Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adi Wijaya
"Latar belakang
Depresi sering timbul pada pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, namun masih sedikit perhatian praktisi kesehatan terhadap depresi. Depresi dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Kualitas hidup yang rendah akan meningkatkan angka rawat inap dan mortalitas pada pasien sakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis
Tujuan
Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien sakit ginjal yang menjalani hemodialisis kronik dan mengalami depresi dan mengetahui gambaran karakteristik sosio-demografik pasien sakit ginjal yang menjalani hemodialisis kronik dan mengalami depresi.
Metode
Penelitian deskriptif studi potong lintang pada pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM Jakarta dan RS PGI Cikini Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Pada Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan uji sating :dengan menggunakan kuesioner BDI. Subyek digolongkan menjadi 2 golongan yaitu depresi dan tidak depresi, kemudian dilakukan penilaian kualitas hidupnya dan dibandingkan. Dilakukan juga uji Kai-Kuadrat dan tiji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan kualitas hidup.
Hasil
Subyek penelitian terdiri dari 27 laki-laki (44.3%) dan 34 wanita (55.7%). Usia rata-rata 44.4 ± 11.2 tahun. Nilai rerata Iamanya pasien menjalani hemodialisis 27.6 bulan (SB 17.9). Skor rerata kualitas hidup untuk komponen kesehatan fisik sebesar 52.7 (SB 18.8 ; IK 95% 48.0 - 57.4), komponen kesehatan mental sebesar 55.2 (SB 18.2; IK 95% 50.6 --59.8) dan tingkat kesehatan secara umum 57.5 (SB 18.4; IK 95% 52.8 -- 62.1). angka prevalensi depresi pada pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebesar 31.1% dengan skor BDI rerata 20.6. Kualitas hidup pasien depresi mengalami penurunan dibandingkan dengan pasien tanpa depresi. Depresi berpengaruh secara bermakna terhadap kualitas hidup pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Semakin tinggi derajat depresi pasien makin buruk kualitas hidupnya. Penghasilan merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap depresi (OR 6,90 ; p = 0,008) diikuti oleh tingkat pendidikan (OR 5,87 ; p = 0,016).
Kesimpulan
Prevalensi depresi pada pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebesar 31.1%. Sebagian besar komponen kualitas hidup pasien yang mengalami depresi lebih rendah dibandingkan dengan pasien sakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis tanpa mengalami depresi.

Background
Depression is frequently found in patients with chronic kidney disease (CKD) on hemodialysis (HD) treatment. Depression may influence quality of life. Low quality of life could increase rate of hospitalization and mortality in patients with CKD on HD treatment.
Objective
To describe quality of life in patients with CKD on HD treatment and have depression. To investigate sociodemographie characteristic of patients with CKD on HD treatment and having depression.
Methods
A descriptive study was conducted in patients with CKD on HD treatment in I-ID unit of RSCM and Renal unit in RS PG1 Cikini who fulfilled inclusion criteria. Subject who had fulfilled inclusion criteria was screened for depression by using SDI questionnaire. Subjects with BDI score > 10 was interviewed to confirm diagnosis of depression based on DSM-IV. Subjects were categorized into 2 groups. One group consisted of subjects who had depression and the others who had no depression. Further, we evaluated the quality of life of both groups and did the comparison between them,
Results
The result showed that the prevalence of depression in patients with CKD on l-ID treatment was 31.1%. In details, severe depression was found 8.2%; moderate depression 9.8% and mild depression was 13.9% among patients with CKD on HD treatment with mean BDI score was 20.6. After we have done Mann-Whitney Rank test, the' study showed decreased quality of life in patients with CKD on HD treatment who had depression compared those who had no depression. Depression can influence the quality of life significantly. More higher depression level more lower quality of life the patients. After bivariat analysis from several risk factors such as gender, age, marital status, education level, occupation, income, funding source of HD treatment, we found that income was the most significant factor which influenced depression (OR 6.90; p=0.O8) on patients followed by education level (OR 5.87; p-0.016).
