Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fera Wahyuni
Abstrak :

Latar belakang: Penggunaan aminofilin intravena masih merupakan terapi pilihan untuk mengatasi apnea of prematurity (AOP) pada bayi prematur di Indonesia karena obat tersebut lebih mudah diperoleh dan harganya lebih murah walaupun mempunyai jendela terapi yang sempit. Pemeriksaan kadar teofilin serum perlu dilakukan untuk menilai efektifitas dan keamanan obat tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin intravena pada bayi prematur dalam pengobatan apnea of prematurity di unit Neonatologi belum jelas. 

Tujuan: Mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin sebagai terapi apnea of prematurity dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cohort prospektif. Subjek penelitian adalah 40 bayi prematur dengan usia gestasi kurang atau sama dengan 30 minggu di Unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta pada bulan April 2019 hingga Oktober 2019. Bayi tersebut mendapat terapi aminofilin intravena dosis rumatan sebanyak lima kali dan dilakukan pemeriksaan kadar teofilin serum dengan menggunakan metode reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD). Selanjutkan dilakukan pemantauan efektifitas dan efek samping yang terjadi selama pemberian aminofilin intravena. Analisis data dengan uji Kai kuadrat dan regresi logistik, hasil signifikan bila nilai p < 0,05.

Hasil: Pemberian aminofilin intravena 67,5% efektif sebagai terapi AOP pada bayi usia gestasi kurang dari 30 minggu. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas penggunaan aminofilin intravena sebagai terapi AOP adalah berat lahir dan kadar teofilin serum dengan nilai p = 0,006 dan 0,022. Efek samping yang ditemukan pada pemberian aminofilin intravena adalah takikardi (37,5%) dan peningkatan diuresis (27,5%) pada kadar teofilin serum lebih dari 12 mg/mL. Faktor yang memengaruhi keamanan penggunaan terapi aminofilin intravena pada bayi prematur adalah kadar teofilin serum dengan nilai p < 0,001. 

Simpulan: Pemberian aminofilin intravena sebagai terapi AOP pada bayi prematur dengan usia kurang dari 30 minggu efektif dan aman. Namun perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin serum mengingat pemberian aminofilin intravena sering menimbulkan efek samping.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminofilin, efektifitas dan keamanan



Background: Intravenous aminophylline still plays the role as the therapy of choice for apnea of prematurity (AOP) in Indonesia because the drug is easier
to obtain and the price is cheaper despite having a narrow window of therapy. An examination of serum theophylline levels needs to be performed to assess the effectiveness and safety of the drug. Factors that influence the effectiveness and safety in the treatment of apnea of prematurity in the Neonatology Unit remain unclear.
Aim: To determine the effectiveness and safety of using aminophylline as apnea of prematurity therapy and their influencing factors.
Methods: This research is an analytical study with a prospective cohort design. Subjects were 40 premature infants with gestational age less than or equal to 30 weeks in the Neonatology Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta from April 2019 to Oktober 2019. The infants received intravenous 
aminophylline maintenance dosages five times and the levels of serum theophylline were examined using the reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD) method. The follow up was set to monitor the effectiveness and side effects that occur during intravenous aminophylline administration. Data were analyzed using the Chi-square test and logistic regression. The results were considered significant if the p-value < 0,05.
Results: The administration of intravenous aminophylline 67.5% was effective as AOP therapy in infants of less than 30 weeks gestation. Factors that 
influence the effective use of intravenous aminophylline as AOP therapy are birth weight and serum theophylline levels with p = 0,006 and 0,022. Side effects that occurred were tachycardia (37.5%) and increased diuresis (27.5%) in serum theophylline levels of more than 12 mcg/mL. Factors that influence the safety of the use of intravenous aminophylline therapy in preterm infants are serum theophylline levels with p < 0,001.
