemukan fakta bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf belum berlaku dengan baik terlihat dari masih banyak tanah-tanah wakaf di Kabupaten Landak yang belum memiliki sertipikat. Hal ini dikarenakan pola pikir masyarakat setempat yang menganggap bahwa tanah wakaf adalah amal jariyah sehingga dalam pelaksanaannya masih menggunakan kebiasaan mereka yaitu hanya dilakukan secara lisan dihadapan nazhir dan saksi-saksi, selain itu para nazhir belum mengetahui tugas dan peranannya, proses penunjukkan dan pengangkatan nazhir tanah wakaf belum tertata dengan baik. Akibat dari hal tersebut di atas nazhir belum optimal mendayagunakan objek tanah wakaf yang ada. Terbukti sebagian besar nazhir belum memahami tugas dan tanggungjawabnya sebagai nazhir yang harus melaksanakan kewajibannya, hal ini dikarenakan para nazhir belum memahami perwakafan dengan baik, yang berakibat pada tanah wakaf di Kabupaten landak tidak produktif. Selain itu kendala-kendala yang lain adalah lokasi tanah wakaf yang sulit untuk dijangkau, biaya yang dikeluarkan sangat besar, prosedur yang sangat lama, membuat masyarakat enggan untuk mendaftarkannya.

Endowments are wakif legal act to separate and / or give up some of his property to be used forever or for a certain period in accordance with their interests for purposes of worship and / or the general welfare according to sharia. Endowments are very encouraged by Islam because it is very beneficial for the people as the word of God in the Qur'an Surat al-Hajj (22) verse 77, Al-Imran (3) paragraph 92, al-Baqarah (2) paragraph 67. Perwakafan implementation needs to be done effectively and efficiently. One of the government's effort to popularize waqf in the public interest is to enact regulations relating to the endowments of the Act No. 41 of 2004 on Endowments. In practice there are still some problems that arise among which perwakafan implementation still has not been done pursuant to Act No. 41 of 2004, and there are several constraints faced in pensertipikatan waqf land in the District of Landak. Research method which writer use is an empirical research method that relies on facts that exist in society through research, and methods of literature is the method of data collection is done by taking the data or information from evidence and literature. Research conducted in the District of Landak found that although the Act No. 41 of 2004 on the Waqf has not been accepted by both visible from many waqf lands in the district who do not have a certificate. This is because the local community mindset that considers that the land was waqf jariyah charity so that its implementation still use their habit that is only made orally before Nazhir and witnesses, other than that the Nazhir not know the duties and roles, the process of appointment and removal of soil Nazhir waqf is not well ordered. As a result of the foregoing objects Nazhir not optimal utilization of existing waqf land. Evidently most of Nazhir not understand the duties and responsibilities as Nazhir which must carry out its obligations, this is because the Nazhir perwakafan not understand well, which resulted in waqf land in the District of Landak are not productive. In addition, other constraints are the location of waqf land that are difficult to reach, the cost is very large, very long procedure, making people reluctant to register it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28200
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lupita Rose Prijadi
"Hibah merupakan suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela atau cuma-cuma yang dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Hibah yang dilakukan tanpa memenuhi ketentuan dan syarat yang berlaku dapat mempengaruhi keabsahan hibah dan menimbulkan permasalahan atas status kepemilikan tanah. Seperti pada kasus Nomor 3734 K/Pdt/2021, terdapat salah satu ahli waris yang menghibahkan sebidang tanah hak bagian waris, yang diperoleh berdasarkan pembagian waris kepada ahli waris lainnya tetapi hibah tersebut dilakukan secara lisan dan sertipikat atas tanah masih atas nama pewaris. Penelitian ini mengkaji mengenai keabsahan hibah secara lisan ditinjau dari hukum Islam dan hukum perdata (KUHPerdata) atas putusan hakim pada putusan tersebut dan mengkaji prosedur peralihan hak atas tanah dengan hibah secara lisan dalam proses pembagian waris pada kasus putusan tersebut. Data dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara dan bahan hukum lainnya. Hasil penelitian diperoleh bahwa keabsahan suatu hibah secara lisan dapat berbeda tergantung pada pandangan hukum apa hibah dilakukan. Hibah dengan objek berupa tanah yang merupakan bagian hak warisan ahli waris secara hukum Islam adalah sah, tetapi bisa menjadi tidak sah jika dipandang secara hukum perdata karena belum ada penyerahan secara yuridis atas bagian hak warisan tersebut. Selama kepemilikan atas tanah yang tercatat pada sertipikat hak atas tanah masih tercatat milik pewaris, tanah tersebut belum beralih hak kepemilikannya kepada orang lain. Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tidak dapat mencatatkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan melalui hibah secara lisan karena membutuhkan suatu akta tertulis yang dapat menjelaskan dengan jelas peralihan haknya. Meskipun suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah sah secara hukum dinyatakan oleh majelis hakim pada pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, pencatatan peralihan hak atas tanah tetaplah harus berdasarkan akta tulisan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Dengan demikian, peralihan hak yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah peralihan hak karena pewarisan.

