Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syarifah Miftahul El Jannah
Abstrak :
Latar belakang penelitian: Identifikasi spesies Candida penting untuk diagnosis, penentuan jenis obat dan prediksi kepekaan jamur terhadap obat anti fungal. Selama ini identifikasi dilakukan dengan uji konvensional: fisiologi-morfologi, yang relatif lama, hingga diagnosis dini sukar ditegakkan. Mengatasi masalah tersebut telah dikembangkan medium kromogenik yang mampu membedakan beberapa spesies Candida berdasarkan warna koloni. medium kromogenik yang saat ini tersedia di Indonesia adalah CHROMagar-Candida. Tujuan penelitian: Membandingkan cara identifikasi Candida spp. dengan metode konvesional dan medium kromogenik CHROMagar Candida, serta mengetahui spesifisitas dan sensitivitasnya Metodologi penelitian: Penelitian merupakan uji diagnostik. Sebanyak 134 sampel ditanam pada agar Sabouraud Dekstrosa dan dipurifikasi (340 isolat). Setiap isolat diidentifikasi dengan CHROMagar Candida, uji fisiologi dan morfologi (agar tajin/tepung jagung-Tween 80, dan uji pembentukan germ tube). Hasil dan kesimpulan: Dengan CHROMagar-Candida, dapat diidentifikasi 148 (43,5%) isolat, 192 (56,7%) tidak dapat diidentifikasi. Spesies yang teridentifikasi: C. tropicalis (21,5%) koloni berwama ungu di tengah pucat di tepi, C. albicans (11,8%) warna koloni hijau terang, C parapsilosis (5,9%) koloni berwarna putih hingga merah jambu pucat, C glabrata (2,1%) koloni merah jambu pucat dengan permukaan koloni halus, C krusei (0,3%) koloni merah jambu pucat dengan permukaan koloni kasar dan Trichosporon sp (2,1%) koloni berwarna abu-abu dengan tipe koloni halus dan kasar. Yang tidak dapat diidentifikasi, C pelliculosa, C. guilliermondii, C. langeroni, C Intermedia, C mogii, C lusitaniae, C utilis, C fennica, C obtuse, C sphaerica, C famata dan R. rubra. Spesifisitas dan sensitivitas CHROMagar-Candida untuk identifikasi C trop/calls 80,8% dan 27,8%, C albicans 99,3% dan 65,5%, C parapsilosis 96,9% dan 100%, Trichosporon sp 100% dan 21,8%. CHROMagar-Candida tidak dapat menggantikan uji konvensional dalam mengidentifikasi Candida spp, terutama Candida non-C albicans.
Identification Of Candida Species From Clinical Specimens, Using Chromogenic Medium, Physiology And Morphology Test.Background : Species identification of Candida is important to establish to diagnosis, to determine the medicine needed and also to predict susceptibility of fungi to antifungal drugs. Up to now, identification is conducting using conventional method i.e. physiology-morphology which is time consuming. Thus early diagnosis could not be established. To offer come this problem chromogenic medium has been develop to distinguish species of Candida based on the colour of colony. Chromogenic medium that find on Indonesia is CHROMagar-Candida. Aim :To compare CHROMagar Candida and conventional method in identification of Candida spp. specificity and sensitivity of CHROMagar Candida was also determined. Research Methodology: This study diagnostic investigation using cross sectional design. Those were 134 samples plated on Sabouraud Dektrosa Agar/SDA than purified that yields 340 isolates. It is isolate was identified by CHROMagar Candida and conventional method. Result and Conclusions: Using CHROMagar 148 (43.5%) isolates can be identified were as 192 (56.7%) could not be identified. Species that can be identify were : C. tropicalis (21.5%) with purple colour in the centre and pale purple at the edge of colony, C alb/cans (11.8%) with bright green colour, C parapsilosis (5.9%) with white to pale pink, C. glabrata (2.1%) has a pale pink colour and smooth surface, C krusei (0.3%) is pale pink and rough surface, and Trichosporon sp. (2.1%) is gray with smooth or rough surface. Species that can not be identified by CHROMagar-Candida were : C pelliculosa, C guilliermondii, C langeroni, C intermedia, C mogii, C.lusitaniae, C utilis, C fenica, C. obtuse, C. sphaerica, C fanata, and R. rubs Specificity and sensitivity CHROMagar Candida identifying C. tropicalis is 80.8% and 27.8%, C. alb/cans is ' 99.3% and 65.5%, C.parapsllosis is 96.9% and 100%, Trichosporon sp is 100% and 21.8% consecutively. Although conventional can not replace by CHROMagar Candida especially for Candida non C alb/cans identifications.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Rozaliyani
