Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syamsuriah
"Latar Belakang: Bising adalah bahaya potensial (hazard) yang dapat menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising. Adanya peningkatan ambang dengar pada pekerja dengan pajanan bising yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan NIHL. Kejadian NIHL yang semakin meningkat merupakan salah satu masalah pada pekerja tambang PT. X. Tujuan penelitian adalah mengetahui tren audiometri dan prevalensi NIHL, mengetahui perbedaan NAD akibat pajanan bising tinggi dan rendah, mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising di PT. X tahun 2012-2016.
Metode: Penelitian dengan desain observasional analitik dengan kohort retrospektif di UBP Nikel PT. X pada Bulan Desember 2017, dengan cara pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder MCU pekerja yang sudah dilakukan pemeriksaan audiometri, data baseline 2011, data annual dari tahun 2012 sampai dengan 2016, dan analisis data dilakukan dengan program statistik SPS Statistics 20.0.
Hasil: Prevalensi kejadian NIHL sebesar 15,97% tahun 2012 dan mencapai 39,54% pada tahun 2016. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Pada penelitian diketahui bahwa faktor usia memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL usia ≥40 tahun sebanyak 47,21% (p 0,000, IK 1,33-1,87), responden dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko mengalami NIHL 1,58 kali lebih besar dibandingkan kelompok usia <40 tahun. Masa kerja ≥10 tahun sebanyak 40,15% memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL (IK 1,51-1,85) dan memiliki risiko mengalami NIHL 1,67 kali lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja <10 tahun. Kriteria STS yang positif (90,91%) dengan (p 0,000) signifikan menunjukkan terjadinya NIHL.
Kesimpulan: Tren Audiometri dan prevalensi NIHL terlihat kecenderungan meningkat dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Hasil ini menunjukkan tren kecenderungan meningkat terjadinya kejadian (prevalensi) NIHL di PT. X. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Faktor usia, masa kerja, kriteria STS positif memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL.

Background: High-volume noise is a potential hazard which may cause Noise Induced Hearing Loss (NIHL) among nickel mine workers who are exposed to noise. The increase of hearing threshold in workers with chronic exposure to high-volume noise may cause NIHL. The increasing prevalence of NIHL is a problem for nickel mine workers of PT. X. The objective of this study is to identify the audiometry trend and NIHL prevalence among mine workers who are exposed to high-volume noise, to investigated correlation of noise level exposure and the others that causes NIHL, to know how difference hearing treshold value on the workers worked with noise level <85 dB and ≥85 dB since 2012 until 2016.
Method: This study used an analytical observational design with retrospective cohort at UBP Nikel PT X in December 2017, with the method of obtaining samples by total sampling. This study was conducted by collecting secondary medical check-up data of workers who have undergone audiometry examinations, baseline data from 2011, annual data from 2012 until 2016, and data analysis was done using SPSS program version 20.0
Results: The prevalence of NIHL was shown starting from 15,97% in 2012, and the prevalence reached 39,54% in 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. In this study it was discovered that there were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB during 2012-2016. It was found that age had a significant association with NIHL prevalence, respondents aged >40 years old as much as 47,21% (p 0,000, 95% CI 1,33-1,87); respondents aged >40 years old had 1,58 times higher risks to develop NIHL than the age group <40 years old. Respondents with the period of work ≥10 years as much as 40,2% (IK 1,51-1,85) had a significant association with NIHL prevalence. They had 1,67 times higher risks to develop NIHL than period of work <10 years. It was found that Positive STS Criteria (90,91%) had a significant association with NIHL prevalence (p 0,000).
