Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lady Dhita Alfara
"Tata laksana nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik dalam hemodialisis, bertujuan menilai peran nutrisi, yang mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, manajemen cairan dan elektrolit dalam mengendalikan kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dapat menyebabkan menurunnya asupan, dan perubahan metabolisme berbagai nutrien, sehingga dapat mengakibatkan pasien jatuh pada kondisi malnutrisi dan berbagai komplikasi. Serial kasus ini terdiri dari empat kasus penyakit ginjal kronik dengan berbagai etiologi dan komorbid.
Pasien pada serial kasus ini, mempunyai rentang usia pasien antara 30 - 52 tahun. Umumnya pasien mengalami sesak napas, mual, muntah, anoreksia, edema dan berdasarkan hasil skrining gizi menunjukkan semua pasien memerlukan terapi nutrisi. Terapi nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yang dihitung dengan rumus Harris Benedict dikalikan faktor stres dan pemberiannya dimulai dari kebutuhan energi basal, yang secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai kebutuhan energi total. Kebutuhan protein disesuaikan dengan laju filtrasi glomerulus pada masing-masing pasien. Pemantauan terapi nutrisi pada satu orang pasien selama tujuh hari, sedangkan tiga pasiennya dilakukan pemantauan selama sepuluh hari atau lebih. Pemantauan mencakup toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, imbang cairan, parameter laboratorium dan antropometrik serta dilakukan edukasi setiap hari.
Selama pemantauan didapatkan hasil bahwa, terjadi perbaikan klinis, toleransi asupan, sebagian besar pasien dapat mencapai kebutuhan kalori total. Kebutuhan protein dihitung kembali setelah dilakukan hemodialisis. Pemeriksaan kadar ureum, kreatinin dan perhitungan creatinine clearance test menunjukkan perbaikan, walaupun tidak mencapai kadar normal. Sejalan dengan perbaikan klinis, terjadi perbaikan kondisi pasien secara umum, termasuk kapasitas fungsional. Penilaian berat badan pasien menunjukkan penurunan berat badan, sejalan dengan perbaikan kondisi edema.
Pemberian nutrisi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 5, bersifat individual dan harus disertai edukasi nutrisi dan motivasi setiap hari. Dengan tata laksana nutrisi yang baik, diharapkan kualitas hidup pasien PGK akan lebih baik, dan dapat turut mengendalikan berbagai komplikasi yang mungkin terjadi.

Treatment of nutrition in patients with Chronic Kidney Desease (CKD) aims to assess the role of nutrition, which includes the provision of macronutrient, micronutrient, fluid and electrolyte management in controlling renal impairment, in patients with CKD stage 5 on hemodialysis therapy. Impaired kidney function may lead to decreased intake, and changes in metabolism of various nutrients, which can lead to patient falls on the condition of malnutrition and other complications. This case series consisted of four cases of chronic kidney disease with various etiologies and comorbid.
Patients in this case series are two patients aged between 30 to 52 years old. Generally, patients experience shortness of breath, nausea, vomiting, anorexia, edema, and based on nutritional screening results showed all patients requiring nutritional therapy. Nutritional therapy is given according to the needs, that is count by Harris Benedict equation, and each patient at the beginning, provided the basal energy needs, which gradually increased to reach the total energy needs. Protein needs are given according to the glomerular filtration rate, and increased when the patient was in hemodialysis. Nutritional therapy in one patient is monitored for seven days, while three of the patients are monitored for ten days or more. Monitoring includes food intake tolerance, functional capacity, fluid balance, anthropometric and laboratory, and nutrition education is conducted every day.
The result of treatment during monitoring period shows that, there is improvement of general status, tolerance intake, most patients could achieve total caloric needs. Examination of the levels of urea, creatinine and calculation of creatinine clearance test showed improvement, although did not reach normal levels. During the monitoring, in line with the clinical improvement, the patient's condition was generally improving, including functional capacity. Assessment of the patient's weight showed weight loss, along with the improvement of the condition of edema.
