Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antarini Idriansari
"Penulisan karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori Konservasi melalui pendekatan asuhan perkembangan dalam perawatan tiga bayi berat lahir rendah (BBLR) yang mengalami penundaan pemberian nutrisi enteral dini. Nutrisi enteral dini memfasilitasi adaptasi saluran cerna sehingga tercapai maturasi yang penting bagi penerimaan nutrisi enteral bayi selanjutnya. Penyebab penundaan pemberian nutrisi enteral dini pada BBLR ini adalah intoleransi minum dan perdarahan saluran cerna. Kebutuhan nutrisi BBLR tetap terpenuhi melalui pemberian secara parenteral. Adapun pendekatan asuhan perkembangan yang digunakan bertujuan agar energi yang dimiliki bayi dapat digunakan secara optimal untuk tumbuh dan berkembang melalui pencapaian konservasi, dalam hal ini konservasi energi. Selama menjalani perawatan, BBLR dalam uraian karya ilmiah akhir ini menunjukkan status oksigenasi yang baik, instabilitas suhu tidak terjadi, dan penurunan berat badan masih dalam kisaran rentang normal yaitu 10-15% dari berat badan lahir.

This scientific assignment aimed to applying the Conservation theory by approach of developmental care in nursing care of three cases of low birth weight (LBW) infants who experienced the delayed early enteral nutrition. Early enteral nutrition facilitated the adaptation of gastrointestinal tract in order to reach maturation which is important for LBW infants to receive enteral nutrition later. The causes of delayed early enteral nutrition in these LBW infants were feeding intolerance and gastrointestinal bleeding. Nutritional needs of these LBW infants was fulfilled by parenteral nutrition. The using of developmental care approach aimed to strive the energy of LBW infants could be optimally utilize for growth and development through attainment of energy conservation as one of conservation principles in Conservation theory. During treatments, LBW infants in this scientific assignment showed normal oxygenation status, stability of body temperature, and weight loss was still within normal range was 10-15% of birth weight.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T31544
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusniar Pratiwi Marzuki
"Karya ilmiah akhir ini membahas tentang penerapan model Konservasi Levine dalam pemberian asuhan keperawatan pada lima bayi yang mendapat fototerapi Fototerapi bertujuan menurunkan konsentrasi bilirubin serum pada bayi dengan hiperbilirubinemia akan tetapi fototerapi memiliki efek samping Efek samping fototerapi dapat diminimalkan melalui pemberian asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip konservasi untuk mempertahankan keseimbangan energi konservasi integritas struktural personal dan sosial Kelima bayi yang mendapat fototerapi menunjukkan keseimbangan volume cairan suhu tubuh stabil tidak terjadi iritasi mata dan kulit dan orang tua dapat berinteraksi dengan bayi selama pelaksanaan fototerapi Model Konservasi diharapkan menjadi acuan praktik keperawatan pada neonatus yang dilakukan fototerapi

This final scientific report discusses the application of Levine 39 s Conservation model in nursing care of the five infants who do phototherapy Instead of reducing infants rsquo serum bilirubin concentrations by hyperbilirubinemia phototherapy has side effect Side effect of phototherapy can be minimized through the provision of nursing care by applying conservation principle in order to maintain energy balance structural integrity conservation personal and social integrity The infants show the balance of fluid volume normal range body temperature no eyes and skin irritation and the parents can still interact with their baby during phototherapy implementation This Conservation model is expected to be a reference of nursing practice in neonates who get phototherapy
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rokhaidah
"[ABSTRAK
Anak dan remaja yang menderita kanker sering mengalami gangguan tidur yang dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini untuk memberikan gambaran penerapan Model Konservasi Levine dalam asuhan keperawatan pada anak dengan kanker yang mengalami gangguan tidur serta pencapain kompetensi sebagai pemberi asuhan, advocator, conselor, educator, colaborator serta inovator selama praktik residensi. Terdapat lima kasus kelolaan yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini dan teridentifikasi masalah tidur yaitu gangguan pola tidur dan gangguan kurang tidur. Intervensi keperawatan yang diberikan didasarkan pada prinsip-prinsip konservasi, yaitu konservasi energi, integritas struktural, integritas personal dan integritas sosial. Hasil evaluasi berdasarkan respon organismik menunjukkan ada masalah yang teratasi, teratasi sebagian dan menunjukkan perbaikan serta belum teratasi. Residen merekomendasikan penerapan Model Konservasi Levine dalam asuhan keperawatan pada anak dengan kanker yang mengalami masalah gangguan tidur dengan intervensi sleep hygiene dan terapi komplementer pemberian madu sebelum anak tidur untuk mencapai hasil asuhan yang optimal.

