Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
W. Widjaya Chandra
"Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial pada jaringan berkeratin, misalnya kulit, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh dermatofita. Secara garis besar, dermatofita dapat digolongkan ke dalam 3 genus, yaitu Trichophyton (7), Microsporum (M), dan Epidermophyton (E). Berdasarkan habitat primernya, dermatofita dibagi atas spesies yang bersifat antropofilik, zoofilik, dan geofilik. Pengetahuan mengenai jenis habitat tersebut dapat digunakan untuk melacak sumber penularan dermatofitosis.
Laporan marbiditas divisi Mikologi, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Perusahaan Jawatan Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (FKUI 1 Perjan RSCM), Jakarta antara Januari 1999 dan Desember 2003 menunjukkan jumlah pasien dermatofitosis sebesar 53,53 % dari total 7170 orang pasien baru yang berobat ke poliklinik divisi Mikologi. Tinea kruris danlatau korporis mencakup 92,4% dari seluruh pasien baru dermatofitosis.
Dermatofitosis dapat bersifat kronis residif dan dipengaruhi oleh faktor pejamu, agen, dan lingkungan. Faktor pejamu yang berperan antara lain keringat berlebihan, pakaian oklusif, diabetes melitus, sindrom Cushing, dan kondisi imunokompromais.
Spesies penyebab terjadinya kronisitas dan rekurensi tersering adalah T. rubrum. Trichophyton rubrum bersifat antropofilik sehingga kurang memicu respons peradangan pada pejamu dengan akibat infeksi menjadi kronis. Foster, dkk. melakukan survei epidemiologi infeksi jamur kulit di Amerika Serikat dari tahun 1999 sampai dengan 2002 dan menemukan bahwa T. rubrum merupakan jamur patogen utama penyebab tinea kruris dan/atau korporis."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leatemia, Lukas Daniel
"Latar Belakang: Perubahan sistem pembelajaran kearah metode problem basad learning {PBL) menyebabkan peran staf pengajar mengalami perubahan kearah peran tutor. Kesediaan staf pengajar untuk terlibat sebagai tutor sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya pengaruh pelatihan tutor dan karakteristik responden terhadap keterlibatan staf pengajar PSKU Universitas Mu!awamuin (UnmuL dalam melaksanakan metode pembelajaran tersebut.
Metode: Penelitian dilakukan secara cross-sectional selama 4 bulan (Agustus-­ November 2007) melalui pengisian kuesioner oleh seluruh staf pengajar PSKU Unmut buik yang bekcrja di bidang klinis maupun preklinis (total sample). Kuesioner yang memuat tentang pengetahuan, komitmen dan riwayat pe1atihan tutor tentang PBL diisi sendiri oleh staf pengajar dihadapan peneliti. Data dianalisis dengan regresi COX dengan menggunakan STATA versi 9.1.
Hasil: Sejumlah 98 kuesioner disebarkan dan 75 staf pengajar memberlkan respon yang terdiri atas dosen klinik 64% dan preklinik 36%. Hasil analisis data memperlihatkan 80% staf peng.ajar bersedia menjalankan tugas sebagai tutor dan sekitar 83.3% diantaranya memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Sebanyak 80% responden yang bersedia terlibat sebagai tutor dan memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tersebut pemah dilatih sebagai tutor. Staf pengajar yang telah mengikuti pelatihan selama 1-2 hari memiliki kecenderungan 3 kali lebih tinggi pengetahuannya (RR suaian 3, l895% interval kepercayaan {,57 6,44), 3,5 kali lebih tinggi bagi mereka yang pemah mengikuti pelatihan lebih dari 2 hari (RR suaian 3,49, 95% interval kepercayaan 1,76-6,92) dibanding staf pengajar yang belum pemah mengikuti pelatihan tutorial.
Kesimpulan: Pelatihan tutor meningkatkan pemahaman staf pengajar PSKU Universitas Mulawannan tentang PBL Hal tcrsebut kemungkinan mempertinggi kesediaan staf pengajar untuk berperan sebagai tutor.

Background: Problem Based Learning (PBL) implementation in Faculty of Medicine, University of Mulawarman necessitates an alteration in faculty's rote to become more as a tutor. The research is aimed to identify the influence of tutor training and subject characteristics to medical teachers' commitment in becoming PBL tutors.