Nutrition treatment in patients with chronic kidney disease stage 5 is individualize and must be accompanied by daily nutrition education and motivation. With good nutrition governance, quality of life of CKD patients will be better, and it can also control variety of complications that may occur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monique Carolina Widjaja
"Luka bakar berat berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Tatalaksana nutrisi pada luka bakar berat diutamakan pada pemberian nutrisi enteral dini (NED). Nutrisi enteral dini diberikan sedini mungkin setelah resusitasi tercapai, bermanfaat sebagai trophic feeding yang terbukti mencegah terjadinya atrofi vili-vili mukosa sebagai upaya mengatasi dampak hipoperfusi splangnikus. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai asupan, toleransi, dan keadaan klinis pasien. Serial kasus ini terdiri dari tiga kasus dengan penyebab api dan satu yang disebabkan oleh listrik. Dua kasus dengan trauma inhalasi dan dua kasus dengan kegagalan ginjal akut (AKI). Dua kasus masuk pada hari pertama pasca trauma, dan dua kasus pada hari ke enam dan delapan pasca trauma. Keempat kasus masih dalam keadaan resusitasi cairan, sehingga pemberian nutrisi ditujukan untuk pemberian NED. Monitoring dilakukan pada klinis, asupan dan toleransi, dan laboratorium terutama darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, laktat, albumin, dan fungsi ginjal.
Asupan keempat kasus tidak pernah mencapai total karena berulang kali dipuasakan untuk pembedahan. Aliran balik yang tinggi menunjukkan intoleransi saluran cerna sehingga perlu diberikan prokinetik. Pemberian antibiotik sebagai suatu kebutuhan mutlak perlu memperhatikan interaksinya dengan nutrien. Pemberian analgetika dan sedatif perlu memperhatikan interaksi dan efek terhadap kebutuhan nutrisi. Trombositopenia yang terjadi pada tiga kasus berhubungan dengan sepsis dan mortalitas. Koagulopati bersama dengan hipotermia dan asidosis menjadi komponen Triad of Death. Hiperlaktatemia harus dinilai bersamaan dengan parameter lain untuk menilai adanya hipoksia jaringan. Dua kasus berkomplikasi menjadi AKI, tatalaksana nutrisi memperhatikan terapi yang didapat pasien. Pemberian medikamentosa untuk perbaikan sirkulasi juga memperhatikan interaksi obat.

Severe burns associated with high morbidity and mortality. Nutritional management of severe burns priority on early enteral nutrition (EEN). Early enteral nutrition is given as early as possible after resuscitation achieved, useful as trophic feeding are proven to prevent the occurrence of mucosal villous atrophy as the effort to overcome the effects of splanchnic hypoperfusion. Providing appropriate nutrition intake gradually increased, due to tolerance, and clinical condition of patients. This case series consisted of three cases the cause of the fire and one caused by electricity. Two cases with inhalation injury and two cases with acute renal failure (ARF). Two cases admitted on the first day after trauma, and two cases in the sixth and eighth days after trauma. The four cases are still in a state of fluid resuscitation, thus giving nutrition aimed at giving EEN. Monitoring conducted in clinical condition, caloric intake and tolerance, and laboratories especially equipped peripheral blood, electrolytes, blood gases analysis, lactate, albumin, and kidney function.
Intake of four cases never reach the total due to repeated fasting for surgery. High-flow indicates that gastrointestinal intolerance should be given prokinetic agent. Giving antibiotics as an absolute necessity need to consider interactions with nutrients. Giving analgesics and sedatives need to consider interactions and effects on nutritional requirements. Thrombocytopenia occurred in three cases and mortality associated with sepsis. Coagulopathy with hypothermia and acidosis become components Triad of Death. Hyperlactatemia should be assessed in conjunction with other parameters to assess the presence of tissue hypoxia. Two cases complicated to AKI, nutritional management of patients gained attention therapy. Giving drug therapy for improved circulation also consider drug interactions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hetty Christine
"Latar Belakang: Penuaan merupakan proses fisiologis yang terjadi pada semua organ tubuh. Usia lanjut dan sejumlah komorbid yang terjadi seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronik dan penyakit ginjal kronik, merupakan faktor risiko mayor gagal jantung kongestif. Pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif berisiko tinggi readmisi rumah sakit, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, dehidrasi atau kelebihan cairan, dan mengalami penurunan ambang rasa. Pada tata laksana gagal jantung kongestif, penting untuk membatasi asupan natrium dan cairan yang dapat menyebabkan penurunan asupan nutrisi, sehingga terapi nutrisi diperlukan sejak awal perawatan.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif, berusia 65-78 tahun dengan minimal satu penyakit komorbid yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit ginjal kronik, penyakit paru obstruktif kronik, dan diabetes melitus. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi. Dua pasien mengalami malnutrisi, satu pasien berat badan lebih dan satu pasien obes I. Masalah nutrisi yang didapatkan antara lain asupan makronutrien dan mikronutrien tidak adekuat dan komposisi nutrisi tidak seimbang selama sakit dan 24 jam terakhir, gangguan elektrolit, hiperurisemia, hiperglikemia, peningkatan kadar kolesterol LDL dan gangguan keseimbangan cairan. Terapi nutrisi gagal jantung kongestif diberikan pada semua pasien disesuaikan dengan penyakit komorbid masing-masing. Suplementasi mikronutrien dan nutrien spesifik diberikan pada keempat pasien. Pemantauan meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, tanda dan gejala klinis, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional.