ABSTRACT
Children and adolescents with cancer often experience sleep disorders that can lead to a decrease in the immune system and affect the quality of life. The purpose of this report is provide an overview Levine's Conservation Model application on nursing care of children with cancer experiencing sleep patterns and of the competencies such as a caregiver, advocator, counselor, educator, collaborator, and inovator during practice. There are five cases which being discussed on this scientific work and from five selected cases founded sleep disorders such as sleep patterns and sleep disturbances. Nursing intervention based on conservation principles such as energy conservation, structural integrity, personal integrity and social integrity. Moreover, evaluation of the intervention based on organismic responses indicate that some problem were resolved, partially resolved with some improvement or unresolved. Resident recommended the applicaton Levine's Conservation Model on nursing care of children with cancer experiencing sleep disorders with the intervention of sleep hygiene and the provision of complementary therapies giving honey before children's sleep to achieve optimal results. , Children and adolescents with cancer often experience sleep disorders that can lead to a decrease in the immune system and affect the quality of life. The purpose of this report is provide an overview Levine’s Conservation Model application on nursing care of children with cancer experiencing sleep patterns and of the competencies such as a caregiver, advocator, counselor, educator, collaborator, and inovator during practice. There are five cases which being discussed on this scientific work and from five selected cases founded sleep disorders such as sleep patterns and sleep disturbances. Nursing intervention based on conservation principles such as energy conservation, structural integrity, personal integrity and social integrity. Moreover, evaluation of the intervention based on organismic responses indicate that some problem were resolved, partially resolved with some improvement or unresolved. Resident recommended the applicaton Levine’s Conservation Model on nursing care of children with cancer experiencing sleep disorders with the intervention of sleep hygiene and the provision of complementary therapies giving honey before children’s sleep to achieve optimal results. ]"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fera Wahyuni
"

Latar belakang: Penggunaan aminofilin intravena masih merupakan terapi pilihan untuk mengatasi apnea of prematurity (AOP) pada bayi prematur di Indonesia karena obat tersebut lebih mudah diperoleh dan harganya lebih murah walaupun mempunyai jendela terapi yang sempit. Pemeriksaan kadar teofilin serum perlu dilakukan untuk menilai efektifitas dan keamanan obat tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin intravena pada bayi prematur dalam pengobatan apnea of prematurity di unit Neonatologi belum jelas. 

Tujuan: Mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin sebagai terapi apnea of prematurity dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cohort prospektif. Subjek penelitian adalah 40 bayi prematur dengan usia gestasi kurang atau sama dengan 30 minggu di Unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta pada bulan April 2019 hingga Oktober 2019. Bayi tersebut mendapat terapi aminofilin intravena dosis rumatan sebanyak lima kali dan dilakukan pemeriksaan kadar teofilin serum dengan menggunakan metode reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD). Selanjutkan dilakukan pemantauan efektifitas dan efek samping yang terjadi selama pemberian aminofilin intravena. Analisis data dengan uji Kai kuadrat dan regresi logistik, hasil signifikan bila nilai p < 0,05.

Hasil: Pemberian aminofilin intravena 67,5% efektif sebagai terapi AOP pada bayi usia gestasi kurang dari 30 minggu. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas penggunaan aminofilin intravena sebagai terapi AOP adalah berat lahir dan kadar teofilin serum dengan nilai p = 0,006 dan 0,022. Efek samping yang ditemukan pada pemberian aminofilin intravena adalah takikardi (37,5%) dan peningkatan diuresis (27,5%) pada kadar teofilin serum lebih dari 12 mg/mL. Faktor yang memengaruhi keamanan penggunaan terapi aminofilin intravena pada bayi prematur adalah kadar teofilin serum dengan nilai p < 0,001. 