Conclusion: The NIHL prevalence and the audiometry trend showed a tendency to increase from 2012 until 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. There were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016. The factor of age and period of work had a significant association with NIHL It was found that Positive STS Criteria had a significant association with NIHL prevalence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fida Dewi Ambarsari
"FAKTOR RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULER TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT KEBUGARAN KARDIORESPIRASI PADA PROGRAM GERMAS Fida Dewi Ambarsari1, Ambar W. Roestam2, Imran Agus Nurali3 1 Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta2 Departemen Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta3Direktorat Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Email : fidadewi@gmail.com Abstrak Latar belakang: Tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah berhubungan dengan faktor risiko kardiovaskuler seperti obesitas, hiperkolesterolemia, DM tipe 2 dan hipertensi. Secara umum pekerja perkantoran memiliki beban kerja ringan dengan aktifitas fisik kurang aktif atau sedenter sebagai faktor meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler. Tujuan penelitian untuk melihat hubungan perubahan faktor risiko penyakit kardiovaskuler terhadap perubahan kebugaran kardiorespirasi pada pelaksanaan program Germas selama 12-15 minggu. Metode: Desain potong lintang pendekatan komparatif dua kali pengukuran dengan interval 12-15 minggu pada tahun 2017-2018. Subyek ASN pemerintah pusat n= 102 , faktor risiko penyakit kardiovskuler yang diukur: IMT, tekanan darah, kolesterol, gula darah dan aktifitas fisik. Kebugaran kardiorespirasi dengan metode rockport. Hasil: Implementasi Germas dalam interval 12-15 minggu, rerata VO2 maks meningkat 0.75 2.65 ml/kg/menit dan prevalensi pekerja yang bugar meningkat 6.9 menjadi 86.3 . Umur 40 ndash;59 tahun 3,44 kali berisiko tidak meningkat kebugaran kardiorespirasinya dibandingkan usia 20 ndash; 39 tahun p 0.04, IK 95 1.00 ndash; 11.84 , lama kerja memiliki hubungan bermakna terhadap peningkatan kebugaran p 0.05 . Indeks massa tubuh memiliki korelasi bermakna terhadap perubahan VO2 maks p=0.02, r -0.21 . Regresi linear diperoleh umur dan indeks massa tubuh sebagai faktor prediksi VO2 maks. Kesimpulan: Observasi selama 12-15 minggu implementasi Program Germas belum efektif meningkatkan kebugaran kardiorespirasi. Diperlukan kesadaran diri, edukasi dan pemantauan individu serta waktu observasi yang lebih lama untuk menilai efektifitas.

Cardiovascular Disease Risk Factors to Cardiorespiratory Fitness Changes in Community Healthy Movement Programme GERMAS Abstract Background Low cardiorespiratory fitness CRF level associated to cardiovascular CVD risk factors such as obesity, hypercholesterolemia, diabetes mellitus type 2 and hypertension. Generally, office workers have light physical effort to work and tend to be a sedentary physical activity behavior that is also risk factors of cardiovascular disease. This study aims to identify correlation of CVD risk factors changes CRF level in 12 15 weeks among community healthy movement programme GERMAS . Methods Comparative cross sectional study of double examination on year 2017 2018, baseline and second data have 12 15 weeks intervals. Subject are government office workers n 102 , CVD risk factors determined BMI, blood pressure, cholesterol level, blood glucose and physical activity. CRF examined by Rockport methods. Results average of VO2 max was increased 0.75 2.65 ml kg minute and CRF level prevalence was increased 6.9 after 12 ndash 15 weeks. Age 40 59 years has 3.44 times to not improved on increasing CRF than age 20 39 years p 0.04, CI95 1.00 11.84 , Duration of work has significant association to CRF changes p 0.05 . BMI have significant correlation to VO2 max p 0.02, r 0.21 . Linear regression shown age and body mass index as a predictors for VO2 max. Conclusion Based on 12 15 weeks observation, community healthy movement programme GERMAS implementation was not optimal to increased cardiorespiratory fitness. It is need self awareness, individual education and monitoring also has to be a longer observation. "
2018
T55539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggun Rizki Nurhani
"Latar Belakang. Industri sulam tapis merupakan industri informal khas Provinsi Lampung dengan proses kerjanya dilakukan secara tradisional yang membutuhkan ketelitian tinggi dan waktu lama 1-3 bulan . Proses menyulam dilakukan dengan posisi duduk tanpa sandaran punggung, sandaran lengan dan leher menunduk. Proses tersebut dilakukan dalam waktu lama sekitar 4-6 jam per hari sehingga mengakibatkan keluhan ketidaknyamanan pada bahu. Penelitian ini merancang kursi meja sulam kain tapis dengan pendekatan ergonomi agar tercapai postur kerja yang ideal, sehingga dapat mengurangi ketidaknyamanan bahu pada pekerja perempuan sulam tapis di Bandar Lampung.Metode. Desain eksperimen one group pre-post test dengan intervensi kursi meja sulam tapis selama 2 dua hari dalam 6 jam kerja/hari. Metode pengambilan data dengan cluster sampling n=22 di 2 industri tapis Bandar Lampung pada bulan Mei-Juni 2018.Hasil. Rerata skor VAS ketidaknyamanan bahu sebelum intervensi sebesar 5.48 0.64, sedangkan skor VAS selama 2 hari intervensi adalah 0.77 0.21. Penurunan skor VAS pra dan post intervensi sebesar 4,71 0,73 p< 0,001 .Kesimpulan. Terdapat penurunan rerata skala VAS ketidaknyamanan bahu yang bermakna antara pra dan post intervensi kursi meja sulam tapis selama 2 hari.
