Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reza Fikri Febriansyah
Abstrak :
Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam menyatakan pendapat (freedom of opinion) di Indonesia merupakan salah satu prinsip dasar konstitusi yang salah satu contoh implementasinya adalah kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Terjaminnya kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat di antara para anggota majelis hakim merupakan salah satu modal dasar bagi terwujudnya kemandirian kekuasaan kehakiman di suatu negara. Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan suatu konsep yang fundamental dan universal. Dalam sistem majelis hakim (di Indonesia), perbedaan pendapat di antara tiap-tiap anggota majelis hakim dalam putusan pengadilan merupakan suatu conditio sine qua non. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman penyelenggaraan hukum acara pidana (KUHAP), khususnya berkaitan dengan sifat dan cara menyampaikan perbedaan pendapat di antara para anggota majelis hakim dalam sistem peradilan (pidana) di Indonesia. Dalarn putusan pengadilan umum maupun putusan pengadilan tindak pidana korupsi seringkali terdapat dissenting opinion yang umumnya disebabkan adanya pemahaman yang beragam dari para hakim (termasuk hakim ad hoc tindak pidana korupsi) mengenai aspek-aspek tindak pidana korupsi, bail( secara fitosofis, sosiologis, maupun yuridis. Praktek pencantuman dissenting opinion dalam suatu putusan pengadilan juga telah dikenal dalam berbagai sistem hukum di negara-negara lain. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai konsep dan pengaturan dissenting opinion dalam sistem peradilan (pidana) di Indonesia, menjelaskan implikasi dan melakukan evaluasi terhadap pengaturan dissenting opinion dalam peraturan perundang-undangan dan penerapannya (khususnya terhadap putusan-putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi), serta memberikan suatu tawaran solusi mengenai prospek pengaturan dan penerapan dissenting opinion di masa mendatang. Data diperaleh dengan menggunakan studi kepustakaan untuk kajian normatif dan studi terhadap putusan-putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrachl van gewijsde) untuk kajian empiris. Populasi penelitian ini adalah putusan-putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi yang memuat dissenting opinion dan telah berkekuatan hukum tetap. Sampel populasi adalah beberapa dissenting opinion dalam putusan-putusan pengadilan dengan kriteria-kriteria tertentu. Pembahasan substansi menggunakan metode penelitian normatif-empiris dengan pendekatan kasus (case approach) yang secara khusus bertujuan untuk melakukan anatisis terhadap penerapan teori dan prinsip-prinsip dissenting opinion terhadap putusan-putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Untuk kajian normatif, analisis data menggunakan metode content analysis guna menghasilkan suatu analisa terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mekanisme pengambilan putusan dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dan untuk kajian empiris menggunakan metode anatisis deskriptif yang mendeskripsikan tentarig konsep, pengaturan, dan penerapan dissenting opinion serta impiikasinya dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Sinkronisasi analisa normatif dan empiris akan menghasilkan jawaban jawaban atas permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruby Friendly
Abstrak :
Pada prinsipnya Pelarangan PNS untuk berserikat dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok Kepegawaian esensinya telah menghilangkan hak asasi PNS, dan HAM yang dijamin dalam dalam UUD 1945, DUHAM, ICCPR, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Penulisan dilakukan dengan metode penelitian kualitatif, yaitu mendiskripsikan fenomena pengurangan HAM PNS di bidang politik melalui pencarian/penelusuran data primer dengan cara melakukan penelitian lapangan bertemu dengan narasumber/inforrnan melalui wawancara dan memberikan kuesioner yang dimulai dari bulan April hingga pertengahan Juni 2007. Latar belakang responden yang diteliti memiliki berbagai macam latar belakang, seperti latar belakang profesi, yaitu pegawai negeri sipil dari anggota partai politik yang juga sebagai anggota DPR, sedangkan latar belakang responden mulai dari tamatan Sekolah Menengah Umum (SMU), Sarjana (SI), Magister (S2), Doktor (S3), dan guru besar (Profesor), dan juga latar belakang di PNS mulai dari staf, eselon IV, eselon III, eselon, R, dan eselon I. Disamping data primer, penulis juga menelusuri data sekunder berupa studi dokumentasi kepustakaan berupa landasan konsep dan teoritikal, kepustakaan buku-buku tentang HAM, peraturan perundang-undangan, data tersebut ditambah dengan penelusuran melalui media massa, baik cetak maupun elektronik (kliping Koran/majalah/tabloid, penelusuran internet. Pelarangan hak berserikat, yaitu masuk menjadi