Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Frans Martin
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peraturan yang mengatur kontrak pemain sepakbola dibawah umur di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif, yaitu dengan memperhatikan perjanjian yang dibuat pihak klub dengan pemain, pengaturan yang mengatur mengenai kontrak pemain sepakbola professional, dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrak yang dibuat oleh pihak klub dengan pemain tidak hanya memperhatikan Lex Sportiva saja namun harus tetap memperhatikan UU Ketenagakerjaan. Khususnya mengenai kontrak pemain sepakbola dibawah umur juga harus memenuhi syarat-syarat dalam UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Apabila klub tidak memenuhi syarat-syarat dalam pasal 71 ayat 2 UU Ketenagakerjaan maka akan dikenakan sanksi pidana. Sedangkan apabila klub melanggar ketentuan dalam pasal 6 Keputusan Menteri tersebut maka akibat terhadap kontrak pemain tersebut adalah batal demi hukum. Untuk mengatasi permasalahan ini sebaiknya sebelum menandatangani kontrak, pihak pemain berkonsultasi dahulu dengan bagian hukum Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional di Indonesia.

This research is conducted to further obtain the regulation regulate underage fooball player contract in Indonesia. This research is conducted with normative juridical method, namely taking into account the agreement beetween the club and the player, and the regulation regulate Professional football player rsquo s contract, and the laws of Indonesia. The results of this research indicate the agreement beetween the club and the player not only obey the Lex Sportiva but must obey the National labour law too. Especially Underage football player contract, must obey the National labour law and Ministerial decree about protection for children who works to develop their talents and interest. If the club violate the requirements in Article 71 2 will be sanctioned. And then if the club violate Articel 6 the Ministerial Decree, the contract must be null. The solution is before professional football player sign the contract, the player must be consultate with Indonesia rsquo s professional football player organzation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66809
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Raquela Raya
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian keterangan anak di bawah umur untuk dijadikan Saksi dalam tindak pidana pencabulan. Mengenai keterangan anak di bawah umur sebagaimana diatur dalam peraturan Pasal 171 KUHAP dikatakan bahwa anak di bawah 15 (lima belas) tahun tidak berkompeten untuk dijadikan Saksi, dikarenakan anak yang memberikan keterangan tidak berada di bawah sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk guna menambah keyakinan Hakim jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lain. Namun, jika keterangan anak hanya dijadikan alat bukti petunjuk, tidak dapat pula dikatakan sebagai alat bukti yang sah, karena tidak disumpah. Sedangkan pada kasus tindak pidana pencabulan, banyak ditemukan anak menjadi Saksi dan/atau Korban sebagai alat bukti satu-satunya. Oleh sebab itu, pada skripsi ini akan membahas yaitu, kekuatan pembuktian Anak Saksi dalam tindak pidana pencabulan, yang memenuhi kriteria fit to stand a trial, perbaikan yang perlu dilakukan dalam rangka melindungi anak sebagai Saksi tindak pidana pencabulan dan RUU KUHAP dapat mengakomodasi hal tersebut. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, di mana data penulisan ini berasal dari studi kepustakaan, wawancara Ahli dan Undang-Undang terkait. Hasil penulisan ini mengarahkan untuk dilakukan perbaikan pengaturan hukum di Indonesia yaitu anak di bawah umur yang akan dijadikan saksi tindak pidana pencabulan harus memenuhi batasan minimal umur dan melewati pemeriksaan kompetensi sesuai prinsip fit to stand a trial. Dan dalam rangka melindungi hak anak sebagai Saksi, anak wajib didampingi oleh Ahli Psikiatri Forensik sebelum persidangan, persidangan dan setelah persidangan.

