Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andina Bulan Sari
"Latar belakang : Kondilomata akuminata KA adalah vegetasi jinak di daerah anogenital yang disebabkan infeksi human papillomavirus. Sampai saat ini KA masih menjadi infeksi menular seksual IMS tersering. Pilihan modalitas terapi KA bervariasi. Pilihan utama modalitas terapi KA di Poliklinik Divisi IMS Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin IKKK Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo RSCM saat ini adalah tingtur podofilin 25. Namun penggunaannya sudah tidak disarankan lagi oleh World Health Organization dan European Guidelines Larutan asam trikloroasetat 90 adalah alternatif yang tersedia. Sampai saat ini belum ada penelitian yang secara langsung membandingkan efektivitas dan efek samping antara kedua terapi topikal tersebut.
Tujuan : Membandingkan efektivitas dan efek samping terapi topikal larutan asam trikloroasetat 90 dengan tingtur podofilin 25 pada KA genitalia eksterna dan atau perianal.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak terkontrol terbuka dengan desain paralel tidak berpasangan. Dilakukan randomisasi untuk membagi subyek penelitian SP ke dalam kelompok trikloroasetat dan kelompok podofilin. Pengolesan oleh dokter dan evaluasi efek samping dilakukan tiap minggu selama enam minggu. Efektivitas terapi dinilai pada akhir minggu keenam.
Hasil : Terdapat 49 SP dengan 10 SP di antaranya drop out namun seluruh SP disertakan dalam analisis intention to treat Pada akhir pengobatan proporsi respons terapi baik jumlah atau ukuran lesi berkurang ge 80 pada kelompok trikloroasetat sebesar 62 5 dibandingkan kelompok podofilin 28. Perbedaan proporsi tersebut bermakna secara statistik p 0 04 Keluhan nyeri dirasakan pada seluruh SP kelompok trikloroasetat dengan nyeri berat VAS 6 7 sebagai keluhan terbanyak 50 SP. Pada kelompok podofilin keluhan terbanyak adalah nyeri sedang VAS 3 5 pada 44 SP Efek samping obyektif berupa erosi terdapat pada 50 SP kelompok trikloroasetat.
Kesimpulan : Penutulan larutan asam trikloroasetat 90 setiap minggu selama enam minggu lebih efektif secara bermakna dibandingkan dengan tingtur podofilin 25 untuk terapi KA genitalia eksterna dan atau perianal. Efek samping nyeri ditemukan lebih sering dan lebih berat secara bermakna pada penutulan larutan asam trikloroasetat 90 Efek samping obyektif berupa erosi ditemukan lebih sering secara bermakna pada penutulan larutan asam trikloroasetat 90.

Background : Condylomata acuminata (CA) are benign vegetation on anogenital region caused by human papillomavirus infection. Condylomata acuminata are still the most prevalent sexually transmitted infection (STI). There are various modalities of CA treatment. The first line treatment modality in STI Division of Dermatovenerology Department Cipto Mangunkusumo Hospital is podophyllin tincture 25%, although no longer recommended by World Health Organization (WHO) and European Guidelines. Another treatment option is trichloroacetic acid 90% solution. There is no clinical study so far that compares the efficacy and side effects of both modalities.
Objective : To compare the efficacy and side effects between podophyllin tincture 25% and trichloroacetid acid 90% solutions for external genital and/or perianal CA treatment.
Methods : This study is a randomized open controlled clinical trial, with parallel and nonmatching design. All subjects randomly allocated into two trial groups, the trichloroacetic group and podophyllin groups. Application was performed by doctor every week for six weeks. The evaluation of efficacy was performed by the end of six weeks.
