Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
Selma Shafanisa Dhirgantara
"Dukuh Atas adalah salah satu kawasan transit tersibuk yang memiliki banyak pilihan transportasi umum di Jakarta, yang ditempati oleh berbagai pengguna. Studi ini mengkaji bagaimana unsur fisik, sensorik, dan emosional berkontribusi terhadap pembentukan identitas tempat di Dukuh Atas sebagai pusat transportasi umum. Pemahaman konsep identitas tempat, ciri-ciri fisik, pengalaman sehari-hari, dan kenangan pribadi membentuk ruang perkotaan yang unik. Hal ini dieksplorasi melalui pengalaman pribadi untuk menegaskan pentingnya elemen-elemen ini dalam menjadikan transportasi umum tidak hanya sekedar ruang fungsional tetapi juga tempat yang bermakna dan dapat dikenali oleh penggunanya.
Dukuh Atas is one of the most notable transit areas between public transportation options in Jakarta, occupied by a variety of commuters and other users everyday. This study examines how physical, sensory, and emotional elements contribute to the formation of place identity in Dukuh Atas as a public transportation hub. Understanding the concept of place identity, these physical features, daily experiences, and personal memories shapes unique urban spaces. This is explored through personal experiences to highlight the importance of these elements in making public transportation hubs not just functional spaces but also meaningful and recognizable places for their users."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Alifia Ayu
"Tingkat kekuasaan pada stakeholder menjadi salah satu faktor terbesar dalam menentukan kesuksesan proyek yang terlihat pada hasil akhir. Tujuan dari skripsi ini membahas tentang bagaimana tingkat pengaruh stakeholder terhadap keberhasilan proyek ditinjau dari aspek biaya, mutu, dan waktu. Pengambilan data skripsi, melalui studi literatur, studi lapangan, dan studi wawancara yang menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif. Telah dilakukan pengambilan data pada studi kasus Gedung IT Mandiri Bumi Slipi dengan respon stakeholder sebanyak 21 orang. Data kuantitatif didapatkan dari hasil penilaian skala likert yang kemudian diolah dengan aplikasi SPSS dan diagram power-interest grid. Hasil perthitungan, tingkat tertinggi dari kekuatan dan kepentingan stakeholder proyek dalam aspek biaya ditempati oleh manajemen konstruksi, aspek mutu oleh owner, dan aspek waktu oleh manajemen konstruksi. Stakeholder ini dapat memberikan atau membuat keputusan yang berdampak pada hasil akhir proyek. Peranan dan klasifikasi masing-masing stakeholder didapatkan dari data kualitatif hasil wawancara. Dengan menggunakan analisis NICE (needs, interest, concern, dan expectation) yang direduksi untuk mendapatkan kata kunci sebagai parameter referensi kajian teori. Pada Gedung IT Mandiri Bumi slipi, didapatkan stakeholder owner, manajemen konstruksi, dan kontraktor dengan tingkat kekuatan dan kepentingan tertinggi ini berada pada klasifikasi stakeholder kunci yang terikat dengan segala kegiatan berjalannya proyek.