Conclusion: Administration of intravenous aminophylline as AOP therapy in premature infants less than 30 weeks of age is effective and safe. However, it is necessary to monitor serum theophylline levels due to its frequent side 
effects occurence.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminophylline, effectiveness and safety
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antarini Idriansari
Abstrak :
Penulisan karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori Konservasi melalui pendekatan asuhan perkembangan dalam perawatan tiga bayi berat lahir rendah (BBLR) yang mengalami penundaan pemberian nutrisi enteral dini. Nutrisi enteral dini memfasilitasi adaptasi saluran cerna sehingga tercapai maturasi yang penting bagi penerimaan nutrisi enteral bayi selanjutnya. Penyebab penundaan pemberian nutrisi enteral dini pada BBLR ini adalah intoleransi minum dan perdarahan saluran cerna. Kebutuhan nutrisi BBLR tetap terpenuhi melalui pemberian secara parenteral. Adapun pendekatan asuhan perkembangan yang digunakan bertujuan agar energi yang dimiliki bayi dapat digunakan secara optimal untuk tumbuh dan berkembang melalui pencapaian konservasi, dalam hal ini konservasi energi. Selama menjalani perawatan, BBLR dalam uraian karya ilmiah akhir ini menunjukkan status oksigenasi yang baik, instabilitas suhu tidak terjadi, dan penurunan berat badan masih dalam kisaran rentang normal yaitu 10-15% dari berat badan lahir. ...... This scientific assignment aimed to applying the Conservation theory by approach of developmental care in nursing care of three cases of low birth weight (LBW) infants who experienced the delayed early enteral nutrition. Early enteral nutrition facilitated the adaptation of gastrointestinal tract in order to reach maturation which is important for LBW infants to receive enteral nutrition later. The causes of delayed early enteral nutrition in these LBW infants were feeding intolerance and gastrointestinal bleeding. Nutritional needs of these LBW infants was fulfilled by parenteral nutrition. The using of developmental care approach aimed to strive the energy of LBW infants could be optimally utilize for growth and development through attainment of energy conservation as one of conservation principles in Conservation theory. During treatments, LBW infants in this scientific assignment showed normal oxygenation status, stability of body temperature, and weight loss was still within normal range was 10-15% of birth weight.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T31544
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Wahyu Triyuniati
Abstrak :
Latar belakang: Keterlambatan perkembangan adalah morbiditas jangka panjang akibat prematur dan perdarahan intraventrikel (PIV). Uji Capute scales merupakan alat perkembangan yang praktis dan dapat menegakkan keterlambatan perkembangan. Tujuan: mengetahui luaran keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales pada anak dengan riwayat prematur dan PIV. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 96 anak usia koreksi 6-36 bulan di RSCM. Penelitian ini mencari prevalens dan jenis keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales antara kelompok prematur dengan PIV sedang-berat dan kelompok PIV ringan. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara derajat PIV, usia gestasi, berat lahir, apneu of prematurity (AOP), ventilator mekanik dini, resusitasi aktif, dan patent ductus arteriosus (PDA) terhadap keterlambatan perkembangan. Hasil: Prevalens keterlambatan perkembangan pada kelompok anak dengan prematur dan PIV adalah 19,8%. Kelompok anak dengan riwayat prematur dan PIV sedang berat memiliki 2,56 kali mengalami keterlambatan perkembangan umum dibandingkan dengan kelompok prematur dan PIV ringan (IK95% 1,176-5,557; nilai p=0,037). Jenis keterlambatan perkembangan kognitif/visual-motor didapatkan peningkatan risiko tertinggi (rasio prevalens 4,73 (IK95%1,92-11,69; nilai p=0,001) dibandingkan keterlambatan perkembangan bahasa. Analisis multivariat menunjukkan apneu of prematurity (AOP) adalah faktor risiko independen yang berhubungan dengan luaran keterlambatan perkembangan pada kelompok prematur dan PIV (OR 4,01 (IK95%1,37-11,75); nilai p=0,011). Kesimpulan: Derajat PIV berperan sebagai salah satu komorbid yang mempengaruhi luaran keterlambatan perkembangan.