Background Tapis weaving is an informal sector industrial Lampung Province with a traditional method which need a high accuracy in a work process. It is need 1 ndash 3 months for made every sheet of tapis weaving. Weaving process doing by sitting without arm and back rest and bowing position. The duration for working is about 4 6 hours per day which caused a shoulder discomfort symptom. This study was to designed chair ndash table for tapis weaving by the ergonomic approach, aiming to reduce shoulder discomfort among female tapis weaving workers at Bandar Lampung.Methods One group pre post test examination design, intervention using chair table tapis weaving for 2 days in 6 hours day. Cluster sampling method data n 22 from 2 industrial sectors of tapis weaving in May ndash June 2018.Results Pre intervention mean of Visual Analog Scale VAS score for shoulder discomfort is 5.48 0.64, and mean post intervention is 0.77 0.21. Means of VAS score decreased 4,71 0,73 p"
2018
T55529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuriah
"Latar Belakang. Bising adalah bahaya potensial (hazard) yang dapat menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising. Adanya peningkatan ambang dengar pada pekerja dengan pajanan bising yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan NIHL. Kejadian NIHL yang semakin meningkat merupakan salah satu masalah pada pekerja tambang PT X. Tujuan penelitian adalah mengetahui tren audiometri dan prevalensi NIHL, mengetahui perbedaan NAD akibat pajanan bising tinggi dan rendah, mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising di PT. X tahun 2012-2016. Metode. Penelitian dengan desain observasional analitik dengan kohort retrospektif di UBP Nikel PT X pada Bulan Desember 2017, dengan cara pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder MCU pekerja yang sudah dilakukan pemeriksaan audiometri, data baseline 2011, data annual dari tahun 2012 sampai dengan 2016, dan analisis data dilakukan dengan program statistik SPS Statistics 20.0. Hasil. Prevalensi kejadian NIHL sebesar 15,97% tahun 2012 dan mencapai 39,54% pada tahun 2016. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Pada penelitian diketahui bahwa faktor usia memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL usia ≥40 tahun sebanyak 47,21% (p 0,000, IK 1,33-1,87), responden dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko mengalami NIHL 1,58 kali lebih besar dibandingkan kelompok usia <40 tahun. Masa kerja ≥10 tahun sebanyak 40,15% memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL (IK 1,51-1,85) dan memiliki risiko mengalami NIHL 1,67 kali lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja <10 tahun. Kriteria STS yang positif (90,91%) dengan (p 0,000) signifikan menunjukkan terjadinya NIHL. Kesimpulan. Tren Audiometri dan prevalensi NIHL terlihat kecenderungan meningkat dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Hasil ini menunjukkan tren kecenderungan meningkat terjadinya kejadian (prevalensi) NIHL di PT X. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Faktor usia, masa kerja, kriteria STS positif memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL. Kata Kunci. gangguan pendengaran akibat pajanan bising (noise induced hearing loss); pekerja tambang; prevalensi; risiko kebisingan; tren audiometri.