Result : There were 49 subjects participated in this study. Drop out were found in ten subjects, but all subjects were included in intention to treat analysis. The proportion of excellent response (number or site reduction of the lesions ≥ 80%) in the trichloroacetic group and the podophyllin group was 62,5% and 28% respectively. The difference was statistically significant (p = 0,04). Pain was found in all subjects of the trichloroacetic group, with severe pain (VAS 6-7) being the most prevalent side effects in 50% subjects. Moderate pain (VAS 3-5) was the most prevalent side effects in 44% subjects of podophyllin group. Erosion was found in 50% subjects of the trichloroacetic group.
Conclusion : The application of trichloroacetic acid 90% solution every week for six weeks is more effective than podophyllin tincture 25% for external genital and/or perianal CA treatment. Pain is more frequent and severe in trichloroacetid acid 90% solution application. Erosion is more frequent in trichloroacetid acid 90% solution application.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Ari Wilandani
"Latar belakang. Kulit kering dilaporkan pada 20–30% pasien HIV namun belum ada penelitian pelembap pada keadaan tersebut.
Tujuan. Membandingkan efikasi dan efek samping petrolatum dengan satu obat jadi sebagai terapi kulit kering pasien HIV. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, antara mendapat petrolatum atau obat jadi. Evaluasi setelah 2 minggu dan 4 minggu terapi dengan mengukur transepidermal water loss (TEWL) dan skor kulit kering pada tungkai bawah. Dinilai efek samping objektif dan subjektif. Hasil. 32 orang mengikuti penelitian, 16 orang mendapat petrolatum dan 16 orang obat jadi. TEWL kelompok petrolatum 11,0 g/m2/jam, menjadi 7,9 g/m2/jam dan 5,9 g/m2/jam setelah 2 dan 4 minggu terapi sedangkan TEWL kelompok obat jadi 9,95 g/m2/jam turun menjadi 8,8 g/m2/jam dan 6,9 g/m2/jam. Skor kulit kering dasar, setelah 2 minggu, dan 4 minggu pengobatan kelompok petrolatum adalah 4, 3, dan 1 sedangkan pada kelompok obat jadi adalah 3, 2, dan 1. Nilai TEWL dan skor kulit kering di dalam masing-masing kelompok menurun secara bermakna. Perbandingan penurunan nilai TEWL dan skor kulit kering antarkedua kelompok tidak bermakna. Keluhan subjektif terdapat pada 11 orang di kelompok petrolatum dan 5 orang di kelompok obat jadi.
Kesimpulan. Petrolatum maupun obat jadi mampu menurunkan nilai TEWL dan skor kulit kering secara bermakna, namun tidak ada perbedaan penurunan nilai TEWL ataupun skor kulit kering antara keduanya. Efek samping subjektif lebih banyak akibat petrolatum.

Background. Xerosis reportedly affecting up to 30% of patients with HIV, but there were no research on moisturizer therapy for that condition. Aim. To compare efficacy and side effect of petrolatum vs one commercial moisturizer on HIV patients with xerosis. Method. Double blinded randomized controlled study. Participants was divided into 2 group, either received petrolatum or commercial moisturizer. Evaluation was done after 2 and 4 weeks treatment by measuring transepidermal water loss (TEWL) and dry skin score on lower leg.
Objective and subjective side effect were recorded. Result. 32 participants enrolled in the study, 16 received petrolatum while 16 received commercial moisturizer. TEWL in petrolatum group was 11,0 g/m2/jam, down to 7,9 g/m2/h and 5,9 g/m2/h after 2 and 4 weeks therapy whereas in commercial group was 9,95 g/m2/h down to 8,8 g/m2/h and 6,9 g/m2/h. Dry skin score in petrolatum group at baseline, 2, and 4 weeks of treatment was 4, 3, and 1 respectively whereas in commercial group was 3, 2, and 1 respectively. 11 persons in petrolatum and 5 in commercial group has subjective side effect.
