Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayijati Khairina
"ABSTRACT
Latar belakang. Anak berusia 2 bulan - 2 tahun yang menderita infeksi saluran
kemih (ISK) dengan gejala demam perlu mendapat perhatian karena memiliki
risiko kerusakan ginjal, gejala klinis yang tidak spesifik pada traktus urinarius,
serta pengambilan sampel urin yang sulit. Urinalisis merupakan pemeriksaan
penunjang utama pada ISK karena cepat dan tersedia secara luas.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan menilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga
positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), pretest odds, rasio kemungkinan positif
(RKP), rasio kemungkinan negatif (RKN), post-test odds, dan post-test
probability dari masing-masing komponen urinalisis, yaitu nitrit, esterase leukosit
(EL), leukosituria, bakteriuria beserta gabungannya untuk memprediksi ISK pada
anak berusia 2 bulan hingga 2 tahun dengan gejala demam.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik yang dilakukan di RSCM, RSUD
Tangerang, RSUP Fatmawati, dan RSUD Budhi Asih pada anak berusia 2 bulan -
2 tahun. Kriteria inklusi meliputi pasien dengan kecurigaan ISK, yaitu demam
dengan suhu lebih dari, atau sama dengan 390C, demam lebih dari 2 hari, dan
tidak ditemukan penyebab lain (infeksi saluran pernapasan akut, otitis media akut,
infeksi sistem saraf pusat, dan campak), serta belum mendapat antibiotik dalam 1
minggu terakhir. Kriteria eksklusi meliputi pasien immunocompromise dan
kelainan anatomis pada traktus urinarius. Pengumpulan sampel urin untuk
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin menggunakan urine collector.
Hasil. Tujuh puluh lima anak ISK dengan gejala demam memenuhi kriteria
penelitian. Prevalens ISK pada penelitian ini adalah 33%. Hasil positif pada nitrit,
EL, leukosituria, bakteria, dan gabungannya memiliki nilai sensitivitas berturutturut
24%, 68%, 56%, 52%, dan 54%. Nilai spesifisitas nitrit, EL, leukosituria,
bakteria, dan gabungannya berturut-turut 94%, 80%, 86%, 90%, dan 95%. Nilai
NDP nitrit, EL, leukosituria, bakteria, dan gabungannya berturut-turut 66%, 63%,
66%, 72%, dan 75%. Nilai NDN nitrit, EL, leukosituria, bakteria, dan
gabungannya berturut-turut 71%, 83%, 79%, 79%, dan 88%. Nilai RKP nitrit, EL,
leukosituria, bakteria, dan gabungannya berturut-turut 4; 3,4; 4; 5,2; dan 10,3.
Nilai RKN nitrit, EL, leukosituria, bakteria, dan gabungannya berturut-turut 0,8;
0,4; 0,5; 0,5; 0,5; dan 0,5.
Simpulan. Hasil gabungan komponen urinalisis (nitrit, EL, leukosituria, dan
bakteriuria) dapat digunakan untuk menyingkirkan ISK karena mempunyai
spesifisitas dan NDN tinggi, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan kultur urin.

ABSTRACT
Background. Children aged 2 months to 2 years old with febrile urinary tract
infection (UTI) need special attention considering kidney complications,
unspecified symptoms, and difficult urine sample collection. Urinalysis was the
main supportive examination for UTI because of its immediate result and
widespread availability.
Objective. To estimate sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV),
negative predictive value (NPV), pretest odds, positive likelihood ratio (LR+),
negative likelihood ratio (LR-), post-test odds, and post-test probability on each
urinalysis component, which are nitrite, leukocyte esterase (LE), leukocyturia, and
bacteriuria, and also combination of all four components in predicting UTI among
children aged 2 months to 2 years old with febrile as the main manifestations.
Methods. This is a diagnostic study held in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Tangerang Hospital, Fatmawati Hospital, and Budhi Asih Hospital, involving
children aged 2 months to 2 years old. Inclusion criteria are fever with unknown
source (more than or 39⁰C), fever more than 2 days (without acute respiratory
infection, acute otitis media, central nervous system infection, or measles), and no
history of antimicrobial consumption in the past week. Exclusion criteria are
immunocompromised state and urinary tract abnormalities. Urine samples for
urinalysis and urine culture were collected using urine collector for all subjects.
