Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aristia
Abstrak :
ABSTRAK
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (selanjutnya disebut PPK-BLU) memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan yaitu BLU dapat langsung menggunakan penerimaannya untuk operasional dan investasi tanpa harus disetor terlebih dahulu ke kas negara, demikian juga atas surplus. Fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU berdasarkan prinsip ekonomi, produktivitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Konsep PPK-BLU adalah peningkatan profesionalisme (let the managers manage), mendorong entrepreneurship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik. RSUP Fatmawati merupakan salah satu rumah sakit pemerintah yang telah ditetapkan sebagai BLU dan menerapkan standar akuntansi rumah sakit yang telah berlaku umum, dalam hal ini sesuai dengan standar akuntansi dari Ikatan Akuntan Indonesia. Meskipun demikian, sebagai salah satu satuan kerja di bawah Departemen Kesehatan, RSUP Fatmawati tetap mengkonsolidasikan laporan operasionalnya dengan laporan keuangan Departemen Kesehatan, karena sebagian dana operasional dan investasi berasal dari dana APBN Departemen Kesehatan, sebagai pertanggungjawaban Anggaran dan Belanja dari Departemen Kesehatan. Penilaian kinerja keuangan dilakukan dengan melakukan analisis laporan keuangan dan penghitungan rasio-rasio. Penilaian kinerja keuangan rumah sakit BLU RSUP Fatmawati tidak dapat dilakukan dengan melihat ?bottom line? saja, karena rumah sakit pemerintah tidak bertujuan mencari laba. Maka juga harus melihat rasiorasio yang berkaitan dengan tingkat efisiensi manajemen dalam mengelola aktiva untuk meningkatkan operasional yaitu kualitas dan kuantitas pelayanan. Kinerja keuangan BLU RSUP Fatmawati meningkat, dilihat dari sisi efisiensi keuangan untuk peningkatan pelayanan. Prakteknya pada saat ini adalah bahwa sebagian BLU ditetapkan sebagai subjek pajak badan dan sebagian non subjek pajak. BLU yang ditetapkan sebagai subjek pajak badan merupakan BLU yang sebelumnya berstatus perusahaan jawatan, sebagai salah satu bentuk badan usaha milik negara. Hal ini menjadi permasalahan yang harus diselesaikan agar penerapan PPK-BLU dapat berjalan dengan baik dan untuk kepastian hukum.

BLU memenuhi empat syarat secara kumulatif sebagai unit pemerintah yang bukan merupakan subjek pajak sesuai dengan Penjelasan pasal 2 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Penerapan praktek bisnis yang sehat berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance dari unit-unit pelayanan pemerintah kepada masyarakat harus didukung dan dilaksanakan secara lintas sektoral sehingga dapat menyuburkan berdirinya unit-unit pelayanan pemerintah yang profesional, transparan dan akuntabel.
2008
T24956
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Candri Prihandini Sari
Abstrak :
ABSTRAK
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (selanjutnya disebut PPK-BLU) memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan yaitu BLU dapat langsung menggunakan penerimaannya untuk operasional dan investasi tanpa harus disetor terlebih dahulu ke kas negara, demikian juga atas surplus. Fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU berdasarkan prinsip ekonomi, produktivitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Konsep PPK-BLU adalah peningkatan profesionalisme (let the managers manage), mendorong entrepreneurship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik. RSUP Fatmawati merupakan salah satu rumah sakit pemerintah yang telah ditetapkan sebagai BLU dan menerapkan standar akuntansi rumah sakit yang telah berlaku umum, dalam hal ini sesuai dengan standar akuntansi dari Ikatan Akuntan Indonesia. Meskipun demikian, sebagai salah satu satuan kerja di bawah Departemen Kesehatan, RSUP Fatmawati tetap mengkonsolidasikan laporan operasionalnya dengan laporan keuangan Departemen Kesehatan, karena sebagian dana operasional dan investasi berasal dari dana APBN Departemen Kesehatan, sebagai pertanggungjawaban Anggaran dan Belanja dari Departemen Kesehatan. Penilaian kinerja keuangan dilakukan dengan melakukan analisis laporan keuangan dan penghitungan rasio-rasio. Penilaian kinerja keuangan rumah sakit BLU RSUP Fatmawati tidak dapat dilakukan dengan melihat ?bottom line? saja, karena rumah sakit pemerintah tidak bertujuan mencari laba. Maka juga harus melihat rasiorasio yang berkaitan dengan tingkat efisiensi manajemen dalam mengelola aktiva untuk meningkatkan operasional yaitu kualitas dan kuantitas pelayanan. Kinerja keuangan