Background. High-volume noise is a potential hazard which may cause Noise Induced Hearing Loss (NIHL) among nickel mine workers who are exposed to noise. The increase of hearing threshold in workers with chronic exposure to high-volume noise may cause NIHL. The increasing prevalence of NIHL is a problem for nickel mine workers of PT X. The objective of this study is to identify the audiometry trend and NIHL prevalence among mine workers who are exposed to high-volume noise, to investigated correlation of noise level exposure and the others that causes NIHL, to know how difference hearing treshold value on the workers worked with noise level <85 dB and ≥85 dB since 2012 until 2016. Method. This study used an analytical observational design with retrospective cohort at UBP Nikel PT X in December 2017, with the method of obtaining samples by total sampling. This study was conducted by collecting secondary medical check-up data of workers who have undergone audiometry examinations, baseline data from 2011, annual data from 2012 until 2016, and data analysis was done using SPSS program version 20.0 Results. The prevalence of NIHL was shown starting from 15,97% in 2012, and the prevalence reached 39,54% in 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. In this study it was discovered that there were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB during 2012-2016. It was found that age had a significant association with NIHL prevalence, respondents aged >40 years old as much as 47,21% (p 0,000, 95% CI 1,33-1,87); respondents aged >40 years old had 1,58 times higher risks to develop NIHL than the age group <40 years old. Respondents with the period of work ≥10 years as much as 40,2% (IK 1,511,85) had a significant association with NIHL prevalence. They had 1,67 times higher risks to develop NIHL than period of work <10 years. It was found that Positive STS Criteria (90,91%) had a significant association with NIHL prevalence (p 0,000). Conclusion. The NIHL prevalence and the audiometry trend showed a tendency to increase from 2012 until 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. There were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016. The factor of age and period of work had a significant association with NIHL It was found that Positive STS Criteria had a significant association with NIHL prevalence . Keywords. audiometry trend; mine workers; noise induced hearing loss; noise level risk; prevalence."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Kartikawati
"Latar belakang dan Tujuan: Bajaj sebagai salah satu alat transportasi rakyat yang dapat menimbulkan getaran. Getaran yang mengenai tubuh dapat menimbulkan gangguan, antara lain nyeri bahu. Kelainan tersebut dapat terjadi akibat gangguan pada neuromuskular, vaskuler, darah, tulang dan sistem lainnya. Pajanan getaran yang terjadi terus menerus dapat menimbulkan gangguan muskuloskeletal pada leher, bahu dan lengan atas. Gangguan muskuloskeletal ini merupakan salah satu gejala dari pajanan getaran yang terbanyak, yaitu 17-42%.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dilakukan di KDK FKUI Kel. Kayu Putih, Jakarta Timur. Pada November 2008- Januari 2009. Pengambilan sampel berdasarkan total sampling. Pengumpulan data dengan anarnnesa menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan getaran pada bajaj. Variabel yang diteliti adalah Umur, pendidikan, merokok, usia bajaj, perawatan kendaraan, lama kerja per hari, penggunaan alat peredam di tangan kanan, bokong dan kaki kanan, alat pelindung diri. Indeks Massa Tubuh, tekanan darah, sudut antara lengan atas dan batang tubuh (sudut ketiak), Tingkat akselerasi getar pada tangan kanan, bokong dan kaki kanan. Populasi bajaj di Kel.Kayuputih seratus lima puluhan.
Hasil Penelitian: prevalensi pengemudi bajaj yang mengalami nyeri bahu kanan akibat getaran adalah 63.9%. Faktor paling dominan berhubungan dengan nyeri bahu kanan adalah faktor merokok. Memiliki risiko 17.06 kali terjadinya nyeri bahu dibandingkan tidak merokok dan WBV bokong >0.4 m/det2 (p=0.000) memiliki risiko 11.60 kali terjadinya nyeri bahu dibandingkan WBV bokong <0.4 m/det2.
Kesimpulan dan Saran: Faktor yang paling berhubungan dengan nyeri bahu kanan adalah faktor merokok, faktor tingkat akselerasi getar pada bokong. Perlu dibuat modifikasi kendaraan pengganti yang aman dan terjangkauoleh pengemudi bajaj sehingga mereka secara sukarela beralih profesi menjadi kendaraan yang lebih aman."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T31655
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leli Hesti
"Prevalensi Anemia pada Pekcrja Pria serta faktor-faktor yang berhubungan, di Perusahaan X, 2009 Program Studi : Kedokteran Kerja-Pasca Sarjana Latar Belakang Pekerja pada perusahaan migas dalam lingkungan keijanya sehari-hari banyak berhubungan dengan bahan kimia hidrokarbon aromatik terutama BTX (benzena, toluene, xylene). Adanya pajanan benzcna secara kronis dapat menyebabkan gangguan kesehatan tennasuk anemia. Oleh karena itu pcrlu diketahui prevalensi anemia pada pckeija ini sena melihat pula faktor-faktor apa saja ikut yang mempengaruhinya.