Results. Seventy five children were participating in this study. We found 33%
prevalence of febrile UTI in this study. Sensitivity of nitrite, LE, bacteriuria,
leucocyturia, and all four components were 24%, 68%, 56%, 52%, and 54%. The
specificity of nitrite, LE, bacteriuria, leucocyturia, and all four components were
94%, 80%, 86%, 90%, and 95%. The PPV of nitrite, LE, bacteriuria, leucocyturia,
and all four components were 66%, 63%, 66%, 72%, and 75%. The NPV of
nitrite, LE, bacteriuria, leucocyturia, and all four components were 71%, 83%,
79%, 79%, and 88%. The LR+ of nitrite, LE, bacteriuria, leucocyturia, and all
four components were 4; 3,4; 4; 5,2; and 10,3. The LR- of nitrite, LE, bacteriuria,
leucocyturia, and all four components were 0,8; 0,4; 0,5; 0,5; and 0,5.
Summary. All four components of urinalysis (nitrite, LE, leucocyturia, and
bacteriuria) can be used to exclude UTI because of their high specificity and NPV,
so urinary culture is not needed."
Lengkap +
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Estetika
"Infeksi saluran kemih (ISK) pada anak memiliki manifestasi klinis yang tidak khas dan bervariasi sehingga sulit terdiagnosis secara dini. Biakan urin memerlukan waktu hingga lima hari sehingga dapat menyebabkan keterlambatan terapi serta tingginya komplikasi ISK pada anak. Kelainan urinalisis yang saat ini digunakan masih memiliki spesifisitas yang rendah. Penelitian ini merupakan studi diagnostik NGAL urin, kelainan urinalisis, dan kombinasi keduanya, khususnya pada anak usia 2–5 tahun. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada anak dengan tersangka ISK, yaitu anak dengan salah satu gejala ISK (demam lebih dari 380C, muntah, diare, sakit pinggang, atau gejala lokal saluran kemih) disertai kelainan urinalisis (leukosituria, dan/atau nitrit positif dan/atau leukosit esterase positif) yang berusia 2–5 tahun dan dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Uji diagnostik pemeriksaan NGAL urin, kelainan urinalisis, dan kombinasi keduanya dibandingkan dengan biakan urin sebagai baku emas. Kombinasi ketiga kelainan urinalisis berupa leukosituria, nitrit dan leukosit esterase positif memiliki sensitivitas 38,1% dan spesifisitas 94,9%. NGAL urin diketahui memiliki sensitivitas 85,7% (IK95%: 63,6–96,9%), spesifisitas 74,3% (IK 95%: 57,8–86,9%), positive predictive value 64,3% (IK95%: 50,6–75,9%), dan negative predictive value 90,6% (IK95%: 76,9–96,5%) pada anak dengan minimal satu kelainan urinalisis. Pemeriksaan NGAL urin hanya meningkatkan spesifisitas kelainan urinalisis berupa leukosituria saja dan tidak meningkatkan spesifisitas pada yang telah memiliki tiga kelainan urinalisis. NGAL urin tidak dianjurkan untuk meningkatkan spesifisitas urinalisis dalam diagnosis ISK pada anak usia 2–5 tahun. Gabungan tiga kelainan urinalisis tanpa NGAL urin sudah memiliki spesifisitas yang baik. Perlu dilakukan penelitian biomarker lain yang dapat mendiagnosis dini ISK dengan lebih baik.

Urinary tract infection (UTI) in children has unspecific clinical manifestations leading to difficulties in its early diagnosis. Using urine culture as the gold standard for diagnosing urinary tract infection may need five days to know and may lead to delayed treatment and high complication rates. Urinalysis abnormalities are used to diagnose UTI early but still have low specificity. This study evaluated the diagnostic value of using urinary NGAL, urinary abnormalities, and their combinations, especially in children aged 2–5 years old. This cross-sectional diagnostic study was conducted in children aged 2–5 years old who were suspected to have UTI (fever more than 380C, vomit, diarrhea, abdominal pain, flank pain, or local UTI symptoms with abnormalities in urinalysis including leukocyturia and/or positive nitrite and/or positive leukocyte esterase) who were hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The diagnostic test was performed to urinary NGAL, urinary abnormalities, and their combination compared with urine culture as the gold standard for UTI diagnosis. Combination of urinary abnormalities (leukocyturia, positive nitrite, and positive leukocyte esterase) can have sensitivity 38.1% and specificity 94.9%. Urinary NGAL has sensitivity 85.7% (IK 95%: 63.6–96.9%), specificity 74.3% (IK 95%: 57.8–86.9%), positive predictive value 64.3% (IK 95%: 50.6–75.9%), and negative predictive value 90.6% (IK 95%: 76.9–96.5%). Combination of urinary NGAL and urinary abnormality can only increase specificity urinalysis which only shows leukocyturia from 74.3% to 97.4% but not increase specificity of three urinary abnormalities. Urinary NGAL is not recommended to increase urinalysis specificity to make early diagnosis of UTI in children aged 2–5 years old. The three combination of urinalysis abnormalities without urinary NGAL have had a good specificity. Further research about other biomarkers to make early diagnosis of UTI in children is needed."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Mey Rina
" ABSTRAK
Latar belakang. Sepsis masih menjadi masalah di bidang neonatalogi sampai saat ini karena
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Kolestasis merupakan salah satu morbiditas
yang terjadi selama sepsis. Angka kematian dan lama perawatan di rumah sakit akan
meningkat pada sepsis neonatorum yang disertai kolestasis. Asam ursodeoksikolat (AUDK)
dilaporkan dapat memperbaiki luaran kolestasis pada dewasa dan anak. Penelitian mengenai
manfaat AUDK pada neonatus masih terbatas, sampai saat ini belum ada penelitian tentang
manfaat AUDK pada kolestasis terkait sepsis (KTS).