BLU RSUP Fatmawati meningkat, dilihat dari sisi efisiensi keuangan untuk peningkatan pelayanan. Prakteknya pada saat ini adalah bahwa sebagian BLU ditetapkan sebagai subjek pajak badan dan sebagian non subjek pajak. BLU yang ditetapkan sebagai subjek pajak badan merupakan BLU yang sebelumnya berstatus perusahaan jawatan, sebagai salah satu bentuk badan usaha milik negara. Hal ini menjadi permasalahan yang harus diselesaikan agar penerapan PPK-BLU dapat berjalan dengan baik dan untuk kepastian hukum. BLU memenuhi empat syarat secara kumulatif sebagai unit pemerintah yang bukan merupakan subjek pajak sesuai dengan Penjelasan pasal 2 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Penerapan praktek bisnis yang sehat berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance dari unit-unit pelayanan pemerintah kepada masyarakat harus didukung dan dilaksanakan secara lintas sektoral sehingga dapat menyuburkan berdirinya unit-unit pelayanan pemerintah yang profesional, transparan dan akuntabel.
2007
T 24506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim Ansori
Abstrak :
Dua model tax treaty yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai negara (acceptable) adalah UN Model dan OECD Model. Kedua model tersebut selaju dikembangkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Salah satu perkembangan OECD Model adalah asimilasi pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam pasal 7 tentang business profit. Beberapa argumentasinya antara lain tidak ada perbedaan antara karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 14 dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7, pasal 14 tidak memberikan batasan yang jelas jenis kegiatan apa saja yang termasuk dalpjn pengertian pemberian jasa profesional, pasal 14 tidak jelas untuk individu atau juga dapat diberlakukan kepada badan, dan tidak ada perbedaan antara konsep permanent eslablishment yang digunakan sebagai kriteria pemajakan pada Pasal 7 dengan fixed base yan.% digunakan sebagai alat uji pemajakan pada Pasal 14. Mengingat OECD Model merupakan salah satu acuan penting yang digunakan oleh banyak Negara dalam membuat tax treaty dengan negara lain, maka penulis meagangap perlu untuk melakukan kajian terhadap revisi OECD Model Tahun 2000 tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah apakah karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai mana diatur dalam pasal 14 sama dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7 OECD Model. Kemudian apa implikasinya terhadap hak pemajakan Indonesia jika tax treaty Indonesia mengikuti revisi OECD Model tersebut di atps. Metodologi yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Berdasarkan hasil pembahasan, maka disimpulkan bahwa karakteristik penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dengan Penghasilan Wajib Pajak Badan seperti diatur dalam PasaJ 7 OECD Model memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya secara hakekat ekonomi merupakan peningkatan kemampuan ekonomi. Namun terminologi penghasilan digunakan untuk orang pribadi sedangkan terminologi laba digunakan untuk badan atau perusahaan. Dari aspek fax treaty, hak pemajakan negara sumber diuji melalui fixed place dan fixed base. Perbedaanya yang terjadi hanyalah perbedaan aspek teknis seperti atas nama pembayaran jasa, independensi pemberi jasa, dan lain-lain. Pengaruh asimilasi Pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam Pasal 7 tentang business profit menguntungkan bagi hak pemajakan Indonesia. Karena hak pemajakan menjadi lebih luas melalui alat uji BUT yang lebih variatif dan pemenuhan kewajiban perpajakan BUT di Indonesia yang disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri memberikan keuntungan bagi Indonesia dari aspek administratif dan dari aspek perluasan cakupan pajak yang dapat dikenakan. Alternatif lain, jika diterapkan dalam tax treaty Indonesia dapat dilihat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal independent personal Services dan Pasal furnishing of Services. Ketentuan tersebut dapat berbentuk time tesi, maupun persentase tertentu. Dampaknya bagi hak pemajakan Indonesia bisa menguntungkan, sama saja, dan merugikan. ......Two tar treaty models, which various countries use as a reference, are the UN Model and OECD Model. Both models are always developed and improvedfrom time to time. One of the improvements is the assimilation of Article 14 op Independent Personal Service into Article 7 on Business Profit. Some arguments are as followings: there is no difference between the characteristics of “income” earns by a Person, as stated in Article 14, with “income” earns by Company, as stated in Article 7; Article 14 does not provide a clear limit on what type of activities included in the definition of professional Services; Article 14 is not clear to the individual or can it also be applied to Company, and there is no difference between the concept of Permanent Establishment, which is used as tar criteria in Article 7 with the Fixed Base concept which is used as a tarlool test in Article 14. Given the OECD Model is one of the important references used by many countries in making tax Treaty with other countries, the authors perceive the need to study the revision of the Year 2001 OECD Model. The objective is to find out whether the characteristic of Personal Income, stated in Article 14, is the same characteristic of Corporate Income, stated in Article 7. Then what would be the implication if Indonesia applied the tar treaty of revised OECD Model. The methodology that will be used in this research is the study of literature. The result shows that there similarity and differences in the characteristics of Income. Both are essentially consideredas the increase of wealth. It use the terminology of Income for individual and Profit for corporate. From the tar Treaty aspect, the State has the rights to exercise through Fixed Place and Fixed Base. Other differences are more in to technical aspects such as differences in the name pf payment Services, independence of Service providers, etc. The assimilation of Article 14 to the Article 7 gives Indonesia the advantages in exercising its rights, because it gives more rights and it does not recognize the tar-protected corporate income. If the tar treaty is applied in Indonesia, we have other alternatives stated in Independent Personal Services Article and Furnishing of Services Article. These provisions can be in the form of time test and percentage.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T25783
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cyntia Yuliana Anggraeni
Abstrak :
Di era JKN, FKTP berperan sebagai penjaga gerbang yang salah satunya bertujuan untuk menyaring rujukan. Berdasarkan data PMP BPJS Kesehatan KC Jakarta Selatan tahun 2018, jumlah kunjungan peserta sebanyak 22,14% dari kasus yang dirujuk, melebihi batas maksimum rasio rujukan yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan, yaitu 15%. Selain itu, terdapat 3 dari 130 FKTP yang masih memiliki rasio rujukan non spesialis lebih dari 5%, dengan rata-rata 6,32%. Hal ini menunjukkan FKTP belum berfungsi secara maksimal sebagai penjaga gerbang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan angka rujukan FKTP di wilayah kerja BPJS Kesehatan KC Jakarta Selatan tahun 2018. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan metode Independent Samples T. tes dari data sekunder yang diperoleh dari aplikasi BI BPJS Kesehatan dan formulir kredensial / rekredensialing self assessment FKTP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi jenis kelamin peserta perempuan yang berkunjung dan aspek sarana dan prasarana memiliki hubungan yang signifikan dengan angka rujukan di FKTP. Berdasarkan penelitian ini juga diketahui bahwa lima diagnosis medis yang paling banyak dirujuk adalah penyakit kronis seperti hipertensi baik yang disertai maupun tidak disertai gagal jantung, diabetes melitus tipe II, gagal jantung kongestif, dan stroke. Sehingga perlu optimalisasi program BPJS Kesehatan yang fokus melayani peserta dengan penyakit kronis seperti PRB dan Prolanis. Selain itu, perlu adanya perbaikan dan kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai untuk memberikan pelayanan kesehatan. ...... In the JKN era, FKTP has a role as a gate keeper, one of which aims to filter referrals. Based on data from the PMP BPJS Kesehatan KC South Jakarta in 2018, the total number of participant visits was 22.14% of cases referred, which had exceeded the maximum limit of the referral ratio set by BPJS Kesehatan, which was 15%. In addition, there are 3 out of 130 FKTPs that still have a non-specialist referral ratio of more than 5%, with an average of 6.32%. This shows that FKTP has not functioned optimally as a gate keeper. The purpose of this study was to determine what factors are related to the FKTP referral rate in the work area of ​​BPJS Kesehatan KC South Jakarta in 2018. This study used a cross sectional study design with univariate and bivariate analysis using the Independent Samples T test from secondary data obtained from BI BPJS Health application and FKTP self-assessment