This thesis discusses the strength of proof of the testimony of minors to be used as witnesses in criminal acts of obscenity. Regarding the testimony of minors as stipulated in Article 171 of the Criminal Procedure Code, it is said that children under 15 (fifteen) years are not competent to be made witnesses, because children who give statements are not under oath and their statements are only used as a guide to add to their conviction. Judge if supported by other valid evidence. However, if the child's statement is only used as evidence, it cannot also be said to be valid evidence, because it is not sworn in. Meanwhile, in cases of criminal acts of sexual abuse, many children were found to be witnesses and/or victims as the only evidence. Therefore, this thesis will discuss, namely, the strength of proof of Child Witnesses in criminal acts of obscenity, which meet the fit to stand a trial criteria, improvements that need to be made in order to protect Children as Witnesses in criminal acts of obscenity and the Criminal Procedure Code Bill can accommodate this. This writing uses a juridical-normative method, where the data for this writing comes from literature studies, expert interviews and related laws. The results of this writing direct the improvement of legal regulations in Indonesia, namely that minors who will be used as witnesses to criminal acts of obscenity must meet the minimum age limit and pass a competency examination according to the principle of fit to stand a trial. And in order to protect the rights of children as witnesses, children must be accompanied by a forensic psychiatrist before the trial, the trial and after the trial."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Chrestella
"Salah satu upaya mengatasi permasalahan overcapacity lapas adalah dengan mengusahakan rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika. Dalam rangka mengoptimalkan pemberian rehabilitasi, melalui Peraturan Bersama Rehabilitasi 2014 dibentuklah Tim Asesmen Terpadu yang bertugas melakukan asesmen medis dan hukum terhadap pelaku, lalu memberikan rekomendasi rehabilitasi bagi pelaku. Namun, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU No. 35/2009) tidak mengatur kewajiban asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu sebagai syarat pemberian rehabilitasi. Selain itu, tidak terdapat pengaturan secara jelas mengenai kekuatan pembuktian hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Melalui penulisan ini, akan diteliti mengenai bagaimana kedudukan Tim Asesmen Terpadu dalam UU No. 35/2009 serta kekuatan pembuktian hasil asesmennya dan pengaruhnya terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Metode penelitian ini berbentuk yuridis-normatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder, yakni melalui wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tim Asesmen Terpadu tidak memiliki kedudukan dalam UU No. 35/2009 karena pembentukannya yang hanya didasarkan pada Peraturan Bersama yang bukan termasuk sebagai peraturan perundangundangan sehingga membuat kedudukan Tim Asesmen Terpadu lemah dalam proses penegakkan hukum. Kemudian, hasil asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dapat digunakan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli, tetapi kekuatan hasil asesmen tersebut tidak mengikat hakim dalam mengambil putusan.

One of the efforts to overcome the problem of prison overcapacity is to provide rehabilitation for drug abuse offenders. In order to optimize the provision of rehabilitation, through the 2014 Joint Regulation on Rehabilitation, an Integrated Assessment Team was formed to conduct medical and legal assessments of offenders, and provide recommendations for rehabilitation for offenders. However, Law No. 35/2009 on Narcotics (Law No. 35/2009) does not regulate the obligation of assessment by the Integrated Assessment Team as a condition for providing rehabilitation. In addition, there is no clear regulation regarding the evidentiary power of the Integrated Assessment Team's assessment results. This paper will examine the position of the Integrated Assessment Team in Law No. 35/2009 as well as the evidentiary power of the assessment results and their influence on the judge's consideration in making a decision. This research method is juridical-normative by using primary data and secondary data, namely through interviews and literature studies. The results of this study indicate that the Integrated Assessment Team has no position in Law No. 35/2009 because its formation is only based on a Joint Regulation which is not included as a statutory regulation, making the Integrated Assessment Team's position weak in the law enforcement process. Then, the results of the assessment conducted by the Integrated Assessment Team can be used as documentary evidence or expert testimony, but the strength of the assessment results does not bind the judge in making a decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafliansah Aziz
"Dalam praktik publikasi putusan di Indonesia, masih terdapat penyimpangan dalam praktik publikasi putusan perkara pidana anak yang persidangannya tertutup untuk umum, di mana terdapat putusan yang dipublikasikan di situs Direktori Putusan Mahkamah Agung tanpa pengaburan identitas. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif untuk menelaah perbandingan sistem publikasi putusan di Indonesia dengan Belanda dan Estonia, praktik publikasi putusan perkara pidana anak yang persidangannya tertutup untuk umum di Indonesia ditinjau dari perlindungan terhadap hak anak dalam sistem peradilan pidana anak, serta upaya untuk mengembalikan perlindungan hukum terhadap penyimpangan praktik publikasi putusan perkara pidana anak. Penelitian ini menemukan bahwa jika dibandingkan dengan Belanda dan Estonia, Indonesia memiliki kelemahan dalam sistem publikasi putusan berupa ketidakselarasan dalam kerangka hukum publikasi putusan. Kelemahan tersebut berperan dalam mengakibatkan terjadinya penyimpangan praktik publikasi putusan perkara pidana anak yang melanggar hak atas privasi anak dalam sistem peradilan pidana dan mencederai esensi persidangan tertutup untuk umum. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan mekanisme hukum untuk menangani masalah ini, masih terdapat mekanisme lain yang dapat ditempuh, yakni mengajukan permohonan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi atau dengan mekanisme administrasi pemerintahan, yakni gugatan terhadap Tindakan Administrasi Pemerintahan atau onrechmatige overheidsdaad.

