Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sira Sappa Palambang
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Gambaran foramen neuralis servikal pada potongan aksial memiliki keterbatasan dan tidak memperlihatkan foramen secara en face. Pemeriksaan MRI servikal dengan menggunakan potongan sagital oblik memberikan visualisasi dan diagnosis stenosis foraminal yang lebih optimal karena pengambilan potongan tegak lurus terhadap foramen neuralis. Saat ini prosedur operasional standar pemeriksaan MRI servikal di RSCM belum menggunakan potongan sagital oblik, sehingga masih belum dapat memberikan visualisasi langsung yang jelas dari foramen neuralis servikal dikarenakan anatomi dari foramen neuralis servikal tersebut. Metode: Uji hipotesis dilakukan dengan uji nonparametrik Mc Nemar dan hubungan diagnostik antara kedua potongan dinilai dengan analisis Cohen rsquo;s Kappa. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara diagnosis kategori stenosis berdasarkan potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan nilai p=0,001. Pada analisis Cohen rsquo;s Kappa didapatkan nilai r = 0,248 dengan nilai p=0,000. Kesimpulan : Terdapat perbedaan diagnosis stenosis yang siginifikan pada potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan tidak adanya kesesuaian diagnostik antara kedua potongan tersebut.
ABSTRACT
Background and Objective Axial images in cervical MRI examination has limitations in evaluating neural foramen and do not directly visualized it. Oblique sagittal images cervical MRI, that perpendicular to the neural foramen in axial images, provides optimal visualization and better diagnosis of foraminal stenosis grading. Currently, the standard operating procedures of the cervical MRI examination in RSCM are not yet using oblique sagittal images, so it still can not provide direct visualization of the cervical neural foramen due to the anatomy of the cervical foraminal. Method Hypothesis testing was done with Mc Nemar nonparametric test and diagnostic association between the two images was assessed by Cohen rsquo s Kappa analysis. Result There is significant diagnostic differences p 0,001 of stenosis grading using axial images and oblique sagittal images cervical MRI. In the analysis of Cohen rsquo s Kappa, obtained r 0,248 with p 0,000. Conclusions There is significant differences in the diagnosis of cervical foraminal stenosis between the oblique sagittal images and axial images and also there is no diagnsotic association between oblique sagittal and axial images.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Abraham Ambril
Abstrak :
Nyeri punggung bawah memiliki prevalensi yang tinggi dan sangat berkaitan dengan proses degenerasi diskus intervertebralis. Magnetic Resonance Imaging MRI lumbal merupakan pemeriksaan yang terpenting dalam penilaian kelainan pada degenerasi diskus intervertebralis yang dapat dapat memperlihatkan herniasi diskus, stenosis kanalis spinalis, dan stenosis foraminal. Terdapat dua protokol potongan aksial, yaitu contiguous axial CA dan disc space-targeted angled axial DSTAA , yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Belum ada penelitian yang terpublikasi yang mendukung penggunaan teknik CA maupun DSTAA pada kasus degenerasi vertebra lumbal, oleh sebab itu penelitian ini akan meneliti tentang kesesuaian teknik CA dengan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis lumbal.Penelitian ini menggunakan desain potong lintang cross-sectional study untuk mengetahui kesesuaian teknik CA dan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis pada vertebra lumbal, yang dilakukan di Departemen Radiologi RSCM Jakarta selama bulan Agustus sampai September 2016, dengan jumlah sampel 22 subjek.Dari hasil penelitian ini didapatkan kesesuaian diagnosis herniasi diskus intervertebralis lumbal dan diagnosis stenosis kanalis spinalis lumbal antara teknik CA dengan teknik DSTAA. Penelitian ini menunjukkan penggunaan teknik DSTAA dapat dilakukan sebagai protokol pemeriksaan MRI lumbal di pusat layanan kesehatan yang memiliki jumlah pasien yang banyak. ......Lower back pain has a high prevalence and is associated with the degeneration of intervertebral discs. Magnetic Resonance Imaging MRI examination of the lumbar is important in the assessment of abnormalities in the intervertebral disc degeneration and can be demonstrating disc herniation, spinal canal stenosis and foraminal stenosis. There are two axial protocols, contiguous axial CA and disc space targeted angled axial DSTAA , each of which has advantages and disadvantages. There are no published studies that support the use of DSTAA technique and CA technique at the lumbar spine degeneration cases, therefore, this study will examine the technical suitability CA with DSTAA techniques in diagnosis for disc herniation and lumbar spinal canal stenosis.This study used cross sectional design to determine the suitability of the CA technique and DSTAA technique at diagnosis for disc herniation and stenosis of the spinal canal in the lumbar spine, which is carried out in the Department of Radiology RSCM Jakarta during August to September 2016, with a sample of 22 subject.From the results of this study, there is suitability of the diagnosis of lumbar intervertebral disc herniation and lumbar spinal canal stenosis diagnosis between CA technique and DSTAA technique. This study shows that DSTAA technique can be used as a lumbar MRI examination protocol at health center that has a huge patient loads.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Masita Hayati