credentialing / rekredensialing form. The results of this study indicate that the gender proportion of female participants who visit and aspects of facilities and infrastructure has a significant relationship with the referral rate of FKTPs. Based on this study, it is also known that five medical diagnoses that are mostly referred to are chronic diseases such as hypertension, either accompanied or not accompanied by heart failure, type II diabetes mellitus, congestive heart failure, and stroke. So it is necessary to optimize BPJS Health programs that have a focus on serving participants with chronic diseases such as DRR and Prolanis. In addition, it is necessary to repair and complete adequate facilities and infrastructure to provide health services.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nurhayati
Abstrak :
Didasari pandangan bahwa peranan pemerintah diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi sehingga berkembang teori-teori perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh mekanisme pasar. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan lahan atau ruang sebagai wadah kegiatan untuk menciptakan nilai tambah, yang keberadaannya terbatas. Sehingga diperlukan upaya untuk pengaturan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Penataan ruang merupakan salah satu bentuk peran pemerintah dalam mengalokasikan dan mengatur pemanfaatan lahan. Kondisi Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam mengalokasikan sumber daya lahan yang terbatas dan adanya berbagai kendala dalam menciptakan pertumbuhan wilayah. Tujuan dari penelitian adalah menelaah mengenai penggunaan lahan yang ada serta rencana penggunaan lahan yang telah ditetapkan RTRWP, apakah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Bagaimana pengaruh suatu kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi. Penelitian difokuskan pada pengaruh kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap pencapaian alokasi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian PDRB maksimal. Kebijakan pengaturan penggunaan lahan merupakan kebijakan pemerintah daerah yang diterapkan, yaitu kebijakan mengenai penentuan batasan juga penggunaan lahan untuk kawasan industri dan kebijakan mengenai perlunya swasembada pangan yang memerlukan batasan luas penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertama, bahwa suatu penggunaan lahan untuk kegiatan tertentu akan menghasilkan nilai tambah bruto bagi lapangan usaha yang bersangkutan; kedua, besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan dari suatu penggunaan lahan dianggap tetap; ketiga, luas lahan yang dapat dimanfaatkan dianggap tetap. Kesimpulan penelitian adalah: - Luas penggunaan lahan suatu kegiatan tertentu mempuyai pengaruh yang positip terhadap pembentukan nilai tambah bruto sektoral yang bersangkutan. Semakin besar luas penggunaan lahan suatu kegiatan akan semakin besar pula terbentuknya nilai tambah bruto sektor yang bersangkutan. - Kebijakan pengaturan penggunaan akan mempengaruhi pencapaian alokasi penggunaan lahan optimal dan besarnya PDRB yang dihasilkan - Komposisi penggunaan lahan saat ini (kondisi obyektif tahun 1998) menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal). - Komposisi penggunaan lahan sesuai RTRWP Jawa Barat yang telah ditetapkan diperkirakan akan menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal). - Dengan melihat pemecahan optimal yang menghasilkan PDRB maksimal adalah alternatif 2.c. Hal ini akan mengimplikasikan pada akan berubahnya penggunaan lahan kegiatan pertanian menjadi kegiatan non pertanian, yang semula (tahun 1998) seluas 3.596.214 hektar menjadi 888.696,23 hektar. Semakin meluasnya penggunaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya. Penggunaan lahan industri dari 30.151 hektar menjadi 472.120,94 hektar. Penggunaan lahan permukiman, perdagangan dan jasa dari 482.236 hektar menjadi 928.899,88 hektar. Penggunaan lahan lainnya dari 158.169 hektar menjadi 371.559,95 hektar. - Analisis sensitivitas koefisien variabel fungsi tujuan menunjukkan bahwa koefisien variabel penggunaan lahan untuk pertanian dan industri (koefisien variabel XI dan X2) menunjukkan pengaruhnya yang peka terhadap perubahan nilai fungsi tujuan, namun tidak mempengaruhi komposisi penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas penggunaan lahan untuk pertanian dan industri dengan memanfaatkan luas lahan yang tersedia, masih dapat meningkatkan pencapaian PDRB yang maksimal. Sebagai masukan untuk kebijakan pengaturan penggunaan lahan disarankan hal-hal sebagai