Hasil: Keempat pasien menunjukkan peningkatan asupan nutrisi, perbaikan klinis berupa penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi, serta peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutriso yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien usia lanjut dengan gagal jantung kongestif dan berbagai penyakit komorbid.

Background: Aging is a physiological process, which is occurs in all organs. Elderly people and various comorbidities, such as hypertension, coronary artery disease, diabetes mellitus, chronic obtructive pulmonary disease and chronic kidney disease, are major risk factors of congestive heart failure. Elderly patients with congestive heart failure are at high risk of hospital readmission, malnutrition, micronutrients deficiency, dehydration or fluid overload and decreased sense of taste. In the congestive heart failure therapy, fluid and sodium intake restriction is important, however it may result in decreased nutrition intake so that is necessary to provide early adequate nutrition therapy.
Method: This serial case report describes four cases of congestive heart failure with various comorbidities in the elderly patients, aged 65-78 years old, with at least one comorbid, such as hypertension, coronary artery disease, chronic kidney disease, chronic obstructive pulmonary disease, and diabetes mellitus. All patients required nutrition support. Two patients classified as malnutrition, one overweight and one obese I. Nutrition problems in this serial case report are macromicronutrients intake, and nutrition composition imbalance during ill and 24 hours before hospitalized, electrolyte imbalance, hyperuricemia, hyperglycemia, elevated LDL cholesterol levels, and fluid imbalance. Nutrition therapy for congestive heart failure was given to all patients, and adjusted to the comorbidities in each patient. Micronutrients and specific nutrients supplementation were given to all patients. Monitoring include subjective complaints, hemodynamic, clinical signs and symptoms, analysis and tolerance of food intake, laboratory results, anthropometric, fluid balance, and functional capacity.
Result: During monitoring in the hospital, all patients showed improved food intake, clinical outcomes, such as decreased of blood pressure, heart rate and increased of fungcional capacity.
Conclusion: Adequate nutrition therapy an important role in improving clinical conditions in the elderly patients with congestive heart failure and various comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Louise Kartika Indah
"Latar belakang: Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure CHF dan diabetes melitus DM tipe 2 merupakan dua kondisi yang saling memberatkan, yaitu terjadi gangguan metabolisme yang lebih berat akibat perubahan neurohormonal, dan struktur jantung yang berpotensi memperburuk prognosis. Tatalaksana nutrisi sejak awal diagnosis sangat penting dalam mendukung proses penyembuhan pasien dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Kasus: Dalam serial kasus ini terdapat empat pasien CHF dan DM tipe 2 dengan penyulit. Keempat pasien dengan hipertensi dan hiperurisemia, tiga pasien dengan status gizi obes, tiga pasien dengan infark miokard, satu pasien dengan unstable angina pectoris, dua pasien dengan acute kidney injury, dan satu pasien dengan chronic kidney disease. Pada awal pemeriksaan didapatkan defisiensi asupan makro- dan mikronutrien, kontrol tekanan darah dan glukosa darah yang kurang baik, retensi cairan, dan penurunan kapasitas fungsional. Tatalaksana nutrisi disesuaikan secara individual, berdasarkan kondisi klinis, hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya serta riwayat asupan makanan.
Hasil: Seluruh pasien mengalami peningkatan toleransi asupan, perbaikan kondisi klinis, dan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang adekuat pada pasien CHF dan DM tipe 2 dengan penyulit dapat mendukung perbaikan kondisi klinis dan kapasitas fungsional, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Background: Congestive heart failure CHF and type 2 diabetes mellitus DM are two mutually aggravating conditions, with more severe metabolic abnormalities due to changes in neurohormonal and cardiac structure which potentially worsen the prognosis. Nutritional management since early diagnosis is very important in supporting the healing process of patients and prevent further complications.