Simpulan: Pemberian aminofilin intravena sebagai terapi AOP pada bayi prematur dengan usia kurang dari 30 minggu efektif dan aman. Namun perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin serum mengingat pemberian aminofilin intravena sering menimbulkan efek samping.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminofilin, efektifitas dan keamanan


Background: Intravenous aminophylline still plays the role as the therapy of choice for apnea of prematurity (AOP) in Indonesia because the drug is easier
to obtain and the price is cheaper despite having a narrow window of therapy. An examination of serum theophylline levels needs to be performed to assess the effectiveness and safety of the drug. Factors that influence the effectiveness and safety in the treatment of apnea of prematurity in the Neonatology Unit remain unclear.
Aim: To determine the effectiveness and safety of using aminophylline as apnea of prematurity therapy and their influencing factors.
Methods: This research is an analytical study with a prospective cohort design. Subjects were 40 premature infants with gestational age less than or equal to 30 weeks in the Neonatology Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta from April 2019 to Oktober 2019. The infants received intravenous
aminophylline maintenance dosages five times and the levels of serum theophylline were examined using the reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD) method. The follow up was set to monitor the effectiveness and side effects that occur during intravenous aminophylline administration. Data were analyzed using the Chi-square test and logistic regression. The results were considered significant if the p-value < 0,05.
Results: The administration of intravenous aminophylline 67.5% was effective as AOP therapy in infants of less than 30 weeks gestation. Factors that
influence the effective use of intravenous aminophylline as AOP therapy are birth weight and serum theophylline levels with p = 0,006 and 0,022. Side effects that occurred were tachycardia (37.5%) and increased diuresis (27.5%) in serum theophylline levels of more than 12 mcg/mL. Factors that influence the safety of the use of intravenous aminophylline therapy in preterm infants are serum theophylline levels with p < 0,001.
Conclusion: Administration of intravenous aminophylline as AOP therapy in premature infants less than 30 weeks of age is effective and safe. However, it is necessary to monitor serum theophylline levels due to its frequent side
effects occurence.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminophylline, effectiveness and safety
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Wahyu Triyuniati
"Latar belakang: Keterlambatan perkembangan adalah morbiditas jangka panjang akibat prematur dan perdarahan intraventrikel (PIV). Uji Capute scales merupakan alat perkembangan yang praktis dan dapat menegakkan keterlambatan perkembangan. Tujuan: mengetahui luaran keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales pada anak dengan riwayat prematur dan PIV. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 96 anak usia koreksi 6-36 bulan di RSCM. Penelitian ini mencari prevalens dan jenis keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales antara kelompok prematur dengan PIV sedang-berat dan kelompok PIV ringan. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara derajat PIV, usia gestasi, berat lahir, apneu of prematurity (AOP), ventilator mekanik dini, resusitasi aktif, dan patent ductus arteriosus (PDA) terhadap keterlambatan perkembangan. Hasil: Prevalens keterlambatan perkembangan pada kelompok anak dengan prematur dan PIV adalah 19,8%. Kelompok anak dengan riwayat prematur dan PIV sedang berat memiliki 2,56 kali mengalami keterlambatan perkembangan umum dibandingkan dengan kelompok prematur dan PIV ringan (IK95% 1,176-5,557; nilai p=0,037). Jenis keterlambatan perkembangan kognitif/visual-motor didapatkan peningkatan risiko tertinggi (rasio prevalens 4,73 (IK95%1,92-11,69; nilai p=0,001) dibandingkan keterlambatan perkembangan bahasa. Analisis multivariat menunjukkan apneu of prematurity (AOP) adalah faktor risiko independen yang berhubungan dengan luaran keterlambatan perkembangan pada kelompok prematur dan PIV (OR 4,01 (IK95%1,37-11,75); nilai p=0,011). Kesimpulan: Derajat PIV berperan sebagai salah satu komorbid yang mempengaruhi luaran keterlambatan perkembangan.