The level of power on stakeholders is one of the biggest factors in determining the success of the project as seen in the final results. The purpose of this thesis is to discuss how the level of influence of stakeholders on the success of the project in terms of cost, quality, and time. Retrieval of thesis data, through literature studies, field studies, and interview studies that produce quantitative and qualitative data. Data collection has been carried out on the case study of the Mandiri IT Bumi Slipi Building with 21 stakeholder responses. Quantitative data was obtained from the Likert scale assessment results which were then processed with the SPSS application and the power-interest grid diagram. As a result of the calculation, the highest level of strength and interest of project stakeholders in the cost aspect is occupied by construction management, the quality aspect is occupied by the owner, and the time aspect is occupied by construction management. These stakeholders can provide or make decisions that have an impact on the final outcome of the project. The roles and classifications of each stakeholder were obtained from the qualitative data from the interviews. By using NICE analysis (needs, interests, concern, and expectations) which is reduced to get keywords as reference parameters for theoretical studies. In the Mandiri Bumi Slipi IT Building, it was found that stakeholder owner, construction management, and contractor with the highest level of power and interest were in the classification of key stakeholders who were bound by all the activities of the project."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Bintang Akbar
"Manusia tentunya mengalami pengalaman ruang ketika berhubungan dengan elemen arsitektur. Salah satu fenomena yang kerap terjadi adalah aspek familiarity dalam konteks arsitektur. Ketika manusia merasa familier dengan ruang di sekelilingnya, manusia akan merasa aman dan nyaman bertingkah laku. Familiarity dapat hadir sebagai sesuatu yang dibangun dari berbagai konfigurasi elemen spasial maupun identitas yang memberikan pengaruh kepada penggunanya. Selain itu, kehadiran familiarity tentunya akan memberikan pengalaman sense of place pada manusia terhadap ruang yang diokupasi. Familiarity dapat kita temui dalam rutinitas kehidupan. Salah satunya adalah familiarity dalam perpindahan manusia pada transportasi kota. Proses berpindah menghasilkan bukti yaitu berupa aspek fisik dan non fisik yang memiliki liminalitas dan akhirnya membentuk ruang liminal. Ruang liminal identik dengan medium yang ambigu dan sebagai perantara perpindahan manusia. Manusia hanya mengokupasi ruang ini sebagai ruang ketiga untuk memenuhi kebutuhan mobilitas. Namun, semakin hari tuntutan kebutuhan dan pengalaman manusia terhadap ruang semakin meningkat. Manusia cenderung ingin merasakan kenyamanan bahkan di tempat yang asing sekalipun. Kenyamanan ini dapat hadir melalui familiarity yang terbentuk karena kemampuan ruang dalam menghadirkan sense of place bagi penggunanya. Melalui studi kasus pada transportasi kota, kajian ini menginvestigasi bagaimana familiarity memiliki pengaruh terhadap pengguna dalam memenuhi kebutuhan dan pengalamannya dalam konteks ruang liminal pada transportasi kota.
Humans naturally experience space when interacting with architectural elements. One common phenomenon is the aspect of familiarity in the context of architecture. When people feel familiar with the space around them, they feel safe and comfortable behaving in it. Familiarity can be built from various configurations of spatial elements or identities that influence its users. Additionally, the presence of familiarity certainly provides a sense of place for people in the spaces they occupy. Familiarity can be encountered in the routines of daily life. One example is the familiarity in human movement within urban transportation. The process of moving creates evidence in the form of physical and non-physical aspects that possess liminality and eventually form liminal spaces. Liminal spaces are characterized by their ambiguous nature and act as intermediaries in human movement. People only occupy these spaces as third spaces to meet their mobility needs. However, over time, the demands for human needs and experiences in spaces are increasing. People tend to seek comfort even in unfamiliar places. This comfort can be achieved through familiarity that forms from a space’s ability to provide a sense of place to its users. Through a case study of urban transportation, this study investigates how familiarity influences users in meeting their needs and experiences in the context of liminal spaces within urban transportation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fatimah Dzurriyah Shalihah
"François Schuiten and Benoît Peeters' comic series, Les Cités Obscures, played a significant role in the 1980s shift towards recognising bande dessinée as a media for architecture criticism. Their use of dual utopian/dystopian narratives in comic album form collectively addresses urban issues that were impactful enough to inspire the urban artist and author, allowing critics to engage in extensive dialogues that place the comic’s narrative within its urban context. This undergraduate thesis learns from their first album, Les murailles de Samaris (1983), meaning “The Great Walls of Samaris,” depicting a Xhystos officer, Franz Bauer, investigating the distant city of Samaris to eventually realise the obscured spatiality of the cities being simulated and totalitarian. The objective is to discover the architecture criticisms in the comic album by deconstructing the comic’s ‘infrastructure’ – including the grids, gutters, panels and the urban indicators within them – to reveal the duality of utopia/dystopia in Xhystos and Samaris. This duality will be put into a critical dialogue with the 1980s French debate on the ‘end of modernity,’ involving the architectural utopia/dystopia in Paris and French peripheries, extracted from literary research. This writing addresses urgent urban issues in France depicted in the comic, focusing on the conflicting visions of French national architecture and the lingering trauma from Haussmann and Napoleon III's urban renewals and the Franco-Prussian War from the late nineteenth century, which evidently influenced the consciousness of French architects and urban planners. This led to repeated dystopian outcomes in the 1980s including totalitarianism, class segregation and superficiality of the projects. The analysis reveals the comic’s criticism of French architecture, inviting readers to reflect on the broader implications of urban design and its collective impact on urban structure.