Conclusion. Both petrolatum and commercial moisturizer significantly reduce TEWL and dry skin score. There were no difference in the reduction of TEWL nor dry skin score between the two group. Petrolatum caused more common subjective side effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indria Anggraini
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi xerosis pada lanjut usia (lansia) berkisar antara
30-85%. Tatalaksana xerosis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Urea
sebagai humektan dan lanolin 10% dalam petrolatum yang bersifat oklusif dan emolien
mampu memperbaiki hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas
dan efek samping krim yang mengandung urea 10% dengan lanolin 10%/petrolatum
pada pengobatan xerosis lansia.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 35 orang penghuni
suatu panti lansia di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), dan derajat gatal dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat.
Setelah prakondisi selama dua minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan pelembap
yang berbeda secara acak pada kedua tungkai bawah.
Hasil: Persentase peningkatan nilai SC setelah empat minggu lebih besar pada tungkai
yang mendapat krim urea 10% dibandingkan lanolin 10%/petrolatum (64,54% vs.
58,98%; p=0,036). Persentase penurunan SSRC setelah empat minggu tidak berbeda
antara kedua kelompok perlakuan (100%; p=0,089). Derajat gatal pada minggu kedua
menurun pada kedua kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh SP (100%)
setelah minggu keempat. Efek samping rasa lengket lebih banyak ditemukan pada
kelompok krim urea 10% daripada lanolin10%/petrolatum, tetapi tidak bermakna secara
statistik.
Kesimpulan: Pelembap yang mengandung urea 10% meningkatkan SC lebih besar
secara bermakna daripada lanolin 10%/petrolatum setelah empat minggu pengolesan
pada tungkai lansia yang xerotik. Efek samping tersering adalah rasa lengket yang lebih
sering ditemukan pada lanolin 10%/petrolatum, tetapi tidak berbeda antar kelompok perlakuan.ABSTRACT Background and objectives: The prevalence of xerosis among elderly is 30-85%.
Inadequate treatment may result in complications. Urea as a humectant and 10% lanolin
in petrolatum as an occlusive agent and emollient can restore skin hydration. This study
aimed at comparing the efficacy and side effects of cream containing 10% urea and 10%
lanolin/petrolatum in the treatment of xerosis in elderly
Methods: A randomized, double blind clinical trial was conducted in 35 elderly from a
nursing home in Jakarta. Evaluation of skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), and pruritic degree were measured at baseline, week-2 and -4 after the
start of therapy. Following a 2-week precondition period, each subject received a
random moisturizer for each limb, to be applied twice daily.
Results: The percentage of SC increase at week-4 was significantly higher in limb
receiving cream containing 10% urea than 10% lanolin/petrolatum (64.54% vs. 58.98%;
p=0.036). The percentage of SSRC decrease at week-4 did not differ between groups
(100%; p=0.089). Pruritus was equally improved in both groups at week-2, and
completely diminished at week-4. Sticky feel was more frequent in
lanolin10%/petrolatum than 10% urea cream, although not statistically significant.
Conclusion: After four-week application, moisturizer containing 10% urea gave higher
percentage of SC increase than 10% lanolin/petrolatum in the xerotic limbs of the
elderly. Sticky feeling was more frequently found in 10% lanolin/petrolatum group, but statistically not significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yari Castiliani
"ABSTRAK
Terapi pedikulosida dapat menyebabkan toksisitas, resistensi dan pencemaran lingkungan sehingga mendorong penggunaan metode mekanis penyisiran basah pada pedikulosis kapitis (PK). Penelitian ini membandingkan efektivitas dan efek samping metode penyisiran basah dengan losio heksaklorosikloheksan 0,5% terhadap PK selama 2 minggu, menggunakan rancangan uji klinis acak terbuka pada siswi sebuah asrama di Jakarta yang menderita PK. Efektivitas metode penyisiran basah adalah 0% pada minggu pertama dan 50% pada minggu kedua, lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan terapi losio heksaklorosikloheksan 0,5% berturut-turut 32,5% dan 92,5%. Efektivitas metode penyisiran basah meningkat menjadi 71% jika terapi dilanjutkan hingga minggu ke-4. Efek samping keluhan subyektif pada terapi dengan metode penyisiran basah lebih ringan dibandingkan dengan losio heksaklorosikloheksan 0,5%.