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Angka kejadian osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA di Indonesia masih terbatas. Rasio ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan dengan menggunakan radiografi konvensional yang berguna untuk memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score. Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-scoreradius distal menggunakan DXA berdasarkan database populasi Asia, terhadap 40 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu November 2016 sampai April 2017. Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,05 dan r=0,39 antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang lemah antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA. ...... Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness ratio is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score. Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thicknessratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA based on population database in Asia, conducted in 40 subjects in the period of November 2016 toApril 2017. Results :With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.05 and r = 0.39) between the cortical thickness ratio of distal radiusby conventional radiography and T-score of distal radius by DXA. Conclutions: There is a weak positive correlation betweenthe corticalthickness ratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rahmawati Mulyanto
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Masalah osteoporosis merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Kurangnya jumlah alat DXA menyebabkan minimnya penderita yang terdiagnosis dini osteoporosis dan mendapat terapi, hingga akhirnya mengalami patah tulang. Pengukuran indeks ketebalan korteks tulang radius distal merupakan parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan, menggunakan radiografi konvensional yang berguna untuk memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score. Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai indeks ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 38 subjek penelitian, menggunakan data primer, dalam kurun waktu Desember 2016 sampai Mei 2017. Hasil: Uji korelasi Pearson antara indeks ketebalan korteks radius distal pada lokasi 1 dan 2 dengan nilai T-score kolum femur, didapatkan nilai koefisien korelasi r=0,46 p=0,096 untuk lokasi 1 dan r=0,45 p=0,093 untuk lokasi 2. Pada kelompok jenis kelamin perempuan, didapatkan nilai r=0,53 p ...... Background and objective: Osteoporosis is a problem in public health, especially in developing countries. DXA lacks of availability causing problem in osteoporosis early diagnosing and treatment until the occurance of bone fracture. Measurement of distal radius cortical thickness index using conventional radiography is a simple, objective and easy to applied methods for estimating bone density, but needs to be proven its correlation with T score. Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thickness index of distal radius by conventional radiography and T score of femoral neck by DXA based on population database in Indonesia, conducted in 38 subjects in the period of December 2016 to May 2017. Result: Using the Pearson correlation test between the cortical thickness index of distal radius in two location with T score of femur column by DXA, we obtained coefficient correlation value of r 0,46 p 0,096 for location 1 dan r 0,45 p 0,093 for location 2. In the female group we obtained r 0,53 p 0,05 for location 1 and r 0,52 p 0,05 for location 2. Based on age group, r value for location 1 and 2 in 60 years age group is r 0,31 p 0,194 and r 0,32 p 179 for location 1 and 2, respectively. Conclusion: There is a weak positive correlation between the cortical thickness index of distal radius by conventional radiography and T score of femoral neck by DXA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Puspita Dewi
Abstrak :

Latar Belakang : Osteoartritis lutut merupakan artritis tersering menyebabkan disabilitas. MagneticResonance Imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi struktur intraartikular terutama kartilago. Pengukuran nilai waktu relaksasi T2 pada sekuen T2 mapmendeteksi penurunan proteoglikan dan perubahan awal biokimia kartilago pada osteoartritis, namun pemeriksaan ini membutuhkan perangkat lunak. Sistem semi kuantitatif MagneticResonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS) dapat mengevaluasi tujuh aspek lutut pada osteoartritis dengan menggunakan protokol rutin MRI. Terapi sel punca mesenkimal asal tali pusat meregenerasi kartilago dan menghambat proses inflamasi pada osteoartritis lutut.  Tujuan :  Mengetahui korelasi nilai waktu relaksasi T2 dan nilai skor MOAKS pada osteoartritis pra dan pasca terapi implantasi sel punca Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder pada osteoartritis lutut derajat Kellgren Lawrence satu hingga empat. Sampel penelitian adalah 63 lutut pra dan 47 lutut pasca implantasi sel punca. Menganalisis nilai MOAKS dengan sekuens proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated pada 14 subregio lutut Pengukuran nilai relaksasi T2 dengan sekuens T2 map pada 12 subregio lutut.  Hasil : Korelasi sedang antara nilai waktu relaksasi T2 dan nilai MOAKS pra sel punca (Ï? : 0,4, p: 0,001) dan korelasi lemah (Ï?: 0,22, p: 0,142) `pasca terapi sel punca. Korelasi kuat pada derajat osteoartritis Kellgren Lawrence dan nilai MOAKS pada pra (Ï?: 0,68, p: 0,000)  dan pasca terapi sel punca (Ï?: 0,71, p: 0,000).Simpulan: Sistem semi kuantitatifMOAKS dapat digunakan untuk diagnosis osteoartritis tapi tidak untuk evaluasi pasca terapi. Kellgren Lawrence berpotensi memprediksi lesi intraartikular.


