Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chrispinus Boro Tokan
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951, maka timbul anggapan seolah-olah hukum adat< idelik tidak mempunyai tempat lagi dalam dinamika hukum pidana positif di Indonesia. Namun kalau diteliti pasal 5 ayat (b) UU tersebut, maka sebenarnya hanya dihapus hukum formil (beracara) adat. Dalam arti hukum adat delik materiil masih tetap berlaku. Asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana positif di Indonesia, secara serta merta menumbuhkan sikap apriori para penegak hukum, bahwa dengan demikian hukum delik adat tidak diterapkan lagi. Tentunya hal ini bertentangan dengan dinamika beberapa peraturan perundang-undang an yang menunjukkan esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia. Esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia, paling tidak mematahkan kekakuan dinamika hukum pidana positif yang menganut asas legalitas. Walaupun dalam imple - mentasinya, hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya. Menggembirakan bahwa dalam kandungan konsep Kitab Undang- undang Hukum Pidana Nasional 1982/1983 tetap memberikan peluang keberadaan hukum delik adat di Indonesia , seperti dalam pasal 1 ayat (4), pasal 57 ayat (3) butir 5. Dalam menyonsong peluang keberadaan hukum delik adat yang tetap dijamin dalam era implementasi hukum pidana nasional di masa mendatang, maka pada tempatnya dikemukakan pertanyaan : apakah setiap reaksi masyarakat terhadap delik adat dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman? Tentunya tidak secara serta-merta setiap reaksi masyarakat terhadap delik adat diterima untuk melengkapisuatu penghukuman. Melainkan harus melalui filter penyaring, yakni Pancasila dan UUD 1945. Selain itu dalam batang tubuh konsep KUHP nasional masih dapat diangkat Tujuan Pemidanaan (pasal 43) sebagai alat ukur untuk mempertanyakan apakah reaksi masyarakat terhadap delik adat dapat dijadikan pelengkap penghukuman. Dengan demikian tidak semua reaksi adat dapat diterima sebagai pelengkap penghukuman, namun harus dikaji dan disaring terlebih dahulu. Di sini dituntut kepekaan para penegak hukum dalam menjiwai hukum delik adat suatu masyarakat. oleh karena itu tidak terelakkan tuntutan akan suatu pengetahuan hukum adat yang memadai serta penjiwaan yang mendalam dari para penegak hukum mengenai hukum adat, tidaklah dapat ditawar-tawar di era implementasi KUHP nasional kelak. Dalam konteks di atas, maka penegak hukum jangan hanya jadi corong atau mulut undang-undang belaka. Sebab kalau penegak hukum memposisikan diri hanya sebagai trompet dari UU, maka akibat hasil kerjanya tidak luput dari kekecewaan pencari keadilan. Pencari keadilan merasakan bahwa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak mendapatkan sahutan dari para penegak hukum dalam setiap tahapan proses kerjanya. Proses kerja para penegak hukum ini, berangkat dari suatu sistem kerja yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP); SPP memperkenalkan dua model kerja, yakni 'crime control model' dan 1due process model' ( CCM dan DPM) . CCM, antara lain menghindari adanya 'second opinion' (pendapat kedua), sehingga penegak hukum yang memposisikan diri sebagai mulut undang-undang belaka, secara apriori menutup diri terhadap dinamika hukum sosiologis yang tidak atau secara kabur-kabur diatur dalam perundang - undangan. Sedangkan DPM antar lain mengandalkan chek and re-chek, sehingga menjadi suatu keharusan hadirnya 'second opinion'. Hadirnya second opinion memberikan peluang pemerhatian akan rasa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam nurani masyarakat. Dalam arti peluang hukum delik adat sebagai hukum tidak tertulis tetap ada dalam proses kerja SPP yang menggunakan model DPM. Dalam konsep KUHP nasional mengenai ‘penghukuman'dikenal 'double track system' (sistem dua jalur); yaitu 'straf' (pidana) dan 'maatregel' (tindakan). Benang merah yang membedakan straf dan maatregel, ada lah pada orientasi penghukumannya. Straf bermaksud menderitakan setiap pelaku kejahatan karena berangkat dari 1backwardlooking', yakni hanya