Background: Neurodevelopmental delay is among one of long-term morbidities for children with history of prematurity and intraventricular hemorrhage (IVH). The Capute scales test is a practical developmental tool with diagnostic value for neurodevelopmental delay. Objective: To investigate neurodevelopmental delay outcome using Capute scales test. Methods: It is a cross-sectional study involving 96 children at 6-36 months corrected age with history of prematurity and IVH in RSCM Jakarta. This study measures prevalence and characteristics of neurodevelopmental delay among children with prematurity and IVH mild-severe IVH group compared with mild IVH group. Analysis was done to determine relationship between IVH grades, gestational age, birth weight, apneu of prematurity (AOP), early mechanical ventilator use, active resuscitation history, and patent ductus arteriosus (PDA) and neurodevelopmental delay. Results: Prevalens of neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH is 19,8%. Premature children with mild-severe IVH group showed greatest risk in cognitive/visual-motor delay (PR 4,73 (95%CI 1,92-11,69; p=0,001) than language delay. Multivariate analysis showed AOP is the only independent risk factor related to neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH (OR 4,01 (95%CI 1,37-11,75); p=0,011). Conclusion: IVH grades contribute as one of comorbidities which influence neurodevelopmental delay.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
Abstrak :
Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian. ......Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
Abstrak :
Sebagian anak epilepsi akan mengalami epilepsi intractabledengan berbagai dampak jangka pendek dan panjang yang dapat menyertainya. Salah satu pilihan terapi epilepsi intractableadalah pemberian obat antiepilepsi (OAE) lini II, namun tidak semua pasien mendapatkan luaran positif berupa terkontrolnya kejang. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang menilai faktor-faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractable. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran klinis serta faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractableyang mendapatkan OAE lini II. Penilitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol dengan menggunakan data retrospektif. Sebanyak 60 pasien anak epilepsi intractable yang terkontrol OAE lini II selama enam bulan (kelompok kasus) dibandingkan dengan 60 pasien yang tidak terkontrol (kelompok kontrol) yang telah dilakukan matchingterhadap usia. Sebanyak 29% dari seluruh anak epilepsi mengalami epilepsi intractabledan hanya 43% di antaranya yang terkontrol dengan OAE lini II. Ada empat faktor prediktor yang dinilai yaitu tipe kejang, frekuensi kejang, perkembangan motorik kasar, serta gambaran electroencephalogram(EEG) awal. Hanya gambaran EEG awal yang memberikan hasil signifikan sebagai prediktor terkontrolnya kejang dalam analisis bivariat dan multivariat dengan nilai rasio odds(OR) 4,28 (95% interval kepercayaan=1,48-12,41) dan p=0,007. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa gambaran EEG awal yang normal merupakan faktor prediktor positif terhadap terkontrolnya kejang pada pasien anak dengan epilepsi intractable. ......Children with epilepsy might have short- and long-term complications if they progress into intractable epilepsy. Seizure remission in intractable epilepsy are sometimes not achieved even after administering second line anti-epileptic drugs (AED). To this day, there were no studies that evaluate the predicting factors of seizure control in children with intractable epilepsy. This research aimed to evaluate the clinical outcomes and predictors factor of seizure control in children with intractable epilepsy who received second line AED. This research is a case-control study with retrospective data. Sixty children with intractable epilepsy patients who had controlled seizure with second line AED for six months (case group) compared with sixty patients who had uncontrolled seizure (control group) with age-matched selection. There were four factors analyzed include type of seizure, frequency of seizure, gross motoric development, and initial electroencephalogram (EEG) feature. Initial EEG feature had significant result in bivariate and multivariate analysis with odd ratio (OR) 4,28 (95% confident interval 1,48-12,41) and p value 0,007. We can conclude that normal initial EEG feature is a positive predicting factor of seizure control in children with intractable epilepsy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahreza Aditya Neldy
