Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Muda Patih
"Objektif : Untuk mengetahui bagaimana profil pasien infeksi ventrikuloperitoneal shunt (VP-shunt) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode April 2009 - April 2014.
Metode : Studi potong lintang yang bersifat deskriptif pada 25 data rekam medis pasien yang mengalami infeksi ventrikuloperitoneal shunt yang menjalani operasi di RSCM. Pada data rekam medis dilakukan review faktor - faktor apa saja yang menyebabkan infeksi VP-shunt. Faktor - faktor yang ditemukan pada kasus-kasus infeksi di evaluasi dan dianalisis.
Hasil : Terdapat 25 pasien yang mengalami infeksi shunt yaitu sebesar 4,4% dari 566 kasus yang menjalani prosedur operasi pemasangan ventrikuloperitoneal shunt. Sebaran usiater banyak kurang dari 1 tahun sebanyak 9 pasien (36%) dengan rasio perbandingan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan 1:1,33. Status gizi terbanyak yaitu gizi kurang pada 16 pasien (64%) . Untuk infeksi dini merupakan rasio terbanya pada usia 1 - < 5 tahun sebanyak 5 orang (20%), durasi awal pemasangan sampai terjadi infeksi dengan nilai tengah 3,5 bulan. Gejala klinis terbanyak pada pasien infeksi VP-shunt adalah demam pada 11 orang (44%). Temuan klinis pada pasien infeksi VP-shunt terbanyak yaitu terbentuknya track sebanyak 8 orang (32%). Lama pemberian antibiotik lebih dari 5 hari sebanyak 19 orang (76%) dan lama perawatan lebih dari 5 hari sebanyak 23 orang (92%). Pola kuman berdasarkan hasil kultur berdasarkan hasil kultur pada CSS, drain peritoneal dan drain ventrikel terbanyak adalah Staphylococcus epidermidis.
Kesimpulan : Berdasarkan gambaran profil pasien yang mengalami infeksi VP-shunt usia yang lebih muda, status gizi kurang, lama pemberian antibiotik dan lama perawatan di rumah sakit diduga merupakan faktor resiko tinggi untuk terjadinya infeksi.

Introduction : To determine the profile of ventriculoperitoneal shunt (VP-shunt) infections patients in CiptoMangunkusumo Hospital from April 2009 to April 2014.
Methods : Adescriptive cross-sectional study on 25 medical records of patients who had a VP-shunt infection in RSCM. We reviewed the factors contribute to shunt infections from medical records. Factors that were found in infection cases were evaluated and analyzed.
Results : There were 25 (4,4%) patients of 566 VP-shunt patients experienced of shunt infection who underwent shunt procedure. Distribution of age the majority was less than 1 year with 9 patients (36%) with sex ratio of male and female 1:1.33. The most nutritional status wasmal nutrition in 16 patients (64%). The most prevalence age group for early infection was 1 - <5 years with 5 people (20%), the duration of the initial installation to an infection with a median value 3.5months - old. The most prevalence clinical symptoms of patients was fever 11 patients (44%) and the most clinical findings was the formation of most tracks 8 patients (32%). The duration of antibiotic over 5 days was 19 patients (76%) and treatment duration of more than 5 days was 23 patients (92%). The pattern was based on the results of bacterial cultures based on cerebrospinal fluid, peritoneal drain and ventricular drain. The most bacterial findings was Staphylococcus epidermidis.
Conclusion : Based on the description of the profile of patients who experienced VPshunt infection younger age, less nutritional status, and long duration of antibiotic treatment in hospitalis thought to be the high risk factor for the occurrence of infections.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Agus Aulia
"ABSTRAK
Latar Belakang :
Cedera Kepala masih menjadi masalah medis sekaligus masalah sosial-ekonomi di Indonesia. Angka mortalitas dan morbiditasnya enderung meningkat. Proses Neuroinflamasi dan Stres Oksidatif berperan dalam proses cedera kepala sekunder setelah trauma. Iskemia otak menjadi pencetus proses ini yang berujung pada kematian sel saraf.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara proses neuroinflamasi dan stres oksidatif dengan prognosis pasien cedera kepala dan hubungannya dengan prosedur bedah saraf dengan neuroinflamasi dan stres oksidatif.
