Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainab Assegaff
Abstrak :
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Indonesia dalam negosiasi perdagangan bebas Uni Eropa (UE) dengan negara-negara Asia Tenggara, yang dilihat dari perspektif UE. Pertanyaan pendahuluan dari penelitian ini adalah mengapa UE menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia Tenggara. Sementara itu, pertanyaan penelitian utama dari tesis ini adalah mengapa Indonesia hanya menjadi negara keenam di Asia Tenggara yang melakukan negosiasi perdagangan bebas dengan UE dan bukan yang pertama. Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan studi kasus, dalam hal ini negosiasi perdagangan bebas UE-Asia Tenggara. Metode pengumpulan data utama menggunakan teknik studi pustaka yang dikumpulkan dari buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori Cross-Regionalism yang dikemukakan oleh Mireya Solís dan Saori N. Katada (2007). Faktor regional yang membuat UE melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) lintas kawasan antara lain kondisi ekonomi internal yang terpuruk; kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru, terutama Tiongkok, yang menyaingi UE; kemajuan ekonomi dari keenam negara Asia Tenggara yang jauh lebih baik dari UE; kondisi perdagangan barang yang tidak menguntungkan dengan ASEAN; dan kebijakan politik UE. FTA lintas kawasan merupakan upaya UE untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, mencegah terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), dan menjadi kekuatan normatif. Faktor regional yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi prioritas bagi UE adalah kondisi ekonomi Indonesia yang tidak lebih baik dari Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina; hubungan ekonomi UE-Indonesia yang menurun; isu-isu keberlanjutan (sustainability); dan minimnya hubungan UE-Indonesia. Kemudian, motif yang memengaruhi UE untuk melakukan FTA lintas kawasan adalah motif pengaruh (leverage), yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai UE, sehingga terbentuk like-minded countries. Motif ekonomi dan motif pengaruh (leverage) merupakan alasan yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi mitra negosiasi FTA bilateral pertama dan hanya yang keenam. Tampaknya kedua alasan ini memengaruhi UE dalam penentuan mitra FTA, sedangkan motif keamanan dan diplomasi tidak memengaruhinya. Hal ini menunjukkan bahwa motif keamanan dan diplomasi (politik) diabaikan oleh UE. Dalam memilih mitra FTA, nilai-nilai yang diusung UE kalah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonominya. ......This thesis aims to analyze Indonesia's position in the Free Trade Agreement (FTA) negotiations between the European Union (EU) and Southeast Asian countries as seen from the EU's perspective. The preliminary question of this thesis is why the EU negotiated FTAs with Southeast Asian countries. Meanwhile, the primary research question is why Indonesia became the sixth country in Southeast Asia to negotiate a bilateral FTA with the EU instead of the first. The research method of this thesis is a qualitative analysis using a case study, which is the EU-Southeast Asia FTA negotiations. The majority of the data collected in this thesis is collected from books, articles, news pages, and official pages from related organizations. To answer the research question, the researcher uses Cross-Regionalism theory put forward by Mireya Solís and Saori N. Katada (2007). Regional factors that have led the EU to conduct cross-regional FTA ​​are internal economic slump; the emergence of new economic powers, notably China, that rival the EU; economic improvement of the six Southeast Asian countries which is much better than the EU; unfavorable trade in goods with ASEAN; and EU political policy. Cross-regional FTA is EU's effort to improve its economic condition, prevent trade diversion, and become a normative power. Regional factors that have caused Indonesia not to become a priority for the EU are Indonesia's economic condition that was no better than Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, and the Philippines; the decline of EU-Indonesia economic relation; sustainability issues; and the lack of EU-Indonesia relation. Furthermore, the motive that influences the EU to conduct cross-regional FTA ​​is leverage motive, namely to promote EU values, so that like-minded countries are formed. Economic motive and leverage motive were the reasons why Indonesia was not the first and only the sixth bilateral FTA negotiating partner. It seems that both of these reasons influenced the EU in determining its FTA partners, while security and diplomacy motives did not influence the EU. This shows that security and diplomacy (politics) motives were disregarded by the EU. In choosing FTA partners, the values promoted by the EU lose out when it comes to its economic interests.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sara Gabriella