Conclusion
The prevalence of depression among patients with CKD on HD treatment was 31.1%. Most of the quality of life components in patients with CKD on HD treatment who had depression were low compare those who had no depression."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bettia M. Bermawi
"Untuk kepentingan klinik, pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah petanda paling penting dalam evaluasi fungsi ginjal pada penderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Saat ini baku emas pemeriksaan LFG yang paling tepat adalah bersihan inulin tetapi tidak tersedia di Indonesia. Pemeriksaan yang setara dan tersedia di RSCM, adalah pemeriksaan renogram 99 Tc DTPA. Uji bersihan kreatinin yang dianggap mendekati nilai LFG banyak dipengaruhi kesalahan pengumpulan urin. Oleh karena itu untuk pelaksanaan rutin dipakai klasifikasi dan cara estimasi LFG menurut rumus bersihan kreatinin Cockroft & Gault yang direkomendasi oleh K/DOQI, dengan atau tanpa koreksi luas permukaan badan berdasarkan nilai kreatinin serum. Pemeriksaan kadar serum Cystatin C adalah parameter baru yang dikatakan lebih sensitif dibandingkan bersihan kreatinin Cockroft & Gault.
Tujuan penelitian adalah mendapatkan pemeriksaan penurunan fungsi ginjal yang lebih baik dibandingkan bersihan kreatinin. Jenis penelitian uji diagnostik. Tiga puluh orang kelompok PGK stage 1,2 dan 3 diperiksa untuk mendeteksi penurunan fungsi ginjal dini. Setiap subyek diperiksa kadar serum Cystatin C dengan cara imunonefelometri, kadar kreatinin serum dengan metode Jaffe kinetik, perhitungan estimasi LFG dengan bersihan kreatinin Cockroft & Gault modifikasi Coresh (CGC), dan 99TcDTPA renogram sebagai baku emas.
Hasil penelitian didapatkan hasil uji bersihan kreatinin CGC berada dalam rentang 39- 90 mL/menit/1,73m2 dengan median 72,1 mL/menit/1,73m2, hasil uji kadar Cystatin C serum 0,48 - 3.02 mg/L dengan median 0,81 mg/L dan rentang LFG DTPA 75 -126 Ml/menit/1,73m2 dengan median 118,0 mL/menit/1,73m2. Sensitifitas dan spesifisitas untuk uji Cystatin C adalah 100% dan 57,1% sedangkan untuk bersihan kreatinin CGC adalah 100% dan 38,5%, sehingga kedua uji dapat digunakan sebagai parameter penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan hasil nilai-nilai spesifisitas, prediksi negatif, akurasi diagnostik dan Iuas daerah di bawah kurva ROC dari kadar Cystatin C lebih tinggi dari CGC, maka Cystatin C lebih tepat digunakan untuk penetapan adanya kerusakan ginjal dengan penurunan LFG.

For clinical purpose, glomerular filtration rate (GFR) is the most important marker for evaluation of kidney function in Chronic Kidney Disease (CKD). At present, the gold standard for accurate GFR assessment is inulin clearance which is not available in Indonesia. The alternative examination is renogram 99mTc DTPA. Creatinine clearance test which is assumed to be as close to the GFR value still have many error in urine collection. In clinical practice, GFR estimated from serum creatinine by Cockroft & Gault equation is recommended by KIDOQI and widely accepted as a simple measurement of GFR. Serum Cystatin C is a new parameter which is more sensitive than Cockroft & Gault creatinine clearance.
The aim of this study is to get a method to detect early renal dysfunction better than creatinine clearance. Type of study is diagnostic test. We assessed the serum Cystatin C to detect early renal dysfunction in 30 patients with GFR stage 1,2 and 3, classified by KJDOQI staging. Measurements of the following were performed in each subject: serum Cystatin C immunonephelometric assay, serum creatinine by Jaffe kinetic method, GFR estimated from serum creatinine by Cockroft & Gault equation modified by Coresh (CGC), and 99mTcDTPA renogram as gold standard.