Metodologi Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang. Responden diambil secara total sanqyling yaitu sebanyak 121 responden. Setiap responden dilakukan anamncsis, pemeriksaan darah tcpi dan pemeriksaan apusan darah untuk menentukan jenis anemia yang terjadi.
Diagnosis Anemia berdasarkan kadar hemoglobin dan hitung eritrosit. Semua pemeriksaan dilakukan di sekitar tempat kerja responden dan berlangsung selama kurang lehih 20 menit untuk setiap responden. Pengambilan data dilakukan selama 14 hari mulai tanggal 28 Februaxi 2009 sampai dengan tanggal 7 Maret 2009. Analisis data dilakukan dcngan metode uji statistik kai kuadrat untuk melihat adanya hubungan antara berbagai faktor risiko dengan variabel anemia.
Hasil dan kesimpulan Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa 5(4,1%) orang dengan anemia berdasarkan kadar hemoglobin dan hitung eritrosit. Pajanan benzena yang menjadi faktor risiko dari pckerjaan, diukur bcrdasarkan nilai exposure raling yang berasal dari beberapa indeks pajanan diantaranya perbandingan kadar hasil pengukuran dengan NAB, jenis° APD, perawatan, penggunaan dan durasi pajanan, diperhitungkan untuk menentukan peringkat pajanan benzena terhadap pekcrja. Hasil penelitian ini menunjukkan, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan benzena dengan anemia.
Pada penelitian ini ditemukan sebagian besar rcsponden terpajan benzcna. Dari hasil monitoring lingkungan kerja ditemukan pajanan benzena dalam dosis rendah (0 ppm-19,47 ppm), dan pada perhitungan exposure rating benzena ditemukan nilai rendah (0~24,2). Berdasarkan analisa bivariat kebiasaan minum teh yang menunjukkan hubungan bermakna dcngan anemia (p = 0,04; OR = 015; 95% CI = 0,02-0,9), ia menjadi faktor protektif (Odds ratio = 0,15). Hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan terjadinya anemia.

Oil company workers exposed to aromatic hydrocarbon chemical agents especially BTX (benzena, toluene, xylene) in their work environment. Chronic Benzene exposure can cause several health disorders, as well as anemia. Therefore, it is necessary to know the prevalence of anemia in these workers as well as its related factors.
Method This study used cross sectional design. Sample selection used total population technique which used 121 respondents. Every respondent was conducted interview, laboratory examination such as haematological count and blood smear examination to confirm the type of anemia.
Anemia was diagnosed from its hemoglobin concentration and erythrocyte count. The study was conducted near the workers workplace and it took time approximately 20 minutes each. It took place for 14 days nom Fenway 28"?, 2009 ami March 1"', 2009. Chi square analysis was used to evaluate the association between anemia and its related factors.
Results, conclusion and suggestion From this study, there were 5 (4,1%) workers suffered from anemia according to hemoglobin concentration and erythrocyte count Benzene exposure that was a risk factor in their jobs, was measured according to exposure rating value that came from some exposure indexes such as ratio between measuring of benzena in workplace and treshold limit value of benzena , type of PPE, maintenance, usage and exposure duration, was count to determine exposure rating index.
This study showed that there were no significant association between benzene exposure and anemia. This study found that there were most of respondents exposed to benzene. Environmental monitoring found benzene exposure in low concentration (O ppm - l9,47 ppm), and benzene exposure rating calculation found it in low value (0 - 24,2),. According to bivariate analysis the worker who have tea consumption showed a signilicant association with anemia (p = 0.04; OR = 0.l5; 95% CI = 0.02-0.9), in other hand this variable became a protectif factor (Odds ratio = 0,l5). Multivariate analysis showed that all variable studied did not show a significant association with anemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T29147
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Susan Margarita
"Latar Belakang: Lahan di kota"kota besar yang mulai berkurang membuat kantor yang menempati gedung-gedung bertingkat semakin banyak. Pekelja ataupun pengunjung di gedung tersebut dapat mengalami sindroma gedung sakit (SGS)/Sick Building Syndrome yang diakibatkan gangguan sirkulasi udara di dalam gedung itu (indoor air quality). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi sindroma gedung sakit pada karyawan PT PI dan PT Ml serta menge!abui hubungan faktor-faktor risiko lain terhadap SGS.
Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang banya menghubungkan kejadian SGS dengan kadar CO2, kelembaban. Pengambilan data secara kuestioner dan wawancara,
Hasil: Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang banyamenghubungkan kejadlan SGS dengan kadar CO2, kelembaban. Pengembilan data secara kuesioner dan wawancara.

Background: Sick Building Syndrome was several symptom which one of the risk is indoor air quality. This Research use to know prevalence sick building syndrome at administration worker in PT PI and PT MI and the relation another risk (age, gender, length of work, education, smoker habits, spacity place, management ith SBS.
Method: The Research method is cross sectional, which to see correlation between SBS and indoor air quality like C02, humidity, temperature. We investigation PT PI 32 respondents, and PT MI I 03 respondent.
Result: The result show there are more risk in PT PI show 43,8 % devide PT Ml showed 24,3 %, (OR= 0,412; 95%CI : 0,179..0,946). Age, gender, education, smoking habits, jobs, length work, humidity, C02, temperature and spacity place don't have any significant with SBS. The health influence was fatigue (64,10%), myalgia(58,97%), backpain (56,41%), diz7Jness (51,28%), and sleepy(51,28%).
Conclusion: In this research , we dont found any relation between age. gender, education, smoking habits, jobs, length work, humidity, C02, temperature and spacity place with SBS, but location have any means with SBS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29173
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zein Renaldy
"Latar Belakang : Penyakit akibat panas masih menjadi masalah umum di era globalisasi seiring dengan pembangunan di sektor industri. Di dalam proses produksi pembuatan keramik yang memerlukan pembakaran dengan suhu tinggi hingga mencapai 2000°C adalah sumber panas bagi para pekerja Hilangnya cairan melalui proses evaporasi akan berakibat terjadinya dehidrasi yang kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya heat cramp.
Metode: Metode penelitian cross sectional digunakan untuk mengevaluasi insiden hear cramp Pengumpulan data dilakukan melalui distribusi kuesioner, pemeriksaan suhu tubuh dan pengumpulan sampel urin. Pengukuran berat jenis urin menggunakan refreactometer ATAGO Uricon NE. Dinyatakan status dehidrasi apabila nilai berat jenis urin >l,030. Pengukuran suhu tubuh setelah bekenja menggtmakan temnometer badan. Apabila suhu tubuh Z 38° dapat dipertimbangkan sebagai faktor risiko terjadinya heat cramp. Suhu lingklmgan kerja diukur dengan menggunakan WBGT (Wet Bulb Global Temperature) QUESTemp°36 setiap 30 menit pada titik yang telah ditentukan pada waktu yang berbeda.
Hasil Penelitian: Insiden terjadinya kram otot ditemukan pada 79 dari total 179 responden (44.I3%). Data menunjukkan bahwa ll responden (6.15%) mempunyai nilai BJ urine >l.030 dan 4 responden (2.23%) dilaporkan dengan suhu tubuh > 38°C setelah 4 jam bekenja. Nilai rata-rata /mean pengukuran suhu dengan WBGT ) > TLV ditemukan pada divisi Glaze (30.25°C; SD =2.82) dan pada divisi Firing (33.25°C; SD=3.25). Dari 39 responden yang bekexja di lokasi kerja dengan suhu > 28°C; 28 respondcn dilaporkan mengeluh kram. Dari 30 responden yang memiliki lama kelja < 1 tahun; 8 dilaporkan mengeluh kmm. Analisa data multivariat menunjukkan bahwa risiko terkena heat cramp lebih rendah pada masa kerja >1 tahun (P=0.04; RR=0.l39) akan tetapi lebih tinggi pada suhu kelja panas \VBGTi >28°C (P=0.0I; RR=3.39).
Kesimpulau: Tekanan panas dan masa kerja berhubungan dengan insiden heat cramp.

Background: Heat stress is still a common health problem in this globalization era throughout development in industrial sector. Production process on manufacture machine which using fumace until 2000°C to make ceramic products, is the main source of heat stress for workers. Water lost due to evaporation process will lead to dehydration state, could make tightening of the muscle. This will increase incidence of heat cramps.
Method: Cross sectional study was conducted to evaluate incidence of heat cramp. Data was collected based on distribute Questionnaire, Body temperature and mine sample. Refractometer ATAGO Uricon NE. was used to access urine specific gravity (USG) before and after work; state of dehydration is deiine by USG score >l,030. Body temperature after work was measured by body thermometer; should temperature hit 238°C, will consider as a risk factor for heat crarnp. Working environment condition was measured with Wet Bulb Global Temperature (WBGT) QUESTemp°36 every 30 minutes each spot in different time.