Methods: The research was a cross-sectional study that was being conducted in four months, from August to November 2007. It obtained data from all of faculty member in the school, both preclinical and clinical teachers through researcher­ attended and self reported training history on PBL. The data was then analyzed with Cox regression using STATA version 9.1.
Results: Ninety six questionnaires have been distributed, and 75 responses could be obtained. The responses were derived from 36% preclinical and 64% clinical teachers. Dal.a analysis revealed that 80% of the medical teachers were commited to become PBL tutors had high knowledge on PBL. About 83.3% of these teachers who had commitment and high knowledge have accomplished PBL tutor training. Knowledge of teachers who have been trained for l to 2 days were about three times higher than untrained tutors' knowledge (adjusted relative risk {RR) = 3.18; 95% confidence interval (CI)""' l.57 6A4), days were about 3.5 times higher than untrained tutors' knowledge (adjusted RR 3.49: 95% CII.76-6.92).
Conclusion: The PBL tutor training promotes understanding ofPBL; therefore. it might increase medical teachers' commitment in becoming PBL tutors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T31981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiati Ganjardani
"Latar belakang: prolaktin adalah salah satu hormon yang segera meningkat pada keadaan stres fisis dan psikoemosional yang juga berperan sebagai neuroendokrin pada pertumbuhan sel epitel dan sistem imun kulit. Prolaktin adalah prototype mediator neuroendokrin terhadap stres. Eksaserbasi psoriasis seringkali dipicu oleh stres psikoemosional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah efek stres pada psoriasis berhubungan dengan perubahan kadar prolaktin serum. Penulis meneliti korelasi antara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris pada pasien laki-laki, yang diukur dengan metode psoriasis area severity index (PASI) dan luas permukaan tubuh (body surface area, BSA).
Metode: penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang pada 41 pasien psoriasis vulgaris laki-laki. Kadar prolaktin serum diukur dengan metode electrochemiluminescence immunoassay dan dikorelasikan dengan derajat keparahan psoriasis.
Hasil: tidak ada korelasi antara kadar prolaktin serum dengan PASI (korelasi Spearman, p>0,05) dan BSA (korelasi Spearman, p>0,05).
Kesimpulan: terdapat korelasi positif yang tidak signifikan secara statistik antara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI dan BSA pada pasien laki-laki.

Background: prolactin is one of the hormones that immediately raises at the state of physical and psychoemotional stress. It also acts as neuroendocrine in growth of epithelial cells and skin immune system. Prolactin is the prototype of neuroendocrine mediator of stress. The exacerbation of psoriasis is often caused by psychoemotional stress. It has been questionable whether stress effect in psoriasis correlates with changes in serum prolactin levels. The authors investigated the correlation between serum prolactin levels and the severity of psoriasis vulgaris in male patients, measured by psoriasis area and severity index (PASI) and body surface area (BSA).
Method: we performed a cross-sectional study in 41 male patients with psoriasis vulgaris. The serum prolactin levels were measured by electrochemiluminescence immunoassay and were correlated with the severity of psoriasis vulgaris (PASI and BSA).
Result: There was no correlation between serum prolactin levels and PASI (Spearman's correlation, p>0,05) and BSA (Spearman’s correlation, p>0,05).
Conclusion: there was positive correlation, but not statistically significant, between serum prolactin levels and severity of psoriasis vulgaris measured by PASI and BSA in male psoriasis subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Sinatra Luwia
"Ruang lingkup dan Cara penelitian : Kulit merupakan organ tubuh yang paling banyak mendapat trauma dalam dunia industri antara lain bermanifestasi dalam bentuk dermatitis kontak, kelainan tersebut di antaranya disebabkan oleh logam nikel dan krom, yang pemajanannya ditemukan di pabrik kunci. Untuk mengurangi dampak yang terjadi perlu diketahui faktor-faktor yang berperan pada terjadinya dermatitis kontak dalam proses pembuatan kunci agar dapat dilaksanakan usaha-usaha pencegahannya. Penelitian ini meliputi 228 tenaga kerja di bagian produksi pabrik kunci, dengan mempelajari proses yang terdapat di tiap bagian produksi, perilaku tenaga kerja dan mengukur beberapa parameter lingkungan yaitu panas, kelembaban, kadar logam dan debu. Anamnesa dan pemeriksaan kulit dilakukan terhadap semua . pekerja sedangkan perlakuan uji tempel terhadap nikel dan krom hanya pada kelompok yang diduga menderita dermatitis kontak alergi.