anggota/pengurus partai politik, bagi PNS berarti telah menghapuskan HAM PNS yang telah jelas dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Kovenan Hak Sipil dan Politik (telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU), dan UU Tentang Partai Politik. Oleh karena itu, Hak berserikat bagi PNS harus segera dipulihkan, karena hak berserikat dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, dalam berbagai produk perundang-undangan mengenai HAM (lokal dan intemasional), dari dalam UU Partai Politik. Selain itu juga, perlu dibentuk peraturan yang dapat memberikan batasan yang jelas dan tegas yang mengatur bagi PNS yang masuk menjadi anggota/pengurus partai politik. ...... In principle, the prohibition for civil servant to become member/administrator of political parties has eliminated the Civil Servant rights, and human rights that has guarantee in Indonesian Constitution UUD 1945, Universal Declaration of Human Rights, Law Number 12 Year 2005 on Ratification ICCPR, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, and Law Number 31 Year 2002 on Political Parties. Writing Methods by implementing qualitative research, which is describing the phenomenon of reducing the Civil Servants political rights through searching/exploring primary data by doing field research to see some informers by interviewing and giving questioners, which executed from April to mid of June 2007. The respondent backgrounds are from various professions such as Civil Servants who works at Department of Law and Human Rights, Department of Domestic Affairs, and National Employment Agency, also member of political parties and Parliament, while the education of respondents are High School graduates, Bachelors degree, Masters degree, Doctoral degree, and Professors. The position of respondents who work as civil servants are staff, echelon IV, echelon III, echelon II and echelon I. In addition to primary data, the author also searches secondary data by documentation studies such as conceptual and theoretical basis, Iiterature on human rights studies, laws, also added by searching mass media, printed and electronic (paper clipping/magazine/weekly papers, internet exploring). The prohibition to civil servants to join becoming member/administrator of political parties, means the prohibition has deleted the civil servants right which is guaranteed in Indonesian Constitution UUD 1945, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, Covenant of civil and political rights (has been ratified to Law), and Law on Political Parties. That's why, the right to join organization to civil servants should be regained, because such right is guaranteed and protected in UUD 1945, in various of law products concerning human rights (national and international), and law on Political Parties. Besides, regulations should be made to form clear and strict boundaries for ruling the civil servants who become member/administrator of political parties.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Junita
Abstrak :
ABSTRAK
Masalah-masalah yang dihadapi tenaga kerja Indonesia sejak rnasa awal pengiriman tahun 1979 hingga kini tidak pernah berhenti. Hampir setiap hari media di Indonesia menyajikan berita tentang penderitaan pars TKI yang mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, dan berkonflik dengan hukum negara setempat dan bahkan kematian mereka sendiri. Dasar hukum dan prosedur administratif penempatan, pengiriman, dan perlindungan TKI telah dibuat, direvisi, dan diganti oleh pemerintah berkali-kali. Sejak penetapan dalam GBHN 1993 yang memuat prosedur pengiriman dan perlindungan TKI ke luar negeri sampai dengan diundangkannya W No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan, dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, masalah-masalah yang dihadapi TKI masih tetap berlanjut. PeneIitian ini bermaksud melihat bahwa kesinambungan persoalan TKI tersebut berakar pada kesalahan dalam kerangka teoritik kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM TKI. Dasar hukum dan implementasi perlindungan itu seharusnya dilihat dalam kerangka interdependensi HAM yaitu, dalam hal hak-hak TKI, antara hak atas pekerjaan (the rights to work) dan hak dalam pekerjaan (the rights at works). Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dan metode yuridis formal terhadap bahan hukum mengikat termasuk bahan hukum sekunder dan tertier dari dasar hukum yang relevan dan implementasinya di bidang perlindungan TKI, penelitian ini menemukan bahwa dalam dasar hukum dan implementasi kewajiban negara untuk memberi perlindungan HAM kepada TKI tidak didasarkan pada kesalingterkaitan antara hak atas pekerjaan dan hak dalam pekerjaan. Absennya kerangka teoritik lingkaran hak-hak (circle of rights) dalam dasar hukum dan implementasi perlindungan HAM TKI ini menjadi penyebab berlanjutnya masalahmasalah yang dihadapi mereka.