Grant is a gift made voluntarily or free of charge which can be done either verbally or in writing. Grants made without fulfilling the applicable terms and conditions can affect the validity of the grant and cause problems regarding land ownership status. As in case based on Supreme Court Decision Number 3734 K/Pdt/2021, there was one of the heirs donated a plot of land with inheritance rights obtained based on the distribution of inheritance to other heirs, but the gift was made verbally, and the land certificate was still in the name of another person who deceased. This research examines the validity of verbal grants in terms of Islamic law and civil law (Civil Code) based on the judge's decision on the decision and examines the procedure for transferring land rights with a verbal grant in the process of dividing inheritance in the case of the decision. Data was analyzed qualitatively based on interview results and other legal materials. The research results show that the validity of an oral grant can differ depending on the legal perspective under which the gift is made. Grants with objects in the form of land which are part of the heir’s inheritance rights are valid under Islamic law but can be invalid if viewed under civil law because there has been no juridical transfer of that part of the inheritance rights. If the ownership of the land recorded on the land certificate is still recorded as belonging to another person who deceased, the ownership rights of the land have not been transferred to someone else. The Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency (ATR/BPN) cannot register transfers of land rights made through verbal grants because they require a written deed that can clearly clarify the transfer of rights. Even though a legal act of transferring land rights is legally declared by a panel of judges in a court that has permanent legal force, the recording of the transfer of land rights must still be based on a written deed made by an authorized official for that purpose. Thus, the transfer of rights that must be carried out first is the transfer of rights due to inheritance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Dyah Triana
"Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia tidak terlepas dari sengketa yang dimungkinkan untuk diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) didasarkan pada klausul dalam perjanjian para pihak dalam menyelesaiakan sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa. Dalam hal terjadi sengketa yang belum memiliki cabang/perwakilan maka para pihak yang bersengketa diberikan hak untuk memilih cabang/perwakilan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan kesepakatan bersama. Pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari'ah.

The development of Islamic Banking in Indonesia can't be separated from possibility dispute that can be resolved by Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) as there is in Law No. 21 Year 2008 Concerning to the Islamic Banking. This study analyzed by descriptive analysis using a juridical normative approach. The competence of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) is based on the clause of an agreement by the party to resolve the civil issues thatarising from trading activities, finance, industry and services. For the dispute settlement that don't have any branch/representation in their place, the party have a right to choose the branch/representation of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). The implementation decision of Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) according with legal requirement Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Year 2010 Concerning of Inoperative Affirmation of Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Year 2008 Concerning the Execution of Decision of Badan Arbitrase Syari'ah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28614
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chekky Kurniasari Dewi
"Pada Pelaksanaan Penyaluran Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah dapat terjadi Permasalahan. Ketika terjadi permasalahan tersebut, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui eksekusi jaminan. Melalui penelitian yang bersifat yurudis normatif, dapat diketahui bahwa Bank Syariah selain dapat melakukan eksekusi jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dapat pula membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela dari pemilik agunan dan agunan yang dibeli oleh Bank Syariah tersebut wajib dicairkan dalam waktu 1 (satu) tahun atau yang dikenal dengan Agunan Yang Diambil Alih.

In the implementation of cost distribution of Islamic Banking, could be having problem. When the problem is happened, the solution could be taken is guarantee execution. Based on the normative juridical research, it can be understand that Islamic Bank could conduct the guarantee execution that under regulation of Law Number 4 Year 1996 about Mortgage and Law Number 42 Year 1999 about Guarantee of Fiduciary, but also this Islamic Bank could buy a part or the entire bond with or without auction, based on the free given from the guarantee owner and the guarantee that is already bought by the Islamic Bank have to pay in the period time of 1 (one) year that called the over taken guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29241
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>