Abstrak :
Nilai titik potong lingkar lengan atas (LiLA) untuk diagnosis gizi buruk berdasarkan WHO adalah 11,5 cm. Nilai titik potong ini dinilai kurang sensitif dalam menjaring kasus gizi buruk pada balita. Berbagai nilai titik potong LiLA baru diusulkan dengan nilai diagnostik yang lebih baik namun memiliki interval yang lebar, 12 cm-14,1 cm. Saat penelitian ini dilakukan belum ada data mengenai evaluasi nilai titik potong LiLA 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk pada balita di Indonesia. Diperlukan penelitian untuk mengevaluasi nilai diagnostik LiLA dalam diagnosis gizi buruk dan mencari titik potong yang paling optimal pada balita Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik LiLA dibandingkan dengan indeks BB/TB dalam diagnosis gizi buruk pada balita, mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif nilai titik potong LiLA < 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk dan mencari rekomendasi nilai titik potong LiLA yang memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk skrining balita dengan gizi buruk. Pengambilan subyek penelitian pada studi diagnostik ini dilakukan secara konsekutif pada bulan Januari-Februari 2020 di RSCM dan Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini melibatkan 421 subyek. Data dasar, jenis kelamin, usia didapatkan melalui wawancara singkat. Pengukuran antropometri berupa berat badan, tinggi badan/panjang badan dan lingkar lengan atas dilakukan oleh peneliti/asisten peneliti yang memiliki realibilitas pengukuran yang baik. LiLA memiliki nilai diagnostik yang tinggi ditandai dengan AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). Nilai diagnostik LiLA dengan titik potong 11,5 cm memiliki sensitivitas yang rendah. Nilai diagnostik LiLA dengan nilai titik potong 11,5 cm: Se 21% Sp 99,7% NDP 80%, NDN 96%, IY 0,2. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan hasil terbaik dalam identifikasi gizi buruk dengan Se 89%, Sp 87%, NDP 25%, NDN 99% dan IY 0,76. Nilai titik potong LiLA 11,5 cm untuk kasus gizi buruk memiliki sensitivitas yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan dalam upaya skrining kasus gizi buruk di masyarakat. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dalam upaya skrining gizi buruk pada balita usia 6-59 bulan. ......World Health Organization recommends 11,5 cm as cut off value of mid-upper arm circumference (MUAC) to diagnose severe acute malnutrition (SAM) in under-five. Many studies indicate that the recommended cut off value is not sensitive to screen severe acute malnutrition cases. Various new cut off values have been proposed with very wide interval, 12-14.1 cm. When this study started there was no available data regarding diagnostic value of MUAC in diagnosing severe acute malnutrition in under-five in Indonesia. Aims of this study are to evaluate diagnostic value of MUAC in diagnosing SAM compare to WHZ index, to evaluate sensitivity, specificity, positive prediction value, negative prediction value of MUAC with 11,5 cm as standard cut off in diagnosing SAM and to find alternative cut off value that may offer better diagnostic performance. This diagnostic study recruits subjects consecutively in January-February 2020 in Cipto Mangunkusumo hospital and Puskesmas Cengkareng. We collected 421 subjects. Demographic data was obtained by using brief conversation. Physical examination and anthropometric measurement were performed by researcher and research assistant that had been trained, evaluated and proven to have excellence reliability. In general, MUAC has excellent diagnostic value to assess SAM in under-five with AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). The recommended cut off value has low sensitivity. Proportion SAM using WHZ index and MUAC < 11,5 cm are 4,5% and 1,2%. Diagnostic values MUAC using cut off 11,5 cm are Se 21%, Sp 99,7%, PPV 80%, NPV 96% and YI 0,2. By using 13.3 cm as new cut off value, MUAC will have Se 89%, Sp 87%, PPV 25%, NPV 99% and YI 0,76. We conclude that MUAC using 11,5 cm has low sensitivity to detect SAM cases in population, therefore should not be implemented in the community for screening SAM cases. The new cut of value 13,3 cm has better diagnostic value to screen SAM cases in under-fives.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Puspita