Results were CGC ranged from 39 to 120 mUmin11.73m2, median 72.1 mL/min/1.73m2. serum Cystatin C ranged from 0.48 to 3.02 mg/L, median 0.81 mg/L and DTPA renogram ranged from 75 to 126 ML/min/1.73m2, median 118.0 mL/min/1.73m2. The sensitivity and specificity of cystatin C in detecting early CKO was calculated to be 100% and 57.1% respectively; compared to CGC were 100% and 38.5%, which allow the tests as a screening test and area under ROC curve of C. Based on the specificity and the negative predictive value, diagnostic accuracy values and area under ROC curve of Cystatin C were superior to CGC, Cystatin C is more reliable measure to determine early renal dysfunction with LFG decr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21252
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Marihot
"Latar Belakang: Biaya hemodialisis (HD) di Indonesia dirasakan cukup mahal. Bahkan di negara negara maju meskipun dibiayai oleh asuransi kesehatan, masih dianggap cukup mahal. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemakaian Dialiser Proses Ulang (DPU) telah dilakukan di banyak negara. Selain dapat menekan biaya HD, pemakaian DPU diketahui juga dapat mengurangi gejala klinik dan meningkatkan biokompatibilitas dialiser. Namun demikian pemakaian DPU dapat berisiko terjadinya kontaminasi oleh bahan sterilan, bakteri / virus, kerusakan membran dialiser, dan penurunan volume kompartemen darah dialiser yang menyebabkan penurunan bersihan urea (Urea Reduction Ratio/URR).
Penetapan Masalah Penelitian: RSUPN-CM telah memakai DPU, tetapi sampai saat ini masih belum ada data yang pasti sampai berapa kali suatu DPU masih dapat dipakai ulang. Untuk itu ingin diketahui sampai berapa kali DPU masih dapat dipakai, berdasarkan kriteria volume kompartemen darah dan penampilan fisik dialiser. Selain itu ingin diketahui juga hasil bersihan urea (URR) dan adakah efek samping pada pemakaian DPU.
Metode Penelitian: Penelitian dilakukan secara quasi experiment pada 20 pasien gagal ginjal tahap akhir, yang menjalani HD kronik memakai DPU, di unit HD RSUPN-CM. Dilakukan pengukuran volume kompartemen darah dan peniaian fisik dialiser pada setiap proses pengulangan. Juga diperiksa kadar ureum serum dan URR pra dan pasca HD awal, dengan DPU pemakaian ke 5,7,9. Diteliti adakah efek samping yang timbul karena pemakaian DPU. Volume kompartemen darah dialiser yang masih memenuhi syarat pemakaian adalah 80% volume awal. URR yang memenuhi target dialisis adalah 80%. Data dikumpulkan,diolah dan disajikan dalam bentuk teks, tabel dan gambar, secara deskriptif.
Hasil Penelitian: Subyek penelitian sebanyak 20 prang, terdiri dari 12 orang laki-laki (60%) dan 8 orang perempuan (40%). Rerata umur subyek 51 tahun. Penyebab gagal ginjal terbanyak adalah Glomerulonefritis sebanyak 10 orang (50%) dan yang tersedikit adalah Nefropati Diabetik sebanyak 1 orang (5%). Volume kompartemen darah pada pemakaian DPU masih diatas 80%. Tidak ditemukan perubahan URR pada pemakaian ulang ke 5,7,9. URR HD awal,pemakaian DPU ke 5,7,9 seluruhnya dibawah 80% Rerata jumlah pemakaian DPU adalah 7 kali, pemakaian yang tertinggi 9 kali dan yang terendah 3 kali.Penyebab penghentian pemakaian DPU adalah perubahan fisik dialiser sebanyak 12 dialiser,subyek tidak bersedia melanjutkan karena sudah 9 kali pemakaian ulang sebanyak 7 prang, dialiser bocor sebanyak 1 dialiser. Tidak ditemukan efek samping pada pemakaian DPU.