Background: Neurodevelopmental delay is among one of long-term morbidities for children with history of prematurity and intraventricular hemorrhage (IVH). The Capute scales test is a practical developmental tool with diagnostic value for neurodevelopmental delay. Objective: To investigate neurodevelopmental delay outcome using Capute scales test. Methods: It is a cross-sectional study involving 96 children at 6-36 months corrected age with history of prematurity and IVH in RSCM Jakarta. This study measures prevalence and characteristics of neurodevelopmental delay among children with prematurity and IVH mild-severe IVH group compared with mild IVH group. Analysis was done to determine relationship between IVH grades, gestational age, birth weight, apneu of prematurity (AOP), early mechanical ventilator use, active resuscitation history, and patent ductus arteriosus (PDA) and neurodevelopmental delay. Results: Prevalens of neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH is 19,8%. Premature children with mild-severe IVH group showed greatest risk in cognitive/visual-motor delay (PR 4,73 (95%CI 1,92-11,69; p=0,001) than language delay. Multivariate analysis showed AOP is the only independent risk factor related to neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH (OR 4,01 (95%CI 1,37-11,75); p=0,011). Conclusion: IVH grades contribute as one of comorbidities which influence neurodevelopmental delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
"Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian.


Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"Sebagian anak epilepsi akan mengalami epilepsi intractabledengan berbagai dampak jangka pendek dan panjang yang dapat menyertainya. Salah satu pilihan terapi epilepsi intractableadalah pemberian obat antiepilepsi (OAE) lini II, namun tidak semua pasien mendapatkan luaran positif berupa terkontrolnya kejang. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang menilai faktor-faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractable. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran klinis serta faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractableyang mendapatkan OAE lini II. Penilitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol dengan menggunakan data retrospektif. Sebanyak 60 pasien anak epilepsi intractable yang terkontrol OAE lini II selama enam bulan (kelompok kasus) dibandingkan dengan 60 pasien yang tidak terkontrol (kelompok kontrol) yang telah dilakukan matchingterhadap usia. Sebanyak 29% dari seluruh anak epilepsi mengalami epilepsi intractabledan hanya 43% di antaranya yang terkontrol dengan OAE lini II. Ada empat faktor prediktor yang dinilai yaitu tipe kejang, frekuensi kejang, perkembangan motorik kasar, serta gambaran electroencephalogram(EEG) awal. Hanya gambaran EEG awal yang memberikan hasil signifikan sebagai prediktor terkontrolnya kejang dalam analisis bivariat dan multivariat dengan nilai rasio odds(OR) 4,28 (95% interval kepercayaan=1,48-12,41) dan p=0,007. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa gambaran EEG awal yang normal merupakan faktor prediktor positif terhadap terkontrolnya kejang pada pasien anak dengan epilepsi intractable.