Hasil dan Kesimpulan : Prevalensi dermatitis kontak mencapai 46 tenaga kerja (20,17 %) terdiri atas 20 (8,8 %) dermatitis kontak alergi. ; 11 (4,8 %) dermatitis kontak iritan dan 15 (6,8 7) dermatitis lain yang mempermudah terjadinya dermatitis kontak. Hasil uji tempel terhadap nikel 7 kasus (30%) positip dari 20 kasus dan terhadap krom 4 kasus (20%) positip dari 20 kasus. Faktor yang paling berperan untuk terjadinya dermatitis kontak ialah adanya faktor pendidikan yang rendah, riwayat alergi dan perilaku, cuci tangan setelah bekerja.

Scope and method of study : The skin is the most commonly injured organ in industry to day with a clinical manifestation as contact dermatitis caused by chemical substances especially nickel and chrome. A knowledge of the role of risk factors on contact dermatitis is obviously very important to prevent the disease. This study involved 228 workers in the key manufacturing in Tangerang, west Java. It is necessary to observe all step of production, attitude of the employee and the environment parameters as temperature, humidity, metal & dust concentration in the working environment to prevent the outcome of the disease. All workers undergo clinical examination, while patch test to nickel & chromium were done to suspected cases of allergic contact dermatitis.
Findings and conclusions : Prevalence of contact dermatitis is found in 46 workers (20,17 %), which consist of 20 (8,8 %) allergic contact dermatitis ; 11 (4,8 %) irritant contact dermatitis and 15 (6,6 %) other dermatitis aggravated for contact dermatitis. The results of patch test to nickel is positive in 7 cases (30 %) from 20 cases and chrome in 4 cases (20 %) from 20 cases. The most risk factors for contact dermatitis are low education, history of allergy and cleaning up after working.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-3906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erawita Endy Moegni
"Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar, balk di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Di beberapa negara berkembang IMS pada usia dewasa muda bahkan menempati kelompok lima besar kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Dalam konteks kesehatan reproduksi, IMS berkaitan dengan infeksi saluran reproduksi (ISR). Kesehatan reproduksi adalah keadaan proses reproduksi dalam kondisi sehat mental, fisik, maupun sosial terpenuhi dan tidak hanya babas dari penyakit atau kelainan pada proses reproduksi tersebut. Secara gender, wanita memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalnan, jugs terhadap penyakit kronik dan infeksi. Berbagai jenis IMS pada wanita dapat menyebabkan ISR yang dapat menimbulkan bukan hanya keluhan fisik, ,gangguan psikologis, maupun gangguan keharmonisan perkawinan, namun dapat dapat disertai komplikasi yang lebih lanjut. Hal tersebut terjadi terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat, terutama untuk jenis IMS dan ISR pada wanita yang tidak menimbulkan gejala khas. Komplikasi IMS atau ISR pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP), kehamilan di luar kandungan, kanker serviks, infertilitas, serta kelainan pada bayi dalam kandungan, misalnya beret badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, infeksi kongenital danlatau perinatal serta bayi lahir mati. Separuh dari wanita dengan IMS di Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita IMS karena ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya, sehingga sebagian besar dari mereka tidak berobat. Infeksi menular seksual dan ISR merupakan masalah kesehatan masyarakat serius namun tersembunyi, sehingga sering disebut sebagai the hidden epidemic.
Prevalensi IMS yang paling banyak diteliti pada wanita adalah pada kelompok populasi risiko tinggi, misalnya pada wanita penjaja seks (WPS). Sedangkan pada kelompok populasi risiko rendah, prevalensi IMS pada wanita yang juga pernah diteliti, misalnya ibu hamil atau pengunjung klinik keluarga berencana (KB).
