Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulidza Silta
"Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit kronis paling umum pada anak dan remaja. RA seringkali muncul bersamaan dengan entitas alergi lain berupa asma dan/atau eskim dapat menyebabkan multimorbiditas alergi. RA dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang berdampak pada performa belajar dan sosial anak. Perlu diketahui lebih lanjut kualitas hidup remaja dengan RA dan hubungan multimorbiditas alergi terhadap kualitas hidup remaja dengan RA. Penelitian potong lintang dilakukan pada 104 pelajar SMPN 9 Kendari. Penelitian ini menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) untuk menilai entitas alergi dan Mini Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionnaire (MiniRQLQ) untuk menilai kualitas hidup. RA ditemukan pada 30.6% pelajar dengan proporsi laki-laki dan perempuan sebesar 35.6% dan 64.4%. Multimorbiditas alergi terdapat pada 62.5% subjek. Median skor total kualitas hidup untuk remaja RA pada penelitian ini yaitu 3 (1–6). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara multimorbiditas alergi dan kualitas hidup remaja RA (p=0.286). Proporsi perempuan dengan RA lebih banyak dibanding laki-laki. Sebagian besar subjek penelitian merasa cukup terganggu dengan kondisi RA dan tidak terdapat hubungan antara multimorbiditas alergi dengan kualitas hidup remaja.

Allergic rhinitis (AR) is a common chronic condition in children and adolescents, often coexisting with asthma and/or eczema and leading to allergic multimorbidity. AR affects quality of life, potentially decreasing academic and social performance. Understanding the impact of AR and allergic multimorbidity on adolescents' quality of life is crucial. A cross-sectional study was conducted with 104 students at SMPN 9 Kendari. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) questionnaire assessed allergic conditions, and the Mini Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (MiniRQLQ) measured quality of life. AR was found in 30.6% of students, with a gender distribution of 35.6% males and 64.4% females. Allergic multimorbidity was present in 62.5% of participants. The median total quality of life score for adolescents with AR was 3 (1–6). No significant association was found between allergic multimorbidity and quality of life (p=0.286). Females had a higher prevalence of AR than males. Most participants reported moderate disruption from their AR symptoms. No significant relationship was found between allergic multimorbidity and quality of life in adolescents with AR. Keywords: adolescents, allergic multimorbidity, allergic rhinitis, quality of life. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihana Lathifunnisa
"Latar Belakang
Trakeostomi apabila digunakan berkepanjangan dapat meningkatkan resiko komplikasi lanjutan sehingga dekanulasi menjadi suatu prosedur penting. Beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi keberhasilan dekanulasi antara lain efektivitas batuk, refleks menelan, etiologi kegagalan respirasi, dan komorbid. Sampai saat ini, tidak ada kriteria pasti kapan kanul trakeostomi harus dilepas. Departemen THT-BKL RSCM menggunakan kriteria Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing dan Standarized Endoscopic Evaluation for Tracheostomy Decannulation. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan penggunaan kriteria FEES dan SESETD serta berbagai faktor lain dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi.
Metode
Studi cross sectional dilakukan menggunakan rekam medik pasien trakeostomi di Departemen THT-BKL RSCM pada tahun 2019—2024. Sampel diambil dengan metode total population guna mengetahui proporsi dekanulasi trakeostomi. Data karakteristik pasien dan penggunaan kriteria diuji menggunakan uji Chi-square dan Mann-Whitney untuk mengetahui hubungannya dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi.
Hasil
Prevalensi dekanulasi selama 5 tahun adalah 31,3%. Pelaksanaan dekanulasi ditemukan berhubungan dengan kelainan parese pita suara. Karakteristik pasien dekanulasi meliputi median usia 38,43 tahun, 57,7% pria, median IMT 21,8 kg/m2 dengan 42,3% normal, 66% tanpa komorbid, 71,1% penyakit primernya non neurologis, 58,8% ditrakeostomi karena sumbatan jalan napas, dan median durasi trakeostomi 222 hari. Dari 97 pasien yang didekanulasi, 59 menggunakan kriteria dan 38 tidak. Hasil uji bivariat adalah P=0,017 dengan OR 4,267 dan 95%CI 1,210-15,055. Dengan uji multivariat, penggunaan kriteria dan komorbid didapat masing-masing berhubungan signifikan.
Kesimpulan
Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan kriteria FEES dan SESETD serta komorbid dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi di RSCM. Studi selanjutnya sebaiknya menganalisis lebih lanjut mengenai jenis komorbid yang berhubungan, begitu pula variabel lain seperti neoplasma dan sepsis.