Tujuan. Mengetahui pengaruh AUDK terhadap penurunan parameter fungsi hati (bilirubin
total/direk/indirek, AST, ALT, GGT), angka kematian, dan lama rawat neonatus dengan
KTS.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan di Divisi
Neonatologi Departemen IKA FKUI-RSCM dari Januari - Oktober 2012. Neonatus yang
memenuhi kriteria inklusi dibagi secara random menjadi 2 kelompok (AUDK atau plasebo).
Asam ursodeoksikolat diberikan 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari. Parameter
fungsi hati di evaluasi setelah 7 hari pengobatan. Luaran utama adalah penurunan nilai
bilirubin total/direk/indirek, AST, ALT, dan GGT. Luaran tambahan adalah angka kematian
dan lama rawat. Analisis statistik untuk luaran utama dan lama rawat dilakukan dengan uji
t/uji Mann-Whitney. Perbedaan kematian di analisis dengan uji x2 dan perbedaan survival
dengan metode Kaplan Meier.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 37 subjek, 19 subjek pada kelompok AUDK dan 18 subjek
pada kelompok plasebo. Perbedaan perubahan parameter fungsi hati antara kelompok AUDK
dan kelompok plasebo tidak bermakna [bilirubin total (2,2 ± 2,9 vs 1,7 ± 4,6; p= 0,080),
bilirubin direk (1,1 ± 2,3 vs 0,6 ± 3,6; p= 0,080), bilirubin indirek [0,4 (0,1-5,6) vs 0,9 (0,1-
4,1); p= 0,358], ALT (0,5 [(-80,0) – (21,0)] vs -2,0 [(-167,0) – (85,0)]; p= 0,730), AST (43,0
(14,0-297,0) vs 150,0 (24,0-840,0); p= 0,081), and GGT (125,0 (48,0-481,0) vs 235,0 (56,0-
456,0); p= 0,108)], tetapi perubahan nilai bilirubin total, bilirubin direk, dan AST cenderung
lebih baik pada kelompok AUDK. Penurunan nilai bilirubin total terjadi pada 85,7% subjek
kelompok AUDK dan 64,3% pada kelompok plasebo. Nilai bilirubin direk menurun pada
78,6% subjek kelompok AUDK dan 64,3% subjek kelompok plasebo. Penurunan nilai AST
terdapat pada 57% subjek kelompok AUDK dengan penurunan terbesar 72 U/L, sedangkan
pada kelompok plasebo 57% subjek mengalami peningkatan nilai AST dengan peningkatan
tertinggi 473 U/L. Kematian terjadi pada 10,5% subjek di kelompok AUDK dan 27,7% di
kelompok plasebo (p=0,232). Dari analisis kesintasan tidak terdapat perbedaan survival
antara kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan rentang waktu lama rawat antara
kelompok AUDK (15-70) hari dan kelompok plasebo (10-88) hari (p=0,148).
Simpulan : Pemberian AUDK 30 mg/kg/hari selama 7 hari cenderung menurunkan nilai
bilirubin total, bilirubin direk, AST, serta angka kematian meskipun secara statistik tidak
terbukti bermakna. Hal ini masih mungkin disebabkan oleh power yang kurang pada
penelitian ini. Penelitian ulang perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
durasi pemberian AUDK yang lebih panjang.