berikut: - Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengalokasikan komposisi penggunaan lahan yang optimal pada masing-masing kabupaten dan kotamadya berdasarkan kondisi dan keterbatasan masing-masing kabupaten atau kotamadya sehingga dapat menciptakan PDRB yang optimal pada tingkat kabupaten/kotamadya maupun pada tingkat propinsi. - Perlu dilakukan peninjauan ulang dan revisi RTRWP untuk mencapai kondisi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian nilai PDRB dapat maksimal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dalam penelitian ini fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkan output atau pendapatan, belum mempertimbangkan aspek pemerataan, lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga untuk peninjauan ulang RTRWP terlebih dahulu perlu disempurnakan fungsi tujuan sehingga semua aspek dapat dipertimbangkan. - Melihat implikasi yang akan terjadi jika alternatif 2.c akan diterapkan maka perlu dilakukan: a. Untuk meningkatkan PDRB namun tidak mengubah komposisi penggunaan lahan optimal dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau nilai tambah bruto per hektar penggunaan lahan pertanian. b. Upaya pengendalian perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi kegiatan non pertanian, terutama berkaitan dengan aspek lokasi yang diijinkan berubah dan tidak diijinkan berubah. Terutama pada wilayah-wilayah pertanian dengan produktivitas per hektar yang tinggi perlu dipertahankan agar pencapaian PDRB tetap maksimal. c. Perlunya pengendalian dalam mengalokasikan luas penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan lainnya pada wilayah-wilayah kabupaten dan kotamadya - Antisipasi yang perlu dilakukan bila kondisi kebijakan pada alternatif 2.c akan diterapkan, yaitu: a. Penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya akan meningkat sehingga perlu dikaji masalah lingkungan yang akan terjadi seperti polusi, kemacetan dll. b. Adanya peningkatan kebutuhan listrik, bagaimana antisipasi penyediaannya. c. Masalah penduduk yang akan masuk karena adanya daya tarik kegiatan bagi penduduk dari luar Jawa Barat, yang tentunya akan menimbulkan berbagai masalah dalam pelayanan penduduk oleh pemerintah daerah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan uji validitas dan reliabilitas kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) versi bahasa Indonesia untuk mengukur kepatuhan konsumsi statin pada 40 penerbang militer di Skadron Udara Halim Perdanakusuma pada tanggal 6 April-15 Mei 2016. Hiperkolesterolemia merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan inkapasitasi dalam penerbangan. Salah satu cara untuk mengontrol hiperkolesterolemia adalah dengan minum obat antikolesterol golongan statin, namun belum ada instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan minum obat statin di kalangan penerbang militer di Indonesia. Validitas diuji dengan validitas kriteria. Reliabilitas diuji dengan konsistensi internal dan uji ulang (test-retest). Didapatkan korelasi negatif lemah dan tidak ditemukan hubungan bermakna antara antara kadar kolesterol dan tingkat kepatuhan minum statin (koefisien Spearman -0,199; p=0,218). Konsistensi internal moderat (Cronbach?s α=0,759) dengan reliabilitas tes ulang yang baik (koefisien Spearman=0,860). Hasil uji validitas dan reliabilitas MMAS 8 versi bahasa Indonesia pada penerbang militer belum dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan minum statin pada penerbang militer di Indonesia.
ABSTRACT
This study analyzed the validity and reliability of Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) Bahasa version to measure statin adherence among 40 military pilots in Halim Perdanakusuma Air Force Base on April 06th-May 15th 2016. Hypercholesterolemia is the cause of cardiovascular disease which lead to inflight incapacitation. One of the way to control hypercholesterolemia is using statin medication, however there has not been an instrument to measure statin adherence in military pilots in Indonesia. Validity was confirmed using crirerion-related validity. Reliability was tested for internal consistency and test-retest reliability. Negative weak correlation and no significant association between cholesterol and statin adherence level (Spearman coefficient -.199, p=0.218) was found. Moderate internal consistency and excellent test-retest reliability were found (Cronbach?s α=0.759; Spearman correlation=0.860). Validity and reliability of MMAS 8 Bahasa version has not been able to be used to measure statin adherence among military pilots in Indonesia.