Metode:
Desain Studi penelitian ini adalah prospektif terhadap 40 pasien cedera kepala yang dilakukan tindakan bedah saraf. Dilakukan pemeriksaan serum antibodi terhadap NR2A dan serum glutahion (GSH) sebelum dan satu hari paska operasi pada pasien cedera kepala, kenudian dinilai hubungannya dengan parameter kesaddaran (GCS) dan fungsi (GOS) serta kaitannya dengan tindakan bedah saraf.
Antibodi terhadap NR2A diukur dengan metode ELISA. Sementara kadar Glutathion (GSH) serum diukur bekerjasama dengan departemen biokimia dan moekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasil :
Dari 40 sampel, sebagian besar adalah lelaki (77,5%) dengan rerata usia 30,78 tahun. Pasien dengan GCS>8 sebanyak 57,5 % sementara dengan GCS < 8 sebanyak 4,7 %. Terdapat peningkatan GCS pada hari ke-7 paska operasi. Diketahui pula terdapat peningkatan GOS pada bulan ke-3 dibandingkan bulan-1 paska operasi.
Kadar serum antibodi NR2A menunjukkan kecenderungan penurunan dibandingkan kadar preoperasi (perbedaan median -1,34 ng/dl).
Tidak terdapat kaitan ntara antibodi NR2A dan GSH serum dengan GCS,GOS dan tindakan bedah saraf.
Kesimpulan :
Pemeiksaan kadar antibodi NR2A serum sebaiknay dilakukan secara serial. Kadar antibodi NR2A masih mungkin memiliki nilai prognostik pada pasien cedera kepala.

ABSTRACT
Background:
Head Injury still a medical and socioeconomic problem in Indonesia. Mortality and morbidity rate tends to increase. Neuroinflamation dan oxidative stress play role in secondary brain damage after head trauma. Brain ischemia causing this process into happenand leads to neuronal death. This study aims to determine the association between neuroinflamation and oxydative stress with prognosis of brain injury patients and the association between neurosurgical procedure with neuroinflamation and oxydative stress.
Method:
The Study design is a prospective observation of 40 brain-injured patients who underwent surgery. NR2A antibodies and GSH (glutathione )level of pre- and 1 day post operation on brain injury patients were measured, and their association with GCS, GOS and neurosurgical proedures were analyzed.
NR2A antibodies serum level were measured by ELISA. GSH (glutathione) serum level were measured in collaboration with department of Biochemistry and molecular Bioloy, Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Result:
From 40 patients most are male (77,5%) with mean age 30,78 years. Patient present with favorable GCS (GCS>8) was 57,5 %, while unfavorable GCS (GCS<8) was 42,7%. There was an increase of GCS on day-7 post operation. There was also an increase on patients' GOS on month 3 compared to month-1 post operation.
The postoperative NR2A antibody serum level showed a downward trend compared to preoperative value ( median difference -1,34 ng/dl). There is no significant association of NR2A antibody and GSH serum level with GCS, GOS and neurosurgical procedure.
Conclusion :
Serial postoperative NR2A antibody serum level need to be measured in serial manner.
NR2A antibody serum may have prognostic values in brain -injured patient."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustaqim Prasetya
"Latar Belakang: Gangguan penglihatan adalah gejala kedua yang sering muncul pada tumor otak setelah nyeri kepala. Gejala gangguan penglihatan yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah penurunan visus atau tajam penglihatan (low vision sampai kebutaan), sedang tanda yang paling sering dijumpai adalah atrofi n. optikus dan papilledema. Penurunan tajam penglihatan yang dialami penderita tumor otak dapat sangat berat hingga berupa kebutaan. Sampai saat ini belum terdapat data angka kejadian gangguan penglihatan sampai kebutaan pada tumor otak di Indonesia.
Metode: Sebagai studi potong lintang analitik, dikumpulkanlah data pasien penderita tumor otak di atas usia 6 tahun yang datang berobat ke poliklinik Bedah Saraf FKUIRSCM pasien September 2013 hingga Februari 2014 dari catatan rekam medis.
Hasil: Jumlah pasien tumor otak yang mengalami buta sebanyak 37 orang (34,6 %) dengan usia rata-rata 45,3 (SD 11,3 tahun). Sebesar 86,5 % penderita berada pada usia produktif 15-54 tahun. Dari 37 pasien tumor otak yang buta terlihat proporsi gejala penyerta terbesar adalah sefalgia (terutama sefalgia kronis), diikuti oleh gangguan oftalmologi lain. Data pemeriksaan funduskopi hanya ditemukan pada kurang dari 50 % penderita, dengan temuan yang terbanyak adalah papil atrofi.