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis bentuk upaya Interpol dalam pemberantasan isu penyelundupan narkoba di Indonesia dengan usaha kerja sama. Dengan menggunakan metode tracing, peneliti mengambil konsep Rezim Internasionaldalam melihat bagaimana rezim membentuk usaha serta upaya Indonesia dalammenangani kasus penyelundupan narkoba. Penelitian ini berkontribusi padaperluasan dan pendalaman teori rezim internasional dengan memperdalam tigavariabel utama menurut Stephen D. Krasner yaitu Kepentingan Negara, KekuatanPolitik, serta Norma dan Prinsip. Melihat variabel analisis, hasil akhir daripenelitian ini menegaskan bahwa kerja sama dalam rezim membangun danmempengaruhi bentuk penanganan konsisten yang dipilih oleh Indonesia terkait isupenyelundupan narkoba agar lebih “tertata” dan menjadi alasan Indonesia untukmemperkuat kerja sama taraf internasional. Ini merupakan hasil akhir dari strukturrezim yang dikaitkan antara tiga variabel inti dan menghasilkan perilaku negarayang dalam hal ini; pilihan langkah menangani isu penyelundupan narkoba. Hal inididorong dengan bentuk murni dari narkoba sebagai salah satu isu kejahatantransnasional yang tidak mementingkan peran perbatasan negara dan menuntutkerja sama antar negara. ......This study analyzes Interpol's effort in eradicating drug trafficking cases in Indonesia by means of cooperation. Employing tracing method, the author adopt the concept of International Regime by Krasner and its three variables, i.e. national interest (egoistic self-interest), Political Power, and Norms and Principles in investigating how a regime shape Indonesia's efforts in handling drug trafficking cases. The result affirms that cooperation within regime helps to nurture and influence Indonesia's consistency and organized method in handling drug trafficking cases. This also serves as the reason why Indonesia chooses to strengthen international cooperation in drug trafficking issues. Moreover, the research also justifies that the cooperation is the byproduct of regime structure with three main variables; therefore, resulting in state's behavior, in this case, Indonesia's choice of action in handling drug trafficking cases. Further, Indonesia's action is also justified considering that the nature of drug trafficking as a transnational crime issue that goes beyond nation's border and demands intergovernmental cooperation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Yassir Fathinsyah
Abstrak :
Sebagai dampak dari meningkatnya ketergantungan (interdependensi) dan upaya untuk menciptakan keterhubungan (interkonektivitas) yang didorong oleh dinamika internasional sebagai dampak dari globalisasi, membuat ASEAN berupaya menjawab tantangan integrasi tersebut dengan merumuskan Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC). Dokumen tersebut berisi mengenai rumusan kompilasi proyek-proyek prioritas yang dianggap esensial bagi konektivitas intra-ASEAN menjadi suatu komunitas tunggal. Akan tetapi dalam proses implementasinya, proyek-proyek prioritas Master Plan on ASEAN Connectivity tersebut menghadapi berbagai macam hambatan atau barriers. Satu-satunya strategi yang dapat terimplementasikan adalah strategi Energy Interconnection yang memuat gagasan proyek Sarawak-West Kalimantan Interconnection. Penelitian ini mencoba menganalisis penyebab mengapa strategi tersebut dapat mencapai implementasinya menggunakan pendekatan aktor-aktor ayng terlibat dalam gagasan tersebut. Dengan berdasarkan teori Contested Regionalism oleh Toby Carroll dan Benjamin Sovacool, tesis ini berusaha menganalisis kontestasi yang terjadi antar aktor yang terlibat demi mencapai kepentingannya sehingga dapat menjadi jawaban atas keberhasilan suatu gagasan kerja sama regional. ......As an impact of increasing interdependence and efforts to create interconnection driven by international dynamics as a result of globalization, ASEAN has sought to answer the challenges of integration by formulating the Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC). The