Simpulan: Rerata pemakaian DPU di RSUPN-CM yang masih dapat dipertanggung jawabkan dari segi kiinik adalah sebanyak 7 kali. Rerata pasti yang dapat dipertanggung jawabkan secara statistik masih belum dapat dijawab.Volume kompartemen darah DPU masih di atas 80% volume awal. Tidak ditemukan perubahan URR pada pemakaian DPU sampai pemakaian ulang 9 kali. Penyebab penghentian pemakaian DPU yang terbanyak adalah perubahan fisik dialiser, karena terbentuknya bekuan darah pada dialiser. Tidak ditemukan efek samping pada pemakaian DPU di RSUPN-CM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21410
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Tri Kusuma Dewi
"Latar belakang : Inflamasi dan stres oksidatif merupakan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Pasien hemodialisis kronis akan mengalami peningkatan kadar hs-CRP.hs-CRP merupakan marker inflamasi yang telah terbukti pada beberapa penelitian bermanfaat dalam memprediksi cardiovascular event. Pemberian N-Acetylcysteine(NAC)oral dapat digunakan sebagai strategi untuk menurunkan proses inflamasi yaitu disfungsi endotel dan stress oksidatif yang berperan pada atherosclerosis pada pasien hemodialisis sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena penyakit kardiovaskuler. Tujuan penelitian : Mengetahui pengaruh pemberian N-Acetylcysteine oral terhadap penurunan kadar hs-CRP pada pasien hemodialisis kronis. Metode : Penelitian eksperimen dengan Randomized Double Blind Controlled Trial yang dilakukan selama periode Agustus sampai Oktober 2013 di unit hemodialisis RS.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek penelitian ini adalah pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Sebanyak 87 subjek direkrut, hanya 65 subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel. Sampel dirandomisasi menjadi dua kelompok, 33 subjek kelompok intervensi yang mendapatkan NAC 2x600 mg per hari dan 32 subjek kelompok kontrol yang menerima placebo 2x1 per hari selama dua bulan (60 hari). Terdapat 5 subjek yang drop out, sehingga hanya 60 subjek yang dapat menyelesaikan penelitian 30 subjek dalam kelompok NAC dan 30 subjek placebo. hs-CRP diukur dalam tiga interval waktu, sebelum (baseline), setelah bulan pertama (post 1), dan setelah bulan kedua (post 2). Hasil : Perlakuan dengan NAC oral selama 60 hari tidak memberikan perbedaan dibanding dengan plasebo. Analisis statistik dengan Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada penurunan kadar hs-CRP yang signifikan diantara kedua kelompok dengan p value Δ post1-baseline, Δ post2-baseline, and Δ post2-post1 kelompok NAC disbanding kelompok placebo secara berurutan (p=0.796, p=0.379, p=0.712). Kami juga mencoba membandingkan penurunan kadar hs-CRP secara statistik pada tiap kelompok untuk tiga interval pengukuran hs-CRP dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks hasilnya menunjukkan p value dari perbandingan kadar hs-CRP untuk masing-masing kelompok Baseline:Post1,Baseline:Post2,Post1:Post 2 (kelompok NAC vs kelompok plasebo) secara berurutan (0.821vs0.651; 0.845vs0.358; 0.905vs0.789).

Background: Inflammation and oxidative stress are the risk factor for cardiovascular disease in patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis will have elevated levels of hs-CRP. hs-CRP is a marker of inflammation that has been provenin several studies use fulto predict cardiovascular events. The administration of oral N-Acetylcysteine (NAC) can be used as a strategy lowering the in flammatory process which end o the lialdys function and oxidative stress play a role in a the rosclerosis for hemodialysis patients there fore reduces morbidity and mortalitydue to cardiovascular disease. Objective: To determine the effect of oral N-Acetylcysteine in lowering the levels of hs-CRPin chronic hemodialysis patients. Methods: Randomized Double Blind Controlled Trialexperimental study conducted during the period August to November 2013 in the hemodialysis unit of Cipto Mangun kusumo Hospital. The subjects were patients with stage 5 chronic kidney disease undergoing hemodialysis. Eighty seven subjects were recruited, but only 65 subjects matched for inclusion criteria as samples. The samples were randomized into two groups : intervention group 33 subjects who received NAC2x600 mg per day and control group of 32 subjects who received placebo, both groups consumed the medicine for two months (60 days). There were 5 subjects dropped out, so there search completed by the end of 60 subjects with 30 subjects in NAC groupand 30 subjects in