Children with epilepsy might have short- and long-term complications if they progress into intractable epilepsy. Seizure remission in intractable epilepsy are sometimes not achieved even after administering second line anti-epileptic drugs (AED). To this day, there were no studies that evaluate the predicting factors of seizure control in children with intractable epilepsy. This research aimed to evaluate the clinical outcomes and predictors factor of seizure control in children with intractable epilepsy who received second line AED. This research is a case-control study with retrospective data. Sixty children with intractable epilepsy patients who had controlled seizure with second line AED for six months (case group) compared with sixty patients who had uncontrolled seizure (control group) with age-matched selection. There were four factors analyzed include type of seizure, frequency of seizure, gross motoric development, and initial electroencephalogram (EEG) feature. Initial EEG feature had significant result in bivariate and multivariate analysis with odd ratio (OR) 4,28 (95% confident interval 1,48-12,41) and p value 0,007. We can conclude that normal initial EEG feature is a positive predicting factor of seizure control in children with intractable epilepsy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahreza Aditya Neldy
"Nilai titik potong lingkar lengan atas (LiLA) untuk diagnosis gizi buruk berdasarkan WHO adalah 11,5 cm. Nilai titik potong ini dinilai kurang sensitif dalam menjaring kasus gizi buruk pada balita. Berbagai nilai titik potong LiLA baru diusulkan dengan nilai diagnostik yang lebih baik namun memiliki interval yang lebar, 12 cm-14,1 cm. Saat penelitian ini dilakukan belum ada data mengenai evaluasi nilai titik potong LiLA 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk pada balita di Indonesia. Diperlukan penelitian untuk mengevaluasi nilai diagnostik LiLA dalam diagnosis gizi buruk dan mencari titik potong yang paling optimal pada balita Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik LiLA dibandingkan dengan indeks BB/TB dalam diagnosis gizi buruk pada balita, mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif nilai titik potong LiLA < 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk dan mencari rekomendasi nilai titik potong LiLA yang memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk skrining balita dengan gizi buruk. Pengambilan subyek penelitian pada studi diagnostik ini dilakukan secara konsekutif pada bulan Januari-Februari 2020 di RSCM dan Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini melibatkan 421 subyek. Data dasar, jenis kelamin, usia didapatkan melalui wawancara singkat. Pengukuran antropometri berupa berat badan, tinggi badan/panjang badan dan lingkar lengan atas dilakukan oleh peneliti/asisten peneliti yang memiliki realibilitas pengukuran yang baik. LiLA memiliki nilai diagnostik yang tinggi ditandai dengan AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). Nilai diagnostik LiLA dengan titik potong 11,5 cm memiliki sensitivitas yang rendah. Nilai diagnostik LiLA dengan nilai titik potong 11,5 cm: Se 21% Sp 99,7% NDP 80%, NDN 96%, IY 0,2. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan hasil terbaik dalam identifikasi gizi buruk dengan Se 89%, Sp 87%, NDP 25%, NDN 99% dan IY 0,76. Nilai titik potong LiLA 11,5 cm untuk kasus gizi buruk memiliki sensitivitas yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan dalam upaya skrining kasus gizi buruk di masyarakat. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dalam upaya skrining gizi buruk pada balita usia 6-59 bulan.

World Health Organization recommends 11,5 cm as cut off value of mid-upper arm circumference (MUAC) to diagnose severe acute malnutrition (SAM) in under-five. Many studies indicate that the recommended cut off value is not sensitive to screen severe acute malnutrition cases. Various new cut off values have been proposed with very wide interval, 12-14.1 cm. When this study started there was no available data regarding diagnostic value of MUAC in diagnosing severe acute malnutrition in under-five in Indonesia. Aims of this study are to evaluate diagnostic value of MUAC in diagnosing SAM compare to WHZ index, to evaluate sensitivity, specificity, positive prediction value, negative prediction value of MUAC with 11,5 cm as standard cut off in diagnosing SAM and to find alternative cut off value that may offer better diagnostic performance. This diagnostic study recruits subjects consecutively in January-February 2020 in Cipto Mangunkusumo hospital and Puskesmas Cengkareng. We collected 421 subjects. Demographic data was obtained by using brief conversation. Physical examination and anthropometric measurement were performed by researcher and research assistant that had been trained, evaluated and proven to have excellence reliability. In general, MUAC has excellent diagnostic value to assess SAM in under-five with AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). The recommended cut off value has low sensitivity. Proportion SAM using WHZ index and MUAC < 11,5 cm are 4,5% and 1,2%. Diagnostic values MUAC using cut off 11,5 cm are Se 21%, Sp 99,7%, PPV 80%, NPV 96% and YI 0,2. By using 13.3 cm as new cut off value, MUAC will have Se 89%, Sp 87%, PPV 25%, NPV 99% and YI 0,76. We conclude that MUAC using 11,5 cm has low sensitivity to detect SAM cases in population, therefore should not be implemented in the community for screening SAM cases. The new cut of value 13,3 cm has better diagnostic value to screen SAM cases in under-fives."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wella Yurisa
"Disfungsi otonom kardiovaskular (DOK) merupakan komplikasi diabetes melitus tipe 1 (DMT1) yang menjadi penyebab kematian tersering pada dewasa. Gejala subklinis dapat berawal sejak remaja tetapi deteksi dini melalui pemeriksaan fungsi otonom kardiovaskular belum rutin dilakukan. Studi terdahulu menunjukkan bahwa kontrol glikemik dan lama sakit berpengaruh terhadap progresivitas DOK. Data di Indonesia mengenai masalah ini belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens DOK pada pasien DMT1 anak dan menilai hubungan DOK dengan rerata lama sakit dan kadar HbA1C. Tiga puluh delapan anak berusia 10-18 tahun dengan DMT1 yang terdiagnosis lebih dari 5 tahun menjalani 3 pemeriksaan uji refleks kardiovaskular (URK) di Poliklinik Endokrinologi Anak RSCM Kiara. Disfungsi otonom kardiovaskular dengan 1 nilai abnormal URK ditemukan pada 36,8% anak. Tidak ditemukan korelasi bermakna antara DOK dengan rerata lama sakit dan kadar HbA1C. Berdasarkan penelitian ini, prevalens DOK pada remaja cukup tinggi sehingga deteksi dini sebaiknya dilakukan secara rutin. Penelitian lanjutan dengan rentang sakit yang lebih panjang dan data HbA1C serial perlu dilakukan untuk mengevaluasi peran kontrol glikemik dan lama sakit terhadap kejadian DOK.