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Sejak awal 90an frekwensi kandidosis sistemik meningkat tajam, mortalitasnya mencapai 40-60%. C. albicans masih menjadi penyebab terbanyak, meskipun dilaporkan terjadinya pergeseran profil infeksi oleh spesies lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan profil infeksi, faktor risiko yang diduga berperan, prevalensi resistensi dan profil sensitivitas resistensi Candida spp yang diisolasi dari darah neonatus dengan dugaan kandidemia terhadap flukonazol dan itrakonazol, serta hubungan antara clinical outcome dengan hasil uji resistensi. Hasil penelitian bermanfaat dalam menentukan panduan pencegahan dan penanganan infeksi. Penelitian ini bersifat cross sectional. Sampel penelitian adalah 68 isolat berbagai spesies Candida dan Trichosporon dan darah 52 neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis di Sub-bagian Perinatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPNCM dan merupakan koleksi Bagian Parasitologi FKUI yang telah diidentifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode Etest. Hasil dan kesimpulan: Prevalensi kandidemia pada neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis dalam penelitian ini mencapai 62,96%. Profit infeksi memperlihatkan C. tropicalis sebagai penyebab terbanyak (48,5%), diikuti T. variabile (19,1%), C. guilliermondii (14,7%), C. albicans (11,8%), C. glabrata (4,4%) dan C. lusitaniae (1,5%). Faktor risiko pasti kandidemia belum dapat dijawab dalam penelitian ini. Faktor risiko yang diduga berperan antara lain kelahiran prematur dan/BBLR, penggunaan kateter intravenalinfus, antibiotik sistemik, underlying diseases, kemungkinan infeksi dari petugas kesehatan dan adanya sumber infeksi dari berbagai peralatan kesehatanlperalatan penunjang lain. Prevalensi resistensi terhadap flukonazol lebih rendah (3,8%) dibandingkan terhadap itrakonazol (9,6%). Secara in vitro sensitivitas Candida spp terhadap flukonazol lebih baik dibandingkan terhadap itrakonazol. Clinical outcome dart hasil pemeriksaan resistensi Candida spp. Tidak menunjukkan hubungan bermakna.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iva Novita Sah Bandar
Abstrak :
Latar Belakang : Masalah pada penderita infeksi HIV/AIDS umumnya dimulai pada saat terjadi penurunan hitung CD4, yaitu salah satunya infeksi oleh Candida spp. Penurunan hitung CD4 menyebabkan terjadinya kerusakan keseimbangan ekologi Candida, sehingga menimbulkan peningkatan kolonisasi, yang merupakan awal dari suatu kandidosis. Korelasi antara hitung CD4 dengan peningkatan intensitas kolonisasi Candida pada rongga orofaring penderita infeksi HIV/AIDS belum pernah diteliti sebelumnya. Tujuan : Mengetahui korelasi antara hitung CD4 dengan intensitas kolonisasi Candida pada rongga orofaring penderita infeksi HIV/AIDS, mendapatkan angka proporsi kandidosis orofaring serta mengetahui gambaran spesies Candida yang menyebabkan kandidosis orofaring pada penderita infeksi HIV/AIDS. Metodologi : Studi potong lintang dilakukan pada penderita infeksi HIV/AIDS yang datang dan dirawat di poliklinik dan bangsal perawatan Perjan RSCM, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, hitung CD4 dan pemeriksaan biakan sekaligus identifikasi spesies Candida dengan media CHROMagar®. Dilakukan pengolahan data untuk mencari proporsi kandidosis orofaring serta mengetahui gambaran spesies Candida yang menyebabkan kandidosis orofaring pada subyek serta uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil : Selama periode September 2004-Januari 2005 terkumpul 60 penderita infeksi H1V/AIDS yang terdiri dari 52 laki-laki (86,7%) dan delapan perempuan (13,3%), dengan kelompok usia terbanyak 20-30 tahun (51 orang, 85%). Transmisi virus HIV terbanyak ditemukan pada pengguna narkoba intavena (45 orang, 75%), diikuti hubungan seksual (11 subyek, 18,3%). Nilai tengah hitung CD4 subyek adalah 100 sel/µl, dengan rentang antara 2-842 sel/µl. Proporsi kandidosis orofaring pada penelitian ini adalah 63,3% (IK 95% = 51,1 - 75,5). Nilai tengah jumlah koloni Candida dari satu sampel kumur adalah 159,5 koloni/100µl dengan rentang 0-900 koloni/100/µl. Dan 59 isolat Candida pada penelitian ini ditemukan 74,58% diantaranya adalah C. albicans. Spesies Candida non C albicans yang ditemukan antara lain C. krusei, C. parapsilosis dan C. tropicalis. Didapatkan korelasi yang bermakna antara hitting CD4 yang rendah dengan jumlah