In the publication of court decisions in Indonesia, there are irregularities in publication of decisions involving juveniles, where decisions are published on the Supreme Court's Directory of Decisions website without obscuring the identity of juveniles. This study uses juridical-normative method to examine comparisons of the publication of decisions system in Indonesia with the Netherlands and Estonia, the practice of publication of decisions on juvenile criminal cases conducted in closed trials in Indonesia in terms of the protection of children's rights in the juvenile justice system, and efforts to restore legal protection against irregularities in publication of decisions on juvenile criminal cases. This study found that when compared to the Netherlands and Estonia, Indonesia has a disharmony in the legal framework for publication of decisions. The disharmony plays a role in causing irregularities in the publication of juvenile criminal case decisions that violate the juvenile’s right to privacy and the essence of closed trials. Although the Indonesian Criminal Code of Procedure does not provide a legal mechanism to deal with this problem, there are still other mechanisms, namely by submitting a request to the Information and Documentation Management Officer or with a government administration mechanism, namely lawsuits on Government Administrative Actions or onrechmatige overheidsdaad."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Putra Sabila
"Hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil harus dipenuhi dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia sehingga aparat penegak hukum tidak boleh melanggar hak siapapun dalam menjalankan kewenangannya. Salah satu metode yang melanggar hak seseorang adalah metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi. Metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki ketentuan dalam ketentuan khusus tindak pidana korupsi dan metode tersebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sehingga pertimbangan seorang hakim diharapkan dapat menilai metode tersebut dengan cermat. Metode penjebakan ditemui dalam putusan Nomor 03/PID.B /TPK/2005/PN. JKT.PST dan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg disertai dengan pertimbangan hakim yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan menganalisis mengenai pertimbangan hakim pada kedua kasus tersebut terhadap pelaksanaan metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi.

The right to obtain fair legal certainty must be ensured in the enforcement of law so the officials must not violate anyone's rights in carrying out their authority. One method that violates an individual's rights is the entrapment method in corruption offenses. The entrapment method in corruption offenses is unregulated for specific provisions of corruption offenses, and this method violates the rules stipulated in Article 28D of the UUD RI 1945, thus requiring a judge's careful assessment of such a method. The entrapment method found in the verdict with Case Number 03/PID.B/TPK/2005/PN. JKT.PST and Case Number 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg, accompanied by different considerations from the judges. Based on these issues, this paper will analyze the judges' considerations regarding implementation of entrapment method in corruption offenses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Satria Ilham Nugroho
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai eksekusi restitusi dan kaitannya dengan prinsip restitutio in integrum. Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal, analisis kasus, dan komparasi. Prinsip restitutio in integrum merupakan pengembalian keadaan seperti semula sebelum terjadinya tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah terkait akibat hukum bagi terpidana yang tidak bersedia membayar restitusi dan kesesuaian eksekusi restitusi dengan prinsip restitutio in integrum. Restitusi di Indonesia diberlakukan, baik untuk tindak pidana umum, maupun tindak pidana khusus. Restitusi dalam tindak pidana umum diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, sementara tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang masing-masing memiliki peraturan pelaksanaannya kecuali Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual. Restitusi merupakan salah satu hak korban untuk mendapatkan ganti rugi agar bisa memulihkan keadaan korban seperti sebelum terjadinya tindak pidana sesuai dengan prinsip restitutio in integrum. Oleh karena itu, dari awal proses peradilan hingga eksekusi, ketentuan terkait restitusi harus bisa mencerminkan prinsip restitutio in integrum.