<ABSTRACT
Background. Sepsis is still an important issue in Neonatology field since it is related with
high mortality and morbidity. Cholestasis is one of the morbidities that related with sepsis.
Mortality and length of hospital stay will be increased in neonatal sepsis that associated with
cholestasis. Efficacy of ursodeoxycholic acid (UDCA) in cholestasis has been reported from
adult and pediatric population, however there is no publication regarding the efficacy of this
drug in neonates with sepsis associated cholestasis.
Objectives. To investigate the role of UDCA in liver function parameter (total, direct,
indirect bilirubin, AST, ALT, GGT), mortality, and length of hospital stay in neonates with
sepsis associated cholestasis.
Methods. A randomized controlled trial were done in Neonatology Division, Pediatric
Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January to October 2012. Neonates that
fulfilled the inclusion criteria, randomized into UDCA group and placebo group. We gave
ursodeoxycholic acid 30 mg/kg BW/day which divided into 3 doses for 7 days. Liver
function test were done after 7 days treatment. Primary outcome are an improvement of liver
function parameter and the secondary outcome are mortality rate and length of hospital stay.
Statistical analysis with t test/ Mann-Whitney test was done for primary outcome and length
of hospital stay, x2 test for differences of mortality, and Kaplan Meier method for survival
analysis.
Result. There were 37 subject, 19 subject in UDCA group and 18 in placebo group. There
were no significant differences of liver function parameter between UDCA group and
placebo [total bilirubin (2.2 ± 2.9 vs 1.7 ± 4.6; p= 0.080), direct bilirubin (1.1 ± 2.3 vs 0.6 ±
.6; p= 0.080), indirect bilirubin [0.4 (0.1-5.6) vs 0.9 (0.1-4.1); p= 0.358], ALT (0.5 [(-80.0) –
(21.0)] vs -2.0 [(-167.0) – (85.0)]; p= 0.730), AST (43.0 (14.0-297.0) vs 150.0 (24.0-840.0);
p= 0.081), and GGT (125.0 (48.0-481.0) vs 235,0 (56.0-456.0); p= 0.108)]. Although that,
there were a better improvement of total bilirubin, direct bilirubin, and AST in UDCA group.
Decrease of total bilirubin and direct bilirubin level occurred in 85.7% and 78.6% in UDCA
group vs 64.3% and 64.3% in placebo group. For the AST level, there was an improvement
in 57% subject UDCA with the profound declining 72 U/L; conversely, deterioration
occurred in 57% subject placebo, with the maximal increment 473 U/L. Mortality occurred
in 10.5% subject in UDCA group and 27.7% placebo group (p=0.232). There were no
differences of survival from both groups. Length of hospital stay in UDCA and placebo
group were 15-70 days and 10-88 days (p=0.148).
Conclusion: UDCA treatment 30 mg/kgBW/day for 7 days tends to decrease the total
bilirubin, direct bilirubin, AST level, and mortality, although not statistically significant.
This could be happened due to the limitation of power in this study. Future studies with
larger subject and longer duration of UDCA treatment will be needed."
Lengkap +
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Surjadinata
"ABSTRACT
Latar Belakang. Sebagai klinisi, dokter diharapkan mampu menegakkan diagnosis etiologi keluhan BKB dengan cepat, tepat, hemat biaya dan tidak hanya bersifat simptomatik belaka. Sayangnya, hingga kini masih sedikit penelitian mengenai etiologi BKB pada anak, padahal setiap pusat pelayanan kesehatan memiliki data etiologi BKB yang berbeda-beda. Perbedaan etiologi ini disebabkan oleh perbedaan definisi yang dianut, batasan usia anak, serta karakteristik dan tingkat pusat pelayanan kesehatan yang menjadi tempat penelitian.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens keluhan utama BKB pada pasien anak dengan keluhan batuk, tiga etiologi tersering, waktu yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis etiologi BKB, profil klinis dan pemeriksaan penunjang pada pasien di unit rawat jalan Departemen IKA-RSCM dari bulan Juli 2007 sampai dengan Juli 2013.
Metode. Metode penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan melakukan penelusuran dan analisis data rekam medis pasien berusia 1-18 tahun (12-216 bulan) dengan keluhan utama batuk (ICD 10-R05.0).