ABSTRACT
Pediculicide may cause toxicity, resistance and pollution so that wet comb mechanical method is advised for pediculosis capitis. An open randomized clinical trial was conducted among female students of boarding school in Jakarta, to compare the efficacy and side effects of wet combing method using fine-toothed comb and conditioner to hexachlorocyclohexane 0.5% lotion for a 2-week treatment. The efficacy of wet combing method was 0% and 50% in the first and second week, significantly much lower than those of hexachlorocyclohexane 0.5% lotion, which were 32.5% and 92.5% respectively. However, it was shown to increase to 71% if treatment was continued to four weeks. Side effects of wet combing group was significantly lower than hexachlorocyclohexane 0.5%."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
"Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar.
Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi
serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa
penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan
rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH).
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019
hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan
sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak
berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan.
Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13-
34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL.
Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai
dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi
Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r
= 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak
berhijab.

Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered
compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight
which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described
significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never
specifically conducted in hijab wearing women.
Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and
hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH).
Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March
2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull
test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group.
Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70
(6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30
ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62
(3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on
Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the
NH group (p = 0,308).
Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D
level and hair loss in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jhauharina Rizki Fadhilla
"Pelepasan perekat medis pada lanjut usia (lansia) berisiko tinggi menyebabkan medical adhesive-related skin injury (MARSI). Pemberian bahan topikal, NaCl 0,9%, vaselin album, dan alkohol 70%, dalam proses pelepasan diduga dapat mengurangi adhesi kulit dengan plester. Untuk mengetahui apakah penambahan bahan-bahan tersebut dalam prosedur pelepasan perekat medis berbahan dasar akrilat efektif mengurangi kejadian MARSI pada lansia, suatu uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan pada penghuni sebuah panti werdha di Jakarta. Subjek yang dipilih berdasarkan kriteria penerimaan (usia 3 60 tahun) dan penolakan (tidak memiliki kelainan kulit, tidak menggunakan obat antiinflamasi, imunosupresan, antihistamin, atau tidak ada riwayat alergi terhadap plester dan bahan uji) serta bersedia berpartisipasi menjalani penempelan perekat medis akrilat pada empat lokasi di kedua tungkai atas sisi ekstensor. Sejumlah 75 orang subjek penelitian (SP) dengan 300 lokasi uji terpilih berdasarkan teknik convenience sampling dan mengikuti seluruh rangkaian prosedur hingga penelitian selesai. Pada hari ketiga, perekat dilepas dengan atau tanpa penambahan bahan topikal sesuai dengan kode randomisasi yang tidak diketahui oleh peneliti (blinding). Perubahan skor skin irritation scoring systems (SISS), nilai transepidermal water loss (TEWL), dan indeks eritema pada mexameter yang merupakan parameter MARSI diukur pada tiap-tiap lokasi uji. MARSI teramati pada 52% SP atau 20,7% lokasi perlakuan (26,7% NaCl 0,9%, 20% vaselin album, 17,3% alkohol 70%, dan 18,7% kontrol; p=0,501). Perubahan skor SISS dan indeks eritema antar kelompok tidak bermakna secara statistik. Perubahan nilai TEWL lebih kecil pada kelompok perlakuan NaCl 0,9% (1 g/m2/jam; p<0,001) dan vaselin album (1 g/m2/jam; p<0,001) dibandingkan kontrol. Disimpulkan bahwa penambahan bahan topikal dalam proses pelepasan perekat medis akrilat di hari ketiga pada kulit lansia tidak terbukti mengurangi kejadian MARSI. Tetapi, penambahan NaCl 0,9% dan vaselin album secara bermakna mengurangi kerusakan sawar kulit yang ditimbulkannya. Waktu pengamatan penelitian ini sangat pendek karena dilakukan dalam masa pandemi Covid-19 untuk membatasi interaksi dengan lansia sebagai populasi rentan. Penelitian lebih lanjut diperlukan karena MARSI umumnya terjadi setelah pemakaian jangka panjang dan berulang.