This research was conducted with the aim of providing an understanding and explanation regarding the execution of restitution and its relationship to the principle of restitutio in integrum. This paper uses doctrinal research methods, case analysis, and comparison. The principle of restitutio in integrum is the return to the situation as it was before the crime occurred. The problems discussed in this research are related to the legal consequences for convicts who are unwilling to pay restitution and the suitability of the execution of restitution with the principle of restitutio in integrum. Restitution in Indonesia is applied to both general criminal offenses and specific criminal offenses. Restitution in general criminal offenses is regulated in the Law on Witness and Victim Protection, while specific criminal offenses are governed by the Law on the Eradication of Trafficking in Persons, the Law on Human Rights Courts, the Law on the Eradication of Terrorism, the Law on the Juvenile Justice System, and the Law on Sexual Violence Crimes, each of which has its own implementing regulations except for the Law on Sexual Violence Crimes. Restitution is one of the rights of victims to receive compensation in order to restore the victim's situation to what it was before the commission of the crime, in accordance with the principle of restitutio in integrum. Therefore, from the beginning of the legal process to execution, provisions related to restitution must reflect the restitutio in integrum principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqilah Ravel Muslim
"Skripsi ini akan membahas mengenai prinsip check and balances dalam penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan mengaitkan kepada Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Skripsi ini akan menjawab dua pertanyaan penelitian mengenai bagaimana peran penuntut umum dalam penyidikan setelah diberikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bila ditinjau dengan prinsip check and balances, sehingga dapat menjawab pertanyaan mengenai apakah dibutuhkan keterlibatan aktif penuntut umum pada penyidikan. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Skripsi ini akan menganalisis kasus yang timbul akibat kesalahan penerapan hukum oleh penyidik pada tahap penyidikan yang seharusnya dapat diatasi apabila terdapat penerapan prinsip check and balances yang baik antara penuntut umum dan penyidik. Penuntut umum sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan penuntutan, memiliki kewajiban untuk berkoordinasi dengan penyidik dengan tujuan untuk menyiapkan seluruh data dan fakta yang diperlukan untuk kepentingan penuntutan. Koordinasi tersebut direalisasikan dengan peran penuntut umum untuk melakukan prapenuntutan setelah diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dari penyidik. Setelah dilakukan analisis, diketahui bahwa keterlibatan aktif penuntut umum dapat mencegah adanya kesalahan penerapan hukum dalam tahap penyidikan. Seringkali penyidik tidak memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sehingga menyulitkan penuntut umum untuk memulai proses penuntutan. Dengan terdapat kekurangan maupun permasalahan dalam penerapan check and balances antara penuntut umum dan penyidik dapat berakibat pada tahapan penyidikan yang tidak sempurna sehingga dapat merugikan hak seseorang yang tidak bersalah.