Abstrak :
Latar belakang. Pemberian cairan intravena pada pasien anak yang menjalani tindakan bedah berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan metabolik tubuh. Pemilihan cairan perioperatif yang tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi berupa asidosis metabolik, hiponatremia, hipoglikemi, atau hiperglikemia. Tujuan. Mengetahui profil pemberian cairan perioperatif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) serta pengaruhnya terhadap keseimbangan asam basa serta kadar elektrolit dan gula darah serum. Metode. Studi deskriptif kohort prospektif pada pasien anak (1 bulan ? 18 tahun) yang menjalani tindakan bedah elektif di RSCM. Jenis dan jumlah cairan perioperatif yang diberikan dicatat, serta dilakukan pemeriksaan laboratorium (analisis gas darah, elektrolit dan gula darah serum) sesaat sebelum tindakan bedah, setelah tindakan bedah, serta 6 jam setelah pemberian cairan postoperatif. Hasil penelitian. Dari 61 subyek yang diteliti, 65,6% tidak mendapat cairan preoperatif. Cairan yang paling banyak digunakan sebagai cairan intraoperatif adalah Ringer asetat malat (RAM) yaitu 77% dan cairan postoperatif adalah kristaloid hipotonik (83,6%). Jumlah cairan preoperatif dan postoperatif sebagian besar sesuai formula Holliday-Segar. Subyek yang mendapat cairan preoperatif D10 1/5 NS + KCl (10) lebih banyak mengalami hiponatremia (13,4% vs 5%) dan gangguan kadar gula darah (20% vs 0%) dibandingkan dengan subyek yang tidak mendapat cairan. Asidosis metabolik terjadi pada kelompok cairan intraoperatif RAM (36,2%) maupun Ringer asetat (36,4%). Hiponatremia pasca pemberian cairan postoperatif terjadi pada 57,1% subyek yang tidak mendapat cairan, 44,4% pada kelompok KA-EN3B®, dan 21,9% pada kelompok D10 1/5 NS + KCl (10). Hiperglikemia terjadi pada 15,6% subyek yang mendapat D10 1/5 NS + KCl (10). Simpulan. Pemberian cairan perioperatif di RSCM bervariasi. Angka kejadian hiponatremia pasca pemberian kristaloid hipotonik adalah 13,4 - 44,4%. Hiponatremia dan gangguan kadar gula darah terjadi pada subyek yang mendapat cairan D10 1/5 NS + KCl (10).
Background. Intravenous fluid in pediatric surgery patients aimed to maintain acid-base balance and also normal serum electrolyte and blood glucose. Inappropriate perioperative fluid management may cause complications such as metabolic acidosis, hyponatremia, hypoglycemia, or hyperglycemia. Objects. To study the profile of perioperative fluid for pediatric patients in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) and its effects on acid-base balance, electrolyte, and blood glucose. Method. A descriptive prospective cohort study in children aged 1 month to 18 years old who underwent elective surgery in CMH. The intravenous perioperative fluid given to the patients and their amount were recorded. Laboratory examinations were done 3 times (right before surgery, right after surgery, and 6 hours after postoperative fluid was started), which are blood gas analysis, serum electrolyte, and blood glucose. Results. Among 61 subjects, 65,6% did not receive any preoperative fluid. The most common intravenous fluid were Ringer?s acetate malate (RAM) which is 77% as intraoperative fluid and hypotonic crystalloids (83,6%) as postoperative fluid. The amount of preoperative and postoperative fluid was mostly in accordance with Holliday-Segar formula. Subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10) as preoperative fluid had more hyponatremia (13,4% vs 5%) and blood glucose disturbance (20% vs 0%) compared to subjects without preoperative fluid. Metabolic acidosis occurred in subjects who had either RAM (36,2%) or Ringer?s acetate (36,4%) as intraoperative fluid. Hyponatremia 6-hours after postoperative fluid occurred in 57,1% subjects without intravenous fluid, 44,4% subjects who had KA- EN3B®, and 21,9% subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10). Hyperglycemia occurred in 15,6% subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10). Conclusion. There is a variety in perioperative fluid in CMH. Hyponatremia incidence after receiving hypotonic crystalloid is 13,4 - 44,4%. Hyponatremia and blood glucose disturbances occured in subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10).