koloni Candida yang tinggi pada rongga orofaring subyek (r = -0,756). Kesimpulan. Terdapat korelasi negatip yang cukup kuat (r = -0,756) antara hitung CD4 dengan intensitas kolonisasi Candida pada rongga orofaring penderita infeksi HIV/AIDS. Proporsi kandidosis orofaring pada penelitian ini adalah sebesar 63,3%, dengan spesies terbanyak yang ditemukan pada rongga orofaring subyek adalah C. albicans. ......Backgrounds: Problems for HIV-infected/AIDS patients usually start at the time when CD4 decreases. One of the problems is Candida spp. infection. The decreasing of CD4 count causes imbalance of Candida ecology and it increases colonization, which is the starting point of candidacies. Correlations between CD4 count and intensity of Candida colonization?s in the oropharynx of HIV-infected/AIDS patients has never been studied before. Objectives: To know the correlations between CD4 count and intensity of Candida colonization?s in the oropharynx of HIV-infected/AIDS patients, to get the proportion of oropharyngeal candidacies (OPC), and to know what kind of Candida species that causes oropharynx candidacies of HIV-infected/AIDS patients. Methods: Cross-sectional study was conducted to HIV-infected Aids patients who came as outpatients and inpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital. The patients were interviewed, physically examined, their CD4 counts were checked, and their mouth rinse samples were taken to be cultured. Candida species was identified in CHROMagar® media. Data were processed to find proportion of OPC and to know the Candida species that causes OPC in the subjects of this study. Correlation test were also performed. Results: From September 2004 until January 2005, 60 HIV-infectedlAIDS patients were included in this study. There were 52 males (86.7%) and eight females (13.3%). Majority of the patients were from 20-30 years age group (51 subjects, 85%). The most frequent transmission was among drug users (45 subjects, 75%) followed by sexual contact (11 subjects, 18.3%). The median of CD4 counts was 100 cells/µi, ranged from 2 to 842 cells/µl. Proportion of the OPC was 63.3% (Cl 95% - 51.1 - 75.5). The median of the Candida colony from mouth rinse samples was 159.5 colonies/100µl ranged from 0 to 900 colonies/100µl. From 59 Candida isolates in this study, 74.58% were C. albicans. Candida non C. albicans species that were found in this study were C krusei, C. parapsilosis and C tropicalis. There was significant correlation between low CD4 counts and high intensity of Candida colonization on the oropharynx of the subjects (r = -0.756). Conclusion: There was strong negative correlation (r = -0.756) between CD4 count and intensity of Candida colonization in the oropharynx of HIV-infected/AIDS patients. Proportion of OPC in this study was 63.3%. The most frequent species found in the oropharynx of the subjects was C. albicans.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robiatul Adawiyah
Abstrak :
Latar Belakang: Kriptokokosis meningeal merupakan infeksi oportunistik yang muncul pada penderita terinfeksi HIV di Indonesia. Penyebab utama kriptokokosis adalah Cryptococcus neoformans. Laporan terkait karakteristik klinis, mikologis dan laboratorium klinis pada pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal belum ada di Indonesia. Tujuan: Mengetahui karakteristik klinis, mikologis dan laboratoris pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal di Jakarta. Metode: Penelitian deskripsi retrospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di RSCM dan RSKO untuk data klinisnya dan pemeriksaan laboratoriumnya dilakukan di laboratorium departemen Parasitologi FKUI dan Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Hasil: Gejala klinis utama adalah sakit kepala. Pasien yang hidup lebih banyak dari yang meninggal di RS. Isolat Cryptococcus sp. seluruhnya memproduksi melanin, membentuk empat fenotipe koloni, memiliki dua jenis mating-type dan empat genotipe (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 dan AFLP3). Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien. Hitung CD4 mayoritas rendah. Diskusi: Mating-type terbanyak adalah α- α karena lebih virulens. Genotipe yang ditemukan sesuai laporan di dunia. Infeksi campur mating-type dan genotipe diduga karena jamur yang menginfeksi memiliki mating-type dan genotipe yang berbeda. Kesimpulan: Sakit kepala merupakan gejala klinis terbanyak. Genotipe terbanyak adalah AFLP1. Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien. ......Background: Meningeal cryptococcosis is an opportunistic infection in HIV-infected patients. The main cause of cryptococcosis is Cryptococcus neoformans. Reports related to clinical, Mycological and laboratory characteristics in AIDS patients with meningeal cryptococcosis do not yet exist in Indonesia. Objective: To determine the clinical, Mycological and laboratory characteristics of AIDS patients with meningeal cryptococcosis in Jakarta. Methods: This retrospective description study with cross-sectional design was conducted at RSCM and RSKO for clinical data and laboratory tests were carried out in the laboratory of the department of Parasitology FKUI and Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Results: The main symptom is headache. Patients live more than those who died in the hospital. All isolates of Cryptococcus sp. produce melanin, forming four colony phenotypes, having two types of mating-type and four genotypes (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 and AFLP3). There were a mixed mating-type and genotype infection in one patient. Discussion: Most mating-types are α- α because they are more virulent. Genotype found is the same with reported in the world. The mixed mating-type and the genotype because suspected infecting fungi have different mating-types and genotypes. Conclusion: Headache is the most symptom. Most genotypes are AFLP1. There was a mixed mating-type and genotype infection in one patient.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Natalia
Abstrak :
Cryptococcus adalah jamur penyebab tersering pada pasien imunokompromi. Pada penelitian ini, 200 isolat yang berasal dari cairan otak 20 pasien terinfeksi HIV ditetapkan spesies dan serotipenya, serta kepekaannya terhadap obat antifungal (amfoterisin B, flukonazol, vorikonazol, ketokonazol, flusitosin). Spesies dan serotipe Cryptococcus ditetapkan menggunakan medium canavanine glycine bromthymol blue (CGB) dan medium creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT), sementara kepekaan terhadap antifungal diuji dengan metode difusi cakram, NCCLS M-44A, approved guidelines. Spesies C. neoformans ditemukan pada 170 isolat (85%), dengan seluruhnya adalah serotipe A dan 30 isolat adalah C. gattii. Infeksi tunggal C. neoformans ditemukan pada 10 pasien, infeksi tunggal C. gattii pada satu pasien, dan infeksi campuran pada 9 pasien. Cryptococcus spp sensitif terhadap amfoterisin B (93,5%), flukonazol (88,5%), vorikonazol (100%) dan ketokonazol (98%). Resistensi primer terhadap flusitosin ditemukan pada semua isolat C. neoformans dan C. gattii (100%) sebelum dan sesudah terapi. Secara keseluruhan, C. gattii kurang peka dibandingkan C. neoformans terhadap seluruh obat antifungal. ......Cryptococcus are common causes of mycoses in imunocompromised patient. In this study, 200 clinical cerebrospinal fluid from 20 HIV patient?s isolates of Cryptococcus were determine their species and serotypes, and their susceptibilities to antifungal (amphotericin B, fluconazole, voriconazole, ketoconazole, flucytosine) were analyzed. Cryptococcus species and serotypes were determined by canavanine glycine bromthymol blue (CGB) medium and creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT) medium, meanwhile antifungal susceptibilities were determined by disk diffusion method, NCCLS M-44A, approved guidelines. Species C. neoformans was found in 170 (85%) isolate with all of them was serotipe A dan 30 isolates (15%) were C. gattii. Single infection of C. neoformans was found in 10 patients, single infection of C. gattii in one patient and mixed infection in nine patients. Cryptococcus spp susceptible to amphotericin B (93,5%), fluconazole (88,5%), voriconazole (100%) and ketoconazole (98%). Primary resistance to flucytosine was found in all isolates C. neoformans and C. gattii (100%) before and after therapy. In general, C.gattii was less susceptible than C. neoformans to all drug tested.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machrumnizar
Abstrak :