The removal of medical adhesives in the elderly risks causing medical adhesive-related skin injury (MARSI). Application of topical agents, 0.9% NaCl, vaseline album, or 70% alcohol, could possibly reduce adhesion between the skin and the tape. To determine if application of 0.9% NaCl, vaselin album, or 70% alcohol while removing medical adhesives was effective in reducing MARSI in geriatrics, a randomized, single- blind trial was conducted in a nursing home in Jakarta. Subjects were recruited based on inclusion (age 360 years old) and exclusion criteria (having no skin disorder, not taking anti-inflammatory drugs, immunosuppressants, or antihistamines, and not known allergy to adhesives and the topical agents). Seventy-five subjects gave consent to this study. Acrylic medical adhesives were applied on four areas on extensor thighs. On day three, they were removed with or without using the topical agents based on randomized allocation code unknown to the investigators. Changes in MARSI parameters, i.e. skin irritation scoring systems (SISS), transepidermal water loss (TEWL), and erythema index by mexameter were measured in each of trial area. MARSI was observed in 52% subjects or 20.7% areas (26.7% 0.9% NaCl, 20% vaselin album, 17.3% 70% alcohol, and 18.7% control; p=0,501). Change in SISS score and erythema index among experimental groups were not statistically significant. The change of TEWL value was significantly smaller in 0.9% NaCl group (1 g/m2/hour; p<0,001) and vaselin album (1 g/m2/hour; p<0,001) than control. We concluded that application of topical agents in aiding acrylic medical adhesive removal on day three in the elderly was not proven to reduce MARSI. However, the addition of 0.9% NaCl or vaselin album was shown to confer significantly less damage to the skin barrier. The observation time was very short due to Covid-19 pandemic to limit interaction with the elderly as vulnerable population. Further research is needed to confirm these preliminary findings before they can be generalized because MARSI prevention generally occurs after long-term use and repeated removal.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Hartanto Angriawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Perekat medis akrilat banyak digunakan dalam layanan kesehatan tetapi kerap menimbulkan Medical adhesive-related skin injury (MARSI). Pencegahan dapat dilakukan dengan menambahkan larutan NaCl 0,9%, vaselin album, atau alkohol saat pengangkatan.  Namun belum didukung oleh penelitian. Tujuan: Mengetahui efektivitas penambahan bahan topikal dalam prosedur pelepasan perekat akrilat dalam mengurangi angka kejadian MARSI dan parameter objektif terkait. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal. Dilakukan penempelan perekat akrilat pada empat lokasi di kulit lengan atas dewasa normal. Pada hari ketiga dan keenam perekat diangkat dengan/tanpa menambahkan bahan topikal secara acak pada keempat lokasi dan dilakukan evaluasi angka kejadian MARSI, skor eritema klinis, nilai eritema mexameter, TEWL, dan skor VAS nyeri. Hasil: Terdapat 224 lokasi uji dari 56 sampel. Angka kejadian MARSI pasca pengangkatan pertama 49,5% dan kedua 59,3%, terendah pada alkohol 50%. Alkohol menunjukkan peningkatan rerata skor eritema terendah baik klinis (p=0,102) maupun mexameter (p=0,024).  Alkohol dan vaselin menghasilkan peningkatan nilai TEWL terendah (p=0,709). Alkohol dan NaCl 0,9% tidak bermakna meningkatan skor VAS nyeri (p=0,173 dan p=0,699). Kesimpulan: Penambahan bahan topikal dapat mengurangi angka kejadian MARSI, namun tidak bermakna secara statistik. Alkohol secara konsisten menunjukkan perubahan parameter terkait yang lebih baik.