Serial komik François Schuiten dan Benoît Peeters, Les Cités Obscures, memainkan peran penting dalam pengakuan bande dessinée sebagai media kritik arsitektur pada tahun 1980an. Penggunaan narasi utopia/distopia dalam bentuk album komik memungkinkan para kritikus untuk terlibat dalam dialog ekstensif yang menempatkan narasi komik dalam konteks perkotaannya. Dialog kritis yang diperluas dari komik urban ini penting bagi arsitektur dan ubanitas dalam mengungkap keprihatinan mendesak yang cukup berdampak untuk menginspirasi seniman dan penulis urban. Tesis sarjana ini belajar dari album pertama mereka yang berjudul Les murailles de Samaris (1983), atau “Tembok Besar Samaris,” yang menggambarkan Franz Bauer dari Xhystos menyelidiki kota Samaris dan akhirnya menyadari spasialitas kota yang disimulasikan dan totaliter. Tujuan tesis ini adalah untuk menemukan kritik arsitektur dalam album komik dengan mendekonstruksi 'infrastruktur' komik – termasuk grid, gutter, panel dan indikator perkotaan di dalamnya – untuk mengungkap dualitas utopia/distopia dalam Xhystos dan Samaris. Dualitas ini akan dimasukkan ke dalam dialog kritis dengan perdebatan 1980an tentang ‘akhir modernitas’, yang melibatkan utopia/distopia arsitektur di Paris dan wilayah pinggiran Perancis, diambil dari penelitian sastra. Tulisan ini membahas isu-isu perkotaan urgent di Perancis, fokus pada visi arsitektur nasional Perancis yang tidak selaras dan trauma dari akibat urban renewal Haussmann dan Napoleon III serta Perang Perancis-Prusia dari akhir abad kesembilan belas yang sangat mempengaruhi arsitek dan perencana kota Perancis, dan menyebabkan kejadian distopia berulang di 1980an. Analisis tersebut menunjukkan kritik komik terhadap keadaan arsitektur Perancis dan mengajak pembaca untuk merefleksikan implikasi yang lebih luas dari desain perkotaan dan dampak kolektifnya terhadap struktur perkotaan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cassandra Fyodorova
"Fokus penelitian ini adalah untuk menemukan penerapan karakter “surrealis” dalam Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai produk pemikiran bawah sadar berdasarkan definisi yang didefinisikan oleh para pencipta seni dan desainer Gerakan Surealisme pada tahun 1900-an. Dari masa pra hingga pasca masa keemasan gerakan surealisme hingga saat ini, dari pergeseran banyak gaya dan bentuk karya seni, definisi surealisme telah diguncang oleh keputusan bawah sadar, akar dari kesamaan dalam arsitektur vernakular didirikan dalam aspek sosial, budaya, dan topografi suatu keberadaan. Disuntikkan pada karya-karya manusia termasuk keluaran arsitektur, Menariknya Arsitektur Vernakular Indonesia menjadi salah satu arsitektur yang “eksplisit” menampilkan pemikiran pada gayanya. Dipimpin oleh Tongkonan Toraja, tulisan ini akan menganalisis implementasi karakter surealis dalam Arsitektur Vernakular Indonesia dengan menghubungkannya dengan gagasan yang didirikan.