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Ida Resita Vebrianti Corebima
Abstrak :
Latar belakang: Air susu ibu ASI sangat bermanfat bagi bayi baru lahir, dari aspek komponen nutrisi maupun proteksi. Respon imun innate dan adaptif pada NKB diketahui masih imatur, diantaranya pada saluran cerna adalah antimikrobial peptide termasuk di dalamnya adalah human defensin 2 hBD2 . Pemberian nutrisi pada bayi prematur masih menjadi problematika karena belum semua NKB bisa mendapatkan ASI saja, sementara ASI kaya akan hBD2. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan rancangan studi cross sectional. Dilakukan di ruang neonatologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2016 ndash; April 2017. Pemeriksaan laboratorium dilakukan di Laboratorium Prodia. Populasi target NKB dengan usia gestasi 28-34 minggu. Terbagi 4 kelompok ASI, predominan ASI, predominan susu formula dan susu formula saja. Dilakukan pada 44 neonatus kurang bulan. Menggunakan metode ELISA, pemeriksaan radiologis dan pengecekan kadar PCT,CRP dan IT rasio. Metode statistik dengan one way ANOVA. Hasil: Kadar defensin pada masing-masing kelompok terdapat perbedaan yang signifikan dimana rerata kadar defensin terendah pada kelompok ASI sebesar 91,84 diikuti kelompok 2 221,52, kelompok 4 249,46 dan kadar tertinggi tercatat pada kelompok 3 sebesar 344,86 p=0,004 . Pada pemeriksaan Kadar procalcitonin ,CRP dan It rasio tidak terdapat beda yang signifikan. Klebsiella paling rendah populasinya pada kelompok ASI. Kesimpulan: hBD 2 kadarnya ditemukan rendah pada kelompok ASI dan tinggi pada kelompok predominan susu formula dan susu formula saja. Hal ini menunjukkan tingginya proses inflamasi pada kelompok yang mendapat susu formula. Air Susu Ibu masih yang terbaik bagi saluran cerna dengan bukti rendahnya Klebsiela pada Kelompok ASI. ......Background: Breast milk is highly beneficial for newborns, due to its nutritional aspects and protective properties. Innate and adaptive immune responses in preterm newborns are still immature, including the ones in the gastrointestinal system, namely antimicrobial peptide called human defensin 2 hBD2. Nutrition for preterm babies is still a problem because not all of them can get exclusive breast milk, while breast milk is rich in hBD2. Method: This study is an analytic descriptive study with cross sectional design. This study was done in the neonatology room in National Central General Hospital of Cipto Mangunkusumo Jakarta, on November 2016 ndash April 2017. Laboratory examination was performed in Prodia Laboratory. The target population was preterm newborns with gestational age of 28 34 weeks, divided into 4 groups, namely the breast fed group, predominant breast fed group, predominant formula fed group, and exclusively formula fed group. This study was performed in 44 preterm newborns using ELISA method, radiological examinations, and measuring the level of PCT, CRP dan IT ratio. The statistical analysis method used for this study is one way ANOVA. Result: There were significant differences in defensin level among the groups, in which the mean defensin level was lowest in breast fed group 91,84 , followed by the second group 221,52 , the fourth group 249,46 , and the highest in the third group 344,86 p 0,004 . There were no significant differences among groups in IT ratio and procalcitonin and CRP levels. Breastmilk is the best protection for preterm gut which Klebsiella was lowest in breastmilk group. Conclusion: The level of hBD2 was found to be low in breast fed group and high in predominant formula fed group and also in exclusively formula fed group. This showed the high inflammation process happening in the group fed with formula.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eleonora Mitaning Christy