ABSTRACT
Since the first implementation of overseas placement policy of Indonesian migrant workers in 1979, abusive problems faced by the Indonesian migrant workers have been being persisting. Almost everyday domestic media provides their miserable struggle to experience the abuse, sexual harassment, unpaid wages problem, to have conflict against the destination laws, and their own death. Legal basis and administrative procedures for placement and protection of Indonesian migrant workers has been established, replaced, and revised repeatedly. Since initially regulated by GBHN in 1993 up to the establishment of Law No. 39 Year 2004 on the Placement and Protection of Indonesian Migrant Workers, the problems that they face are still going on. This thesis intends to examine and explain that the persisting problems root down in the fallacy of theoretical framework to explain the state obligation to respect, to protect, to fulfill the Indonesian migrant workers human rights. The legal basis and implementation for the said protection shall have been based on the human rights principle of interdependence, between the rights to works and the rights at work. By using descriptive qualitative research method, and formal juridical method towards the legal documents including the relevant secondary and tertiary legal documents of legal basis and its implementation in the protection of migrant workers, this research discovers that the legal basis and its implementation of migrant workers protection is not based on the interdependent principle of human rights between the right to work and the rights at work. The absence of this interdependent principle or circle of rights in the legal basis and implementation has become the grounds to the continuous problems faced by the migrant workers.
;Since the first implementation of overseas placement policy of Indonesian migrant workers in 1979, abusive problems faced by the Indonesian migrant workers have been being persisting. Almost everyday domestic media provides their miserable struggle to experience the abuse, sexual harassment, unpaid wages problem, to have conflict against the destination laws, and their own death. Legal basis and administrative procedures for placement and protection of Indonesian migrant workers has been established, replaced, and revised repeatedly. Since initially regulated by GBHN in 1993 up to the establishment of Law No. 39 Year 2004 on the Placement and Protection of Indonesian Migrant Workers, the problems that they face are still going on. This thesis intends to examine and explain that the persisting problems root down in the fallacy of theoretical framework to explain the state obligation to respect, to protect, to fulfill the Indonesian migrant workers human rights. The legal basis and implementation for the said protection shall have been based on the human rights principle of interdependence, between the rights to works and the rights at work. By using descriptive qualitative research method, and formal juridical method towards the legal documents including the relevant secondary and tertiary legal documents of legal basis and its implementation in the protection of migrant workers, this research discovers that the legal basis and its implementation of migrant workers protection is not based on the interdependent principle of human rights between the right to work and the rights at work. The absence of this interdependent principle or circle of rights in the legal basis and implementation has become the grounds to the continuous problems faced by the migrant workers.