Tiga di antara IMS yang sering tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis adalah sifilis, infeksi virus herpes simpleks (VHS), dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sejauh ini pemeriksaan serologik ke-3 penyakit tersebut hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan klinis maupun riwayat perilaku yang berisiko tinggi pada pasien. Setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap pemeriksaan ke-3 penyakit di atas pada wanita hamil, termasuk di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.
Pola distribusi IMS bergantung pada berbagai penyebab, antara lain faktor lingkungan, budaya, biologis, dan perilaku seksual yang salah atau berisiko tinggi. Faktor lingkungan dan budaya, dalam hal ini perubahan nilai, misalnya kebebasan individu dalam masyarakat dan mundurnya usia pernikahan berperan besar dalam peningkatan insidens IMS secara umum. Faktor biologis, misalnya perbaikan gizi secara umum akan menyebabkan makin mudanya usia menarche pada remaja putri.' Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kematangan biologis dengan usia menikah, sehingga sering terjadi kehamilan remaja. Sedangkan perilaku seksual berisiko, misalnya berganti-ganti pasangan seksual dan hubungan seks pranikah.1 Faktor risiko yang dihubungkan dengan sifilis, infeksi VHS tipe-2 dan infeksi HIV antara lain: status sosio-ekonomi rendah, lamanya melakukan aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual multipel, promiskuitas, penggunaan narkotika, serta riwayat IMS lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Endriana Svieta
"Latar Belakang : Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja yang disebabkanoleh reaksi simpang pada kulit epidermis dan dermis akibat pajanan bahan yang berhubungan dengan bahan kimia, faktor fisik (panes), dan faktor mekanik (gesekan, tekanan, trauma) dan faktor riwayat atopi juga merupakan penyebab tidak langsung. Salah satu bahan kimia yang berisiko terhadap dermatitis kontak adalah debu semen. Pekerja yang berisiko terhadap pajanan debu semen adalah tenaga keja bongkar muat sak semen di pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta.
Metode : Penelitian dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta pada September 2009. Desain penelitian ini cross sectional dengan analitik internal komparatif dan pemilihan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Populasi penelitian seluruh buruh tenaga kerja bongkar muat pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta yang berjumlah 402 orang, dan jumlah sampel 140 responden. Cara pengumpulan data dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan observasi pelaksanaan pekerjaan. Analisis data dengan program SPSS versi 15, dengan interpretasi analisis univariat , analisis bivariat (Odds Ratio dan 95% Confidence Interval) dan analisis multivariat (metode Enter pada Binary Logistic Regression).
Hasil : Tenaga kezja bongkar muat Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta sebanyak 24,3% mengalami dermatitis kontak. Hasil analisis multivariat terdapat hubtmgan bermakna antara tingkat pajanan debu semen tahunan (p=0,041 ; OR=2,35; 95%Cl=0,99»S,56) dengan dermatitis kontak. Umur pekeija, status gizi, pendidikan, iiwayat atopi dan higiene diri buruk tidak mempunyai hubungan statistic bcmiakna dengan dermatitis kontak. Suhu lingkungan dan kelembaban dengan alat ukur Hear Stress Monitor (WBGTO tertingi 29,1°C dan RH tertinggi 62%) diduga mernpunyai kontribusi nntuk terjadinya dermatitis kontak.
Kesimpulan dan saran : Prevalensi dermatitis kontak pada tenaga kerja bongkar muat Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta sebanyak 24,3%. Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya dennatitis kontak adalah tingkat pajanan debu semen tahunan (p=0,04l;0Ra¢§ =2,35).Tingginya suhu lingktmgan dan kelembaban diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya. dermatitis kontak. Pekerja perlu diajarkan pengetahuan akan bahaya debu semen, pentingnya alat pelindung diri dan menjaga kebersihan diri untuk mencegah teij adinya dermatitis kontak pada pekeija angkut semen.

Background: Contact dermatitis is the one of a skin disease due to work caused by adverse reaction in the epidermis and dennis of skin exposure related materials, chemical, physical factors (heat), and mechanical factors (friction, pressure, trauma) and history of atopy factor is also an indirect cause. One of the chemicals that are at risk for contact dermatitis is cement dust, Workers at risk of exposure to cement dust is labor cement loading and unloading bags of Sunda Kelapa Port in Jakarta.
