Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Esa Bayu Rianto
"Penelitian yang dibahas dalam tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan alasan Tun Abdul Razak memilih melanjutkan dan memperkuat posisi kebijakan The 1961 Education Act sebagai upaya pemerintah mengatasi dampak kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969. Alasan tersebut dapat dijelaskan melalui serangkaian kejadian yang berkaitan dengan kerusuhan tersebut. Analisis penelitian dilakukan dengan menggunakan teori nasionalisme-etnis karya Anthony D. Smith dan konsep routinization of policy instrument milik Capano dan Lippi, tulisan ini juga berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik pemilihan pola routinization dalam pengambilan kebijakan publik di Malaysia. Hal ini didasarkan atas pada serangkaian kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang dijalankan sebelumnya, yakni The 1952 Education Ordinance dan The 1957 Education Ordinance. Selain itu, Tun Abdul Razak juga menilai konsekuensi yang akan terjadi jika pemerintah mengubah pendekatan kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang ada pasca kerusuhan 13 Mei 1969 maka stabilitas relasi antar etnis di masyarakat yang diinginkan oleh elit politik Bumiputera-Melayu tidak akan tercapai serta akan terjadi penyimpangan narasi nasionalisme etnis sebagai bentuk identitas nasional yang ingin dicapai bahkan telah digunakan dalam setiap penerapan kebijakan asimilatif di bidang pendidikan dan kebahasaan selama ini.

The research discussed in this paper is aimed at explaining the reasons why Tun Abdul Razak chose to routineize and strengthen the policy position of The 1961 Education Act as a government effort to overcome the impact of the racial riots on May 13, 1969. This reason can be explained through a series of events related to the riots. The research analysis was conducted using the theory of nationalism-ethnicity by Anthony D. Smith and the concept of routinization of policy instrument by Capano and Lippi. This paper also seeks to identify the characteristics of the choice of routine patterns in public policy making in Malaysia. This is based on a series of educational and linguistic policies previously implemented, namely The 1952 Education Ordinance and The 1957 Education Ordinance. In addition, Tun Abdul Razak also assessed the consequences that would occur if the government changed the approach to education and language policies that existed after the May 13, 1969 riots, the stability of inter-ethnic relations in society that was desired by the Bumiputera-Melayu political elite would not be achieved and there would be narrative distortion. Ethnic nationalism as a form of national identity to be achieved has even been used in every application of assimilative policies in the fields of education and language so far."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani Woro Satiti
"Keberhasilan Bongbong dalam pemilihan umum Filipina tahun 2022 seakan menjadi alarm peringatan bagi keberlangsungan demokrasi di Filipina. Situasi tersebut dilatarbelakangi adanya dugaan distribusi disinformasi melalui media sosial sebagai strategi kampanye politik. Berdasarkan permasalahan tersebut, studi ini berusaha untuk meneliti serta melihat bagaimana strategi disinformasi di dalam media sosial berperan penting dalam keberhasilan Marcos Jr. (Bongbong). Pengumpulan data diambil dari aplikasi Tiktok selama masa kampanye antara Februari 2022 hingga Mei 2022. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis isi melalui konsep manipulasi politik Gregory Whitefield. Melalui metode dan analisis tersebut, ditemukan bahwa disinformasi telah didistribusikan melalui aplikasi media sosial berhasil mengubah “framing” buruk keluarga Bongbong dan menarik simpati pemilih untuk memberikan dukungan suara kepada Bongbong. Konten disinformasi melalui Tiktok yang ditemukan dalam studi ini antara lain mengenai penculikan keluarga Marcos, klaim Filipina sebagai macan Asia di bawah pemerintah, dan perintah Marcos untuk tidak menyerang sipil. Berdasarkan konsep manipulasi politik Gregory Whitefield, Bongbong menggunakan strategi manipulasi individu. Bongbong serta pendukungnya telah melakukan distribusi konten disinformasi sehingga pemilih menganggap berita mengenai “kepahlawanan” keluarganya adalah benar. Sebagai dampaknya, konten tersebut berhasil menarik pemilih muda sebagai pengguna aktif media sosial, khususnya mendominasi Tiktok.