Kesimpulan: Besar angka kebutaan pada pasien tumor otak menunjukkan bahwa kondisi ini tidak hanya menjadi masalah medis saja tetapi juga masalah sosial yang serius. Banyaknya jumlah pasien tanpa data funduskopi menandakan masih lemahnya standar pemeriksaan neurooftalmologi ataupun pencatatan yang ada saat ini, padahal pemeriksaan funduskopi berperan sangat penting mendeteksi dini kejadian tumor otak pada pasien dengan gangguan penglihatan.

Background: Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia.
Method: As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014.
Result: As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy.
Conclusion: Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Kamal
"Nyeri punggung bawah acute merupakan keluhan terbanyak kelima di fasilitas pelayanan kesehatan di Amerika Serikat, dan 30% berkembang menjadi nyeri kronis. Sebesar 60-90% penduduk Amerika Serikat mempunyai keluhan nyeri punggung bawah, dan 50% diantaranya mengeluhkan nyeri yang berulang dalam satu tahun. Nyeri punggung bawah memiliki efek psikologis dan sosial terhadap pasien. Secara ekonomi nyeri punggung bawah ini membebani negara terkait biaya yang harus dikeluarkan dalam penanganan nyeri punggung bawah. Penilaian derajat nyeri penting dilakukan pada setiap pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah dan American Pain Society menetapkan menyertakan nyeri sebagai tanda vital kelima dalam pemeriksaan terhadap nyeri punggung bawah sejak tahun 1990. Penilaian terhadap nyeri memberikan informasi yang lebih baik terhadap efek terapi, atau keberhasilan dari terapi nyeri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi derajat nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS) pada kasus nyeri punggung bagian bawah (low back pain) yang mendapat intervensi nyeri di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 -2014. Penelitian dilakukan menggunakan desain Cross Sectional Analitik, terhadap data sekunder berupa data rekam medis pasien dengan kasus nyeri punggung bawah yang berkunjung ke poliklinik Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Responden dalam penelitian ini berusia 17 tahun ke atas. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat.
Dari hasil analisis data diperoleh 57,2% pasien nyeri punggung bawah yang mendapat intervensi nyeri berusia 40 - 59 tahun, dan 52,4% diantaranya berjenis kelamin perempuan. Dari hasil pemeriksaan MRI didapatkan 66,7% dengan gambaran protrusion diskus dengan penekanan. Sebesar 71,4% pasien mendapatkan terapi kombinasi LESI dan MBN dan 95,2% pasien yang mendapatkan intervensi nyeri mengalami perbaikan skala nyeri dan dapat bertahan sampai dengan 1 tahun. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa Tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran MRI dengan prosedur intervensi nyeri dan jenis nyeri, tapi terdapat hubungan bermakna antara jenis nyeri dengan prosedur intervensi nyeri.

Acute lower back pain is the fifth most complaints in health care facilities in the United States, and 30% develop into chronic pain. Amounting to 60-90% of the US population has low back pain, and 50% of them complained of recurring pain in one year. Lower back pain has psychological and social effects on patients. Economically lower back pain is related to the state burdening costs to be incurred in the treatment of lower back pain. Assessment of the degree of pain is important in any patient with low back pain and the American Pain Society set to include pain as the fifth vital sign in the examination of lower back pain since 1990. Assessment of pain provide better information to the therapeutic effect, or the success of therapy pain.
This study aims to know the results of the evaluation of the degree of pain with Numeric Rating Scale (NRS) in the case of lower back pain (low back pain) who received the intervention of pain in the Department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo in 2012 -2014. The study was conducted using Analytical cross sectional design, due to the secondary data from medical records of patients with low back pain who visited the clinic Neurosurgery Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta, in the period of 2012 to 2014. The respondents in this study aged 17 above. Analysis of data using univariate and bivariate analyzes. From the analysis of the data obtained 57.2% of patients with low back pain who received the intervention pain aged 40-59 years, and 52.4% of them were female.
From the results obtained 66.7% of MRI examinations with a disc protrusion with 71.4% of patients receive combination therapy LESI and MBN and 95.2% of patients who received the pain intervention experienced decreasing scale of pain scale and last up to 1 year. Multivariate analysis showed that there is no significant relationship between MRI image with pain interventional procedures and types of pain, but there is a significant relationship between the type of pain with pain interventional procedures.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.

Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Aulia
"Latar Belakang. Epidermal Growth Factor Receptor mengatur beberapa proses selular penting. Overekspresi EGFR merupakan penanda negatif prognosis pada glioma.
Metode. Tujuh belas pasien astrositoma dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengevaluasi overekspresi EGFR. Seluruh pasien dievaluasi Karnofsky Performance Score 1 tahun pasca operasi.
Hasil. Sembilan pasien high-grade glioma, 67 memiliki overekspresi EGFR yang positif dan hanya 1 pasien yang hidup dengan KPS 70. Empat pasien low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif, memiliki KPS 0.
Kesimpulan. Low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif memiliki KPS yang rendah pada 1 tahun pasca operasi.

Background. Epidermal Growth Factor Receptor regulate several important cellular process. EGFR overexpression is one of negative prognostic marker in glioma.
Method. Seventeen patients with astrocytoma were performed immunohistochemistry to evaluate EGFR overexpression. All of this patient evaluate for Karnofsky Performance Score at 1 year after surgery.
Hasil. Nine patients with high grade glioma, 67 have positive EGFR overexpression, and only 1 patient still alive with KPS 70. Four patient in low grade glioma with positive EGFR overexpression have KPS 0.
Conclusion. Low grade glioma with positive EGFR overexpression have a poor KPS at 1 year after surgery.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius Seno Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada studi di Jepang terdapat 678 kasus tumor intradura ekstramedulla selama tahun 2000-2009, presentasi kasus tersering adalah Schwannoma 15-50 dan Meningioma 30 . Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang kehidupan mereka, dapat diukur dengan MOS 36-item SF-36.Metodologi : Studi retrospektif deskriptif analitik menggunakan data rekam medis 55 pasien tumor intradural ekstramedulla yang dioperasi di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2016. Subjek penelitian adalah seluruh populasi terjangkau, berdasarkan rujukan registrasi tumor intradura ekstramedula. Terdapat 30 pasien dengan hasil patologi Meningioma atau Schwanoma, sampel penelitian sebanyak 29 sampel, 1 pasien meninggal 1 bulan setelah operasi. Pasien diwawancara via telepon, dinilai dengan item SF-36, diolah menggunakan program SPSS 21.Hasil : Subjek terbanyak pada kategori 50 ndash; 60 tahun 9 subjek 30 , perempuan 20 subjek 69 , laki-laki 9 subjek 31 , lama keluhan sebelum operasi rata-rata 7,79 bulan. Didapatkan data Patologi Anatomi berupa Meningioma 10 subjek 34,5 dan Schwanoma 19 subjek 65,5 . Sebaran domisili diluar Jakarta 16 subjek 53,3 dan di Jakarta 13 subjek 46,7 . Hasil SF-36 pada penelitian ini Role Emotional, Role Physical dan Physical Function menunjukan perubahan yang signifikan dibandingkan dengan kriteria lainnya,Simpulan : Ada perubahan signifikan kriteria Role Emotional, Role Physical dan Physical Function dibandingkan dengan kriteria lainnya.

ABSTRACT
Background A study in Japan found 678 cases of intradural extramedullary tumors during 2000 2009, most common case is Schwannoma 15 50 and Meningioma 30 . Quality of life is the individual 39 s perception of their life can be measured using MOS 36 item SF 36.Methodology Descriptive analytics retrospective study using medical records of 55 intradural extramedullary tumors patients which are operated in Cipto Mangunkusmo Hospital during 2014 2016. There were 30 patients with Meningioma or Schwannoma pathology results. Sample were 29 samples, 1 patient died 1 month after surgery. Patients were interviewed by phone, assessed by SF 36 items, processed by using SPSS 21 program.Results The highest number of sample was in 50 60 years rsquo s category, 9 subjects 30 , female gender 20 subjects 69 , men 9 subjects 31 , long complaints until surgery averaged 7.79 months. Obtained results of Anatomical Pathology of Meningioma 10 subjects 34.5 and Schwanoma 19 subjects 65.5 . Distribution of domicile outside Jakart 16 subjects 53.3 and in Jakarta 13 subjects 46.7 . The results of SF 36 in this study Emotional Role, Physical Role and Physical Function showed significant changes compared to other criteriaConclusion Obtained improved outcomes Emotional Role, Physical Role and Physical Function that showed significant changes compared to other criteria. "
Lengkap +
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Rizallinoor
"LATAR BELAKANG: Ventrikuloperitoneal shunt merupakan prosedur terpilih dalam tatalaksana hidrosefalus. Namun demikian, prosedur ventrikuloperitoneal shunt juga memiliki risiko yang disebut sebagai komplikasi. Komplikasi shunt adalah semua efek merugikan yang mempengaruhi keberhasilan dari prosedur shunt. Infeksi dan malfungsi shunt adalah komplikasi shunt terbanyak.. Pada negara berkembang termasuk Indonesia belum didapatkan data estimasi insiden dan prevalensi komplikasi ventrikuloperitoneal shunt. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang komplikasi shunt dan faktor-faktor yang berhubungan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan bedah saraf di Indonesia.