Methods: This research was conducted at the port of Sunda Kelapa Jakarta in September 2009. The design was cross-sectional study with an intemal analytical comparative sample selection is done by simple random sampling. This study population is all the labor workers unloading port of Sunda Kelapa Jakarta totaling 402 people, based on the calculation of the number of samples of 140 respondents. Dara collection is done by filling status of research, which consisted of anarrmcsis, physical examination and observation of the implementation work. Data analysis using SPSS program version 15, with the interpretation of the univariate analysis (table distributions), bivariate analysis (calculating Odds Ratio 95% Confidence Interval) and multivariate analysis (enter method the binary logistic regression).
Results: Prevalence of contact dermatitis among labor loading and unloading at the port of Sunda Kelapa Jakarta is 24.3% . There is signiicant statistic relationship between the cement dust exposure rating (p = 0.041; OR = 2,35; 95% CI == 0,19-5,56) to contact dermatitis, The age, work duration, nutritional status, education, poor self-hygiene and history of atopy had no significant statistic relationship to contact dermatitis. Temperature and humidity environment with the Heat Stress Monitor (29.l° C highest WBGTo and the highest 62% RH) have contributed to the occurrence of contact dermatitis
Conclusions and sugestions: The prevalence of contact dermatitis in workers loading and imloading port of Sunda Kelapa Jakarta is 24.3%. The most related factors to the occmrence of contact dermatitis is cement dust exposure rating chronic (p = 0.04l; OR adj =2,3 5).The highly environmental temperature and humidity could be intiuence to contact dermatitis. Workers need to be taught to maintain personal hygiene and knowledge of the hazards of cement dust on the health of workers, including skin health.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32346
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyadi Aziz Rahmat
"ABSTRAK
Latar Belakang
Lingkungan pendidikan di fakultas kedokteran dapat menjadi beban psikis bagi
mahasiswa karena penuh dengan stresor. Besarnya pengaruh stresor tersebut
dibuktikan dengan tingginya angka kejadian distres pada mahasiswa fakultas
kedokteran di seluruh dunia, sehingga diperlukan upaya untuk mengidentifikasi
sumbernya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan alat ukur untuk mengidentifikasi stresor
bagi mahasiswa pendidikan dokter tahap akademik.
Metode
Penelitian ini menggunakan teknik mixed methods (kualitatif dan kuantitatif),
studi Delphi untuk mengidentifikasi stresor dan desain potong lintang untuk uji
instrumen. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa tahap akademik Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) dengan populasi 995
orang. Sebanyak 58 mahasiswa dipilih secara stratified simple random sampling
untuk studi Delphi dan total sampling.untuk uji instrumen. Analisis menggunakan
program SPSS versi 17, uji reliabilitas dengan alpha Cronbach dan analisis faktor
dengan rotasi Oblimin.
Hasil
Di antara 90 stresor pada studi Delphi terseleksi 40 yang lolos uji instrumen.
Stresor dikelompokkan menjadi stresor akademis (18 butir), stresor personal (11
butir), stresor lingkungan belajar (6 butir), dan stresor lingkungan sosial (5 butir).
Instrumen Kuesioner Stresor Mahasiswa Pendidikan Dokter Tahap Akademik
(KSMPD-Akademik) yang dihasilkan memiliki nilai alpha Cronbach 0,911.
Masalah fasilitas pendidikan dan masalah akademis merupakan stresor yang
paling banyak dihadapi mahasiswa dan memiliki pengaruh paling besar.
Diskusi
Pada analisis faktor terdapat 43 butir yang memiliki nilai di bawah 0,3 pada
matriks Communalities. Sebanyak 7 butir lainnya memiliki korelasi yang rendah
terhadap seluruh butir karena nilai korelasi item-total di bawah 0,3 pada matriks
Item-Total Statistics. Butir yang terseleksi merupakan butir yang dapat mewakili
stresor bagi mahasiswa tahap akademik FK UISU. KSMPD-Akademik memiliki
reliabilitas yang baik. KSMPD-Akademik dikembangkan pada populasi
terjangkau, sehingga ada kemungkinan fakultas kedokteran lain memiliki stresor
yang berbeda. Mahasiswa FK UISU berpendapat bahwa pada pelaksanaan proses pembelajaran mahasiswa memerlukan fasilitas ruangan kelas dan laboratorium
yang lebih memadai.