The focus of this study is to find the applications of “surrealist” characters in Indonesian Vernacular Architecture as a product of subconscious thinking based on their definition defined by the Surrealism Movement in the 1900s’ creators of arts and designers. From pre- to post-golden age of surrealism movement until the present times, from the shift of many styles and forms of artworks, the definition of surrealism has founded to be bed rocked by subconscious decisions, the roots of the similarities in vernacular architecture founded in the aspect of social, cultural, and topography of one existence. Injected to the works of human beings including architectural output, Indonesian Vernacular Architecture interestingly being one to “explicitly” show the thinking to the style. Leads by Toraja’s Tongkonan, this writing will analyze the implementation of the surrealist characters form Indonesian Vernacular Architectures by connecting them with the idea founded."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Arie Rusmayanti
"Urban tourism merupakan bentuk pariwisata yang dilakukan dengan mengunjungi sebuah destinasi di lingkungan perkotaan salah satunya melalui tur jalan kaki. Tur jalan kaki adalah kegiatan wisata yang dilakukan dengan jalan kaki untuk menjelajahi dan mengalami kehidupan dinamis perkotaan, menyaksikan beragam kegiatan kota yang menarik dan unik hingga berinteraksi dengan penduduk setempat. Tidak hanya menyusuri sebuah tempat dengan jalan kaki, wisata ini juga dilengkapi dengan sebuah narasi urban yaitu sebuah rangkaian cerita yang disampaikan pemandu maupun warga lokal untuk menjelaskan sejarah, budaya, dan identitas tempat yang dikunjungi sehingga dapat menciptakan ikatan emosional antara wisatawan dan tempat yang mereka kunjungi atau yang dikenal dengan konsep sense of place. Konsep sense of place merupakan sebuah hubungan antara manusia dan tempat yang dihasilkan dari pengalaman individu terhadap suatu tempat yang membedakan tempat tersebut berbeda dengan tempat lainnya. Sense of place dapat hadir melalui tiga elemen pembentuk yaitu, penataan fisik (physical setiing), aktivitas (activity), dan makna (meaning).
Adapun tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pembentukan sense of place yang hadir dan dirasakan oleh peserta walking tour berkaitan dengan narasi yang disampaikan pemandu maupun warga lokal. Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif naratif untuk memudahkan penulis dalam menjelaskan hasil penelusuran secara kronologis sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih detail mengenai pembentukan sense of place terhadap objek studi kasus yaitu pada Sisi Timur Batavia dan juga Kota Lama Gresik. Berdasarkan hasil penelusuran menunjukkan bahwa melalui walking tour individu dapat mengeksplorasi kehidupan lingkungan perkotaan dan narasi berperan untuk memperkuat sense of place pada wisatawan dalam membangun pemahaman yang lebih holistik tentang kota, meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai budaya dan lingkungan, serta mendorong partisipasi aktif dalam melestarikan sejarah dan budaya sehingga dapat membangun sebuah kota yang identitasnya terjaga.
Urban tourism is a form of tourism that is carried out by visiting a destination in an urban environment, one of which is a walking tour. A walking tour is a tourist activity that is carried out on foot to explore and experience dynamic urban life, witness various interesting and unique city activities, and interact with local residents. Not only does this tour include exploring a place on foot, but it is also equipped with an urban narrative, which is a series of stories told by guides and local residents to explain the history, culture, and identity of the places visited so as to generate an emotional bond between tourists and the places they visit. or what is known as the concept of sense of place. The concept of sense of place is a relationship between humans and places resulting from individual experiences of a place that distinguishes that place from other places. A sense of place can be generated through three elements: physical setting, activity, and meaning.The purpose of this writing is to find out how the formation of a sense of place is present and felt by walking tour participants related to the narration conveyed by guides and local residents. This writing uses a qualitative research method with a narrative-descriptive approach to facilitate the writer in explaining the search results chronologically so that a more detailed picture of the formation of a sense of place for the object of the case study can be obtained, namely on the Sisi Timur Batavia and also in the Kota Lama Gresik. Based on the research results, it shows that through walking tours, individuals can explore urban environmental life, and narratives play a role in strengthening the sense of place in tourists by building a more holistic understanding of the city, increasing awareness of cultural and environmental values, and encouraging active participation in preserving history. and culture so as to build a city whose identity is maintained."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Samiya Romzy