ABSTRAK Cryptococcus neoformans adalah khamir berkapsul penyebab kriptokokosis, predileksi di SSP terutama pada individu imunokompromi. Cryptococcus hidup bersama mikobiom di alam. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan kriptokokosis meningeal pada pasien HIV dengan keberadaan Cryptococcus di alam. Sampel yang diteliti adalah material pepohonan di lubang pohon dan tanah, debu rumah, kotoran burung, dan air dari 22 rumah pasien HIV dengan kriptokokosis (kelompok kasus) dan tanpa kriptokokosis (kelompok kontrol). Identifikasi Cryptococcus dilakukan berdasarkan karakter morfologi dan fisiologi-biokimia. Total 297 isolat jamur ditemukan Cryptococcus, Candida, Saccharomyces, Rhodotorula, Aspergillus, Neurosporium dan Penicillium. Tujuh isolat Cryptococcus neoformans ditemukan dari 120 khamir yang diperiksa berasal dari debu rumah, kotoran burung kenari, lubang pohon mangga, lapukan daun rambutan. Berdasarkan statistik terdapat korelasi positif signifikan antara keberadaan Cryptococcus neoformans di lingkungan dengan kriptokokosis pada pasien HIV (p=0,013; r=0,47) namun tidak ada korelasi positif dengan musim (r=-0,069). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Cryptococcus neoformans di lingkungan rumah pasien HIV dengan kriptokokosis meningeal. Di alam Cryptococcus neoformans ditemukan bersama Cryptococcus albidus dan Aspergillus niger.
ABSTRACT Cryptococcus neoformans is an encapsulated yeast cause cryptococcosis with a predilection for the CNS, especially individual with immunocompromise. The fungus lives with other fungi in nature. This study investigates the relationship between meningeal cryptococcosis in HIV patients with the presence of Cryptococcus in nature. The samples studied are decaying wood and leaves, tree hollows, dust, bird droppings, and water from 22 of HIV-infected patients haouse with cryptococcosis (case group) and without cryptococcosis (control Group). Identification of Cryptococcus was based on morphological and fisiologi-biochemistry characters. From total 297 fungal isolates we found Cryptococcus, Candida, Saccharomyces, Rhodotorula, Aspergillus, Neurosporium and Penicillium. From 120 yeast isolates we found seven Cryptococcus neoformans from dust, canary dropping, mango tree hollow, decaying rambutan leaves on the ground. The statistical analysis showed a significant association among cryptococcosis in HIV-infected patients with the environment (p=0.013). Based on statistic there is a significant positive correlation between the presence of Cryptococcus neoformans in the environment with cryptococcosis in HIV-infected patients (r=0.47), but no positive correlation with the season (r=-0.069 ). These results indicate that there is a relationship between Cryptococcus neoformans in the environment of HIV-infected patients house with meningeal cryptococcosis. In nature Cryptococcus neoformans is found along Cryptococcus albidus and Aspergillus niger.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resultanti
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Kandidemia merupakan infeksi aliran darah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Gambaran klinis kandidemia sulit dibedakan dengan pasien sepsis sehingga sering terlambat didiagnosis. Kultur darah sebagai baku emas diagnostik kandidemia memiliki beberapa keterbatasan, sedangkan prediktor yang ada saat ini sulit diaplikasikan dalam praktik klinis sehari-hari. Telah ada penelitian tentang faktor risiko kandidemia di luar negeri dan Indonesia, tetapi belum ada yang membahas khusus pada pasien sepsis dewasa non neutropenia. Tujuan: Mengetahui faktor risiko kandidemia pada pasien sepsis non neutropenia. Metode: Desain kasus kontrol dengan mengambil data rekam medik pasien sepsis sejak Januari 2011 sampai Juli 2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penilaian faktor risiko dilakukan dengan metode Chi-square dan dilanjutkan dengan analisis regresi logistik multivariat dengan mengikutsertakan variabel perancu. Hasil: Dari 51 kasus dan 153 kontrol didapatkan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kandidemia adalah kateter urin [adjusted OR=5,239 (IK 95% 2,141 ? 12,819), p<0,001], nutrisi parenteral [adjusted OR=2,583 (IK 95% 1,297 ? 5,144), p=0,007], kortikosteroid [adjusted OR=2,183 (IK 95% 1,002 ? 4,755), p=0,049], dan antibiotik spektrum luas [adjusted OR=4,047 (IK 95% 1,178 ? 13,904), p=0,026]. Kesimpulan: Kateter urin, nutrisi parenteral, kortikosteroid, dan antibiotik spektrum luas merupakan faktor risiko penting karena dapat meningkatkan risiko kejadian kandidemia pada pasien sepsis non neutropenia.