Hasil. Prevalens BKB dari seluruh subjek dengan keluhan batuk adalah 437 subjek (87,6%), dengan median usia 54 bulan (12-220 bulan). Etiologi spesifik tersering adalah United airway diseases (46,9%), asma (31,7%) dan TB paru (15,4%). Riwayat penyakit dahulu dan keluarga dengan atopi, alergi dan asma membantu penegakan diagnosis. Dari 28 subjek yang tidak mendapat imunisasi BCG, 15 (53,6%) subjek didiagnosis TB paru dan 1 subjek TB milier. Sebanyak 362 (82,9%) subjek yang didiagnosis etiologi batuk pascainfeksi virus, rinitis alergi, asma dan TB paru telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya. Median waktu yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis etiologi BKB adalah 2,5 hari/pasien (0-8 hari/pasien) untuk diagnosis BKB nonspesifik batuk pasca infeksi virus dan diagnosis etiologi spesifik yaitu rinitis alergi adalah 3,7 hari/pasien (0-21hari/pasien), rinosinusitis 4,8 hari/pasien (2-21 hari/pasien), asma 2,5 hari/pasien (0-53 hari/pasien) dan TB paru 6,2 hari/pasien (3-60 hari/pasien). Pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan untuk penegakan diagnosis meliputi uji tuberkulin (84,7%), foto toraks (72,5%), spirometri (14%), dan foto polos sinus paranasal (26,8%).
Simpulan. Prevalens BKB mencapai 87,6% dengan etiologi tersering adalah penyakit saluran respiratorik atas, asma dan TB paru. Kata kunci. Batuk kronik berulang (BKB) pada anak,

ABSTRACT
Background. As clinician, a physician should be able to diagnose the etiology of chronic cough in children, therefore the therapy could be done promptly, precisely, cost-effectively, and not merely symptomatic. Unfortunately, publication on the etiology of chronic cough in children is limited up to now, and every health care centers may have different etiologic data. This differences might be caused by the gaps of chronic cough definition, the child's age restrictions, as well as the characteristics and the level of health care services.
Objective. To determine the prevalence of chronic cough in pediatric patients with chief complaints of cough, the three most common etiology, the duration of time to establish the etiology, clinical profiles and supportive investigation in outpatient pediatric unit at CMH from July 2007 to July 2013.
Method. A descriptive retrospective analysis was conducted from medical records of patients aged 1-18 years (12-216 months) with a chief complaint of cough (ICD-10 R05.0)
Result. Chronic cough prevalence of all subjects with complaints of cough was 87.6% (437 subjects), with a median age of 54 months (12-220 months). The most common specific etiology is upper respiratory tract disease (44.7%), asthma (31.7%%) and pulmonary tuberculosis (15.4%). Past medical history and family with atopy, allergy and asthma aid diagnosis. In 28 subjects who had never received BCG immunization, 15 (53.6%) subjects were diagnosed as pulmonary tuberculosis and 1 subject as miliary TB. Prior antibiotic treatment had been given in 362 (82.9%) subjects that were diagnosed as post viral cough, allergic rhinitis, asthma and pulmonary TB. Median duration of time to diagnose the etiology of nonspesific post viral cough was 2.5 days/patient (0-8 days/patient) and specific etiologic such as allergic rhinitis was 3.7 days/patient (0-21 days/patient), rhinosinusitis in 4.8 days/patient (2-21 days/patient), asthma in 2.5 days/patient (0-53 days/patient) and pulmonary TB in 6.2 days /patient (3 - 60 days/patient). Investigations that commonly done to established the diagnosis were tuberculin test (84.7%), chest Xray (72.5%), spirometer (14%), and plain radiography of paranasal sinuses (26.8%).
Conclusion. The prevalence of chronic cough from all subjects with complaints of cough in the outpatient pediatric unit at CMH is 87.6% with the most common etiologies are upper respiratory tract disease, asthma and pulmonary tuberculosis."
Lengkap +
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
"Latar belakang: Hiperglikemia dan AKI merupakan komorbiditas yang sering dijumpai pada anak sakit kritis. Keduanya berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hubungan antara hiperglikemia dan AKI pada anak sakit kritis belum banyak diketahui.
Tujuan: Diketahuinya perbedaan proporsi AKI pada kelompok anak sakit kritis dengan hiperglikemia dan nonhiperglikemia. Diketahuinya perbedaan rerata kadar gula darah admisi, kadar gula darah puncak, dan durasi hiperglikemia pada kelompok anak sakit kritis dengan AKI dan tanpa AKI.
Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada anak sakit kritis usia 1 bulan-18 tahun di ruang resusitasi IGD dan perawatan intensif anak RSCM selama bulan Agustus-Desember 2016. Pemeriksaan kadar gula darah, kreatinin serum, dan kadar NGAL urine dilakukan pada saat admisi. Pemantauan kadar gula darah dilakukan dengan interval 2 jam pada kelompok hiperglikemia. Seluruh subyek diikuti sampai keluar ruang perawatan intensif.