2016
T46639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Nadia
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang terkait dengan tingkat kepatuhan tipe diabetes 2 untuk memeriksa kadar gula pada peserta JKN di Jakarta Selatan 2019. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 52,1% responden memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dan 47,9% memiliki tingkat kepatuhan yang rendah Variabel yang ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan periksa kadar gula adalah jenis kelamin (Nilai P = 0,055) dan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan (Nilai P = 0,056). ......This study aims to determine the factors associated with the level of diabetes type compliance 2 to check sugar levels in JKN participants in South Jakarta 2019. This type of research is quantitative research with cross sectional design. The results of this study indicate that 52.1% of respondents have a high level of compliance and 47.9% have a low level of compliance Variables found have a significant relationship with compliance check that sugar is gender (P value = 0.055) and patient satisfaction with health care (P value = 0.056).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Risczka Rosdianty
Abstrak :
Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan manajemen diri penyakit diabetes melitus pada peserta JKN di wilayah Jakarta Selatan tahun 2019. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan studi observasional dengan tipe cross sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dan lama menderita dengan manajemen diri penyakit diabetes melitus. ......This study focuses on the factors that related to self management of type 2 diabetes mellitus on JKN patients in South Jakarta in 2019. This research is quantitative research with observational study and cross sectional type. The result of this study is the positive correlation between family supports and duration of patients in suffering from type 2 diabetes mellitus with self management diabetes mellitus.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Andewi
Abstrak :
Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan peserta PRB BPJS Kesehatan Jakarta Selatan dalam meminum obat PRB dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan di 2 apotek penyelenggara pelayanan PRB terbesar se-Jakarta Selatan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Hasil analisis dari 100 responden penelitian didapatkan proporsi kepatuhan peserta PRB BPJS Kesehatan Jakarta Selatan dalam meminum obat PRB sebesar 39%. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square, didapatkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan peserta PRB BPJS Kesehatan Jakarta Selatan terkait penyakit dan aturan pengobatan (p value < 0,01; OR = 23,296), motivasi (p value < 0,01; OR = 13,940), dan dukungan sosial (p value = 0,033; OR = 2,843) dengan kepatuhan dalam meminum obat PRB. Sedangkan variabel jenis kelamin, umur, diagnosis penyakit, ketersediaan obat, dan jumlah jenis obat tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepatuhan peserta dalam meminum obat PRB.
The purpose of this study is to get the overview and examine the associated factors about the adherence of Referral Program (PRB) BPJS Kesehatan Jakarta Selatan Participants on taking PRB medicines. This is a quantitative research with cross sectional study design. The data was collected in the 2 drugstores that provide the largest Referral Program (PRB) services in South Jakarta using the questionnaire. The result from 100 respondents showed the number of Referral Program (PRB) BPJS Kesehatan Jakarta Selatan Participants complience is 39% and revealed a significant association between knowledge of the disease and medication regiment (p value < 0,01; OR = 23,296), motivation (p value < 0,01; OR = 13,940), and social support (p value = 0,033; OR = 2,843) with the complience of taking medicines. For variable sex, age, diagnosis of the disease, drug availability, and number of drugs are not associated with the the adherence of taking medicines.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Amalia Fitriyanti
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan Skrining Riwayat Kesehatan di BPJS Kesehatan Kantor Cabang Jakarta Selatan. Skrining Riwayat Kesehatan merupakan bentuk deteksi dini untuk suatu penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui capaian kegiatan Skrining Riwayat Kesehatan di tahun 2018.  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya masalah dari sisi komunikasi, sumber daya, sikap implementor, dan implementasi kegiatan Skrining Riwayat Kesehatan. Peneliti menyarankan untuk BPJS Kesehatan harus melakukan sosialisasi Skrining Riwayat Kesehatan kepada seluruh peserta melalui berbagai media seperti TV, Youtube, dan media sosial lain, melakukan perencanaan SDM, memaksimalkan penggunaan fitur Skrining Riwayat Kesehatan di Mobile JKN dan Website BPJS Kesehatan.
The focus of this study is the Implementation of Health Historical Screening at BPJS Kesehatan, Branch Office, South Jakarta, 2018. Health Historical Screening is a form of early detection for a chronic diseases. The purpose of this study is to find out the achievement of Health Historical Screening in 2018. This research is qualitative descriptive interpretive. Research result indicate that there are issues regarding of communication, resources, the attitude of implementor, and the implementation of health historical screening. The researcher suggests that BPJS Kesehatan must conduct the health historical screening to all participants through various media such as TV, Youtube, and other social media, do Human Resources planning, maximize the use of  health historical screening features on Mobile JKN and the BPJS Health Website.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>