ABSTRACT Background: Candidemia is a bloodstream infection with high morbidity and mortality. Clinical manifestations of candidemia resemble with sepsis patients so that diagnosis was delayed. Blood culture as a diagnostic gold standard had some limitations, while the current predictors difficult to apply in daily clinical practice. There were studies about risk factors of candidemia in other countries and Indonesia, but no one had studied specifically in adult non-neutropenic sepsis patients. Objective: To identify the risk factors for candidemia in non-neutropenic sepsis patients. Method: A case-control study from medical records of septic patients was conducted during the period January 2011 ? July 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. We analyzed risk factors using Chi-square method followed by multivariate logistic regression adjusted with confounding factors. Results: A total 51 cases and 153 controls were analyzed to identify the risk factors of candidemia. After adjustment, candidemia was associated with urinary catheter [adjusted OR=5,239 (95% CI 2,141 ? 12,819), p<0,001], parenteral nutrition [adjusted OR=2,583 (95% CI 1,297 ? 5,144), p=0,007], corticosteroids [adjusted OR=2,183 (95% CI 1,002 ? 4,755), p=0,049], and broad spectrum antibiotics [adjusted OR=4,047 (95% CI 1,178 ? 13,904), p=0,026]. Conclusion: Urinary catheter, parenteral nutrition, corticosteroids, and broad spectrum antibiotics are important risk factors that can increase the risk of candidemia in non-neutropenic sepsis patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, [, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sem Samuel Surja
Abstrak :
ABSTRAK Talaromyces merupakan genus jamur penting karena dapat menyebabkan penyakit. Talaromyces marneffei endemis di Asia Tenggara, namun hanya dua kasus yang pernah dilaporkan berasal dari Indonesia. Terdapat tujuh isolat yang telah diidentifikasi secara morfologis sebagai T. marneffei di Jakarta, namun belum penah dilakukan penelitian molekular untuk identifikasinya. Penelitian ini bertujuan melakukan analisis molekular pada regio ITS1-5,8S rDNA-ITS2 dan BenA dalam identifikasi dan penentuan filogenetik Talaromyces sp. isolat Jakarta. Tujuh isolat Talaromyces sp. telah menjadi koleksi pada Laboratorium Mikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Identifikasi dan analisis filogenetik dilakukan menggunakan regio ITS1-5,8S rDNA-ITS2 dan BenA. Baik hasil sekuens ITS1-5,8S rDNA-ITS2 dan BenA tidak memberikan hasil identifikasi yang tepat saat dilakukan BLAST pada NCBI. Kepastian hasil didapat saat dilakukan BLAST pada ISHAM ITS untuk regio ITS1-5,8S rDNA-ITS2. Enam isolat adalah Talaromyces atroroseus dan satu isolat adalah T. marneffei. Filogenetik menggunakan kedua regio menunjukkan T. atroroseus masuk ke dalam seksi Trachyspemi dan T. marneffei masuk ke dalam seksi Talaromyces. Kombinasi kedua region sebaiknya digunakan dalam analisis Talaromyces sp. Isolat lingkungan yang diisolasi dari tikus rumah yang ditangkap di rumah penderita talaromikosis identik dengan isolat yang berasal dari penderita.