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Eleonora Mitaning ChristyProgram Studi : Ilmu Gizi, Peminatan Ilmu Gizi KlinikJudul : Hubungan Pola Menyusui dengan Status Gizi Bayi dan Kadar Sekretori Imunoglobulin A pada Saliva Bayi Usia 3 ndash;6 BulanPembimbing : Dr. Sri Sukmaniah, M.Sc, Sp.GK K DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A K Pola menyusui merupakan bentuk atau model perilaku ibu dalam memberikan ASI kepada bayinya meliputi apakah Ibu memberikan makanan dan minuman selain ASI, kapan diberikannya makanan dan minuman lain tersebut, bagaimana kontinuitas Ibu dalam memberikan ASI, serta cara Ibu memberikan ASI. ASI mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi. Parameter yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan adalah adalah berat badan dan panjang badan, keduanya dapat dinterpretasikan dalam penilaian status gizi. Imunoglobulin merupakan salah satu komponen dalam ASI yang mendukung daya tahan tubuh, dan imunoglobulin yang terbanyak dalam ASI, terutama pada fase awal menyusui, adalah sekretori imunoglobulin A sIgA . SIgA sering dikatakan sebagai pertahanan tubuh lini pertama, dan kadar sIgA dapat dilihat salah satunya melalui pemeriksaan sampel saliva. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di poliklinik anak gedung Kiara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola menyusui dengan status gizi dan hubungan pola menyusui dengan kadar sekretori imunoglobulin A pada saliva bayi usia 3 ndash;6 bulan. Mayoritas dari total 54 subyek yang mengikuti penelitian ini berjenis kelamin laki-laki 61,1 , 57,4 subyek memiliki usia gestasi cukup bulan, dan 51 subyek dilahirkan melalui operasi caesar. Rata-rata berat lahir dari kesuluruhan subyek adalah 2707,83 584,39 gram. Sebagian besar Ibu subyek 64,8 berusia 20 ndash;30 tahun, 55,6 memiliki riwayat multipara, dan 79,6 tidak bekerja. Pada penelitian ini didapatkan 35,2 Ibu subyek memiliki pola menyusui yang baik. Subyek dengan status gizi normal didapatkan sebesar 85,2 , Nilai tengah kadar sIgA saliva untuk seluruh subyek penelitian adalah 56,2 2,5 ndash;536,4 g/ml. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pola menyusui dengan status gizi subyek dan kadar SIgA saliva pada bayi usia 3 ndash;6 bulan. Kata Kunci: ASI, menyusui, ibu menyusui, pola menyusui, status gizi, sIgA saliva, Bayi.
ABSTRACT
Name Eleonora Mitaning ChristyStudy Program Nutrition, Clinical NutritionTittle Breastfeeding pattern and its rsquo association with nutritional status and salivary secretory immunoglobulin A level in 3 to 6 month old infantsSupervisor Dr. Sri Sukmaniah, M.Sc, Sp.GK K DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A K Breastfeeding pattern is a form of mother 39 s behavior in giving breast milk to her baby including whether mother provides foods and drinks other than breast milk, when those foods and drinks are given to the baby, how rsquo s the continuity of the mother in giving breast milk, an also the way mother breastfeeds her baby. Breast milk supports the growth and development of the baby. Body weight and body length are used to evaluate the growth of the infant. Both can be interpreted into nutritional status. Immunoglobulin is one of many components in breast milk that supports immunity. The most common immunoglobulin in breast milk, especially in the early phases of breastfeeding, are secretory immunoglobulin A sIgA . SIgA often mentioned as the first line defense of the body immune system. SIgA levels can be evaluated, one of the ways, from saliva samples examination. The research with cross sectional design was conducted in Kiara Pediatric Polyclinic, Cipto Mangunkusomo Hospital, Jakarta to determine the breastfeeding pattern and its association with nutritional status and salivary