ABSTRACT
Background: Acrylic-based tapes are widely used in medicine but frequently associated with medical adhesive-related skin injury (MARSI). Addition of normal saline, vaseline or alcohol in its removal may prevent this, but studies are lacking. Aim: To determine the effectiveness of topical substances in reducing MARSI and related parameters during the removal of acrylic-based adhesives. Methods: We conducted a single-blind randomized controlled trial on the skin of normal adults. Tapes were placed on four sites on the upper forearms which were removed on the third and sixth days with/without applying the substances. The incidence, erythema based on clinical scores and mexameter, TEWL, and pain VAS were measured. Results: We obtained 224 test locations from 56 subjects. The incidence was 49.5% on the third day, increasing to 59.3% on the sixth; it was lower in alcohol group (50%). Alcohol resulted in lower mean of clinical erythema (p=0.102) and mexameter scores (p=0.024).  Both alcohol and vaseline gave the lowest TEWL increase (p= 0.709). Alcohol and normal saline was insignificantly increasing pain score (p=0.173 and p=0.699). Conclusion: Application of substances reduced MARSI incidence, but not statistically significant. Alcohol consistently demonstrated more favorable outcome in MARSI-related parameters.

 

"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Melly Rosdiana
"[Latar belakang: Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara melaporkan peningkatan infeksi
sifilis pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL). Kejadian ini dikaitkan
dengan jumlah LSL yang meningkat pesat dan perilaku seksual mereka yang berisiko tinggi.
Sifilis menjadi masalah penting karena sifilis meningkatkan penularan HIV. Beberapa penelitian
terdahulu menemukan faktor risiko infeksi sifilis antara lain memiliki banyak pasangan seksual,
tidak konsisten memakai kondom, memiliki riwayat infeksi menular seksual (IMS), dan
berhubungan seks di bawah pengaruh obat-obatan. Peran faktor risiko lain yang terkait perilaku
seksual perlu diklarifikasi.
Tujuan: Mengetahui hubungan usia coitarche, posisi berhubungan seksual, dan penggunaan
pelumas seks dengan kepositifan serologik sifilis pada LSL di Jakarta.
Metode: Penelitian dengan rancangan kasus kontrol, yang berlangsung dari bulan Januari hingga
Maret 2015 di Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta. Sebanyak 116 subjek terbagi atas dua kelompok,
yaitu LSL dengan hasil tes serologik sifilis positif dan negatif, dengan jumlah yang sama disetiap
kelompok. Semua subjek diwawancara langsung mengenai beberapa perilaku seksual dan
dilakukan pengambilan darah yang diperiksa dengan rapid plasma reagin dan rapid syphilis test.
Hasil: Faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan analisis multivariat adalah usia
coitarche anogenital muda (p=0,001, OR=1,211, IK95%=1,084-2,634), posisi reseptif anal
(p=0,006, OR=8,044, IK95%=1,811-35,720), dan penggunaan pelumas seks pada penis pasangan
seksual (p<0,001, OR=19,286, IK95%=4,009-92,771).
Kesimpulan: Usia coitarche, posisi reseptif anal, dan penggunaan pelumas pada penis pasangan seksual merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kepositifan serologik sifilis. , Background: Over the past years, a worldwide increase of syphilis infection has been reported
among men who have sex with men (MSM), thought to be related to their high risk sexual
behavior. Syphilis is an important problem because it can increase the risk of acquisition and
transmission of HIV. Several studies have identified risk factors for syphilis, e.g. numbers of
sexual partner, inconsistent use of condom, previous sexually transmitted infection (STI), and sex
under the influence of drugs. The role of other sex-related behavioral characteristics needs to be
clarified.
Objective: The purpose of this study is to evaluate the relationship between coitarche age, sex
position, and sex lubricant use with syphilis seropositivity among MSM in Jakarta.
Methods: In this case control study, conducted from January to March 2015 at Pasar Rebo
community health care, Jakarta, 116 subjects were divided equally into groups of MSM with
positive and negative serologic syphilis test. All were interviewed about certain sexual behaviors
and blood samples were tested for syphilis by rapid plasma reagin and rapid syphilis test.