ABSTRACT Genus Talaromyces consisting of fungal species that are medically important. The species Talaromyces marneffei are endemic in Southeast Asia, however only two reported human talaromycosis marneffei in Indonesia. In our laboratory, there were seven isolates originated from patients and environment, all were identified morphologically as T. marneffei, but none of them had been identified molecularly. Objective of this study was molecular analysis using ITS1 5,8S rDNA ITS2 and BenA region in identification and phylogenetic analysis of Jakarta rsquo s isolate of T. marneffei. Samples were seven fungal culture collections of Micology Laboratory, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Jakarta. Neither ITS1 5,8S rDNA ITS2 nor BenA region analysis gave clear species identification in NCBI BLAST result. Clear species identification was given using ISHAM ITS database, which contains ITS1 5,8S rDNA ITS2 sequences. Six isolates were identified as Talaromyces atroroseus and one isolates as T. marneffei. Phylogenetic analysis using both regions showed that T. atroroseus was included in Trachyspermi section and T. marneffei in Talaromyces section. It is concluded that combination of both regions are required for molecular analysis of Talaromyces sp. Analysis of environmental isolates isolated from house rat caught at the house of HIV infected patient with talaromycosis showed identity of both environment and clinical isolates.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Immanuela Toemon
Abstrak :

Kriptokokosis merupakan infeksi jamur Cryptococcus sp. yang sering ditemukan pada individu imunokompromi. Infeksi tersebut dapat menyerang berbagai organ, termasuk otak, susunan saraf pusat dan paru.. Pemeriksaan langsung dan biakan dari bahan klinis memiliki sensitivitas rendah. Deteksi antigen glucuronoxylomannan (GXM) merupakan alternatif pemeriksaan untuk diagnosis kriptokokosis, biasanya dilakukan pada cairan otak dan serum. Pemeriksaan antigen GXM dengan metode lateral flow assay (LFA) telah menjadi uji point-of-care dalam diagnosis kriptokokosis otak dan diseminata. Penggunaan LFA untuk diagnosis kriptokokosis paru belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan uji LFA untuk diagnosis kriptokokosis paru. Penelitian berdisain potong lintang ini menyertakan pasien dengan gejala pneumonia pada beberapa rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya sejak Maret-Oktober 2018. Pemeriksaan mikologi dilakukan di laboratorium Departemen Parasitologi FKUI menggunakan LFA IMMY dan LFA Dynamiker, serta pemeriksaan klasik. Dari 30 pasien yang diteliti, hasil pemeriksaan bahan sekreta paru (sputum/cairan pleura/BAL) menunjukkan semua hasilnya negatif dengan LFA IMMY. Adapun pemeriksaan LFA Dynamiker menunjukkan hasil positif pada empat pasien (13,3%). Profil klinis empat pasien dengan dugaan kriptokokosis paru pada penelitian ini menunjukkan batuk berdahak, nyeri dada, dan nodul paru. Hasil pemeriksaan pewarnaan tinta India menunjukkan hasil negatif, sedangkan biakan tidak ditemukan pertumbuhan Cryptococcus.

 

Kata kunci : pneumonia, Cryptococcus¸ lateral flow assay

 


Cryptococcosis is a fungal infection caused by Cryptococcus sp. and often found in immune-compromised patients. Cryptococcus sp. can infect various organs such as brain, central nervous system and lung. Direct examination and culture of clinical samples are not sensitive in detecting pulmonary cryptococcosis. Detection of antigen glucuronoxylomannan (GXM) is an alternative to confirm the diagnosis of cryptococcosis, mostly examine from brain and sera.  The detection of GXM antigen using lateral flow assay (LFA) is recommended as point-of-care testing for the diagnosis of meningeal and disseminated cryptococcosis. However, diagnosis of pulmonary cryptococcosis using LFA has never been reported. Therefore, this research aimed to investigate the usefulness of the LFA test for the diagnosis of pulmonary cryptococcosis

This cross-sectional study involved patients with pneumonia in several hospitals in Jakarta and its surrounding, from March-October 2018. All mycology tests, including LFA IMMY and LFA Dynamiker, were performed in the laboratory of  Parasitology Department, Faculty of  Medicine, Universitas Indonesia. Thirty pulmonary secreta including sputum and bronchoalveolar lavage (BAL) were collected from 30 patients. None of the samples showed positive result on LFA IMMY testing, whereas using LFA Dynamiker four samples (13,3%) were shown to be Cryptococcus antigen positive. The clinical manifestations of four suspected cryptococcosis patients were cough, chest pain, and pulmonary nodule. The fungal cultures using bird seed agar (BSA) did not show any positive result.