Cases: Four patients were diagnosed with CHF and type 2 DM with complicating conditions. Four patients with hypertension and hyperuricemia, three patients were obese, three patients experienced myocard infarct one patient had unstable angina pectoris, two patients had acute kidney injury, and one patient had chronic kidney disease. Nutritional problems in four patients at assessment were macro and micronutrient deficiencies, uncontrolled blood pressure and blood glucose, fluid retention and declined functional capacity. Nutrition therapy were planned individually including macronutrients, micronutrients and fluid intakes, based on clinical conditions, laboratory findings, other examinations, and previous food intakes.
Result: There were improvements of clinical conditions, intake tolerance, and functional capacity.
Conclusion: Adequate nutrition therapy for CHF and type 2 DM patients with complicating conditions supports the improvements of clinical condition and functional capacity, decreasing morbidity and mortality rates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Anne Miriam
"ABSTRAK
Umumnya fistula enterokutan terjadi pasca tindakan pembedahan open abdomen, yang disertai dengan status nutrisi buruk saat preoperatif. Malnutrisi merupakan salah satu komplikasi fistula enterokutan, selain gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga sepsis. Hal ini menunjukkan adanya fistula enterokutan akan memperburuk status nutrisi hingga menyebabkan kematian. Terapi nutrisi berperan penting dalam tatalaksana umum fistula enterokutan, karena pada kasus ini terjadi kondisi emergensi nutrisi. Semakin lama penundaan terapi nutrisi akan menambah risiko perburukan. Terapi nutrisi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi, mendukung penutupan spontan dari fistula, mempersiapkan komposisi dan fisiologis tubuh dalam menghadapi tindakan pembedahan selanjutnya serta meningkatkan imunitas mukosa saluran pencernaan. Pemberian terapi nutrisi berupa perhitungan kebutuhan energi, makronutrien dan mikronutrien. Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 22-39 tahun. Berdasarkan skrining dengan malnutrition screening tools MST keempat pasien mendapatkan skor ge;3. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,5-2. Target kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB untuk mencegah katabolisme. Kebutuhan cairan harus terpenuhi dengan mempertimbangkan output fistula, demikian juga dengan kadar elektrolit. Nutrisi diberikan melalui oral atau enteral dengan kombinasi parenteral. Dari keempat pasien dalam serial kasus ini, satu pasien meninggal dunia akibat sepsis sedangkan 3 pasien lainnya pulang ke rumah dengan sebelumnya dilakukan repair fistula. Terapi nutrisi pada pasien fistula enterokutan bila dilakukan secara cepat dan tepat akan mengembalikan fungsi gastrointestinal, memperbaiki status nutrisi dan membantu penyembuhan luka.
ABSTRACT Enterocutaneous fistula occurs in general after open abdominal surgery, commonly associated with poor nutritional status prior to operation. Malnutrition is one of the complications of enterocutaneous fistula, besides fluid or electrolyte losses and sepsis. The existence of enterocutaneous fistula will exacerbate the nutritional status leading to death. Nutritional therapy plays an important role in the general management of enterocutaneous fistula, because this case will cause a nutritional emergency condition. The longer delays in nutritional therapy will increase the risk of worsening. Nutritional therapy aims to meet energy needs, supports spontaneous closure of the fistula, to prepare the composition and physiological body in the face of further surgical procedures and to improve the gastrointestinal mucosal immunity. Provision of nutritional therapy is in the form of the calculation of energy needs, macronutrients and micronutrients. Patients in this case series amounted to four people with the age range 22 39 years. Based on the screening with malnutrition screening tools MST the four patients scored ge 3. Total energy requirements were calculated using the Harris Benedict equation multiplied by a stress factor of 1.5 2. Protein requirement target is 1.5 2g kgBW to prevent catabolism. The fluid requirement must be met by considering the fistula output, as well as the electrolyte losses. Nutrition is given by oral or enteral with a parenteral combination. Of the four patients in this case series, one patient died of sepsis while the other 3 returned home undergoing fistula repair previously. Nutritional therapy patients with fistula enterocutaneous if it is done quickly and accurately will reestablishment of gastrointestinal continuity, improve nutritional status and wound healing process."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Latar Belakang: Stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus merupakan kondisi yang sering terjadi. Serangan stroke iskemik akut seringkali terjadi bersamaan dengan kadar glukosa darah yang meningkat. Pemberian dukungan nutrisi diperlukan untuk membantu mengontrol glukosa darah dan membantu memperbaiki kapasitas fungsional pada pasien stroke iskemik dengan DM. Salah satu nutrisi yang dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah adalah asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yang berasal dari minyak zaitun.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus dengan rentang usia 52-66 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan pedoman nutrisi untuk penderita stroke dan diabetes melitus, serta diberikan tambahan minyak zaitun untuk mencapai pemenuhan target MUFA dan suplementasi mikronutrien vitamin B kompleks, vitamin C, asam folat dan tablet seng.