TUJUAN: Dalam penelitian ini, kami meneliti tentang komplikasi shunt dan faktor-faktor yang berhubungan sesuai dengan durasi waktu agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan bedah saraf di Indonesia
METODE: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pasien pediatrik usia 0-2 taun dengan hidrosefalus yang dilakukan operasi ventrikuloperitoneal shunt pertama kali di RSCM pada tahun 2015- 2020 dan mengalami komplikasi. Durasi waktu terjadinya komplikasi dibagi menjadi sebelum dan sesudah 6 bulan. Data demografi, data klinis, dan jenis komplikasi kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL: Pada periode Januari 2015 hingga Maret 2020 di RSCM telah dilakukan total operasi ventrikuloperitoneal shunt sebanyak 168 operasi pada usia 0-2 tahun. Didapatkan 20 pasien (12%) mengalami komplikasi dengan durasi kurang dari 6 bulan sebesar 7,8% dan lebih dari 6 bulan sebesar 4,2%. Komplikasi yang terjadi adalah infeksi (3,6%), komplikasi mekanis (7,2%) dan over drainase (1,2%).
SIMPULAN: Persentase komplikasi ventrikuloperitoneal shunt pada pasien usia 0-2 tahun din RSCM dalam 6 bulan pertama adalah sebesar 7,8%, dengan insiden terbanyak adalah infeksi (3,6%) yang lebih rendah dibandingkan literatur, sedangkan persentase komplikasi ventrikuloperitoneal shunt lebih dari 6 bulan adalah 4,2% dan terbanyak disebabkan oleh malfungsi distal (3%).

Introduction: Ventriculoperitoneal shunt is the procedure of choice in the management of hydrocephalus. However, the ventriculoperitoneal shunt procedure also carries a risk of complications. Shunt complications are all detrimental effects that affect the success of the shunt procedure. Infection and shunt malfunction are the most common shunt complications. In developing countries, including Indonesia, data on the incidence and prevalence of ventriculoperitoneal shunt complications have not been obtained. Therefore, research on shunt complications and related factors is needed in order to improve the quality of neurosurgery services in Indonesia
Aim: In this study, we examined the complications of shunts and the factors associated with the duration of time in order to improve the quality of neurosurgery services in Indonesia.
Methods: This study is a retrospective study of pediatric patients aged 0-2 years with hydrocephalus who underwent ventriculoperitoneal shunt surgery for the first time at RSCM in 2015-2020 and experienced complications. The duration of time the complications occurred were divided into before and after 6 months. Demographic data, clinical data, and types of complications were analyzed descriptively
Result: From January 2015 to March 2020 at the RSCM, 168 ventriculoperitoneal shunt operations were performed at the age of 0-2 years. It was found that 20 patients (12%) experienced complications with a duration of less than 6 months by 7.8% and more than 6 months by 4.2%. The complications that occurred were infection (3.6%), mechanical complications (7.2%) and over drainage (1.2%).
Conclusion: The percentage of complications of ventriculoperitoneal shunt in patients aged 0-2 years at RSCM in the first 6 months was 7.8%, with the highest incidence of infection (3.6%) which was lower than the literature, while the percentage of complications of ventriculoperitoneal shunts was more than 6 months. was 4.2% and mostly caused by distal malfunction (3%).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abrar Arham
"Perdaharan intra serebral (intra cerebral hemorrhage/ICH) spontan adalah perdarahan pada parenkim otak yang disebabkan selain trauma. Perdarahan intra serebral menyumbang 10-13% dari keseluruhan kasus stroke dengan angka mortalitas mencapai 20-70%. Tatalaksana perdarahan intraserebral spontan hingga saat ini masih menimbulkan berbagai kontroversi. Penanganan perdarahan intraserebral spontan di RSUPN Cipto Mangunkusumo meliputi berbagai pihak yang mempengaruhi basil akhir. Hal ini mencakup penatalaksanaan awal di ruang gawat darurat, pemeriksaan penunjang, pemilihan tatalaksana yang optimal dan perawatan di ruangan ICU dan di bangsal perawatan. Hingga saat ini Departemen bedah saraf RSUPN Ciptomangunkusumo belum memiliki data mengenai pasien perdarahan intraserebral spontan yang menjalani tatalaksana operasi. Hal ini diperlukan untuk mengevaluasi dan memberi masukan untuk tatalaksana perdarahan intraserebral spontan di departemen bedah saraf RSUPN Ciptomangunkusumo dan departemen lain yang terlibat dalam penatalaksanaan pasien-pasien tersebut.