2007
T20830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Joko Nugroho
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliansyah
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada pemenuhan hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum. Anggota TNI dan POLRI dilarang memilih dalam pemilihan umum, sementara UUD 45 menjamin hak untuk memilih dalam pemilihan umum bagi semua warga negara Indonesia (yang sudah berusia 18 tahun atau lebih) dan dalam prinsip hak asasi manusia, hak memilih merupakan hak setiap individu sebagai warga negara. Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut: (a) Mengapa terjadi pelarangan hak untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri? (b) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum?, (c) Bagaimana persepsi anggota TNI dan Polri dalam menyikapi hak memilih mereka? (d) Bagaimana Hak memilih anggota TNI dan Polri dalam perspektif hak asasi manusia?, dan (e) Apa yang sepatutnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah dalam pemenuhan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri pada pemilihan umum? Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan historis dan deskriptif,, dilakukukan dengan penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Informan berasal dari anggota TNI, Polri dan masyarakat sipil, sedangkan narasumber dipilih dari dari kalangan TNI dan Polri, peneliti, akademisi, anggota DPR, dan praktisi hak asasi manusia. Janis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Dengan menggunakan purposive sampling dan wawancara terfokus. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: a) Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dalam pemilihan terjadi mulai pemilu ke-2, yaitu pemilu tahun 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, pemilu 1997 dan pemilu 1999, sebagai konsekuensi atas diangkatnya perwakilan TNI dan Polri dalam legislatif; b) Persepsi masyarakat dan persepsi anggota TNI dan Polri terhadap hak memilih anggota TNI dan Pohi beragam, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai argumen; c) Dalam perspektif hak asasi manusia bahwa hak memilih anggota TNI dan Polri adalah hak asasi individu TNI dan Polri sebagai warga negara yang harus diberikan. Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan UUD 45. Hasil penelitian menyarankan bahwa: a) Perlu merevisi undang-undang yang membatasi hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dan menyiapkan mekanismelperaturan pelaksananya; b) Perlu mempercepat proses reformasi TNI dan Polri; c) Perlu regulasi tegas untuk mencegah pemanfaatan hierarki komando yang mengarahkan orientasi politik anggota TNI.; dan d) perlu diberikan pendidikan politik, demokrasi, hukum dan hak asasi menusia yang balk kepada anggota TNI dan Polri. ...... General elections as a tool for community to provide their political rights to vote and elected which conducted in a direct, general, free, and secret manner. As arranged in article 22E paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraphs (1), (2) and (3) of Human Rights Law 1999, article 25 of International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR). The right to vote and elected as a rights for Indonesia citizens without any discrimination, according to regulation in article 27 paragraph (1) and article 281 paragraph (2) of National Constitution 1945. Although, in Indonesia has law which limitate the right to vote for military and police officials as follows: article 145 of Law No. 12 Year 2003 on General Elections for House of Representative and Regional People's Representative Council, article 102 of Law No. 23 Year 2003 on Regional Government, article 28 paragraph 2 of Law No. 2 Year 2002 of Indonesia Police, article 39 paragraph 4 Law No. 34 Year 2004 on Indonesia Military. Based on that, hoisted questions as follows: (a) why it has restrictions on the right to vote for military and police officials? (b) how the community perceptions on the right to vote for military and police officials? (c) how the military and police officials perceptions in order to response their right to vote? (d) how the right to vote for military and police officials in human rights perspective? (e) what should House of Representative perform as legislative agency and government as executive agency in regulate of the right to vote for military and police officials in general elections? This research has using qualitative descriptive type which conducted by library and field research. The informants are from military officials, police officials and civil community, subsequently the resources elected from military, police, researchers, academicians, house of representative members, and human rights practitioners. The type of data which used is composed from secondary and primary data which obtained by using sampling purposive and focus interview. According to this research could be summarized that: a) Limitations of the right vote for military and police officials