Hasil: Kadar glukosa darah keempat pasien selama perawatan berada dalam rentang 140-180 mg per dL, sesuai dengan rekomendasi. Kapasitas fungsional dua pasien mengalami peningkatan sedangkan dua pasien lainnya tidak mengalami perubahan.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi dengan penambahan bahan makanan sumber tinggi MUFA pada pasien stroke iskemik dengan diabetes melitus ikut membantu dalam proses penyembuhan pasien.

Background: Ischemic stroke accompanied by diabetes mellitus is a common condition. Acute ischemic stroke often occurs together with the increase of blood glucose levels. Nutritional support is needed to control blood glucose and improve functional capacity. One of nutrient that can control blood glucose levels is monounsaturated fatty acids (MUFA), which derived from olive oil.
Methods: This case series reported four ischemic stroke patients accompanied by DM which age range of 52-66 years and varied nutritional status. Nutritional medical therapy was given in accordance with nutritional guidelines for stroke and DM. All of patients were given an additional olive oil to achieve the fulfillment of MUFA targets and supplementation of micronutrient such as vitamin B complex, vitamin C, folic acid and zinc tablets.
Results: The blood glucose levels of all patients during the treatment were in the range of 140-180 mg per dL, according to the recommendations. The functional capacity of the two patients has increased while the other two patients have not.
Conclusion: Nutritional support with the addition of high-source of MUFA food in ischemic stroke patients with diabetes mellitus may support the improvement of healing process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelya Augusthina Ayusari
"Latar Belakang: Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi di dunia dengan insidensi 25,1% dari semua jenis kanker. Pasien kanker payudara yang menjalani radiasi, umumnya tidak memenuhi kriteria malnutrisi pada skrining gizi namun kebanyakan pasien memiliki massa otot yang rendah, sehingga berpotensi mengalami penurunan kapasitas fungsional. Proses keganasan dan radiasi dapat menyebabkan peningkatan IL-6 yang berdampak pada penurunan kadar Hb. Kadar kolesterol LDL yang tinggi juga sering ditemukan pada pasien dengan obes/riwayat obes, peningkatan ini merugikan karena berdampak pada prognosis dan kesintasan pasien. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan pada pasien kanker payudara.
Metode: Pasien kanker payudara berusia antara 36-79 tahun. Empat pasien telah menjalani mastektomi dan tiga di antaranya telah dikemoterapi. Pasien memiliki hasil skrining MST ≥2. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan 24 jam. Keempat pasien mendapatkan edukasi nutrisi, oral nutrition support (ONS), suplementasi vitamin dan mineral serta omega-3.
Hasil: Dari hasil pemantauan diketahui bahwa pasien kanker payudara yang mendapatkan terapi medik gizi dapat meningkatkan asupan makanannya, berat badan, massa otot, kekuatan genggam tangan, kadar hemoglobin dan perbaikan kadar kolesterol LDL. Skor ECOG/Karnofsky Performance dari keempat pasien mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan pemeriksaan awal.
Kesimpulan: Terapi medik gizi dapat memperbaiki outcome klinis, kapasitas fungsional, antropometri, dan laboratorium pada semua pasien dalam serial kasus ini.

Background: Breast cancer is the most common cancer in the world with an incidency 25.1% of all types of cancer. Generally, breast cancer patients who had undergoing radiation did not meet the criteria for malnutrition based on nutritional screening, but most patient had low muscle mass that reduce functional capacity. Malignancy and radiation cause an increase of IL-6 which result a decrease in Hb levels. High LDL cholesterol levels were also found in obesity or history of obesity which affected the prognostic and survival of breast cacer patient. The patients mostly had skeletal mass decreased. Adequate nutritional therapy is needed for breast cancer patients.