the placebo group. The hs-CRP levels were measuredin 3 interval of time, before (baseline), the first month (post1), and second month (post2). Result: Treatment with oral NAC for 60 days did not give any difference compare to PB. Statistically analysis with Mann Whitney test showed that there is no significant decrease of hs-CRP levels between two groups with the p value of Δ post1-baseline, Δ post2-baseline, and Δ post2-post1 NAC group compare to plasebo group respectively (p=0.796, p=0.379, p=0.712). We also try to compare the decrease of hs-CRP levels statistically in each group for 3 interval of hs-CRP check with Signed Ranks Wilcoxon test. The result showed p value of hs-CRP levels comparison within each group for Baseline : Post1, Baseline :Post2,Post1:Post2 (NAC group vs plasebo group)respectively (0.821vs0.651; 0.845vs0.358; 0.905vs 0.789). Conclusion: The administration of oral NAChas not been shown lowering the levels of hs-CRPin chronic hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Sarwono
"Latar belakang : Inflamasi pada hemodialisis (HD) berhubungan dengan terjadinya kontak darah dengan membran dialisis, cairan dialisat, akses vaskuler dan infeksi. Peningkatan sitokin pro-inflamasi berperan penting terhadap terjadinya aterosklerosis selain itu inflamasi berakibat anoreksia dan kondisi hiperkatabolik yang menyebabkan malnutrisi. Keadaan ini disebut sebagai Sindrom Malnutrisi-Inflamasi-Aterosklerosis. Karakteristik HD di Indonesia berbeda dengan negara maju, perbedaan tersebut terkait penggunaan dialyzer pakai ulang dan tipe low-flux, belum menggunakan dialisat ultrapure dan dosis HD yang tidak adekuat.
Tujuan : Melihat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.
Metode Penelitian : Desain studi potong lintang pada pasien HD yang dalam keadaan stabil yang sudah menjalani HD antara 3 bulan sampai 5 tahun di RSUP Fatmawati. Jumlah subyek 60 orang yang dikumpulkan dalam kurun waktu Desember 2013 sampai dengan Februari 2014. Pemeriksaan hsCRP dan sTNFR-1 sebagai biomarker inflamasi, untuk menentukan status nutrisi menggunakan skor malnutrisi-inflamasi(Skor-MI) dan pemeriksaan USG doppler arteri Karotis untuk menentukan penebalan intima-media(CIMT). Analisis statistik dengan uji T dan uji Mann-Whitney.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan Skor-MI pada kelompok yang CIMT positif (aterosklerosis) memiliki nilai median lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang non aterosklerosis (7 vs 5). Sedangkan kadar sTNFR-1 memiliki nilai median CIMT positif (3.48) lebih rendah dibandingkan CIMT negatif (12,126 vs 11,657). Kadar hsCRP pada kelompok CIMT positif memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan CIMT yang negatif (3.48 vs 5.32). Dari ketiga variabel tersebut tidak ada beda rerata (p>0,05).
Kesimpulan : Tidak terdapat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.

Background: Inflammation in hemodialysis is associated with blood contact with dialysis membrane, dialysate solution, vascular access and infection. Increment of pro-inflammatory cytokine plays important role in atherosclerosis development. Inflammation also causes anorexia and hypercatabolism state leading to malnutrition. This condition is called malnutrition-inflammation-atherosclerosis syndrome. Hemodialysis characteristics in Indonesia is different with those in developed countries. Those differences are associated with reuse dialyzer, low flux hemodialysis, inadequate dose of hemodialysis, and unavailability of ultrapure dialysate.
Aim: To determine the mean difference between MI score, hsCRP and sTNFR-1 in hemodyalisis patients with atherosclerosis and non-atherosclerosis.
Methods: This is a cross-sectional study which has involved hemodialysis patients who underwent HD between 3 months to 5 years in Fatmawati Central Hospital. There are 60 subjects collected from December 2013 until February 2014. hsCRP and soluble TNFR-1 were used as inflammation biomarker, MI score was used to assess nutritional status. and carotid doppler ultrasonography was used to assess carotid intima media thickness. This study used T-test and Mann-Whitney for statistical analysis.
Results: Median score for malnutrition-inflammation score in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (7 vs 5), while the median sTNFR-1 in atherosclerotic group is lower than non atherosclerotic group (12,126 vs 11,657). Mean hsCRP in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (3.48 vs 5.32). There are no mean differences of all those three variables (p>0.05).