"Penelitian ini menggali fenomena simulacra dalam arsitektur tradisional Indonesia yang termanifestasi di luar negeri, khususnya pada Minangkabau House di Rotterdam dan The House of Five Senses di Kaatsheuvel, Belanda. Di era hiperrealitas, di mana realitas dan replika saling melebur, penelitian ini menelusuri dampak simulacra terhadap persepsi dan pengalaman terhadap arsitektur tradisional. Arsitektur, sebagai seni merancang ruang dan lingkungan, memiliki peran sentral dalam membentuk hubungan manusia dengan lingkungannya. Namun, teori postmodernisme, terutama konsep simulacra, merubah paradigma pandangan kita terhadap realitas. Melalui analisis visual dan pemahaman konsep simulacra, penelitian ini bertujuan untuk membedakan arsitektur yang bersifat simulatif dari yang memiliki keaslian tertanam dalam tradisi. Studi kasus di Rotterdam dan Kaatsheuvel mengungkapkan bagaimana replika arsitektur tradisional Indonesia melebur dengan lingkungan sekitarnya, menciptakan suasana dimana batas antara asli dan replika menjadi kabur. Dalam Minangkabau House dan The House of Five Senses, simulacra memanifestasikan dirinya dalam replika yang menantang untuk dibedakan dari yang asli. Dalam masyarakat yang terus terpapar media hiperreal, tantangan memahami identitas asli suatu struktur menjadi lebih kompleks. Penelitian ini, melalui landasan teoritis simulacra, mengeksplorasi hingga sejauh mana konsep ini membentuk pengalaman terhadap arsitektur tradisional di luar negeri dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat tentang otentisitas. Dengan demikian, penelitian ini merintis jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang identitas dan makna arsitektur tradisional Indonesia di era hiperrealitas.
This study delves into the phenomenon of simulacra within traditional Indonesian architecture manifested abroad, particularly in the Minangkabau House in Rotterdam and The House of Five Senses in Kaatsheuvel, Netherlands. In the era of hyperreality, where reality and replicas seamlessly merge, this research explores the impact of simulacra on perceptions and experiences of traditional architecture. Architecture, as the art of designing spaces and environments, plays a central role in shaping human relationships with their surroundings. However, postmodernism, notably the concept of simulacra, has transformed our paradigm of reality. Through visual analysis and an understanding of the simulacra concept, this study aims to distinguish between architecture that is simulative and that which embeds authenticity within tradition. Case studies in Rotterdam and Kaatsheuvel reveal how replicas of traditional Indonesian architecture blend with their surrounding environments, creating an atmosphere where the boundaries between the original and the replica become blurred. In Minangkabau House and The House of Five Senses, simulacra manifest themselves in replicas that challenge differentiation from the authentic. In a society continually exposed to hyperreal media, the challenge of understanding the authentic identity of a structure becomes more complex. This research, grounded in the theoretical framework of simulacra, explores the extent to which this concept shapes the experience of traditional architecture abroad and its impact on society's perception of authenticity. Thus, this study paves the way towards a deeper understanding of the identity and meaning of traditional Indonesian architecture in the era of hyperreality."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Tjut Arasya Nadhifa
"Arsitektur Postmodern mengkritik Arsitektur Modern dengan memasukkan unsur-unsur tradisional dan gaya sejarah dengan pendekatan kontemporer, mendorong apresiasi terhadap tradisi arsitektur dengan menciptakan interaksi dinamis antara masa lalu dan sekarang. Arsitektur Postmodern menolak narasi besar yang mengklaim memberikan pendekatan tunggal, universal untuk arsitektur, alih-alih pendekatan yang menghargai inklusi dan variabilitas. Campuran gaya elektik dan referensi historis mendorong pendekatan desain multi-faceted yang mencakup kompleksitas dan kontradiksi untuk mendapatkan makna yang lebih dalam dan keterlibatan dengan audiens. Abstrak ini mengeksplorasi bagaimana Arsitektur Postmodern mengilustrasikan hubungan yang kompleks antara arsitektur postmodern dan tradisi dengan memeriksa dua arsitek postmodern: pendekatan desain Robert Venturi dan James Stirling. Skripsi ini mengeksplorasi bagaimana hubungan Arsitektur Postmodern dengan tradisi terlihat dalam karya dua arsitek terkenal, Vanna Venturi House karya Robert Venturi dan Neue Staatsgalerie karya James Stirling. Skripsi ini didasarkan pada ulasan penilaian kritis terhadap karya-karya arsitek tersebut, dan pernyataan dari berbagai teoretik untuk memahami hubungan Arsitektur Postmodern dengan tradisi, dilihat sebagai reaksi atau tanggapan.