Method: The case saries reported breast cancer patients aged between 36-79 years. Three patients had mastectomy and chemotherapy, while the other had only mastectomy. Patients had MST screening ≥ 2. Patiens were examined of subjective complaints, clinical conditions, vital signs, laboratory examination, anthropometry, body composition, functional capacity and 24-hour intake analysis. The four patients received nutritional education, oral nutrition support (ONS), vitamin and mineral supplement and omega-3.
Results: Breast cancer patients who got adequate nutritional therapy had increased their food intake, body weight, skeletal mass, handgrip strength, hemoglobin levels and improvement of LDL cholesterol levels. The ECOG/Karnofsky Performance Score of the all patients showed improvement from the initial examination.
Conclusion: Medical nutrition therapy improves the outcome, nutritional status, laboratory parameters and body composition in breast cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiji Lestari
"Pengaruh suplementasi Astaxamin terhadap kadar Malondialdehida plasma dan skor National Institute of health Stroke Scale (NU-ISS) pada penderila stroke iskemik. Mengetahui efek pcmberian suplementasi Astaxantin selama tujuh hari terhadap kadar malondialdehida plasma dan skor NIHSS pada penderita stroke iskemik Penelitian ini merupakan uji klinis pamlel, acak, tcrsamar ganda antara kelompok yang znendapat suplementasi astaxantin (P) dengan kelompok yang mendapat plasebo (K), Sebanyak 24 orang pasien stroke iskemik akut dengan onset < 48 jam di RSUPNCM Jakarta memenuhi kriteria dan diikutkan dalam penelitian, dilakukan alokasi random menggunakan randomini blok untuk menemukan kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan suplementasi Astaxantin 2 x 8mg/had peroml selama tujuh hari, sementara kelompok kontrol mendapat plascbo. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pcndidikan, tingkat penghasilan), onset serangan, faktor risiko, IMT, analisis asupan zat gizi, kadar malondialdehida plasma, serta skor NIHSS. Analisis dam menggunakan uji 1 tidak berpasangan atau uji Man Whitney dengan batas kemaknaan p < 0,05. Rerata usia subjek penelitian ini adalah 56,0l=i:6,44 tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan rendah dan tingkat penghasilan di bawah garis kemiskinan. Faktor risiko stroke yang paling banyak dimiliki subyek penelitian adalah hipertensi, diikuti kebiasaan merokok, dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit jantung. Selama perlakuan, asupan energi dan protein subyek penelitian tergolong cukup, asupan lemak tergolong lebih, asupan vitamin C tergolong cukup, sedangkan asupan vitamin E dan beuz kanaten tagolong kurang pada kedua kelompok. Terdapat penurunan kadar MDA plasma dan skor NIHSS pada kedua kelompok selama perlakuan. Rerata penurunan kadar MDA plasma pada kelompok perlakuan adalah -0,3l6i0,l8 normal dan secara bermakna lebih bcsar dibandingkan kelompok kontrol yaitu -0,1241 0,I08 nmol/mL (p<0,05). Penurunan skor NIHSS pada kelompok perlakuan sebesar -5,67=|=l,37 secara bermakna lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu ~3,‘25:&0,87 (p <0,0S). Suplcmentasi aataxantin sebanyak 2 x 8 mg solama 7 hari sccara bermakna dapal menurunkan kadar MDA plasma dan skor NIHSS penderila stroke iskemik. Astaxantin, antioksidan, malondialdehida plasma, skor Nll-ISS, stroke iskemik.