Cardiovascular autonomic dysfunction (CAD) is a type 1 diabetes mellitus (T1DM) complication which becomes the most common cause of death in adults. Subclinical symptoms may have occurred since adolescence, yet early detection using cardiovascular autonomic function examination has not been performed routinely. Previous studies showed that glycemic control and duration of illness affected CAD progressivity. However, there is still no data regarding this issue in Indonesia. This study aimed to determine the prevalence of CAD in pediatric T1DM patients and the correlation between CAD and average length of illness, as well as HbA1C levels. Thirty-eight children aged 10-18 years who had been diagnosed with T1DM for more than 5 years underwent a series of three cardiovascular reflex test (CRT) at the Pediatric Endocrinology Polyclinic RSCM Kiara. Cardiovascular autonomic dysfunction which was defined by one abnormal CRT value was found in 36.8% children. No significant correlation was found between CAD and the average length of illness and HbA1C levels. Based on the study, CAD prevalence in adolescents is substantially high, which emphasize the need of routine early detection. Further research with a longer duration of illness and serial HbA1C data need to be carried out to evaluate the role of glycemic control and illness duration in CAD occurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zubaidah
"Intoleransi minum merupakan masalah yang umum terjadi pada bayi prematur Tujuan penulisan Karya Ilmiah Akhir ini adalah memberikan gambaran penerapan Model Konservasi Levine pada bayi prematur dengan intoleransi minum dan gambaran pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Anak Model Konservasi Levine berfokus pada peningkatan adaptasi melalui prinsip konservasi untuk mencapai integritas diri Penerapan Model Konservasi Levine tertuang dalam lima kasus terpilih Pada lima kasus terpilih tersebut ditemukan masalah gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang disebabkan oleh intoleransi minum Adapun masalah keperawatan lainnya adalah bersihan jalan napas tidak efektif gangguan pola napas gangguan termoregulasi risiko infeksi risiko gangguan perkembangan dan gangguan proses keluarga Masalah masalah tersebut dapat memperberat intoleransi minum dan menghambat proses pemulihan pada bayi prematur Asuhan keperawatan pada kasus terpilih diberikan oleh residen dengan melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan pendidik konsultan koordinator pengambil keputusan etik legal dan sebagai peneliti.

Feeding intolerance is a common problem in premature infants The purpose of this Final Scientific Work is to describe the application of Levine Conservation Model in preterm infants with feeding intolerance and the implementation of Pediatric Nursing Residency Practice Levine Conservation Model focuses on the adaptation improvement through conservation principles to achieve wholeness Levine Conservation Model was implemented in five selected cases In the five selected cases there was a nutritional intake problem caused by feeding intolerance The other problems were ineffective airway clearance ineffective breathing pattern ineffective thermoregulation risk for infection risk for developmental disorder and altered family process These problems can aggravate the feeding intolerance and inhibit the healing process of premature infants The nursing care to selected cases was given by the resident by implementing the roles as a caregiver an educator a consultant a coordinator an ethical and legal decision maker and a researcher"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>