document contains the formulation of compilation of priority projects which are considered essential for intra-ASEAN connectivity into a single community. However, in the process of implementation, the priority projects of the Master Plan on ASEAN Connectivity face various obstacles or barriers. The only strategy that can be implemented is the Energy Interconnection strategy that contains the ideas of the Sarawak-West Kalimantan Interconnection project. This study tries to analyze the causes of why the strategy can achieve its implementation using the approach of actors involved in the idea. Based on the theory of Contested Regionalism by Toby Carroll and Benjamin Sovacool, this thesis attempts to analyze the contestation that occurs between the actors involved in order to achieve their interests so that they can be the answer to the success of a regional cooperation idea.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Dias Rizaldy
Abstrak :
ABSTRAK
Status United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai pengamat di Melanesian Spearhead Group (MSG) melambangkan pengakuan internasional dari negara-negara Melanesia. Berdasarkan tinjauan pustaka, tidak banyak penelitian yang mencoba mengeksplorasi respons Indonesia tentang internasionalisasi konflik Papua Barat, lebih khusus dari perspektif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pemisahan diri dan pencegahan pengakuan entitas Papua Barat di ranah internasional oleh Indonesia. Untuk menganalisis fenomena ini, penulis menggunakan konsep kontra-pemisahan & pengakuan yang pendekatannya berasal dari perspektif liberalisme. Penelitian ini menemukan bahwa kegigihan dalam melindungi integritas nasionalnya dan banyaknya diplomasi yang dilakukan adalah kunci dari kurangnya dukungan internasional yang diberikan kepada entitas Papua Barat. Selain itu, tidak adanya dukungan dari negara-negara kekuatan utama meningkatkan peluang keberhasilan bagi Indonesia dalam mencegah pengakuan internasional terhadap entitas de facto.
ABSTRACT
The status of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) as an observer in the Melanesian Spearhead Group (MSG) symbolizes international recognition from Melanesian countries. Based on a literature review, not much research has tried to explore Indonesia's response to the internationalization of the West Papua conflict, more specifically from an Indonesian perspective. This study aims to analyze the process of secession and prevention of recognition of West Papuan entities in the international sphere by Indonesia. To analyze this phenomenon, the author uses the concept of counter-separation & recognition whose approach is derived from the perspective of liberalism. This research found that persistence in protecting its national integrity and the amount of diplomacy undertaken is the key to the lack of international support given to West Papuan entities. In addition, the lack of support from major power countries increases the chances of success for Indonesia in preventing international recognition of de facto entities.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Jasmine Meutia Azzara
Abstrak :
Diversifikasi merupakan salah satu opsi strategi dalam pengadaan senjata suatu negara. Strategi ini menjadi ‘jalan tengah’ bagi negara yang belum mampu mencapai derajat kemandirian, tetapi ingin terlepas dari ketergantungan total. Berbagai negara telah melakukan berbagai macam diversifikasi dengan berbagai alasan. Namun, menjadi menarik untuk melihat kasus Indonesia yang tetap melanggengkan diversifikasi meskipun embargo yang menjadi penyebab awal diversifikasi telah dicabut. Penelitian ini membahas faktor pendorong Indonesia menerapkan strategi diversifikasi negara pemasok dalam pengadaan alutsista tahun 2006 hingga 2018 melalui pendekatan bureaucratic politics model. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain eksplanatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat persaingan antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan pengadaan alutsista. Persaingan aktor ini melahirkan berbagai faktor yang melatarbelakangi tindakan dan keputusan mereka dalam proses pembuatan kebijakan yang berujung pada terjadinya diversifikasi negara pemasok alutsista sebagai keluaran dari proses politik ini. Sehingga, kemudian terlihat bahwa penerapan strategi diversifikasi negara pemasok alutsista membawa berbagai permasalahan dan berujung pada ketidakefektifan pengadaan alutsista. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang penerapan diversifikasi pengadaan alutsista untuk menyiapkan strategi pengadaan alutsista yang lebih efektif dan efisien di masa mendatang. ......Diversification is one of the strategic options in the arms procurement. This strategy has been believed as a "middle way" for a state that has not been able to achieve a degree of independence, but wants to get rid a total dependence on arms import. Many states have diversified its arms procurement for various reasons. However, it is interesting to see the case of Indonesia which continues to perpetuate diversification even though the embargo that was the initial cause of diversification has been lifted. This study discusses the Indonesia’s driving factors to keep on diversifying supplier countries in its arms procurement rom 2006 to 2018 through the bureaucratic politics model approach. This study uses a qualitative approach with an explanative design. The results of this study conclude that there is competition between actors with an interest in the making of arms procurement policies. The competition of these actors sets in some factors towards their actions and decisions in the policy-making process, which leads to the diversification of the arms supplier countries as a result of this political process. Thus, it appears that the implementation of a diversification strategy brings many problems and leads to ineffective arms procurement. Therefore, the results of this study suggest the government to review the implementation of the arms supplier countries’ diversification to prepare a more effective and efficient arms procurement strategy in the future.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Yolam Riwinda
Abstrak :
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi merupakan dua hal yang mendorong interkoneksi di abad 21. Perkembangan teknologi ini mendorong digitalisasi ekonomi, atau yang biasa disebut dengan ekonomi digital. Sejak pertama kali dibahas pada tahun 1990an, ekonomi digital terus berkembang secara praktis, maupun akademis melalui literatur-literatur yang membahasnya. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana ekonomi digital dilihat dalam ilmu Hubungan Internasional? Dengan menggunakan perspektif ilmu HI, penulis mengkaji literatur-literatur yang membahas ekonomi digital. Penulis berpendapat bahwa ekonomi digital merupakan fenomena hubungan internasional yang  berpengaruh pada pergeseran peran aktor internasional, serta menciptakan dimensi baru dalam tata kelola global.Di era ekonomi digital, muncul aktor-aktor non negara yang memainkan peranan penting, hingga pada titik tertentu bersaing dengan negara dalam mengatur tata kelola. Ekonomi digital juga bersifat multidimensional, karena berdampak pada berbagai sektor. Pertama, memunculkan jenis pasar baru seperti e-commercedi sektor ekonomi. Kedua, mendorong e-government sebagai dampak di sektor politik. Ketiga, memunculkan isu keamanan cyber di sektor keamanan. Terakhir, di sektor pembangunan global, muncul dimensi baru, yakni pertimbangan aspek digital dalam pembangunan berkelanjutan. .......Globalization and the development of information and communication technology are two things which encourage interconnection in the 21stcenturyTechnological developments encourage economic digitalization, or what is commonly referred to as the digital economy. Since it’s first discussed during the 1990s, digital economy has been developing practically, as well as academically through the literatures. This paper aims to answer the following question: how is the digital economy seen in International Relations? Using IR perspective, this writing examines some of the literatures about digital economy. Digital economy is an international relations phenomenon which influences the shifting role of international actors, and creates a new dimension in global governance. In this era, the role of non-state actors emerge – to some extent – compete with the state in regulating governance. The digital economy is also multidimensional, as it affects various sectors. First, in the economy sector, it creates new types of markets, such as e-commerce. Second, in the politics, digital transformation enables e-government for the state. Third, in the security sector, it raises concern towards cybersecurity. Fourth, in the global development sector, a new dimension emerges, namely the consideration of digital aspects in sustainable development.