Simpulan
KSMPD-Akademik mengukur tingkat kekerapan (frekuensi) dan tingkat pengaruh
stresor yang dihadapi mahasiswa pendidikan dokter tahap akademik. Instrumen
ini dapat dikembangkan dengan menggali stresor lain di institusi yang berbeda.

ABSTRACT
Background
Educational environment in medical school is very stressful that can cause
psychological problems. Many researches identified high incidence of distress
among medical students around the world. Early identification is necessary,
advisably since undergraduate (academic) medical course to prepare students
facing the clinical situation (workplace) with higher level of stress.
Purpose
To develop instrument to identify stressors for academic medical students.
Methods
A mixed methods study (qualitative and quantitative) using Delphi technique to
identify stressors and cross-sectional design to develop the instrument has been
conducted among 995 academic medical students in Faculty of Medicine, Islamic
University of Sumatera Utara (FM IUSU). Sample of 58 on Delphi study were
chosen by stratified simple random sampling and a total sampling methods on
instrument development. Data were analyzed using SPSS version 17 by reliability
test with Cronbach’s alpha and factor analysis with Oblimin rotation.
Result
About 40 of 90 items obtained from Delphi study fulfill the criteria as stressor
instrument and named as Stressor Questioner for Academic Medical Student
(Kuesioner Stresor Mahasiswa Pendidikan Dokter Tahap Akademik (KSMPDAkademik)).
They are grouped into academic stressors (18 items), personal
stressors (11 items), learning environment stressors (6 items), and social
environment stressors (5 items). KSMPD-Akademik reached 0.911 of Cronbach
alpha. Stressors encountered by the respondents mostly associated with
educational facilities and academic problems. These stressors are well
established as stressor that has the most impact.
Discussion
There were 43 inadequate items removed by factor analysis because the value
found was below 0.3 on Communalities matrix. Seven items were further removed
because the value found was below 0.3 of item-total correlation on Item-Total
Statistics. The items selected by factor analysis and reliability test could represent
the stressors faced by the academic medical student in FM IUSU. KSMPDAkademik
has good reliability. KSMPD-Akademik was developed from FM IUSU
population, with the possibility of having other stressor if applied to other medical school. Students in FM IUSU require more adequate classroom and laboratory
facilities in implementing the learning process.
Conclusion
KSMPD-Akademik could measure the frequency and the degree of influence
(impact) of potential stressors experienced by the academic medical students. This
instrument could be further developed by exploring other stressors in different
institutions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Kusmiati
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2008
T56652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Pitawati
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti perbandingan efektivitas antara antibiotik topikal dengan vaselin
album untuk mencegah infeksi pada luka superfisial pasca tindakan bedah listrik (BL)
tumor jinak kulit berdiameter 1-3 mm. Penelitian analitik dengan rancangan uji klinis
acak buta ganda ini dilakukan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI/RSCM pada tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik
topikal dan vaselin album memiliki efektivitas yang sama untuk mencegah terjadinya
infeksi pada luka superfisial pasca tindakan BL tumor jinak kulit berdiameter 1-3
mm. Antibiotik topikal tidak diperlukan untuk mencegah infeksi pada luka superfisial
pasca tindakan BL, khususnya pada tumor jinak kulit berdiameter 1-3 mm.

ABSTRACT
This thesis compares the effectiveness between topical antibiotics and vaseline album
to prevent superficial wound infection post electrosurgery benign skin lesions,1-3 mm
in diameter. The Analytical research, double blind randomized clinical trial was
conducted in dermatovenerology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. The results showed that topical antibiotics as effective as vaseline album for
preventing superficial wound infection post electrosurgery benign skin lesions, 1-3
mm in diameter. Topical antibiotics may not be necessary to prevent superficial
wound infection post electrosurgery, especially for benign skin lesions, 1-3 mm in
diameter."
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>