Background : Knee osteoarthritis is the leading cause of dysability.  MRI is the modality of choice for evaluating intra- articular structure, specifically cartilage in osteoarthritis. T2 Relaxation time of T2 maps sequence can detect decrease of proteoglycan and early biochemical changes in osteoarthritic cartilage, but it needs special software. Magnetic Resonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS), a semiquantitative system can evaluate seven aspects of osteoarthritic knee with routine protocol sequence. Mesenchymal stem cell from umbilical cord can  regenerate cartilage and inhibit inflammation process. Objective : ToDetermine the correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before and  after implantation of stem cell . Methods : This study used cross sectional design with secondary data on knee osteoartrthritis classified as Kellgren Lawrence grade one to four.  The study included 63 knees before and 47 knees after implantation of stem cell. MOAKS was analized  with proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated sequence on 14 sub-region and T2 relaxation time was calculated with T2 map sequens on 12 sub-region. Result : We foundModerate correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before implantation (Ï? :0,4, p :0,001). and weak corellation after implantation of stem cell (Ï?: 0,22, p: 0,142). We also found strong corellation between  Kellgren Lawrence grading of osteoarthritis and MOAKS before (Ï?: 0,68, p: 0,000)  and after implantation of stem cell (Ï?: 0,71, p: 0,000). Conclusion :MOAKS, asemiquantitative system can be used  to diaognose osteoarthritis but not reliable for post treatment evalution. Kellgren Lawrence grading has potential to predict intra articular lesion. 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Hertanto
Abstrak :
Angka kejadian fraktur yang masih cukup tinggi, diikuti komplikasi berupa nonunion akan menimbulkan berbagai masalah selama proses penyembuhan yang berujung pada tingginya biaya kesehatan. Berbagai tindakan pencegahan perlu diberikan berdasarkan faktor-faktro yang dapat mempengaruhi penyembuhan tulang. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan pemberian soybean pada tikus sparaque dawley dengan patah tulang femur yang terbagi atas kelompok A/kontrol, kelompok B/25 mg, dan kelompok C/50 mg. Evaluasi dilakukan dengan radiologi dan histopatologi. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada evaluasi radiologi pada ketiga kelompok. Didapatkan perbedaan yang bermakna pada evaluasi histopatologi pada kelompok C dibandingkan kelompok lainnya
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013;
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Mujono
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteopenia maupun osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA sangat terbatas di wilayah Indonesia. Indeks ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan pada radiografi konventional dalam memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score. Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 31 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu Juli 2012 sampai Juni 2016. Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,000 dan r=0,76 antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA. ...... Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteopenia or osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness index is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score. Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA based on population database in Indonesia, conducted in 31 subjects in the period of July 2012 to June 2016. Results : With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.001 and r = 0.76) between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA. Conclutions: There is a strong positive correlation between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sira Sappa Palambang
Abstrak :
"ABSTRAK
" Latar Belakang : Gambaran foramen neuralis servikal pada potongan aksial memiliki keterbatasan dan tidak memperlihatkan foramen secara en face. Pemeriksaan MRI servikal dengan menggunakan potongan sagital oblik memberikan visualisasi dan diagnosis stenosis foraminal yang lebih optimal karena pengambilan potongan tegak lurus terhadap foramen neuralis. Saat ini prosedur operasional standar pemeriksaan MRI servikal di RSCM belum menggunakan potongan sagital oblik, sehingga masih belum dapat memberikan visualisasi langsung yang jelas dari foramen neuralis servikal dikarenakan anatomi dari foramen neuralis servikal tersebut.Metode : Pada penelitian ini, dievaluasi 23 subjek penelitian 5 orang laki-laki, 18 orang perempuan, dengan rerata usia 57 tahun yang menjalani pemeriksaan MRI servikal di RSCM. Sebanyak total 138 foramen dianalisis dari C4-5 sampai C6-7 untuk mengetahui perbedaan diagnosis derajat stenosis foraminal servikal pada potongan aksial dengan potongan sagital oblik MRI servikal. Uji hipotesis dilakukan dengan uji nonparametrik Mc Nemar dan hubungan diagnostik antara kedua potongan dinilai dengan analisis Cohen rsquo;s Kappa.Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara diagnosis kategori stenosis berdasarkan potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan nilai p=0,001. Pada analisis Cohen rsquo;s Kappa didapatkan nilai r = 0,248 dengan nilai p=0,000.Kesimpulan : Terdapat perbedaan diagnosis stenosis yang siginifikan pada potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan tidak adanya kesesuaian diagnostik antara kedua potongan tersebut. "
" "ABSTRACT
"Background Axial images in cervical MRI examination has limitations in evaluating neural foramen and do not directly visualized it. Oblique sagittal images cervical MRI, that perpendicular to the neural foramen in axial images, provides optimal visualization and better diagnosis of foraminal stenosis grading. Currently, the standard operating procedures of the cervical MRI examination in RSCM are not yet using oblique sagittal images, so it still can not provide direct visualization of the cervical neural foramen due to the anatomy of the cervical foraminal.Method In this study, we evaluated 23 people 5 males and 18 females, mean age 57 years who visited RSCM and underwent cervical MRI. A total of 138 foramina were analysed from C4 5 to C6 7 both sides, based on axial images and oblique sagittal images to determine the diagnostic differences in cervical foraminal stenosis. Hypothesis testing was done with Mc Nemar nonparametric test and diagnostic association between the two images was assessed by Cohen rsquo s Kappa analysis.Result There is significant diagnostic differences p 0,001 of stenosis grading using axial images and oblique sagittal images cervical MRI. In the analysis of Cohen rsquo s Kappa, obtained r 0,248 with p 0,000Conclusions There is significant differences in the diagnosis of cervical foraminal stenosis between the oblique sagittal images and axial images and also there is no diagnsotic association between oblique sagittal and axial images.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thariqah Salamah
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui korelasi morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri dan berbaring. Metode: Pada penelitian belah lintang analitik ini dilakukan pengukuran sudut-sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral yaitu lordosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lombosakral, serta sudut diskus intervertebralis L1-2, L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1 pada radiografi posisi berdiri dan berbaring pada 38 penderita penyakit diskus degeneratif lumbosakral yang terbukti dari Magnetic Resonance Imaging (MRI) lumbosakral. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan rerata antara sudut-sudut morfometri vertebra lumbosakral posisi berdiri dan berbaring yang kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi dan uji regresi linear untuk mendapatkan formula regresi sudut-sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri. Hasil: Didapatkan korelasi antara sudut lorodosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lumbosakral, serta sudut diskus intervertebralis L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1. Didapatkan pula formula regresi sudut morfometri sagital vertebra lumbosakral yaitu LL berdiri = 14,51 + (0,78 x LL berbaring). LSL berdiri = 41,34 + (0,72 x LSL berbaring). IS berdiri = 10,29 + (0, 68 x IS berbaring). LSA berdiri = 11,64 + (0, 62 x LSA berbaring). Sudut diskus L2-3 berdiri = 5,66 + (0, 46 x L2-3 berbaring). Sudut diskus L3-4 berdiri = 5,34 + (0, 52 x L3-4 berbaring). Sudut diskus L4-5 berdiri = 3,94 + (0,66 x L4-5 berbaring). Sudut diskus L5-S1 berdiri = 7,69 + (0,42 x L5-S1 berbaring). Tidak didapatkan perbedaan antara sudut diskus intervertebralis L1-2 posisi berdiri dan berbaring. Kesimpulan: Terdapat korelasi kuat yang bermakna secara statistik antara sudut-sudut lordosis lumbal, lordosis lumbosakral, inklinasi sakral, sudut lumbosakral, serta sudut diskus L2-3, L3-4, L4-5, dan L5-S1 posisi berdiri dan berbaring pada penyakit diskus degeneratif. Formula regresi yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk aproksimasi nilai morfometri sagital vertebra lumbosakral posisi berdiri bagi penderita yang hanya dapat diperiksa pada posisi berbaring. ......Objectives: To determine correlation between sagittal morphometry of lumbosacral vertebrae in erect and supine position. Methods: In this cross sectional analytic study, lumbosacral sagittal morphometry, consisting of lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, intervertebral disc angles at L1-2, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 level, of 38 patients with MRI proven degenerative disc disease was determined in erect and supine lumbosacral radiography. Statistic tests were performed to determine mean difference, correlation, and linear regression between lumbosacral sagittal morphometry in erect and supine position. Results: There were correlation between lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 intervertebral disc angles in erect and supine position. Regression formulas for erect lumbosacral sagittal morphometry were found. LL erect = 14,51 + (0,78 x LL supine). LSL erect = 41,34 + (0,72 x LSL supine). IS erect = 10,29 + (0, 68 x IS supine). LSA erect = 11,64 + (0, 62 x LSA supine). L2-3 erect = 5,66 + (0, 46 x L2-3 supine). L3-4 erect = 5,34 + (0, 52 x L3-4 supine). L4-5 erect = 3,94 + (0,66 x L4-5 supine). L5-S1 erect = 7,69 + (0,42 x L5-S1 supine). There was no differecnce between L1-2 disc angle in erect and supine position. Conclusions: There were statistically significant strong correlation between lumbar lordosis, lumbosacral lordosis, sacral inclination, lumbosacral angle, L2-3, L3-4, L4-5, and L5-S1 intervertebral disc angles in erect and supine position. Regression formulas found in this study could be used to approximate erect lumbosacral sagittal morphometry angles in patients who could only be examined in supine position.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deti Nurbaeti
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Keganasan berhubungan erat dengan keadaan hiperselularitas dan hipervaskularisasi jaringan. Magnetic resonance imagingdiffusion weighted imaging-apparent diffusion coefficient (MRI DWIADC) merupakan biomarker cancer imaging. Mengetahui tingkat kesesuaian antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dapat menjadi informasi tambahan dan pemeriksaan alternatif dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskletal. Metode: Penelitian prospektif desain potong lintang pada 50 pasien dengan lesi primer muskuloskeletal regio ekstremitas, yang menjalani pemeriksaan MRI muskuloskeletal sekuens DWI-ADC dan pemberian kontrs gadolinium di RSUPN-CM dalam rentang waktu Oktober 2015-Februari 2016. Dilakukan penilaianrerata nilai minimum ADC, serta menghitung akurasi pada kasus-kasus yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil: Dari total 50 subjek penelitian, dengan analisa uji Kappa didapatkan tingkat kesesuaian yang baik (R = 0,592) antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskeletal, dan tidak ada perbedaan hasil yang signifikan diantara kedua metode tersebut(p = 0,754). Selain itu didapatkan sensitivitas nilai ADC (81%) hampir menyerupai kontras gadolinium (90,5%), dan spesifisitas ADC (60%) lebih rendah dibandingkan kontras gadolinium (90%) pada 31 subjek yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Kesimpulan: Terdapat tingkat kesesuaian yang baik antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskeletal, sehingga nilai ADC dapat menjadi informasi tambahan dan modalitas alternatif, terutama pada pasien dengan keterbatasan penggunaan kontras gadolinium. ...... Background and purpose: Malignancy is closely linked with the state of hiperselularity and hypervascularization tissues. Magnetic resonance imaging diffusion weighted imaging-apparent diffusion coefficient (ADC DWI-MRI) is biomarker cancer imaging. Knowing the suitability ADC and gadolinium can become an additional information and an alternative method in predicting malignancy musculoskeletal lesions. Methods: A prospective cross-sectional study design with 50 patients with diagnostic primary extremity muscosceletal lesions who underwent an MRI examination extremity musculoskeletal region using DWI-ADC sequences and gadolinium at RSUPN-CM in October 2015 - February 2016. The mean minimum ADC exercise is carried out and the accuracy based on histopatology examination cases is calculated. Results: From 50 subjects been examined with Kappa Test Analysis, it shows good fit result (R = 0.592) between ADC and gadolinium contrast in predicting malignancy musculoskeletal lesions and no significant difference between the two methods (p = 0.754). Also, it is shows that the sensitivity of ADC (81%) is close to gadolinium contrast (90.5%) and the specifity of ADC (60%)is lower than gadolinium contrast (90%) for the 31 subjects who underwent histopathological examination. Conclusions: Because of good suitability between ADC and gadolinium contrast in predicting malignancy musculoskeletal lesions, ADC could become an additional information and an altenaltive of modality especially to the patient with gadolimium contrast limitation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>