2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Destya Puspita Darmawan
Abstrak :
Belt and Road Initiative (BRI) merupakan inisiatif ambisius Tiongkok pada masa pemerintahan Xi Jinping. TKA ini akan mengkaji berbagai pandangan literatur mengenai sikap negara-negara ASEAN terhadap BRI. Pengelompokan literatur dalam TKA ini didasarkan pada respon negara-negara dalam menyikapi perilaku great power di kawasan. TKA ini memetakan sikap yang berbeda-beda dari negara-negara ASEAN terhadap BRI sebagai perilaku dari Tiongkok sebagai great power. Sebagai kawasan utama dalam implementasi BRI, sikap tersebut menentukan keberlangsungan dan keberhasilan BRI di masa datang. Sikap yang ditunjukkan negara-negara ASEAN tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan pembuatan kebijakan terkait BRI bagi negara-negara ASEAN dan Tiongkok. ......The Belt and Road Initiative (BRI) is China's ambitious initiative during the Xi Jinping administration. This paper reviews various literary views on the attitudes of ASEAN countries towards BRI. This grouping of literature in this paper is based on the response of countries in addressing the great power behavior in the region. This paper also mapped the different attitudes of ASEAN countries towards BRI as the behavior of China as great power. As the main area in the implementation of BRI, this attitude determines the sustainability and success of BRI in the future. The attitude shown by ASEAN countries can be used as a consideration for making policies related to BRI for ASEAN countries and China.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizh Mulia
Abstrak :
Negara-negara Nordik adalah sekelompok negara yang dianggap sukses membangun negaranya. Di tiga area kajian ilmu Hubungan Internasional, yakni Politik-Keamanan, Ekonomi-Politik, dan Sosial-Budaya, negara-negara Nordik tidak luput dari posisi puncak indikator keberhasilan. Dalam praktiknya, negara-negara Nordik ini menganut gagasan pembangunan welfare state model Nordik. Meski welfare state model Nordik sudah berhasil memajukan negara-negara Nordik, gagasan ini belum mendapat perhatian serius dalam literatur-literatur ilmu Hubungan Internasional. Tulisan ini mengkaji bagaimana literatur melihat faktor-faktor penunjang kesuksesan gagasan pembangunan welfare state model Nordik. Literatur berpendapat bahwa kesuksesan welfare state model Nordik didukung oleh dua faktor yang berbeda, yakni karakteristik masyarakat yang muncul secara alamiah dari masyarakat, dan kebijakan institusional yang dipengaruhi secara signifikan oleh negara. Dalam praktiknya, kedua faktor ini tidak terpisah secara eksklusif, melainkan memengaruhi satu sama lain memperkuat keunikan welfare state model Nordik itu sendiri. Menggunakan metode taksonomi, pemetaan literatur dilakukan berdasarkan dua faktor tersebut. Kajian literatur menemukan adanya lima karakteristik masyarakat Nordik dan empat kebijakan institusional khas negara Nordik yang menunjang kesuksesan welfare state model Nordik. Lima karakteristik masyarakat Nordik tersebut adalah solider, percaya pada negara sebagai solusi masalah sosial, memiliki kesamaan pandangan ideasional, dan egaliter. Sedangkan empat faktor kebijakan institusional khas negara Nordik yang ditemukan dalam literatur adalah dekomodifikasi hak sosial, pajak progresif, collective bargaining antar aktor, dan aktif mengadvokasi perdamaian dan pembangunan di tingkat internasional. Berdasarkan kajian literatur, perspektif literatur tampak masih kuat akan bias Barat. Hal ini menjadi salah satu celah riset utama, selain celah riset lainnya seperti kajian mendalam tiap-tiap faktor dan kajian komparatif penerapan gagasan welfare state model Nordik di negara-negara non-Nordik. ......Nordic countries are considered successful in their developmental programs. In the three areas of International Relations studies, namely Political-Security, Political Economy, and Socio-Cultural, the Nordic countries oftenly gets better scores than the rest of the world. In practice, these Nordic countries adhere to the Nordic model of Welfare State development ideas. Although the Nordic model of Welfare State has succeeded in advancing Nordic countries, this idea has not received serious attention in the International Relations literature. This paper examines how the literature captures the factors supporting the success of the Nordic model Welfare State development ideas. Literature argues that the success of the Nordic model of