Conclusion: No mean differences between MI-score, hsCRP, and sTNFR-1 with atherosclerotic and non-atherosclerotic in HD patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Petri Andriani
"Ekuivalen hemoglobin retikulosit menggambarkan banyaknya besi dalam retikulosit yang akan digunakan dalam proses pembentukan hemoglobin. Pada alat Sysmex parameter tersebut dikenal sebagai Ret-He. Namun demikian, saat ini parameter tersebut belum digunakan secara rutin di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai cut off, sensitivitas dan spesifisitas Ret-He untuk penilaian status besi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis. Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 120 subyek PGK dengan hemodialisis. Dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap, Ret-He serta pemeriksaan besi serum dan unsaturated iron binding capacity (UIBC) untuk menghitung nilai saturasi transferin. Penentuan nilai cut off Ret-He berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan saturasi transferin sebagai baku emas. Untuk penilaian status besi, didapatkan nilai cut off Ret-He 30,3 pg dengan sensitivitas 81,6% dan spesifisitas 76,8% . Parameter Ret-He dapat digunakan sebagai alternatif untuk penilaian status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis.

Hemoglobin reticulocyte equivalent represent the iron content in the reticulocyte that will be used in hemoglobinization process. In Sysmex hematology analyzer this parameter known as Ret-He. However, this parameter has not been routinely used in Indonesia. The objective of this study is to determine cut-off, sensitivity and specificity of Ret-He to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis. One hundred and twenty patients undergoing hemodialysis were included in the study. Complete blood count, Ret-He and transferin saturation were determined. The receiver operating characteristic curve were demonstrated to obtain the cut off value of Ret-He. In 30.3 pg Ret-He cut off point, the sensitivity and spesificity to assess iron deficient state were 81.6% and 76.8% respectively. Ret-He can be used as an alternative parameter to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Hafiah Halidha Nilanda
"Status hidrasi dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk usia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia yaitu penurunan sensasi rasa haus, penurunan sekresi aldosteron, dan penurunan fungsi luhur dapat menyebabkan peningkatan risiko dehidrasi pada lansia. Penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang telah dilakukan di rumah binaan lansia Atmabrata, Cilincing Jakarta Utara, dengan tujuan untuk menilai status hidrasi pada lansia dan faktor-faktor yang berhubungan yaitu asupan cairan dan aktivitas fisik. Lima puluh sembilan subjek berhasil menyelesaikan protokol penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,1% lansia mengalami dehidrasi dengan menggunakan indikator berat jenis urin dan 49,2% lansia tidak terhidrasi dengan baik dengan menggunakan indikator warna urin. Rerata asupan cairan subjek adalah 1327,97 ± 407,75 mL, dan terdapat 72,9% subjek dengan aktivitas fisik rendah. Tidak terdapat hubungan antara status hidrasi dengan asupan cairan (p>0,05), dan sebaliknya terdapat hubungan yang bermakna antara berat jenis urin dengan tingkat aktivitas fisik (p <0,001).

Hydration status can be affected among others by age. Dehydration risk is higher in the elderly. Physiological changes such as decreasing sensation of thirst, decreasing secretion of aldosterone and impaired cognitive fuction could be the causes of dehydration among elderly. Analytic observational by using cross sectional study design conducted in Atmabrata nursing home, Cilincing North Jakarta has been done to asses hydration status in the elderly and its related factors, i.e fluid intake and physical activity. Fifty nine subjects accomplished the study protocol.