Intracerebral hemorrhage (ICH) is spontaneous bleeding of the brain parenchyma caused by other than trauma. Intra-cerebral haemorrhage accounts for I 0- I 3% of all stroke cases with a mortality rate reaches 20-70%. Management of spontaneous intracerebral hemorrhage is still having a controversy. Management of spontaneous intracerebral hemorrhage in Cipto Mangunkusumo National Hospital include various parties that affect the final result. This includes initial management in the emergency room, investigation, patient selection and optimal management of care in ICU and ward care. Until now the department of neurosurgery RSUPN Ciptomangunkusumo not yet have data on patients with spontaneous intracerebral hemorrhage who underwent management of operations. It is necessary to evaluate and provide input for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage in the department of neurosurgery RSUPN Ciptomangunkusumo and other departments involved in the management of such patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryandhito Widhi Nugroho
"LATAR BELAKANG: Waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif di Indonesia masih belum diketahui. Penulis bertujuan mengetahui waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif di Departemen Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM dan menganalisis hubungannya dengan luaran fungsional 3 bulan pascaoperasi menurut skala performa Karnofsky. METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada data rekam medis dan register pasien neuroonkologi yang menjalani operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif pada tahun 2016. Analisis regresi logistik multivariabel dipakai
untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif dengan luaran fungsional dependen, ditandai oleh skor KPS 0-70 3 bulan pascaoperasi, dengan mempertimbangkan usia, jenis kelamin, skor KPS praoperasi, volume tumor pradan pascaoperasi, persentase pengangkatan tumor, patologi dan grading tumor.
HASIL: Median (min-maks) waktu tunggu secara umum adalah 35 (0-529) hari. Tampak hubungan bermakna antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif dengan luaran fungsional pada analisis univariabel (OR [95%CI]: 1,004 [1,001-1,007], tetapi tidak pada analisis multivariabel. Nilai kolinearitas volume tumor pra-operasi, pascaoperasi dan persentase pengangkatan tumor dengan waktu tunggu masing-masing adalah sebesar 5,92, 5,69, dan 3,2. SIMPULAN: Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor elektif dengan skor KPS 3 bulan pascaoperasi. Terdapat korelasi kuat antara waktu tunggu dengan volume tumor pra- dan pascaoperasi serta persentase pengangkatan tumor.

BACKGROUND: The waiting time to elective intracranial tumor removal surgery in Indonesia is unknown. The author aimed to identify the waiting time to elective intracranial tumor removal surgery in the Department of Neurosurgery FMUI/RSUPNCM, and to analyze its association with functional outcome 3, defined by Karnofsky Performance Scale (KPS), in 3 months after surgery.
METHODS: This retrospective study was based on medical record and the registry of neuro-oncology patient who underwent elective intracranial tumor removal surgery in 2016. Multivariable logistic regression analyses were utilized to
investigate statistical significance of waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and poor functional outcome, defined by 3-months follow-up KPS of 0-70, adjusting for age, sex, pre-operative KPS score, pre and post-operative
tumor volume, percentage of tumor removal, tumor histopathology and grading. RESULTS: Overall median (min-max) of waiting time to elective intracranial tumor removal surgery was 35 (0-529) days. Significant statistical association between waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and poor functional outcome was identified in univariable analysis (OR [95%CI]: 1,004 [1,001- 1,007]), but not in multivariable analysis. The collinearity value of pre- and postoperative tumor volume, percentage of tumor removal with waiting time were,
respectively, 5,92, 5,69, and 3,2. CONCLUSION: There was no significant statistical association identified between
waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and KPS 3 months after surgery. Strong correlations were identified between pre- and post-operative tumor volume, percentage of tumor removal and waiting time to elective intracranial tumor removal surgery
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>