Welfare State is supported by two different factors, namely the characteristics of society that arise naturally from the people, and institutional policies that are significantly influenced by the state. In practice, these two factors are not exclusively separated, but instead influencing one another to strengthen the uniqueness of the welfare state of the Nordic model itself. Using the taxonomic method, literature mapping is based on these two factors. Literature finds five characteristics of the people of Nordic and four unique Nordic states institutional policies that support the Nordic model of Welfare State. The five characteristics of the people of Nordic are solidarity, trusting the state as a solution to societal problems, having similar ideational views, and egalitarian. Whereas the four Nordic institutional policies factors found in the literature are decommodification of social rights, progressive taxes, collective bargaining between actors, and actively advocating for peace and development at the international level. Based on the literature examined, the literature perspective seems to be still strong in Western bias. This has become one of the main research gaps, in addition to other research gaps such as an in-depth study of each factor and a comparative study of the application of Nordic model of Welfare State ideas in non- Nordic countries.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Aliya Yusriya
Abstrak :
Peraturan multilateral mengenai perdagangan jasa keuangan diatur oleh World Trade Organization (WTO) dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) semenjak berakhirnya Uruguay Round pada tahun 1995. TKA ini bertujuan untuk memetakan perkembangan debat liberalisasi jasa keuangan yang diatur oleh GATS dalam perspektif negara maju dan berkembang, yang sering kali memiliki kepentingan berbeda. Adapun periode yang digunakan yaitu semenjak dimulainya negosiasi liberalisasi jasa keuangan pada Putaran Uruguay tahun 1993 hingga tahun 2016. Pengelompokkan literatur ini dilakukan melalui metode kronologi yang dibagi menjadi tiga periode yakni Periode I(Negotiation Period, 1993-1997), Periode II (Adaptation Period, 1998-2008), dan Periode III (Development Period, 2009-2016). Dengan metode taksonomi, penulis mengklasifikasikan 6 isu yang muncul dalam literatur, yaitu tata kelola GATS, kesiapan negara, komitmen negara, pandangan negara, kepentingan negara, dan perubahan pada GATS. Dari keenam isu tersebut, isu komitmen negara dan kepentingan negara merupakan isu dominan di setiap periode. Debat terkait komitmen negara menunjukkan bahwa upaya meningkatkan komitmen negara berdasarkan ketentuan GATS menjadi debat yang terus muncul terutama dalam 15 tahun sejak awal negosiasi GATS (1993-2008). Sementara terkait isu kepentingan negara didasari oleh kentalnya negosiasi dalam hal tata kelola GATS atas dasar kepentingan negara maju dan berkembang. Pada intinya, negara berkembang mendukung prinsip-prinsip GATS dengan komitmen yang minim dan tetap mengutamakan regulasi domestik, sementara negara maju mendukung prinsip liberalisasi di GATS dengan minim regulasi. ......The multilateral regulation on financial trade is regulated by the World Trade Organization (WTO) in the General Agreement on Trade in Services (GATS) since the end of the Uruguay Round in 1995. This paper aims to map the development of the financial services liberalization debate provided by GATS in the perspective of developed and developing countries which often have different interests. The period used is since the commencement of financial service liberalization negotiations in the Uruguay Round of 1993 to 2016. This grouping of literature is done through chronological methods which are divided into three periods which are Period I (Negotiation Period, 1993-1997), Period II ( Adaptation Period, 1998-2008), and Period III (Development Period, 2009-2016). With the taxonomy method, the author classifies 6 issues that appear in the literatures, namely GATS governance, state readiness, state commitment, state views, state interests, and changes to GATS. Of the six issues, the issue of state commitment and state interests are the dominant issues in each period. Debates related to state commitment show that efforts to increase state commitment based on GATS provisions have become debates that continue to emerge, especially in the 15 years since the beginning of the GATS negotiations (1993-2008). While the issue of state interests is based on the thickness of negotiations in terms of GATS governance on the basis of the interests of developed and developing countries. In essence, developing countries support the GATS principles with minimal commitment and continue to prioritize domestic regulations, while developed countries support the principle of liberalization at GATS with minimal regulation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Ayodya Pithaloka