Result: Incidence of CIZIIII5 was found on 79 from total 179 respondents (44.l3%). Data showed that ll respondents (6.15%) have Urine Specilic Gravitation >l.030 and only 4 respondents (2.23%) were reported have body temperature after work > 38°C. The mean score of heat measure in Glaze division (30.25°C; SD =2.82) and Firing division (33.25°C; SD=3.25) >TLV. F rom total 39 respondents whom work in environment with temperature > 38°C; 28 respondents among them had cramps problems. From 30 respondents whom have working experiences less than I year, only 8 reported have cramps. Multivariate analysis showed that possibility risk of having heat cramp is low by respondents with working period > 1 year (P=0.04; RR=0.l39) but high possibility whom work in heat stress environment, WBGTi > 28°C (P=0.0l; RR=3.39).
Conclusion: Working period and heat environment are associated with risk of having Heat cramp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32362
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyadi Aziz Rahmat
"ABSTRAK
Latar Belakang
Lingkungan pendidikan di fakultas kedokteran dapat menjadi beban psikis bagi
mahasiswa karena penuh dengan stresor. Besarnya pengaruh stresor tersebut
dibuktikan dengan tingginya angka kejadian distres pada mahasiswa fakultas
kedokteran di seluruh dunia, sehingga diperlukan upaya untuk mengidentifikasi
sumbernya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan alat ukur untuk mengidentifikasi stresor
bagi mahasiswa pendidikan dokter tahap akademik.
Metode
Penelitian ini menggunakan teknik mixed methods (kualitatif dan kuantitatif),
studi Delphi untuk mengidentifikasi stresor dan desain potong lintang untuk uji
instrumen. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa tahap akademik Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) dengan populasi 995
orang. Sebanyak 58 mahasiswa dipilih secara stratified simple random sampling
untuk studi Delphi dan total sampling.untuk uji instrumen. Analisis menggunakan
program SPSS versi 17, uji reliabilitas dengan alpha Cronbach dan analisis faktor
dengan rotasi Oblimin.
Hasil
Di antara 90 stresor pada studi Delphi terseleksi 40 yang lolos uji instrumen.
Stresor dikelompokkan menjadi stresor akademis (18 butir), stresor personal (11
butir), stresor lingkungan belajar (6 butir), dan stresor lingkungan sosial (5 butir).
Instrumen Kuesioner Stresor Mahasiswa Pendidikan Dokter Tahap Akademik
(KSMPD-Akademik) yang dihasilkan memiliki nilai alpha Cronbach 0,911.
Masalah fasilitas pendidikan dan masalah akademis merupakan stresor yang
paling banyak dihadapi mahasiswa dan memiliki pengaruh paling besar.
Diskusi
Pada analisis faktor terdapat 43 butir yang memiliki nilai di bawah 0,3 pada
matriks Communalities. Sebanyak 7 butir lainnya memiliki korelasi yang rendah
terhadap seluruh butir karena nilai korelasi item-total di bawah 0,3 pada matriks
Item-Total Statistics. Butir yang terseleksi merupakan butir yang dapat mewakili
stresor bagi mahasiswa tahap akademik FK UISU. KSMPD-Akademik memiliki
reliabilitas yang baik. KSMPD-Akademik dikembangkan pada populasi
terjangkau, sehingga ada kemungkinan fakultas kedokteran lain memiliki stresor
yang berbeda. Mahasiswa FK UISU berpendapat bahwa pada pelaksanaan proses pembelajaran mahasiswa memerlukan fasilitas ruangan kelas dan laboratorium
yang lebih memadai.
Simpulan
KSMPD-Akademik mengukur tingkat kekerapan (frekuensi) dan tingkat pengaruh
stresor yang dihadapi mahasiswa pendidikan dokter tahap akademik. Instrumen
ini dapat dikembangkan dengan menggali stresor lain di institusi yang berbeda.

ABSTRACT
Background
Educational environment in medical school is very stressful that can cause
psychological problems. Many researches identified high incidence of distress
among medical students around the world. Early identification is necessary,
advisably since undergraduate (academic) medical course to prepare students
facing the clinical situation (workplace) with higher level of stress.