This thesis will discuss the principles of checks and balances in the issuance of Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) by linking it to the Integrated Criminal Justice System. The thesis will address two research questions regarding the role of public prosecutors in the investigation after the issuance of Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) when viewed through the principles of checks and balances. This aims to answer the question of whether active involvement of public prosecutors in the investigation is necessary. The thesis is conducted using a doctrinal research method. It will analyze cases that arise due to legal application errors by investigators during the investigative stage, which should be overcome if there is a good application of the principles of checks and balances between public prosecutors and investigators. Public prosecutors, as the authorized party for prosecution, have the obligation to coordinate with investigators to prepare all necessary data and facts for the purpose of prosecution. This coordination is realized through the role of public prosecutors in conducting pre-prosecution after receiving Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan from the investigators. After the analysis, it is found that active involvement of public prosecutors can prevent legal application errors during the investigative stage. Often, investigators do not provide Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), making it difficult for public prosecutors to initiate the prosecution process. The deficiencies and issues in the application of checks and balances between public prosecutors and investigators can result in an imperfect investigative stage, thus harming the rights of innocent individuals."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernanda Akbar Budiman
"Berkaitan eratnya kepemilikan tanah dengan fungsi sosial atas tanah, mengandung arti pemegang hak atas tanah memiliki kewajiban untuk menggunakan maupun memanfaatkan tanahnya dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. Seperti kejadian yang terjadi pada Kabupaten Langsa di Aceh diketahui PTPN I karena berdasarkan pertimbangan Hakim, ganti rugi yang diberikan kepada PTPN I sudah adil dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana ketentuan dan prosedur yang berlaku untuk Lembaga Penilai Publik mengenai pemberian ganti rugi pada pengadaan tanah guna kepentingan umum sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1551 K/Pdt/2021 dan Bagaimana perhitungan ganti kerugian pada pengadaan tanah sesuai studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1551 K/Pdt/2021 ditinjau dari metode penilaian yang digunakan sesuai standar yang berlaku di Indonesia.  Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Cara memperoleh data sekunder dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan alat memperoleh data berupa studi dokumen. Metode pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Analisis data menggunakan metode kualitatif, disajikan secara deskriptif analitis, dan metode penarikan kesimpulan dilakukan secara induksi. Dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwasanya Peraturan perundangan besarta peraturan pelaksanaanya di Indonesia yang menjadi dasar pengadaan tanah mengalami beberapa kali perubahan serta Prinsip pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar kemanfaatanya dirasakan oleh seluruh rakyat harus memenuhi sebagaimana ketentuan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Dalam penerapan penilaian Ganti Kerugian nilai fisik, Penilai melakukan penilaian berbasis nilai pasar. Disini, Penilai memiliki beberapa alternatif pendekatan dalam menghitung nilai tanah. Di antaranya, pendekatan pasar (market approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan biaya (cost approach), dan metode atau teknik penilaian tanah lain yang sesuai.

The close relationship between land ownership and the social function of land implies that landowners have an obligation to use and utilize their land while considering public interests. An example of this is the situation in Langsa Regency, Aceh, where PTPN I (state-owned plantation company) received fair and lawful compensation based on the judge's considerations. The research problem formulation in this study is twofold: firstly, what are the provisions and procedures applicable to Public Appraisal Institutions regarding compensation for land acquisition for public purposes according to the Supreme Court Decision Number 1551 K/Pdt/2021? Secondly, how is the calculation of losses in land acquisition according to the case study of Supreme Court Decision Number 1551 K/Pdt/2021, considering the assessment methods used in accordance with prevailing standards in Indonesia? This study adopts a normative legal research approach. Secondary data is obtained through literature review and document studies. The problem-solving methods include legislative approach, case approach, and conceptual approach. The data analysis is qualitative, presented descriptively analytically, and conclusions are drawn through induction.The study concludes that the legislation and its implementing regulations in Indonesia, serving as the basis for land acquisition, have undergone several changes. The principles of land acquisition for development for public purposes, for the benefit of the entire population, must adhere to the latest regulations, particularly Law Number 2 of 2012. Regarding the application of the Compensation Assessment for physical value, the Appraiser conducts market-based assessments, considering various approaches such as market approach, income approach, cost approach, and other relevant land assessment methods or techniques."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozy Brilian Sodik
"Pada tahun 2019 telah dilakukan pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu poin substansial perubahan tersebut adalah berkaitan dengan dibentuknya suatu badan baru bernama Dewan Pengawas KPK. Pembentukan tersebut dilatarbelakangi pandangan yang menyatakan bahwa saat ini belum ada pengawasan maksimal pada KPK sehingga berpotensi besar melakukan kesewenang-wenangan. Tetapi ada hal yang dinilai kontroversial yakni Dewan Pengawas KPK dapat memiliki kewenangan untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Adapun metode yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Kewenangan Dewan Pengawas KPK yang menggantikan lembaga peradilan ini juga dinilai problematis, terlebih lagi tidak ada norma pengecualian dalam keadaan mendesak. Selain itu, eksistensi dari Dewan Pengawas KPK ini menimbulkan beberapa implikasi seperti halnya bertambahnya prosedural yang harus dijalani penyidik sebelum melakukan upaya paksa dan besar kemungkinan hilangnya bukti serta kebocoran data. Jika dibandingkan dengan institusi lainnya seperti Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pemberian izin upaya paksa kepada penyidiknya dilakukan oleh lembaga peradilan. Begitupun jika dibandingkan dengan upaya paksa penyidik di negara lain seperti Belanda dan ICAC di Hong Kong, pemberian izin upaya paksa sebagai bentuk pengawasan juga dilakukan oleh lembaga peradilan.