Results: After multivariate analysis, risk factors associated with positive serologic syphilis test
were younger coitarche age (p=0.001, OR=1.211, 95%CI=1.084-2.634), receptive anal sex
(p=0.006, OR=8.044, 95%CI=1.811-35.720), and the use of lubricant on sexual partner’s penis
(p<0.001, OR=19.286, 95%CI=4.009-92.721).
Conclusions: Coitarche age, receptive anal sex, and sex lubricant use on sexual partner’s penis were significantly associated with positive serologic syphilis test.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Darmawan
"Melasma merupakan penyakit pigmentasi wajah yang menimbulkan hendaya psikososial. Penurunan kualitas hidup pasien tidak selalu terbukti berkorelasi dengan keparahan klinisnya. MELASQoL-INA adalah instrumen evaluasi kualitas hidup pasien melasma adaptasi Bahasa Indonesia yang tervalidasi, sedangkan modified melasma severity index (mMASI) adalah skoring derajat keparahan melasma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perbaikan derajat keparahan melasma pascaterapi krim triple combination (flucinolon acetonide 0,01%, hydroquinone 4%, dan tretinoin 0,05%) berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup. Subjek dengan melasma menjalani terapi krim triple combination selama 12 minggu dalam penelitian one group pretest-posttest. Skor MELASQoL-INA dan mMASI dinilai setiap 4 minggu. Tiga puluh perempuan berusia 30-60 tahun, bertipe kulit IV atau V, tanpa penyakit kulit lain di wajah, menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian. Pada kunjungan awal, median skor mMASI dan MELASQoL-INA adalah 4,45 (1,3–13,9) dan 37 (10-70). Pada minggu ke-12 terjadi penurunan median skor mMASI menjadi 1,80 (0,60-6,30; p<0,001) dan skor MELASQoL-INA menjadi 17 (10-59; p<0,001). Skor mMASI pascaterapi tidak terbukti berkorelasi dengan skor MELASQoL-INA (r=0,029; p=0,879), namun perbaikan skor mMASI terbukti berkorelasi positif lemah dengan perbaikan skor MELASQoL-INA (r=0,397; p=0,03). Terapi krim triple combination selama 12 minggu memperbaiki keparahan melasma dan kualitas hidup pasien secara bermakna. Terdapat korelasi bermakna antara perubahan skor keduanya.

Melasma is a common facial pigmentary disorder. Despite causing psychosocial distress, the reduced quality of life (QoL) was not consistently shown to correlate with clinical severity. MELASQoL-INA is a validated instrument adapted into Indonesian for evaluating the QoL of melasma patient, while modified melasma area and severity index (mMASI) was a tool for assessing melasma severity. Aim: To determine if clinical improvement after triple combination cream therapy (flucinolone acetonide 0.01%, hydroquinone 4%, and tretinoin 0.05%) correlated with increased QoL. Subjects with melasma were treated with triple combination cream for 12 weeks in a one-group pretest-posttest study. MELASQoL-INA and mMASI assessments were carried out every 4 weeks. Thirty females aged 30-60 year-old, skin type IV or V, and devoid of other facial skin problems had completed the study. At the initial visit the median of mMASI and MELASQoL-INA score were 4.45 (1.3–13.9) and 37 (10–70). At week-12, the median of mMASI score was reduced to 1.80 (0.60-6.30; p<0.001) and MELASQoL-INA score to 17 (10-59; p<0.001). While there was no correlation between posttreatment mMASI and MELASQoL-INA scores (r=0.029; p=0.879), a weak positive correlation was found between the change of mMASI and MELASQoL-INA scores (r=0.397; p=0.03). Twelve-week course of triple combination cream alleviated melasma severity and patient’s quality of life significantly. There was a significant, but weak, correlation between the improvement in severity and quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library