Abstrak :
17 Desember 2014 menjadi momentum normalisasi hubungan AS dan Kuba yang sempat terhenti secara diplomatis pada 1961. Keputusan itu diambil oleh AS akibat Revolusi Kuba pada 1959 yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasinya. AS mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Fidel Castro melalui Cuban Democracy Act (Torricelli Bill) dan Cuban Liberty and Democratic Society (Helms-Burton Act). Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha meninjau faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong dari normalisasi hubungan AS-Kuba. Melalui metode taksonomi, penulis membagi faktor-faktor tersebut melalui lima kategori yaitu 1) peran kawasan dan organisasi Amerika Latin serta Karibia, 2) peran Cuban American National Front (CANF), 3) peran restrukturisasi politik dan ekonomi Raul Castro, 4) peran Vatikan, dan 5) faktor-faktor pendorong lainnya. Berdasarkan pembagian tersebut, penulis menemukan lima konsensus yaitu 1) Semua tulisan mengkritik embargo ekonomi terhadap Kuba, 2) CANF sebagai kelompok lobi memiliki peran untuk memobilisasi suara, 3) munculnya organisasi regional yang tidak mengikutsertakan AS, 4) adanya perubahan regionalisme kawasan menjadi post-liberal/post-hegemonic, dan 5) pemerintahan Obama yang mengedepankan penggunaan soft power. Tidak hanya konsensus, ada pula dua perdebatan yang ditemukan. Pertama, kesuksesan restrukturisasi ekonomi dan sosial Kuba yang masih dipertanyakan. Kedua, adanya perdebatan terkait motivasi apa yang dimiliki Vatikan sebagai mediator normalisasi AS-Kuba. Walaupun bahasan mengenai peran kawasan dan organisasi Amerika Latin serta Karibia merupakan bahasan yang dominan, penulis berargumen bahwa peran individu dalam normalisasi AS-Kuba menjadi faktor pendorong terkuat dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Melalui tinjauan ini, penulis juga melihat bahwa tulisan tentang normalisasi AS-Kuba masih didominasi dengan tulisan argumentatif dan kurang beragam dalam penggunaan perspektif. ......17th December 2014 became the momentum of normalization of US and Cuba relations which was stopped diplomatically in 1961. The decision was taken by the US due to the Cuban Revolution in 1959 which was not in line with its democratic values. The US issued several policies aimed at overthrowing the Fidel Castro regime through the Cuban Democracy Act (Torricelli Bill) and the Cuban Liberty and Democratic Society (Helms-Burton Act). Therefore, this paper will try to review what factors are driving the normalization of US-Cuba relations. Through taxonomic methods, this literature review divides these factors into five categories, namely 1) the role of Latin American and Caribbean regions and organizations, 2) the role of the Cuban American National Front (CANF), 3) the role of Raul Castro's political and economic restructuring, 4) the role of the Vatican, and 5) other driving factors. Based on this division, there are five consensuses, namely 1) all writings criticized the economic embargo on Cuba, 2) CANF as a lobby group had a role to mobilize votes, 3) the emergence of regional organizations that did not include the US, 4) the change of regional regionalism into post- liberal / post-hegemonic, and 5) the Obama administration which prioritizes the use of soft power. Not only consensus, there are also two debates found. First, the successful economic and social restructuring of Cuba is still questionable. Second, there is debate about what motivations the Vatican has as a mediator for US-Cuban normalization. Although the discussion about the role of regions and organizations of Latin America and the Caribbean is the dominant discussion, the authors argue that the role of individuals in US-Cuban normalization is the strongest motivating factor compared to other factors. This literature review also see that writing about US-Cuba normalization is still dominated by argumentative writing and lacks diversity in the use of perspective.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>