Based on the urine specific gravity measure, it shows that 27.1% elderly was dehydrated and by using urine color chart, it shows that 49.2% elderly was not hydrated properly. The fluid intake average of the subject was 1327.97 ± 407.75 mL, and there was 72.9% subject with low physical activity. There was no significant association between hydration status and fluid intake (p>0.05). There was significant association between urine specific gravity status and level physical activity (p<0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natassa Karrameita
"ABSTRAK
Peningkatan tekanan darah (TD) merupakan salah satu permasalahan dunia. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup masyarakat yang mengarah ke obesitas sentral. Rasio lemak viseral abdomen (LVA) terhadap lemak subkutan abdomen (LSA) merupakan indikator obesitas sentral yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini peningkatan TD. Disain penelitian ini merupakan potong lintang dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara rasio LVA : LSA dengan TD pada laki-laki usia produktif dengan aktivitas sedang di Indonesia. Pengambilan data dilakukan di salah satu perusahaan di Bekasi pada bulan Oktober 2014. Sebanyak 52 orang subjek bersedia ikut serta dalam penelitian dan memenuhi kriteria penelitian. Didapatkan hasil rerata indeks massa tubuh (IMT) subjek 24,60 kg/m2, dan sebagian besar subjek mempunyai IMT dengan BB lebih. Rerata persentase massa lemak (ML) subjek 18,92%, dan sebagian besar subjek mempunyai persentase ML dapat diterima. Seluruh subjek mempunyai TD sistolik dan diastolik normal. Nilai tengah luas area LVA sebesar 90 cm2 dan LSA 142 cm2. Seluruh subjek mempunyai rasio LVA : LSA normal. Korelasi antara rasio LVA : LSA dengan TD adalah r= 0,356 untuk TD sistolik dan r= 0,244 untuk TD diastolik. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna secara statistik antara rasio LVA : LSA dengan TD, namun terdapat kcenderungan korelasi yang cukup kuat.

ABSTRACT
Increased blood pressure (BP) is one of the world's problems. It might be caused by lifestyles that lead to central obesity. The ratio of abdominal visceral adipose tissue (VAT) to the abdominal subcutaneous adipose tissue (SAT) is one indicator of central obesity which can be used for early detection of elevated BP. This study used cross-sectional study with aim to determine the correlation between ratio of abdominal VAT : SAT with BP in men of reproductive age with moderate activity in Indonesia. The data were obtained in one company in Bekasi on October 2014, 52 subjects signed the consent and matched the study criterias. Subjects showed a mean BMI 24.60 kg /m2, and most of them were overweight. The mean of subjects’ FM percentage was 18.92%, and most of them had an acceptable FM percentage. All subjects had normal systolic and diastolic BP. The median VAT area was 90 cm2 and SAT area was 142 cm2. All of the subjects had normal ratio of abdominal VAT : SAT. Correlation between ratio of abdominal VAT : SAT were r= 0,356 for systolic BP and r= 0,244 for diastolic BP. The conclussion of the study is there was not significant correlation between ratio of abdominal VAT : SAT with BP, although there were a tedency for fairly strong correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Zakaria
"Latar Belakang: Insiden dan case fatality rate pasien terinfeksi dengue di Indonesia masih tinggi. Penyebab kematian utama pada infeksi dengue adalah renjatan yang disebabkan oleh kebocoran plasma. Kejadian hiponatremia dan hipokalemia sering ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi dengue, namun keduanya tidak termasuk penanda kebocoran plasma dalam kriteria DBD oleh WHO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan atau tanpa kebocoran plasma, dan mengonfirmasi penelitian sebelumnya apakah kadar natrium dan kalium bisa dipakai sebagai penanda kebocoran plasma.
Metode: Studi kohort prospektif dilaksanakan pada pasien terinfeksi dengue ≥ 16 tahun dengan demam mendadak ≤ 3 hari yang dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan Jakarta pada pada Agustus 2013-Juni 2014. Dilakukan pemeriksaan natrium serum, kalium serum, albumin, dan ultrasonografi untuk melihat adanya penebalan kandung empedu, asites dan efusi pleura pada pasien terinfeksi dengue pada hari pertama masuk perawatan dan hari kelima demam. Untuk mendapatkan rerata penurunan natrium dan kalium serum antara pasien terinfeksi dengue yang mengalami kebocoran plasma dan yang tidak, digunakan uji komparatif t-test tidak berpasangan.
Hasil: Terdapat 35 orang subjek penelitian pasien terinfeksi dengue yang diambil secara konsekutif. Rerata kadar natrium serum pada pasien Demam Dengue (DD) pada saat masuk 134,66 ± 4,00 mEq/L dan pada hari kelima demam 130,95 ± 4,80 mEq/L. Sementara pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) didapatkan kadar natrium pada saat masuk 132,469 ± 3,45 mEq/L dan pada saat hari kelima 129,35 ± 2,67 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar natrium antara pasien DBD dengan DD sebesar 0,43 mEq/L, IK 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. Rerata kadar kalium serum pada pasien DD pada saat masuk 3,48 ± 0,44 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,39 ± 0,38 mEq/L. Sementara pada pasien DBD didapatkan rerata kadar kalium pada saat masuk 3,32 ± 0,25 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,11 ± 0,30 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar kalium pasien DBD dengan DD sebesar 0,12 mEq/L, IK 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan kebocoran plasma dibandingkan dengan tanpa kebocoran plasma.