Bongbong's success in the 2022 Philippine elections has become a warning alarm for democratic continuance in the Philippines. The situation against the background is an alleged distribution of disinformation through social media as a political campaign strategy. Based on the problem, the study attempted to investigate and see how disinformation strategies in social media played a significant role in the success of Marcos Jr. (Bongbong). Data collection was taken from a Tiktok application during the campaign period between February 2022 and May 2022. The study employed qualitative methods and content analysis through Gregory Whitefield's concept of political manipulation. Through the method and analysis, it was found that disinformation distributed through the application of social media successfully altered the "framing" of the Bongbong family and appeals to voters' sympathy for providing vote support to the Bongbong. Content disinformation through the chives found in this study included the abduction of the Marcos family, the Philippine claim as an “The Tiger of Asia” under the government, and Marcos's order not to invade civilians. Based on Gregory Whitefield's concept of political manipulation, Bongbong has used individual manipulation strategies. Bongbong and his supporters have done disinformation content distribution to make voters feel that the "heroism" of their family is true. As a result, the content has succeeded in attracting young voters."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Syauqi Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan pemasaran politik yang dilakukan oleh PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 di Wilayah Tangerang Raya. Perlu diketahui bahwa PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 mengalami kekalahan setelah berhasil menang dan menguasai perolehan kursi pada Pemilu 2019 di Wilayah Tangerang Raya. Untuk menganalisis fenomena tersebut, peneliti menganalisis perubahan pemasaran politik yang dilakukan PDI Perjuangan dengan menggunakan teori pemasaran politik melalui dua pendekatan yakni push marketing dan pull marketing. Sementara untuk memperoleh data dalam proses penelitian, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan dua sumber data yakni data primer dan data sekunder. Untuk data primer peneliti melakukan wawancara dan data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur.
Adapun temuan dari penelitian yang dilakukan bahwa perubahan yang terjadi dalam pemasaran politik PDI Perjuangan terlihat pada pemasaran melalui push marketing dan pull marketing. Pada push marketing perubahan yang terjadi yakni dari sepuluh caleg yang mengikuti pemilu, hanya tiga calon legislatif yang memiliki tim relawan. Berbeda pada Pemilu 2019 bahwa terdapat lima calon legislatif yang memiliki tim relawan. Sementara sebagian besar caleg yang tidak memiliki tim relawan bergantung pada jaringan relawan dari partai politik. Akan tetapi, konflik internal partai membuat kinerja dan solidaritas jaringan relawan terganggu yang membuat pemasaran politik menjadi tidak optimal. Kemudian, pada pull marketing terjadi perubahan dari dukungan partai politik dalam pendistribusian merchandise untuk pemasaran mengalami penurunan. Bahkan partai tidak lagi memberikan dukungan terkait penggunaan baliho sehingga sebagian besar caleg hanya memanfaatkan brosur yang disebarkan secara terbatas.

This study aims to understand the changes in political marketing carried out by PDI Perjuangan during the 2024 elections in the Tangerang Raya area. It is known that PDI Perjuangan experienced a loss in the 2024 elections after successfully winning and dominating the seats in the 2019 elections in the Tangerang Raya area. To analyze this phenomenon, the researcher examines the changes in political marketing undertaken by PDI Perjuangan using political marketing theory through two approaches: push marketing and pull marketing. To obtain data for the research process, the researcher employs a qualitative research method using two data sources: primary data and secondary data. For primary data, the researcher conducts interviews, and for secondary data, the researcher collects information through literature studies.
The findings of the research indicate that changes in PDI Perjuangan's political marketing are evident in both push marketing and pull marketing. In push marketing, the change is seen in that out of the ten legislative candidates who participated in the election, only three candidates had their own personal volunteer teams, compared to the 2019 elections where six candidates had their own personal volunteer teams. Meanwhile, candidates without personal volunteer teams relied on the volunteer network from the political party. However, internal party conflicts disrupted the performance and solidarity of the volunteer network, resulting in suboptimal political marketing. In pull marketing, the change is evident from the decreased support from the political party in utilizing campaign tools. The party no longer provided support for the use of billboards, so most candidates only used brochures that were distributed in a limited manner.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library