Hasil: Proporsi subyek anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia adalah 46,5 IK 95 36,8-56,2 . Proporsi subyek dengan hiperglikemia yang mengalami AKI menurut kriteria AKIN adalah 30,7 IK 95 21,8 ndash;39,6 , sedangkan proporsi subyek dengan hiperglikemia yang memiliki kadar NGAL urine >135 ng/mL adalah 21,8 IK 95 13,8 ndash;29,8 . Acute kidney injury menurut kriteria AKIN maupun kadar NGAL urine lebih banyak dijumpai pada subyek dengan hiperglikemia, namun perbedaan proporsi tersebut tidak bermakna secara statistik kriteria AKIN: RR 2,08; IK 95 0,93-4,67; P 0,072; NGAL urine >135 ng/mL: RR 1,34; IK 95 0,81-2,1; P 0,243 . Paparan hiperglikemia pada perawatan intensif dengan durasi ge;4 jam risiko AKI meningkat sebesar 2,38 kali IK 95 1,25 ndash;4,56.
Simpulan: Acute kidney injury banyak dijumpai pada anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia. Paparan hiperglikemia ge;4 jam pada perawatan intensif berkaitan dengan peningkatan risiko AKI pada anak sakit kritis.

Background Hyperglycemia and AKI are common in critically ill children. Both conditions are associated with increasing mortality and morbidity. The association of hyperglycemia and AKI in critically ill children is still not well understood.
Objective To evaluate the difference in proportion of AKI between critically ill children with and without hyperglycemia. To evaluate the mean difference of initial blood glucose, peak blood glucose, and the duration of hyperglycemia between critically ill children with and without AKI.
Method A prospective cohort study was conducted in critically ill children aged 1 month to 18 years at the emergency unit and the pediatric intensive care unit at Cipto Mangunkusumo Hospital between August December 2016. Blood glucose, creatinine serum, and urine NGAL was examined at admission. Blood glucose was monitored every 2 hours in hyperglycemic subjects. All of the subjects were followed until time of discharge from the intensive care unit.
Result Hyperglycemia in critically ill children was found in 46.5 subject 95 CI 36.8 56.2. Acute kidney injury based on the AKIN criteria was found in 30.7 hyperglycemic subjects 95 CI 21,8 ndash 39,6, and hyperglycemia with an increased urine NGAL level 135 ng mL was found in 21.8 subjects 95 CI 13.8 ndash 29.8. Acute kidney injury and an increased urine NGAL were more frequently found in subjects with hyperglycemia, however, the difference in the proportion was statistically insignificant AKIN criteria RR 2,08 95 CI 0,93 4,67 P 0,072 urine NGAL level 135 ng mL RR 1,34 95 CI 0,81 2,1 P 0,243 . The duration of hyperglycemia ge 4 hours at the intensive care unit increases the risk of AKI up to 2.38 times CI 95 1.25 ndash 4.56.
Conclusion Acute kidney injury are frequently seen in hyperglycemic critically ill children. A duration of hyperglycemia of ge 4 hours in intensive care unit is associated with an increased risk of AKI in critically ill children.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari Widuri
"ABSTRAK
Latar belakang: Anemia defisiensi besi ADB pada usia 9-12 bulan dapat berdampak pada kualitas hidup anak di masa depan. Asupan zat besi, pemacu dan penghambat absorpsi besi memengaruhi kadar besi tubuh. Penelitian mengenai status zat besi dan hubungannya dengan zat pemacu dan penghambat absoprsi dalam asupan diet pada bayi usia 9 ndash;12 bulan yang disertakan dengan analisis asupan diet belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengetahui prevalens gangguan status besi dan mengetahui hubungan status gizi dan kecukupan asupan besi harian terhadap kejadian defisiensi besi pada bayi usia 9-12 bulan. Metode: Studi potong lintang pada Juli 2017-Januari 2018 di Posyandu kecamatan Tanah Abang dan Jatinegara. Asupan zat besi, pemacu absorpsi besi dan penghambat absorpsi besi dinilai dengan metode food record dan diolah dengan program NutriSurvey . Subyek menjalani pengukuran antropometri dan pengambilan sampel darah darah perifer lengkap, LED, dan feritin serum . Data diolah dengan uji Pearson Chi Square dan kejadian gangguan status besi ditampilkan dalam prevalens. Hasil: Terdapat 82 subyek usia 9-12 bulan berpartisipasi dalam penelitian. Prevalens defisiensi besi sebesar 12,2 , dan ADB sebesar 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi [p=0,064; PR=2,1 0,193-1,178 ] dan status gizi kurang dengan gangguan status besi [p=0,444; PR=0,729 0,307-1,731 ]. Terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total p=0,002 , besi heme 0,017 , kalsium p=0,006 , dan seng p=0,042 antara kelompok defisiensi besi dan non-defisiensi besi.Simpulan: Prevalens defisiensi besi dan ADB pada bayi usia 9-12 bulan berturut-turut adalah 12,2 dan 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara status gizi dan kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi, namun terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total, besi heme, kalsium, dan seng antara kelompok defisiensi dan non-defisiensi besi pada populasi bayi usia 9-12 bulan.