melihat perbuatan pelaku itu saja (berorientasi ke belakang), sehingga pelaku kejahatan dihukum setimpal dengan besarnya kesalahan. Sedangkan maatregel tidak bermaksud menderitakan pelaku melainkan mendidik (edukatif), yakni bertolak dari 'forwardlooking', yang mempertimbangkan manfaat dan kegunaan sanksi itu bagi masa depan setiap pelaku kejahatan. Menjadi pertanyaan sekarang, reaksi adat dimasukkan ke dalam straf atau maatregel? Hemat penulis reaksi adat digolongkan ke dalam maatregel, karena reaksi adat itu sebenarnya tidak bermaksud menderitakan pelaku tetapi merupakan suatu upaya pemulihan kembali hubungan masing - masing pihak, pengharmonisan kembali suasana masyarakat yang tegang (kacau) karena adanya pelanggaran adat. Dengan demikian reaksi masyarakat itu dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman, apabila reaksi masyarakat adat itu bersikap mendidik, bukan menderitakan. Dengan perkataan lain reaksi masyarakat adat itu harus merupakan konkritisasi sahutan pl.aham 'utilitarian model', yang menekankan adanya kegunaan yang maksimal dari penghukuman bagi masa depan si pelanggar. Oleh karena itu reaksi masyarakat adat yang bermaksud menderitakan, menyalahi norma sosial, bersifat pemborosan, tidak diandalkan sebagai suatu bentuk penghukuman.***
1990
T36489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narullah DT Perpatih Nan Tuo
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertolak dari masalah dengan latar belakang Penanganan Delik Adat melalui perundangundangan. Masalah yang dicarikan Jawabannya melalui penelitier. adalah (1) Jenis-Jenis delik adat manakah yang masih dipertahankan di Minangkabau dewasa ini. (2) Untuk menangani delik adat yang dicantuumkan dalam Undang- Undang nan delapan, masih dipergunakan Undang-undang nan dua belas? (3) Apakah semenjak diberlakukannys. WvSNI, penguasa adat tidak lagi memberlakukan delik adat? (4) Dapatkah dipertautkan antara delik adai dengan peraturan perundangan? Dalam rangka mencarikan Jawaban atas permasalahan tersebut di atas telah dilakukan penelitian di daerah Sumaterra barat. Responden dalam penelitian ini adalah : Penguasa Adat ( Ninik Mamak ), Hakim-Hakim Pengadilan negeri Di Sumatera barat, Pengacara Jaksa Penuntut Umum dan dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas padang. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Data diedit, diolah dan dikelompokkan ke dalam komponen sesuai dengan pedoman wawancara- Penafsiran dilakukan dengan menghubungkan hasil penelitian dengan teori atau pendapat para pakar seperti G.Van der Leew, ter haar, R. Soepomo, Hazairin dan lain-lain. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan (1) Penangan delik adat melalui peraturan perundangan di Sumatera Barat merupakan salah satu cara yangh mungkin dapat ditempuh untuk mengisi ruang kosong yang ditemui dalam WvS yang masih berlaku. (2) Kehidupan kekerabatan masyarakat Minangkabau yang hidup daerah pedesaan, masih kokoh dan masih teguh mempertahankan adat istiadat.(3) Budaya malu adalah alat yang paling ampuh u tuk menangkal anggota masyarakat melakukan perbuatan yang tidak terpuji.(4) Pertautan cara berpikir berpartisipasi dan cara berpikir kritis, masih sulit dilaksanakan, karena cara berpikir berpartisipasi telah berurat berakat dalam kehidupan masyarakat.
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeparman
Abstrak :
ABSTRAK
Pembaharuan undang-undang perpajakan yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara yang tercantum di dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah terujud dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ten-tang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Tujuan utama pembaharuan perpajakan menurut Menteri Keuangan dalam penjelasannya mengenai ketiga Rencana Undang-Undang itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk lebih menegakkan kemandirian bangsa Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan segenap potensi dan kemampuan diri dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak dan gas alam.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library