In 2019, the enactment of Law No. 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. One of the substantial points of this change is related to the formation of a new body called the Corruption Eradication Commission Supervisory Board (KPK Supervisory Board). This formation was motivated by the viewpoint that currently there is no maximum oversight of the KPK so that it has great potential to commit arbitrariness. However, there are things that are considered controversial, namely the KPK Supervisory Board can have the authority to grant or not permit wiretapping, searches and confiscation. The method used by the author in this thesis is a normative juridical method. The authority of the KPK Supervisory Board to replace this judicial institution is also considered problematic, moreover there is no exception norm in an urgent situation. In addition, the existence of the KPK Supervisory Board has several implications, such as additional procedures that investigators must undergo before making forced attempts and the possibility of loss of evidence and leakage of data. When compared with other institutions such as the National Narcotics Agency (BNN) and the National Counter-Terrorism Agency (BNPT), the judicial institutions give permission for forced attempts to investigator. Likewise, when compared with the forced efforts of investigators in other countries such as the Netherlands and the ICAC in Hong Kong, the granting of forced attempts as a form of supervision is also carried out by the judiciary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abni Nur Aini
"Penelitian ini menyoroti bagaimana konsep mekanisme Deferred Prosecution Agreement (Perjanjian Penangguhan Penuntutan) dapat menjadi suatu ius constituendum dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal untuk menjawab tiga permasalahan yakni pertama, bagaimana pengaturan dan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia saat ini, bagaimana keterkaitan mekanisme Deferred Prosecution Agreement terhadap kasus korupsi yang terjadi di PT Garuda Indonesia, serta menganalisis prospek pengaturan Deferred Prosecution Agreement dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagai suatu ius constituendum di Indonesia. Penelitian ini menganalisis bagaimana kelemahan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia dengan melihat praktik penanganan tindak pidana oleh korporasi yang dijalankan oleh negara Inggris, Amerika, dan Brazil melalui konsep Deferred Prosecution Agreement dalam konteks kasus korupsi di PT Garuda Indonesia yang memiliki relevansi nyata untuk menggambarkan urgensi dan tantangan mekanisme Deferred Prosecution Agreement di Indonesia. Berdasarkan analisa terhadap studi kasus korupsi di PT Garuda Indonesia, penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme Deferred Prosecution Agreement sejatinya adalah mekanisme yang berfokus pada permasalahan utama dari suatu tindak pidana oleh korporasi yakni adanya indikator ekonomis berupa kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi dan menjadi mekanisme yang efektif dari sudut pandang Teori Economic Analysis of Law dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi yang saat ini dilaksanakan di Indonesia.

This study highlights how the concept of the Deferred Prosecution Agreement (DPA) mechanism can become an ius constituendum in handling corporate corruption cases in Indonesia. This study is compiled using a doctrinal research method to answer three problems, first, how the current regulation and handling of corporate corruption cases in Indonesia, second, how the Deferred Prosecution Agreement mechanism relates to corruption cases that occurred at PT Garuda Indonesia, and analyzing the prospects for regulating the Deferred Prosecution Agreement in handling corporate corruption cases as an ius constituendum in Indonesia. This study analyzes the weaknesses in handling corporate corruption cases in Indonesia by looking at the practice of handling corporate criminal offenses carried out by the UK, the US, and Brazil through the Deferred Prosecution Agreement concept in the context of the corruption case at PT Garuda Indonesia, which has real relevance to illustrate the urgency and challenges of the Deferred Prosecution Agreement mechanism in Indonesia. Based on an analysis of the corruption case study at PT Garuda Indonesia, this study concludes that the Deferred Prosecution Agreement mechanism is a mechanism that focuses on the main problem of a corporate crime, namely the existence of economic indicators in the form of state financial losses caused by corruption and becomes an effective mechanism from the perspective of the Economic Analysis of Law Theory compared to the handling of corporate corruption cases that are currently being implemented in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>