ABSTRACT
Background Iron deficiency anemia IDA in 9 12 month old babies could affect their quality of life. Intake of iron containing food, enhancer and inhibitor of iron absorption affects iron body level. Study about iron profile and its correlation with enhancers and inhibitors of iron absorption in baby rsquo s daily dietary intake whose analyzed by food record method is still infrequent in Indonesia. Aim To measure the prevalence of iron deficiency and IDA and to know the correlation of nutritional status and adequacy of daily iron intake with iron deficiency status in 9 12 month old babies. Methods A cross sectional study was conducted on July 2017 January 2018 in Posyandu in Tanah Abang and Jatinegara district. Dietary iron intake, enhancer and inhibitor were obtained using a 3 day food record method and analyzed with NutriSurvey program. Subjects underwent anthropometry measurement. Complete blood count, ESR, and ferritin serum were also examined. Results A total of 82 babies aged 9 12 months were studied. Prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake p 0,064 and undernourished condition p 0,444 with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron p 0,002 , heme iron p 0,017 , calcium p 0,006 , and zinc p 0,042 daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group.Conclusion The prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake nor undernourished condition with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron, heme iron, calcium, and zinc daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group in 9 12 month old babies."
Lengkap +
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Faisha
"

Pemakaian antibiotik yang tidak tepat pada penyakit infeksi akan menyebabkan resistensi bakteri dan akan memperburuk kondisi pasien. Sejumlah faktor yang memengaruhi, pola bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik dapat memengaruhi luaran perlu di nilai kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil sensitivitas bakteri, penggunaan antibiotik dan faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi anak. Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif serta studi deskriptif terhadap 254 pasien di RSCM pada Januari-Desember 2018. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik dan penggunaan antibiotik didata serta faktor yang memengaruhi dianalisis menggunakan uji multivariat regresi logistik. Bakteri terbanyak adalah gram negatif 57,1% diikuti gram positif 42,8%. Hampir semua golongan bakteri sensitif dengan ampisilin sulbaktam (87,5-100%). Amoksiklav, tigesiklin dan vankomisin sensitif dengan bakteri gram positif (100%). Amikasin dan meropenem sensitif dengan bakteri gram negatif (80-100%). Faktor yang memengaruhi peningkatan mortalitas adalah usia > 5 tahun (OR 2,482; IK95% 1,139-5,408), penggunaan selang nasogastrik (OR 2,516; IK95% 1,083-5,847), antibiotik yang tidak sesuai (OR 2,159; IK95% 1,034-4,508), serta fokus infeksi pada aliran darah (OR 5,021; IK95% 2,411-10,459).


Inappropriate use of antibiotics in infectious diseases will lead to anti-microbial resistance and disease's complication. Among several contributing factors to disease outcome, anti-microbial pattern and antibiotics use need to be re-evaluated. This study aims to determine anti-microbial sensitivity profile, antibiotics use and factors affecting mortality in pediatric infection cases. Retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 254 patients included for study analysis.  Data were obtained from medical records and electronic health records from January-December 2018. Patient’s medical history, anti-microbial pattern and sensitivity as well as antibiotic use were recorded and analyzed using a multivariate logistic regression test. The most common bacteria were gram negative bacteria (57.1%) followed by gram positive bacteria (42.8%). Majority of bacteria were sensitive with ampicillin sulbactam (87.5-100%). Antibiotics such as amoxicillin-clavulanic acid, tigecycline and vancomycin are sensitive to gram-positive bacteria (100%) while amikacin and meropenem are sensitive to gram-negative bacteria (80-100%). Factors  influencing  mortality were age > 5 years (OR 2.482; 95%CI 1.139-5,408), use of nasogastric tubes (OR 2.516; 95%CI 1.083-5.847), inappropriate antibiotics choice (OR 2.159; 95%CI 1.034-4.508), and presence of bloodstream infection (OR 5.021; 95%CI 2.411-10.459).