in general election started from second general elections in 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 and 2004. That limitations as consequence on elected as House of Representative members from military and police officials; b) a variety of community perception on the right to vote for military and police officials, there are some agree and disagree with many reasons; c) diverse military and police view on the right to vote, there are some agree and disagree with many reasons; d) in human rights perspective that the right to vote for military and police officials as individual rights also a citizens that have to given. The limitations of the right to vote for military and police officials aligned with article 22E paragraph (2), article 27 paragraph (1), article 28 paragraph (1) and article 281 paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraph (1), (2) and (3) of Human Rights Law No. 39 Year 1999, and article 25 of 1CCPR. Therefore, it needed efforts to response the right to vote for military and police officials are: a) the right to vote for military and police officials should arranged immediately in a policy which prepared by government; b) to process shortly of military and police reforms and to prepare clear and legal regulations; c) to put attention on welfare from military and police officials; d) should have stern regulations to prevent using of commando hierarchy which deliver to the political orientation for military and police officials; e) to give a good political, democracy, legal and human rights education for military and police officials.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Eko Yulikarti
Abstrak :
Perkembangan teknologi terutama komputer membawa pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Disamping membawa dampak posistif komputer juga membawa dampak negatif yaitu digunakannya komputer sebagai sarana melakukan kejahatan (computer crime). Kejahatan komputer yang mengakibatkan adanya kerugian bagi keuangan negara dimasukkan dalam delik korupsi. Dalam kejahatan komputer mayoritas bukti berupa bukti elektronik yang dapat berupa rekaman data, informasi maupun rekaman jejak operasi komputer. Tesis ini berjudul Bukti elektronik dalam kejahatan komputer: kajian atas tindak pidana korupsi dan pembaharuan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan penelitian Yuridis Normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan sebagai sarana cross-chek. Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah mengenai penggunaan bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi menggunakan sarana komputer. Pada bagian tersebut akan dipaparkan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang menggunakan sarana komputer, bagaimana penggunaan bukti elektronik dalam pembuktian, penerimaan pengadilan atas bukti elektronik yang disajikan serta problem-problem berkenaan dengan penggunaan bukti elektronik di pengadilan. Sebagai bahan perbandingan dipaparkan pula tentang pengaturan bukti elektronik dibeberapa negara. Kajian kedua dalam tesis ini adalah mengenai. prospek pengaturan bukti elektronik dalam pembaharuai hukum pidana Indonesia. Fokus kajian pada bagian ini adalah pertama mengenai pengaturan bukti elektronik dalam Rancangan Hukum Acara Pidana Indonesia. Pada bagian tersebut penulis akan memaparkan serta memberikan analisis tentang pengaturan bukti elektronik dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kedua mengenai urgensi pengaturan bukti elektronik dalam hukum acara pidana. Pada bagian kedua tersebut penulis akan memaparkan tentang pentingnya pengaturan bukti elektronik dalam hukum acara pidana serta dipaparkan pula hal-hal yang perlu diatur dalam dalam pengaturan bukti elektronik dalam suatu hukum acara.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virza Roy Hizzal
Abstrak :
Dikotomi antara perlunya tindakan tegas dalam memberantas terorisme dengan kewajiban melindungi HAM yang tidak bisa dinafikan begitu saja, menimbulkan diskursus di kalangan akademisi, praktisi, stake holder, pemerintah maupun pembuat udang undang yang tak kunjung menemukan persepsi sama dalam menghadapi bahaya terorisme. Keberagaman dari unsur "cara" teroris dalam melaksanakan aksi dan tujuannya, membuat perlunya suatu bentuk definisi yang mampu meng-cover unsur-unsur tindak pidana terorisme secara komprehensif Terorisme dari sudut pandang pelaku atau aktor, tidak saja. dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh negara (state terrorism). Pernyataan ini diambil dari realita bahwa terhadap sesuatu yang menimbulkan peristiwa teror (adanya ancaman, intimidasi, rasa ketakutan, tidak aman, dan lain-ain), dapat diakibatkan oleh upaya massive yang gencar dilakukan pemerintah dalam memberantas terorisme. Kebijakan yang dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan merupakan acuan bagi pelaksananya dalam menjalankan apa yang telah digariskan sesuai dengan normanorma yang berlaku. Akan tetapi, ada kalanya suatu peraturan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, maupun tidak sejalan dari tujuan semula ketika peraturan tersebut dilaksanakan. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan maupun salah penafsiran dari apa yang telah digariskan oleh peraturan tersebut akibat tidak dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak memparhatikan aspek historis, sosiologis, maupun yuridis yang ada pada masyarakat Kebijakan dalam penanggulangan terorisme, tidak boleh hanya memandang bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Ada hal lain yang harus diperhatikan secara kompleks, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi korban akibat "perang melawan terorisme" tersebut. Sebenamya, pihak yang paling rentan menjadi korban dari "histeria" terorisme adalah masyarakat. Oleh karena itu, bagaimanapun hebatnya penggalangan opini maupun kebijakan reprrssive dalam memberantas terorisme, tidaklah boleh mengabaikan rasa aman dan kebebasan masyarakat itu sendiri. Proses penyelidikan dan penyidikan, sebagai pintu gerbang dalam pemberantasan terorisme, merupakan hal yang paling rentan terjadinya pelanggaran HAM data kesewenang-wenangan aparat (abuse of power). Selain itu, undang-undang anti-terorisme juga membuka intervensi badan intelijen yang nota bene bukan badan yudisial, dengan melegitimasi laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Hak Asasi Manusia yang melekat secara indivual pada setiap orang, tidak memandang perlu atau tidaknya terorisme diberantas, akan tetapi hak-hak tersebut merupakan kemutlakan yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab negara. Begitu pula dengan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme. Masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme juga mempunyai hak yang sama untuk diperlakukan sesuai dengan standar HAM yang berlaku secara universal. Oleh karena itu yang sangat penting untuk dijadikan agenda utama bagi negara kita adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana terorisme harus berada dalam dua titik keseimbangan, yakni keselarasan antara prinsip "security" dan "libertty''.
Dichotomy between necessary acts of force in fighting terrorism with the obligation to protect Human Rights (HR) cannot be easily ignored, and have created discourse among academic, practitioners, stakeholder, government and legislator and policy maker. Until now they still can find the same perception in facing the danger of terrorism. The variety of element "way" of terrorist in mode of their action and their aim, make important to have one definition that can covered elements on came of terrorism comprehensively. Terrorism from point of view terrorists or actor, can be viewed that terror is not only can conduct by individual or group, but also conduct by State (state terrorism). This statement is taken from reality that things that can create condition of terror (presence of treat, intimidation, fear, insecure, etc) can be caused by massive efforts that has been rapidly done by government to fight against terrorism_ Regulation policy is the reference for operational act on what have been accepted as norms. Although sometimes, a rule or regulation cannot accustomed with what have been goal to, and also disharmony with the primary aim on how to be conducted. And it is not rare that deviant or wrong interpretation from what have meant to be by the regulation is caused by unprepared regulation or without fully considering historical aspect, sociology, and existed jurisdiction in society. Policy to over come terrorism cannot only by viewing that terrorism is extraordinary crime, but also have to be eliminate from its roots. There is other things that have to be concern, as complexity of it, specially in related with society rights that can be in any time to be a victim cause by "war against terrorism. Actually the most vulnerable victim of "hysteria" terrorism is society. Because of that, no matter how great opinion maker and repressive policy to abolish terrorism, it cannot be practice by ignore security and freedom of society. The investigation process and crime scene investigation, as one gate to eliminate terrorism, and can be a vulnerable space for HR violation and abuse of power by apparatus_ Beside, Anti Terrorism Law can open way to board intelligent to intervene, while this is not a judicial board. Where legitimate report from intelligent body is accept as preliminary evident Human Rights embedded individually with everyone, regardless necessary or not necessary that terrorism ought to eliminate, it is absolutely government responsibility to fulfill its rights. It is also the rights of suspect/convicted crime of terrorism. Society can be at anytime suspect/convict crime of terrorism have to be treated equally according to universal HR standard. By that guarantee it is important that primary agenda for our State to ensure that regulation policy on terrorism crime stay in two point of balance, a principle harmony of "security" and "liberty".