secretory immunoglobulin A level in 3 to 6 month old infants. The study was conducted using 54 subjects where the majority of the subjects 61.1 were boys, 57.4 subjects had mature gestational age, and 51 of subjects were delivered by caesarean section. The mean of all subjects rsquo birth weight was 2707,83 584,39 gram. The study found that the majority of subjects rsquo mothers 64.8 were 20 to 30 year old age, 55.6 of subjects rsquo mothers were multiparas, and 79.6 were not working. The study also showed that 64.8 of subjects rsquo mothers had less good breastfeeding pattern, at the other side, 35.2 had good breastfeeding pattern. Subjects with normal nutritional status were 85.2 , while 14.9 found with abnormal nutritional status. The median of subjects rsquo salivary sIgA level was 56.2 2.5 ndash 536.4 g ml. The results of this study showed no significant association between breastfeeding pattern with nutritional status of the subjects and salivary sIgA level in 3 to 6 month old infants. Keywords Breast milk, breastfeeding pattern, nutritional status, salivary sIgA, infants.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Sapariyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Pola defekasi bayi sehat yang mendapat air susu ibu ASI eksklusif perlu dipahami untuk menurunkan kesalahan diagnosis dan terapi sehingga kecemasan orangtua berkurang. Tujuan: Mengetahui pola defekasi frekuensi, konsistensi, warna tinja bayi sehat usia 0-3 bulan dengan ASI eksklusif. Metode: Potong lintang, mengamati pola defekasi bayi di Jakarta dan sekitarnya selama Oktober-Desember 2017. Bayi dikelompokkan menjadi 4 A berusia 2-7, B 27-33, C 57-63, dan D 87-93 hari . Pengamatan menggunakan lembar khusus 7 hari berturut-turut. Hasil penelitian: 120 bayi yang diamati, rerata frekuensi defekasi kelompok A 4,17 kali SD 1,86 , B 4,16 kali SD 2,39 , C median 2,14 kali 0,14-6,14 , dan D median 1,32 kali 0,14-8,29 . Konsistensi tinja menurut Bristol Stool Chart kelompok A adalah tipe 6 sebesar 80 , B 73,3 , C 83,3 , dan D 60 . D juga memiliki konsistensi tipe 5 26,7 .Warna tinja menurut Bekkali kelompok A 63,3 kuning, 20,0 oranye, 16,7 hijau. B kuning 56,7 , oranye 30 , hijau 13,3 . C oranye 50 , kuning 40 , hijau 10 . D kuning 53,3 , oranye 46,7 , hijau 0 . Kesimpulan: Makin bertambahnya usia, pola defekasi bayi sehat dengan ASI eksklusif berubah yaitu berkurangnya rerata frekuensi defekasi, konsistensi tinja menjadi lunak, dan warna tinja menjadi kuning.
ABSTRACT

Background The normal defecation pattern of exclusively breastfed healthy infants needs to be understood to reduce inappropriate diagnosis management, and parent rsquo s anxiety. Objective To obtain the defecation pattern frequency, consistency, stool color of exclusively breastfed healthy infants age 0 3 months. Method Cross sectional, observing the defecation pattern of babies in Jakarta and surrounding areas October December 2017. Infants were grouped into 4 A 2 7, B 27 33, C 57 63, D 87 93 days old , observed for 7 consecutive days using a special sheet. Results Total 120 healthy babies with mean frequency of defecation group A, B, C, D were 4.17 times SD 1.86 , 4.16 SD 2.39 , 2.14 0.14 6.14 , 1.32 0.14 8.29 . The stool consistency according to Bristol Stool Chart Group A is type 6 by 80 , B 73.3 , C 83.3 , and D 60 . D also has type 5 26.7 . The stool color according to Bekkali group A is 63.3 yellow, 20.0 orange, 16.7 green. B yellow 56.7 , orange 30 , green 13.3 . C orange 50 , yellow 40 , green 10 . D yellow 53.3 , orange 46.7 , green 0 . Conclusion The defecation pattern of exclusively breastfed healthy infants is following the age. Its changes include decreased in frequency, soft stool consistency, yellow color.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>