Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dita Mutia
Abstrak :

Latar belakang: Autologus growth factor (AGF) merupakan sitokin yang menarik perhatian para ilmuwan di bidang kedokteran dikarenakan memiliki fungsi yang penting dalam memperbaiki dan mempercepat  proses penyembuhan luka. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) merupakan generasi terbaru konsentrat trombosit dengan tahapan persiapan yang praktis dan sederhana. Berbagai macam operasi di bidang THT-KL, salah satunya Laringektomi Total (LT). Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya fistula faringokutaneus, sehingga diperlukan perhatian dengan seksama terhadap proses penyembuhan luka pasca-LT. Tujuan penelitian: Membuktikan bahwa pemberian PRFM dapat memperbaiki tatalaksana untuk mempercepat penyembuhan pada luka operasi pasca-LT dibandingkan Kelompok kontrol. Metode: Penelitian ini dilakukan pada Divisi Laring Faring THT-KL/ FKUI – RSCM selama Juni – Desember 2019, merupakan penelitian pendahuluan dengan  desain Randomized Control Trial (RCT). Penelitian ini melibatkan 20 pasien dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) Laring yang ditatalaksana dengan LT dan dibagi menjadi 10 pasien yang menjalani LT dengan augmentasi menggunakan autologus PRFM intra operasi dan 10 pasien sebagai kontrol. Proses penyembuhan luka diobservasi hingga 2 minggu pascaoperasi. Hasil: Telah dilakukan analisis bivariat dengan uji chi-square, didapatkan perbedaan yang signifikan pada ambang nyeri, edema dan dehisence pada luka stoma (p<0.001), keberhasilan tes minum yang dilakukan pada hari kelima (p<0.001) dan terbentuknya early fistula faringokutan (p=0.03) pada luka pascaoperasi kelompok subjek dengan PRFM dibandingkan tanpa PRFM. Kesimpulan: PRFM terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka pasca-LT. Tes minum dapat dilakukan pada hari kelima pada seluruh kelompok subjek dengan PRFM dan menjadikan masa perawatan menjadi lebih singkat. Angka kejadian fistula juga ditemukan sangat berkurang sehingga tatalaksana kemoradiasi tidak tertunda.

Kata kunci: PRFM, Laringektomi total, Fistula faringkutaneus


Background: Autologous growth factor (AGF) is a cytokine that attracts the attention of scientists, because of its beneficial to improve and accelerate process of wound healing. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) is the latest generation of thrombocyte concentrate with simple preparation. Various kinds of operations in Otolaryngology, for example Total Laryngectomy (TL), a common complication is the presence of pharyngocutaneus fistula, so needed truly attention for wound healing process after TL.  Objective: Proving that administration of PRFM can improve management to accelerate surgical wound healing after TL compared without PRFM. Method: This research was performed in Larynx Pharynx Division of ENT Department FKUI-RSCM from June – Desember 2019. This study is preliminary study using Randomized Control Trial (RCT). There were 20 patients with Laryngeal squamous cell carcinoma treated with TL. Subjecst divided into 10 patientsunderwent TL with autologus PRFM augmentation intra operation and 10 more patients as a control group, then observed two weeks after surgery. Results: Bivariate analysis was performed with chi-square test, showed significant differences in the pain threshold, edema, presence of dehisence in stoma wounds (p<0.001), success of the drinking test conducted on the fifth day (p<0.001) and formation of pharyngocutaneous early fistule (P:0.03) in postoperative wounds between groups of patients that given PRFM and without PRFM. Conclusion: PRFM is proven to accelerate post-operative wound healing after TL. Drinking test can be performed on the fifth day in all subjects of PRFM groups so that time of hospitalized becomes shorter. Incidence rate of fistule is more decreased so that no delayed of chemoradiation.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuki Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma. Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20. Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. ......Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps. Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20. Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library