Bilects of Astaxantin suplcmentation on malondialdehyde plasma level and National Institute of health Stroke Scale (NIHSS) score of ischemic stroke patients To investigate the effects of Astaxantin supplementation during seven days on Malondialdchida plasma level and NIHSS score of ischemic strokc patients. This is a parallel randomized double-blind clinical study between interventional group which has astaxantin supplementation (P) and control group which has placebo (K). Twenty-four acute ischemic stroke patients with onset < 48 hours in RSUPNCM Jakarta had fullilled the criteria and recruited in the research. Subjects were random allocated by block randomimtion into intervention and control group. Intervention group treated by Astaxnntin 2 x Sing,/day supplementation orally during 7 days, while control group treated by placebo. Data collection includes demographic characteristic (nge, sex, educational level, income level), stroke onset, risk factors, body mass index (BMI), daily nutrient analysis, malondialdchida plasma level, and Nil-lSS score. Statistical analysis is using unpaired t test or Mann Whitney test with significant level at p < 0,05. The mean age of subjects were 56,0li6,44 years old. Majoritics of suljects were male, low educational level and below poverty level income. The most liequent stroke risk factors in subjects were hypertension, followed by smoking habit. dyslipidemia, obesity, diabetes mellitus, and heart diseases. During intervention, energy and proteins intake were adequate, fat intake tends to be excess, vitamin C intake was adequate, whiie vitamin E and beta kamten tends to be low in both two groups. 'lhere was decreasing in MDA plasma level and NI]-ISS score in both two groups during intervention. The mean decreasing of MDA plasma in interventional group was -0,3lG.k0,l8 nmol/mL which significantly greater than control group -0,1242 0,108 nmol/mL (p<0,05). The mean decreasing ofNlHSS score in interventional group was -5,67=el,37 which significantly greater than control group -3,25i0,87 (p <0,05). Astaxantin supplementation 2 x 8 mg during 'l days is signiiicant on decreasing MDA plasma level and NH-ISS score in ischemic stroke patients. Astaxantin, antioxidant, rnalondialdehicla plasma, NIHSS score, ischemic stroke. "
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T33924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Sunardi
"Studi kasus serial ini bertujuan untuk menganalisis tatalaksana nutrisi yang adekuat pada pasien diabetes melitus (DM) dalam mencegah, memperlambat dan memperbaiki komplikasi kronis dengan memberikan tatalaksana nutrisi sesuai kondisi klinis, laboratoris dan status gizi pasien. Hiperglikemia kronis terkait dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan gagal organ, khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Tatalaksana kadar gula darah yang baik dapat menurunkan risiko, menunda onset, dan menurunkan tingkat keparahan dari komplikasi kronis. Komplikasi kronis dari DM terbagi dalam dua kategori, yaitu komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Ke-empat kasus yang dipaparkan merupakan pasien DM berusia 37-64 tahun yang menderita DM dengan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Pemberian kalori pada pasien-pasien kasus serial ini dihitung dengan menggunakan rumus Harris Benedict. Protein diberikan sesuai ada tidaknya nefropati dan tingkat nefropati. Pemberian lemak 25% dari total kalori dengan komposisi sekitar SAFA 7%, PUFA 8% dan MUFA 10%. Kombinasi tatalaksana nutrisi sesuai kebutuhan bersamaan dengan pemberian insulin atau obat antidiabetes mampu mengontrol kadar gula darah mendekati normal. Pemberian protein sesuai dengan kemampuan fungsi ginjal mampu mengontrol kadar ureum dan kreatinin dengan status gizi pasien tetap terjaga.
Kesimpulannya : Penatalaksanaan nutrisi pada pasien DM harus bersifat individual, untuk mempertahankan status kesehatan dan memperlambat, bahkan menghindari timbulnya komplikasi DM. Tatalaksana nutrisi harus di-evaluasi secara berkala sesuai dengan kondisi klinis pasien.

This case serial study is aim to know the effect of adequate nutrition therapy on diabetic mellitus patient in preventing, slowing and overcome chronic complication. Nutrition therapy was according to their clinical condition, laboratory and nutrition status. Chronic hyperglycemia is related to long term organ damage, organ dis-function and failure. This is especially affect the eye, kidney, nerve, heart and vascular. Glucose control near to normal range will be able to decrease the risk, onset and morbidity of chronic complication. Diabetic chronic complication is divided into two categories, macrovascular and micro-vascular.
The four diabetic mellitus patients in this case series were 37 to 64 years old with macro-vascular and micro-vascular complication. Calories for these patients were calculated using Harris Benedict equation. Protein was given according to kidney function and if there is nephropathy, then protein was given according to the level of nephropathy. Lipid were provided 25% from total calories, with a composition around 7% of SAFA, 8% PUFA and 10% MUFA. A combination of nutrition therapy and insulin or oral anti-diabetic drugs is able to maintain glucose control near to normal range. Protein provision according to kidney function was able to control urea and creatinine level along with maintaining nutrition status.
Conclusion : Nutrition therapy in diabetic patient must be prescribe individually, according to anamnesis, physical examination, laboratory finding and other supporting examination. Nutrition therapy is targeted to maintain health status, to slowdown, and hopefully to prevent diabetic complication. Nutrition therapy must be evaluated periodically according to patient clinical status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>