Introduction
Prolonged use of a tracheostomy can increase the risk of complications, making decannulation a critical procedure. Several factors are considered to influence the success of decannulation, including cough effectiveness, swallowing reflex, the aetiology of respiratory failure, and comorbidities. However, there are currently no definitive criteria that clearly define the optimal timing for tracheostomy tube removal. The ENT Department at RSCM employs criteria such as Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing and the Standardized Endoscopic Evaluation for Tracheostomy Decannulation. The aim of this study is to evaluate the relationship between the use of those criteria, along with other factors, and the success of tracheostomy decannulation. Method
A cross-sectional study was conducted using medical records of tracheostomy patients at the ENT-HNS Department of RSCM from 2019 to 2024. The sample was taken using a total population method to determine the proportion of tracheostomy decannulation. Patient characteristics and the use of criteria were tested using Chi-square and Mann- Whitney tests to determine their association with decannulation success.
Results
The prevalence of decannulation over 5 years is 31.3%. Decannulation was found to be associated with vocal cord paresis. Characteristics of decannulated patients were as follows: median age of 38.43 years, 57.7% male, median BMI of 21.8 kg/m with 42.3% in the normal range, 66% without comorbidities, 71.1% with non-neurological primary diseases, 58.8% tracheostomized due to airway obstruction, and a median tracheostomy duration of 222 days. Among the 97 decannulated patients, 59 used the criteria and 38 did not. The bivariate test results showed P=0,017 with OR 4,267 and 95%CI 1,210-15,055. Multivariate analysis indicated that the use of criteria and comorbidities were each significantly associated with decannulation success.
Conclusion
There is a significant association between the use of FEES and SESETD criteria, as well as comorbidities, and the success of tracheostomy decannulation at RSCM. Future studies should further investigate the specific types of comorbidities involved, as well as other variables such as neoplasms and sepsis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ipak Ismi Ridha
"
Latar Belakang
Keterlambatan bicara adalah kondisi di mana perkembangan bicara anak tertinggal dibanding anak seusianya. Proporsi globalnya bervariasi dari 2,3% hingga 19%. Gangguan pendengaran sering menjadi penyebab utama, namun faktor lain juga berperan. Penelitian mengenai proporsi dan faktor yang memengaruhi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal masih terbatas sehingga penelitian ini dilakukan untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain observasional deskriptif cross-sectional untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal pada anak usia 12-35 bulan di Poli THT RSCM periode Januari 2022-April 2024. Sampel dipilih menggunakan metode whole sampling dari rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan diagnosis terlambat bicara dan ambang pendengaran normal (<25 dB) berdasarkan pemeriksaan BERA click. Data dianalisis menggunakan program SPSS versi 26.
Hasil
Dari 881 anak 12-35 bulan yang datang ke Poli THT RSCM pada Januari 2022 – April 2024, didapatkan 96 anak (10,9%) terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 96 anak, didapatkan 74 anak (77,1%) laki-laki, 12 anak (12,5%) berat badan lahir rendah, 4 anak (4,2%) sumbing bibir/langit-langit, 15 anak (15,6%) prematuritas, 68 anak (70,8%) gangguan motorik, 6 anak (6,3%) hipotiroid kongenital, 14 anak (14,6%) sindrom, 13 anak (13,5%) autisme, dan 29 anak (30,2%) hiperbilirubinemia.
Kesimpulan
Karakteristik dan faktor yang paling banyak ditemukan pada anak 12-35 bulan yang terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal di Poli THT RSCM periode Januari 2022 – April 2024 adalah jenis kelamin laki-laki dan gangguan motorik.

Introduction
Speech delay is a condition where a child's speech development lags behind that of their peers. The global prevalence ranges from 2.3% to 19%. Hearing impairment is often a primary cause, but other factors also contribute. Research on the proportion and factors influencing speech delay in children with normal hearing thresholds is still limited, prompting this study to assess the proportion of speech delay in children with normal hearing.
Method
This study employs a descriptive observational cross-sectional design to evaluate the prevalence of speech delay in children aged 12-35 months with normal hearing thresholds at the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024. Samples were selected using whole sampling from medical records of patients who met the inclusion criteria, which are diagnosed with speech delay and normal hearing threshold (<25 dB) based on BERA Click examination. Data were analyzed using SPSS version 26.
Results
Among 881 children aged 1-2 years visiting the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024, 96 children (10.9%) were identified as having speech delay with normal hearing according to the inclusion and exclusion criteria. Of these 96 children, 74 (77.1%) were male, 12 (12.5%) had low birth weight, 4 (4.2%) had a cleft lip/palate, 15 (15.6%) were premature, 68 (70.8%) had motor disorders, 6 (6.3%) had congenital hypothyroidism, 14 (14.6%) had syndromes, 13 (13.5%) had autism, and 29 (30.2%) had hyperbilirubinemia.
Conclusion
The most common characteristics and factors found in children aged 12-35 months with speech delay and normal hearing at the ENT Polyclinic of RSCM between January 2022 and April 2024 are male and motor disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mutia
"