Purpose
To develop instrument to identify stressors for academic medical students.
Methods
A mixed methods study (qualitative and quantitative) using Delphi technique to
identify stressors and cross-sectional design to develop the instrument has been
conducted among 995 academic medical students in Faculty of Medicine, Islamic
University of Sumatera Utara (FM IUSU). Sample of 58 on Delphi study were
chosen by stratified simple random sampling and a total sampling methods on
instrument development. Data were analyzed using SPSS version 17 by reliability
test with Cronbach’s alpha and factor analysis with Oblimin rotation.
Result
About 40 of 90 items obtained from Delphi study fulfill the criteria as stressor
instrument and named as Stressor Questioner for Academic Medical Student
(Kuesioner Stresor Mahasiswa Pendidikan Dokter Tahap Akademik (KSMPDAkademik)).
They are grouped into academic stressors (18 items), personal
stressors (11 items), learning environment stressors (6 items), and social
environment stressors (5 items). KSMPD-Akademik reached 0.911 of Cronbach
alpha. Stressors encountered by the respondents mostly associated with
educational facilities and academic problems. These stressors are well
established as stressor that has the most impact.
Discussion
There were 43 inadequate items removed by factor analysis because the value
found was below 0.3 on Communalities matrix. Seven items were further removed
because the value found was below 0.3 of item-total correlation on Item-Total
Statistics. The items selected by factor analysis and reliability test could represent
the stressors faced by the academic medical student in FM IUSU. KSMPDAkademik
has good reliability. KSMPD-Akademik was developed from FM IUSU
population, with the possibility of having other stressor if applied to other medical school. Students in FM IUSU require more adequate classroom and laboratory
facilities in implementing the learning process.
Conclusion
KSMPD-Akademik could measure the frequency and the degree of influence
(impact) of potential stressors experienced by the academic medical students. This
instrument could be further developed by exploring other stressors in different
institutions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aynita Halim
"[ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan data riskesdas 2013, prevalensi batu saluran kemih di Indonesia adalah 0,6 persen. Batu saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor; lingkungan kerja panas dan BJ Urin. Sebagian pekerja dapur RS X Tangerang mengeluh lingkungan kerja yang panas berlebihan sehingga berkeringat dan data medical check up tahun 2014 tidak ada pemeriksaan urin sehingga gambaran status kesehatan pekerja akibat lingkungan panas tidak dapat diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja panas dengan kristalisasi urin pada pekerja dapur RS X Tangerang.
Metode: Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional. Pengumpulan data dilakukan di RS X Tangerang dari bulan Januari sampai Maret 2015, dengan menggunakan kuesioner, wawancara, pemeriksaan tanda vital responden sebelum dan sesudah kerja, pemeriksaan urinalisa sebelum dan sesudah kerja serta pengukuran suhu lingkungan kerja dengan menggunakan alat area heat stress monitor Quest Stemp 36 dan perhitungannya berdasarkan Indeks Suhu Bola Basah. Berdasarkan metode total populasi dan setelah mempertimbangkan faktor eklusi dan inklusi didapatkan sampel sebanyak 105 orang.
Hasil: Prevalensi kristal urin ditemukan sebesar 6,7% pada pemeriksaan urin sebelum kerja dan 10,5% sesudah kerja. Lingkungan kerja panas tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja (p=0,316). BJ urin mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin (p<0,05), dimana risiko untuk terjadinya kristalisasi urin meningkat 1,8 kali sesudah kerja. Faktor risiko lain seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, Indeks Masa Tubuh, kebiasaan makan dan minum, masa kerja, lama kerja, dan jenis pekerjaan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05).
Kesimpulan: Lingkungan kerja panas dan faktor risiko lainnya tidak berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja di bagian dapur RS X Tangerang. BJ Urin responden berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin baik pada pemeriksaan urin sebelum dan sesudah kerja, Ini berarti sebelum kerja responden sudah dehidrasi, mungkin karena kurang minum atau paparan panas sebelumnya. Ditambah lingkungan kerja panas kepekatan urin meningkat, karenanya dianjurkan pekerja mengkonsumsi cairan minimal dua liter perhari.

ABSTRACT
Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang
Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples.
Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05).
Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday., Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang
Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples.
Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05).
Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>