Postmodern Architecture critiques Modern Architecture by blending traditional elements and historical styles with contemporary approaches, fostering an appreciation for architectural tradition while creating a dynamic interplay between past and present. It rejects grand narratives that claim to provide a single, universal approach to architecture, instead an approach that values inclusion and variability. The eclectic mix of styles and historical references encourages a multifaceted design approach that includes complexity and contradiction to gain deeper significance and engagement with the audience. This abstract explores into how Postmodern Architecture exemplifies the complex relationship between Postmodern Architecture and tradition by examining two Postmodern architects: Robert Venturi and James Stirling’s design approach. This undergraduate thesis examines how Postmodern Architecture's relationship with tradition is evident in the works of two renowned architects, Robert Venturi's Vanna Venturi House and James Stirling's Neue Staatsgalerie. This writing is based on a review of critical assessments, the architects' own works, and statements from various theorists to understand whether Postmodern Architecture's relationship with tradition, viewed as a reaction or a response."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kemalsyah Fadli Akbar
"Skripsi ini mengeksplorasi simbolisme ideologi Fasisme Jerman pada bangunan Die Neue Reichskanzlei yang terdiri atas simbolisasi arsitektural melalui skala beserta kualitasnya dan simbol non-arsitektural berupa lambang kenegaraan dan karya seni. Selain itu, skripsi ini juga mengeksplorasi simbolisme kejayaan arsitektur Yunani dan Romawi Kuno sebagai perpanjangan dari teori Ruin Value melalui pembedahan bagian-bagian bangunan berupa kolom, pintu, jendela, bracket dan lengkungan yang memiliki kemiripan dengan kedua elemen arsitektur tersebut. Skripsi ini berangkat dari masalah kurangnya literatur yang membahas hal-hal tersebut secara menyeluruh dengan tujuan pertama untuk mengetahui simbolisasi ideologi Fasisme Jerman dalam bentuk arsitektural dan non-arsitektural serta peran simbol-simbol tersebut terhadap persepsi manusia, identitas bangunan, dan kuasa dan tujuan kedua untuk memahami kemiripan antara bagian-bagian bangunan pada Die Neue Reichskanzlei dengan arsitektur klasik dari Yunani dan Romawi Kuno dalam menyimbolisasikan kejayaan kedua arsitektur tersebut. Penyelidikan dilakukan menggunakan metode kajian literatur untuk teori dan sejarah untuk kemudian digunakan saat pembahasan untuk mendapatkan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelusuran, didapatkan hasil bahwa Die Neue Reichskanzlei menggunakan bentuk kuasa force, domination/intimidation, dan seduction yang kemudian terhubung dengan kuasa authority melalui persepsi manusia akan kebesaran bangunan yang terhubung dengan authority sehingga mampu meningkatkan citra dan legitimasi kuasa Adolf Hitler dengan Reich Ketiganya. Selain itu, bangunan juga cukup representatif terhadap arsitektur klasik Romawi dan Yunani Kuno.