Latar belakang: Autologus growth factor (AGF) merupakan sitokin yang menarik perhatian para ilmuwan di bidang kedokteran dikarenakan memiliki fungsi yang penting dalam memperbaiki dan mempercepat  proses penyembuhan luka. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) merupakan generasi terbaru konsentrat trombosit dengan tahapan persiapan yang praktis dan sederhana. Berbagai macam operasi di bidang THT-KL, salah satunya Laringektomi Total (LT). Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya fistula faringokutaneus, sehingga diperlukan perhatian dengan seksama terhadap proses penyembuhan luka pasca-LT. Tujuan penelitian: Membuktikan bahwa pemberian PRFM dapat memperbaiki tatalaksana untuk mempercepat penyembuhan pada luka operasi pasca-LT dibandingkan Kelompok kontrol. Metode: Penelitian ini dilakukan pada Divisi Laring Faring THT-KL/ FKUI – RSCM selama Juni – Desember 2019, merupakan penelitian pendahuluan dengan  desain Randomized Control Trial (RCT). Penelitian ini melibatkan 20 pasien dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) Laring yang ditatalaksana dengan LT dan dibagi menjadi 10 pasien yang menjalani LT dengan augmentasi menggunakan autologus PRFM intra operasi dan 10 pasien sebagai kontrol. Proses penyembuhan luka diobservasi hingga 2 minggu pascaoperasi. Hasil: Telah dilakukan analisis bivariat dengan uji chi-square, didapatkan perbedaan yang signifikan pada ambang nyeri, edema dan dehisence pada luka stoma (p<0.001), keberhasilan tes minum yang dilakukan pada hari kelima (p<0.001) dan terbentuknya early fistula faringokutan (p=0.03) pada luka pascaoperasi kelompok subjek dengan PRFM dibandingkan tanpa PRFM. Kesimpulan: PRFM terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka pasca-LT. Tes minum dapat dilakukan pada hari kelima pada seluruh kelompok subjek dengan PRFM dan menjadikan masa perawatan menjadi lebih singkat. Angka kejadian fistula juga ditemukan sangat berkurang sehingga tatalaksana kemoradiasi tidak tertunda.

Kata kunci: PRFM, Laringektomi total, Fistula faringkutaneus


Background: Autologous growth factor (AGF) is a cytokine that attracts the attention of scientists, because of its beneficial to improve and accelerate process of wound healing. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) is the latest generation of thrombocyte concentrate with simple preparation. Various kinds of operations in Otolaryngology, for example Total Laryngectomy (TL), a common complication is the presence of pharyngocutaneus fistula, so needed truly attention for wound healing process after TL.  Objective: Proving that administration of PRFM can improve management to accelerate surgical wound healing after TL compared without PRFM. Method: This research was performed in Larynx Pharynx Division of ENT Department FKUI-RSCM from June – Desember 2019. This study is preliminary study using Randomized Control Trial (RCT). There were 20 patients with Laryngeal squamous cell carcinoma treated with TL. Subjecst divided into 10 patientsunderwent TL with autologus PRFM augmentation intra operation and 10 more patients as a control group, then observed two weeks after surgery. Results: Bivariate analysis was performed with chi-square test, showed significant differences in the pain threshold, edema, presence of dehisence in stoma wounds (p<0.001), success of the drinking test conducted on the fifth day (p<0.001) and formation of pharyngocutaneous early fistule (P:0.03) in postoperative wounds between groups of patients that given PRFM and without PRFM. Conclusion: PRFM is proven to accelerate post-operative wound healing after TL. Drinking test can be performed on the fifth day in all subjects of PRFM groups so that time of hospitalized becomes shorter. Incidence rate of fistule is more decreased so that no delayed of chemoradiation.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuki Saputra
"Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma.
Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20.
Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.

Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma
Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20.
Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library