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arezka Ari Hantyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Perlakuan diskriminatif merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk diperlakukan secara sederajat. Tindak diskriminasi adalah suatu masalah utama di dunia ini yang telah terjadi sejak lama, dari jaman perbudakan pada abad ke - 18 sampai dengan apartheid, dan diskriminasi terhadap imigran asing di Perancis di awal abad ini. Di Indonesia, persoalan diskriminatif yang terjadi antara lain didasarkan pada jenis kelamin, latar belakang etnis, agama, ras, usia, keadaan ekonomi-sosial, dan keberpihakan politik. Banyaknya provokasiprovokasi dan pernyataan kebencian (incitement to hate) di depan umum yang mendorong terjadinya tindakan diskriminatif bahkan menuju timbulnya kekacauan dalam masyarakat seringkali terlewatkan dari jerat hukum. Kita tentu masih sering melihat banyak spanduk-spanduk yang berada di jalan umum yang isinya memojokkan kelompok berideologi tertentu.Langkanyakasus penebaran kebencian di muka umum terhadap golongan masyarakat tertentu yang dibawa ke pengadilan, walaupun secara faktual sering terdengar dan terlihat di masyarakat menjadi suatu bukti bahwa negara enggan untuk menyentuh masalah sensitif ini. Diskriminasi yang lekat dengan golongan minoritas, membuat pemerintah -karena alasan politis- kerap kali mengambil sisi yang sama dengan golongan yang mayoritas dikarenakan dukungan yang lebih besar yang bisa didapatkan oleh pemerintah. Dengan latar belakang tersebut maka permasalahan yang coba diamati oleh penelitian ini adalah bagaimanakah keadaan penegakan dan perlindungan hukum terhadap diskriminasi ras dan etnis di Indonesia saat ini. Metode pengolahan data yang digunakan adalah pengolahan data secara kualitatif, sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk deskriptif analitis.
ABSTRACT
Discrimination is a human rights violation. Discrimination, since long time ago, has been a critical problem in the world. Discrimination had happened since the slavery era in 18th century to apartheid policy and to discrimination against immigrants in France on the beginning of this century. In Indonesia, discrimination usually based n religious background, ethnical differences, and political sides. Many provocations and incitement of hate in public were untouched by the law. Such things could leads to a discriminative act even towards violence based on discrimination. We could still see several banners and flyers which shown hatred towards particular group or ideology. Lack of such cases being brought to justice is creating questions whether our country has guarantee human rights or they have reluctance towards this sensitive case based on some political reasons. The government could take side with the majority on pressing the minority since it needs a bigger support to maintain its power. Based on such facts, this research was done to analyze whether Indonesia has uphold the human rights and implement it in her legal system, enforcing it thus guaranteeing the rights of her citizen in term of protection against discriminating act. Data analyses method in use for this research is qualitative methods, thus the result of this research will be in the form of analytic-descriptive report.
2007
T36844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Anwar Djunaedi
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dimiliki oleh Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. Kewenangan-kewenangan tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, lembaga kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut menimbulkan suatu keadaan hukum yang berbeda dalam praktek pelaksanaan dari kewenangan-kewenangan tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah dimana letak perbedaan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada dasarnya secara kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi juga berada di Sistem Peradilan Pidana yang menitikberatkan pada pelaksanaan wewenang penegak hukum untuk saling berkoordinasi dan bekerjasama dengan penegak hukum lainnya sehingga terjadi mekanisme check and balances. Maka dengan demikian, wewenang pada lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan perkara korupsi tidak boleh dilakukan sepenuhnya secara individual namun harus tetap dalam jalur Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang mengutamakan koordinasi dan kerjasama antar instansi penegak hukum. ......This thesis discusses the authority of investigate, investigation and prosecution by the Attomey General of the Republic of Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia in dealing with criminal comiption. The authority has been set in the Act and the Criminal Law Event and other regulations. In the settlement of criminal corruption case, General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia which in the investigate, investigation and prosecution based on the laws and regulations that differ with each other. This situation raises a different legal practices in the implementation of authorities. The main problem is where are the difference between the authority of General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia. Basically, according to the authorities of Commision of Eradicate Corruptions Of Republik Indonesia, this institution has aiready in Criminal Justice System that focuses on the implementation of the law enforcement authorities for mutual coordination and cooperation with other law enforcement mechanisms so that there checks and balances. So thus, the authority on General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia in handling cases of corruption may not be entirely individual but must remain in the system path of the Indonesian Criminal Justice System, which consider as most important is coordination and cooperation between law enforcement agencies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26066
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>