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Karina Hartanto
"Latar belakang: Malnutrisi merupakan kondisi yang sering terjadi pada populasi pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Malnutrisi pada anak dengan PGK menjadi lebih kompleks karena dapat mengganggu potensi tumbuh kembang yang mereka miliki. Dalam kelompok usia 3-18 tahun dan yang telah menjalani hemodialisis (HD), terdapat satu parameter khusus yang dinilai, yaitu normalized protein catabolic rate (nPCR), tetapi belum pernah digunakan pada populasi anak GGT dengan HD di Indonesia. Dengan segala keterbatasan dalam pemantauan status nutrisi pasien anak GGT dengan HD, hendak dicari nilai nPCR, parameter antropometri, nilai asupan nutrisi, dan Kt/V pada populasi anak GGT dengan HD.
Tujuan: Mengetahui nilai parameter nPCR, parameter antropometri, nilai asupan nutrisi, dan Kt/V pada populasi anak GGT dengan HD di Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai pusat rujukan nasional.
Metode: Penelitian ini merupakan uji potong lintang yang dilakukan di Ruang Hemodialisis Anak RSCM pada anak 3-18 tahun. Kriteria inklusi meliputi pasien GGT yang menjalani HD rutin minimal 3 bulan di RSCM dan bebas infeksi/ episode rawat inap dalam 1 bulan terakhir. Subjek yang mengalami kenaikan berat badan pada 1 bulan setelah HD cenderung 4,3 kali lebih mungkin memiliki nilai nPCR ≥1 g/kg/hari dibandingkan subjek yang tidak mengalami kenaikan berat badan.
Hasil dan Simpulan: Pada populasi anak GGT dengan HD rutin di RSCM, rata-rata nilai nPCR 0,85 g/kg/hari. Subjek yang mengalami kenaikan berat badan pada 1 bulan setelah HD cenderung 4,3 kali lebih mungkin memiliki nilai nPCR ≥1 g/kg/hari dibandingkan subjek yang tidak mengalami kenaikan berat badan. Berdasarkan antropometri, terdapat 96% subjek dengan kondisi wasted, 80% stunted, 36% reduced body mass, dan 68% kondisi reduced muscle mass. Rata-rata asupan protein harian adalah 1,28 g/kgBBI/hari dengan rata-rata asupan kalori harian 39,72 kkal/kgBBI/hari. Rata-rata nilai Kt/V adalah 1,45.

Background: Malnutrition is a common condition in the chronic kidney disease (CKD) patients. Malnutrition in children with CKD is more complex as it could interfere with their growth and development potential. Normalized protein catabolic rate (nPCR) is a recent parameter that has already recommended as a tool for nutritional status in the pediatric population of 3-18 years old with CKD final stage that undergone hemodialysis (HD), but has never been used in Indonesia. Regarding limitations in monitoring nutritional status of pediatric patients with HD, we want to investigate the value of nPCR, anthropometric parameters, daily nutritional intake, and Kt/V in the pediatric end stage renal falilure (ESRF) with HD.
Objectives: Investigating the value of nPCR, anthropometric parameters, daily nutritional intake, and Kt/V in the pediatric ESRF population with HD in Indonesia, especially at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) as a national referral center.
Methods: This study was a cross-sectional test conducted in the Pediatric Hemodialysis Center CMH among 3-18 years old subject. Inclusion criteria was ESRF patients who underwent routine HD for at least 3 months in CMH and free of infection / hospitalization episode within the last 1 month.
Results and Conclusions: Population of ESRF children with routine HD at CMH had the average nPCR value of 0,85 g/kg/day. Subjects who had weight gain in 1 month after HD tend to 4,3 times more likely had nPCR ≥1 g/kg/day than those who didn’t have weight gain. Based on anthropometry, there were 96% of subjects with wasted conditions, 80% stunted, 36% reduced body mass, and 68% reduced muscle mass conditions. The mean daily protein intake was 1,28 g/kgIBW/ day with an average daily calorie intake of 39,72 kcal/kgIBW/day. The mean Kt/V value was 1,45.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur.
Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05.
Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001).
Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.

ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies.
Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies.
Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant.
Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001).
Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>