 

Keywords: pneumonia, Cryptococcus, lateral flow assay

 

2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Florida Kalumpiu
Abstrak :

Kriptokokosis adalah infeki jamur yang disebabkan olehCryptococcus. Manifestasi klinis utama pada pasien terinfeksi HIV adalah kriptokokosis meningeal.  Angka kematian masih tinggi, walaupun pasien telah mendapatkan obat anti-retroviral (ARV). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi, profil klinis-mikologis dan prediktor yang mempengaruhi luaran klinis. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menelusuri rekam medik pasien RSCM yang bahan kliniknya diperiksa di Departemen Parasitologi FKUI pada Januari 2013 – Oktober  2018. Prevalensi kriptokokosis meningeal pada 161 pasien HIV yang diteliti adalah 24,2% (39 pasien). Pemeriksaan cairan otak  dengan tinta india menunjukan hasil positif pada 47 dari 50 pasien (94%). Pemeriksaan lateral flow assay(LFA) menunjukkan hasil positif pada 27 dari 28 pasien (96,4%) dan biakan pada 29 dari 30 pasien (96,7%). Profil klinis pada 46 pasien yang diteliti menunjukkan gejala klinis terbanyak  sakit kepala (93,5%), diikuti demam (65,2%), muntah (65,2%) dan penurunan berat badan (47,8%). Pencitraan otak pada 38 pasien, menunjukkan hasil normal pada 20 pasien (52,6%), lesi fokal pada 5 pasien dan penyangatan meningen pada 5 pasien (13,1%). Analisis statistik menunjukkan  pemeriksaaan fisis tekanan darah >130/90 mmHg, kaku kuduk dan papiledema didapatkan berhubungan dengan kematian (p<0,05). Dari 46 pasien setelah keluar dari RSCM, luaran hidup ditemukan sebanyak 21 orang (45,7%). Pada tindak lanjut 20 pasien setelah enam bulan keluar RSCM, luaran hidup ditemukan pada 13 orang (65%). Prediktor yang berhubungan dengan luaran klinis mati pada penelitian ini adalah penurunan berat badan, status HIV baru dan papiledema (p<0,05). 


Cryptococcosis is a fungal infection caused by Cryptococcus. The main clinical manifestation in HIV-infected patients is meningeal cryptococcosis. The mortality rate is still high, despite the use of anti-retroviral drugs (ARVs). The purpose of this study was to determine the prevalence, clinical-mycological profile and predictors for clinical outcomes. This study was retrospective, the data was retrieved  from medical records at Cipto Mangunkusumo hospitalwhose clinical materials were examined in the Parasitology Department faculty of medicine University of Indonesia in January 2013 - October 2018. The prevalence of meningeal cryptococcosis in 161 HIV patients studied was 24.2% (39 patients). Examination of brain fluids with Indian ink showed positive results in 47 of  50 patients (94%). Lateral flow assay (LFA) positive in 27 of 28 patients (96.4%) and from culture the result was positive in 29 out of 30 (96,7%). The clinical profile in 46 patients studied showed the most clinical symptoms is headache (93.5%), followed by fever (65.2%), vomiting (65.2%) and weight loss (47.8%). Brain imaging in 38 patients showed normal results in 20 patients (52.6%), focal lesions in 5 patients and meningeal enhancement in 5 patients (13.1%). Physical examination of blood pressure >130/90 mmHg, neck stiffness and papilledema was found to be associated with death (p<0.05). Of the 46 patients after leaving the Cipto Mangunkusumo hospital, live outcomes were found in 21 patients (45.7%). Live outcomes at follow-up of 20 patients after six months out of the Cipto Mangunkusumo hospitalwere found in 13 patients (65%). Predictors related to dead clinical outcomes in this study were weight loss, new HIV status and papilledema (p <0.05).

2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>