Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ismulat Rahmawati
"Latar belakang: Tatalaksana tuberkulosis resistan obat membutuhkan obat antituberkulosis suntik lini kedua yang menyebabkan efek samping ototoksik menetap. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens ototoksik pada pasien tuberkulosis resistan obat dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien TB resistan obat yang sedang mendapat obat kanamisin atau kapreomisin sebagai bagian paduan obat pada pengobatan tahap awal periode Januari-September 2017 di RSUP Persahabatan. Ototoksik ditentukan berdasar kriteria American Speech Language and Hearing Association (ASHA) tahun 1994 dengan membandingkan nilai audiometri dasar sebelum pengobatan dan saat penelitian.
Hasil: Sebanyak 72 pasien ikut pada penelitian ini. Ototoksik didapatkan pada 34 pasien (47,2%). Ototoksik pada bulan pertama pengobatan yaitu 5 subjek (14,7%) dan 19 subjek 56 tanpa keluhan gangguan pendengaran. Ototoksik lebih sering didapatkan pada penggunaan kanamisin (47,9%) dibandingkan kapreomisin (36,8%). Terdapat berhubungan bermakna antara faktor usia dan ototoksik dengan peningkatan risiko sebesar 5 pada setiap penambahan usia 1 tahun, p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). Kelompok subjek dengan komorbid DM dan peningkatan kreatinin serum didapatkan prevalens ototoksik lebih tinggi meskipun tidak bermakna secara statistik. Faktor jenis kelamin, IMT, riwayat penggunaan OAT suntik, status HIV dan total dosis obat juga tidak didapatkan hubungan bermakna dengan ototoksik.
Kesimpulan: Ototoksik merupakan efek samping yang sering terjadi pada pengobatan fase awal pasien TB resistan obat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan lebih baik.

Background: The treatment of drug resistance tuberculosis needs second line injection antituberculosis drug that associated with irreversible ototoxic. The aim of this study is to know the prevalence of ototoxicity in tuberculosis drug resistance patients and the contributing factors. Methods: This is a cross sectional study among drug resistance TB patients who receive kanamysin or capreomycin as a part of drug regimen during intensive phase in January to September 2017 at Persahabatan hospital. Ototoxic defined according to American Speech Language and Hearing Association (ASHA) 1994 criteria by comparing baseline audiometric examination before treatment with current result.
Results: Seventy two patients were included in this study. The prevalence of ototoxicity was found in 34 patients (47,2%). Ototoxic found in 5 subjects (14,7%) during the first month of treatment and 19 subjects 56 without hearing disturbance complain. Ototoxic in kanamisin group (47,9%) is more frequent compared with capreomisin (36,8%). Ototoxicity was associated with age, the risk increases 5 every 1 year older p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). The prevalences of ototoxicity are higher in diabetes and increasing serum creatinin patients but statistically not significance. Sex, body mass index, the history of using injectable antiTB drug, HIV status and total dosis were not associated with ototoxicity.
Conclusion: Ototoxicity is common in intensive phase of drug resistance tuberculosis treatment. Further study needed to determine the association of contributing factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Novitasari
"Prevalensi pasien TB yang mengalami vestibulotoksik akibat streptomisin sulfat menurut literatur tercatat sebesar 30-70%. Berbagai modalitas pemeriksaan dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan keseimbangan, di antaranya dizziness handicap inventory (DHI),
dynamic visual acuity (DVA), dan video head impulse test (VHIT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian hasil DHI, DVA, dan VHIT dalam menilai gangguan keseimbangan pada pasien TB yang mendapat terapi streptomisin. Metode penelitian ini merupakan pre and post study design untuk mengetahui kesesuaian hasil
pemeriksaan fungsi keseimbangan pada ketiga modalitas pemeriksaan pada satu kelompok pasien TB pada hari ke-14 dan setelah selesai pemberian streptomisin atau bila timbul keluhan gangguan keseimbangan. Rancangan studi prospektif digunakan untuk melihat kesesuaian ketiga penilaian sebelum pemberian streptomisin, pada hari ke-14, dan hari ke-56 di mana pemberian streptomisin telah selesai. Pada akhir terapi didapatkan 5 dari 24 subjek memiliki handicap dalam melakukan aktivitas sehari-hari berdasarkan pemeriksaan DHI, 5 dari 24 subjek mengalami kelemahan vestibular perifer bilateral berdasarkan pemeriksaan DVA dan pada pemeriksaan VHIT didapatkan 9 dari 24 subjek menderita kelemahan vestibular perifer bilateral. Kesesuaian antara pemeriksaan DVA
dengan VHIT dan DHI dengan VHIT sebesar 83,3%, sedangkan kesesuaian antara DHI dengan DVA sebesar 100% dalam menilai gangguan keseimbangan pada subjek dan tidak didapatkan perbedaan bermakna pada ketiga modalitas tersebut. Dari hasil tersebut mendukung DVA untuk digunakan sebagai pemeriksaan penapisan gangguan vestibular perifer bilateral pada pasien tuberkulosis yang mendapat terapi streptomisin.

Balance disorders can be caused by several medications and one of those is streptomycin sulphate used as treatment of category II lung TB. Prevalence of streptomycin-induced vestibulotoxicity amongst patients with TB is recorded around 30-70%. Besides history taking and physical examination, other modalities can be used to diagnose balance disorders, including dizziness handicap inventory (DHI), dynamic visual acuity (DVA), and video head impulse test (VHIT). This pre and post study design aims to determine the
conformity between DHI, DVA, and VHIT in assessing balance disorders in TB patients
treated with streptomycin on the 14th day and the end of treatment or whenever the balance disorders symptoms arise. Prospective research design used to compare the three methods of measurement before streptomycin administration, on the 14th day, and on the 56th day when completion of treatment is declared. There are 5 subjects (20.8%) recorded experienced handicap during daily activities according to DHI examination, 5 subjects (20.8%) diagnosed with bilateral vestibular weakness dan from VHIT examination and 9 (37.5%) subject diagnosed with bilateral vestibular weakness. The concordance rate between DVA and VHIT, DHI and VHIT in assessing vestibular disorders was 83.3% meanwhile the concordance rate between DHI and DVA was 100% and there was no significant differences between this three modalities. Thus we can conclude that DVA can
be used as a screening modality for bilateral peripher vestibular disorders in TB patients
who receive streptomycin therapy.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library