This study explores the symbolism of German Fascism ideology in Die Neue Reichskanzlei, which consists of architectural symbolism through scale with its quality and non-architectural symbols. Additionally, this thesis explores the symbolism of Greek and Roman architecture’s glory as an extension of Theory of Ruin Value by breaking down building components that bear resemblance to elements from those two. The thesis stems from the lack of literature comprehensively discussing these topics with the primary aim to understand the symbolism of German Fascism ideology in both architectural and non-architectural forms, as well as their role on human perception, building identity, and power. The secondary aim is to understand the similarities between the building components Die Neue Reichskanzlei and Ancient Greek and Roman architecture in symbolizing the glory of both. The research was conducted using a literature review method for theory and history, which was then utilized in the discussion to reach conclusions. Based on the findings, it was concluded that the Die Neue Reichskanzlei utilized forms of power such as force, domination/intimidation, and seduction, which were then linked to authority through connection of human perception of the building’s grandeur to authority, thereby enhancing the image and legitimization of Adolf Hitler and his Third Reich’s power. Additionally, it was also concluded that the building is quite representative to Roman and Greek architecture."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Rizky Irhansyah
"Skripsi ini merefleksikan pengaruh mekanisasi dan standardisasi dalam sistem produksi Fordisme terhadap arsitektur industri, dengan fokus pada transformasi sistem spasial dan dampaknya terhadap pengalaman pekerja. Melalui analisis reorganisasi ruang pada pabrik Ford Motor Company di Highland Park, skripsi ini menyelidiki bagaimana prinsip-prinsip tersebut merubah desain pabrik, dengan mengutamakan efisiensi dan standardisasi melalui pengenalan
assembly line dan alur kerja linier. Skripsi ini menekankan peran arsitektur tidak hanya sebagai alat fungsional, tetapi juga sebagai konstruksi ideologi rasionalitas, di mana ruang-ruang dioptimalkan untuk memaksimalkan produktivitas. Mengacu pada teori movement dan hand oleh Siegfried Giedion dan teori produksi ruang, skripsi ini menggali bagaimana mekanisasi Fordisme mengubah ruang pabrik menjadi sistem yang tidak hanya memfasilitasi produksi, tetapi juga menerapkan keteraturan yang kaku terhadap aktivitas manusia. Tata letak pabrik, yang ditandai dengan tugas-tugas repetitif dan pergerakan yang distandarisasi, menggambarkan bagaimana arsitektur Fordisme mensubordinasikan tenaga kerja manusia pada efisiensi mesin, menjadikan pekerja sebagai ekstensi dari assembly line. Analisis ini menyoroti implikasi ideologis yang lebih luas dari Fordisme, yang berupaya untuk merasionalisasi dan menstandarkan tenaga kerja melalui desain arsitektur, menciptakan ruang yang mengutamakan output industri di atas pekerja. Dengan kesimpulan, skripsi ini memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai bagaimana mekanisasi dan standardisasi dalam arsitektur industri mencerminkan dan memperkuat ideologi Fordisme, mempengaruhi baik aspek fisik maupun pengalaman hidup pekerja melalui teknik mekanisasi dan standardisasi ruang.
This thesis reflects on the influence of mechanization and standardization within the Fordist production system on industrial architecture, focusing on the transformation of spatial systems and their impact on workers' experiences. Through the analysis of spatial reorganization at the Ford Motor Company plant in Highland Park, this thesis investigates how these principles transformed factory design, emphasizing efficiency and standardization through the introduction of the assembly line and linear workflows. The thesis underscores the role of architecture not only as a functional tool but also as a construct of rationalist ideology, where spaces are optimized to maximize productivity. Referencing Siegfried Giedion’s theories of movement and hand, along with the theory of space production, the thesis explores how Fordist mechanization transformed factory spaces into systems that not only facilitated production but also imposed rigid order on human activity. The factory layout, characterized by repetitive tasks and standardized movements, illustrates how Fordist architecture subordinated human labor to machine efficiency, turning workers into extensions of the assembly line. This analysis highlights the broader ideological implications of Fordism, which sought to rationalize and standardize labor through architectural design, creating spaces that prioritized industrial output over the worker. In conclusion, this thesis provides a broader understanding of how mechanization and standardization in industrial architecture reflect and reinforce Fordist ideology, influencing both the physical aspects and the lived experiences of workers through spatial techniques of mechanization and standardization. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library