Background: Incidence and case fatality rate of dengue-infected patients in Indonesia is still high. The main causes of death in dengue infection is shock caused by plasma leakage. The incidence of hyponatremia and hypokalemia often found in patients with dengue infection, but they do not include markers of plasma leakage in DHF criteria by WHO. This study aims to determine the average decrease of serum sodium and potassium levels in patients infected with dengue with or without plasma leakage, and confirm previous studies whether the levels of sodium and potassium can be used as a marker of plasma leakage.
Method: A prospective cohort study conducted in patients infected with dengue ≥ 16 years old with sudden fever ≤ 3 days treated in Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan Hospital in Jakarta between August 2013 to June 2014. Checking serum sodium, potassium, albumin, and ultrasound to see the thickening of the gall bladder, ascites and pleural effusion in patients infected with dengue on the first day of treatment and the fifth day of fever. We used comparative unpaired t-test to obtain an average decrease in serum levels of sodium and potassium between dengue infected patients who undergo plasma leakage and are not.
Results: There were 35 research subjects infected with dengue taken consecutively. The average of serum sodium levels in patients with Dengue Fever (DF) at the time of entry was 134,66 ± 4,00 mEq/L and on the fifth day of fever was 130,95 ± 4,80 mEq/L. While in patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) obtained sodium levels at the time of entry was 132,469 ± 3,45 mEq/L and on the fifth day of fever was 129,35 ± 2,67 mEq/L. The difference of the average of decreased level of sodium between DHF and DF patients was 0,43 mEq/L, CI 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. The average of serum potassium levels in patients with DF at the time of entry was 3,48 ± 0,44 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,39 ± 0,38 mEq/L. While in patients with DHF, obtained potassium levels at the time of entry was 3,32 ± 0,25 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,11 ± 0,30 mEq/L. The difference of the average of decreased level of potassium between DHF and DF patients was 0,12 mEq/L, CI 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Conclusion: There were no differences in average of decreased level of serum sodium and potassium in dengue-infected patients with plasma leakage compared to without plasma leakage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farapt
"Penelitian uji klinis paralel single blind ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh air kelapa muda 300 ml dua kali per hari selama 14 hari berturut-turut terhadap kadar kalium plasma dan tekanan darah guru perempuan dan karyawati prahipertensi usia 25-44 tahun. Sejumlah 32 subyek dipilih dengan kriteria tertentu dan dibagi menjadi dua kelompok dengan cara randomisasi blok, 16 orang masuk kelompok perlakuan (P) dan 16 orang masuk kelompok kontrol (K). Kelompok P mendapat air kelapa muda disertai penyuluhan gizi dan kelompok K mendapat air putih disertai penyuluhan gizi. Data yang diambil meliputi usia, aktivitas fisik, indeks massa tubuh (IMT), asupan energi dan kalium, kadar kalium plasma, dan tekanan darah. Pemeriksaan kadar kalium plasma dilakukan pada H0 dan H+15, sedangkan pengukuran tekanan darah dilakukan pada H0, H+8, dan H+15. Analisis data menggunakan uji t dan uji Mann-Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Analisis lengkap dilakukan pada 31 orang subyek (15 subyek kelompok P dan 16 subyek kelompok K). Rerata usia subyek penelitian 36,58±5,39 tahun dan rerata IMT 24,59±2,89 kg/m2. Sebagian besar subyek (93,55%) tergolong indeks aktivitas fisik di bawah rata-rata. Rerata kadar kalium plasma 3,71±0,41 mmol/L, dan sebanyak 7 orang subyek (22,58%) tergolong hipokalemia. Rerata tekanan darah sistolik/ tekanan darah diastolik (TDS/ TDD) 125,87±6,36 mm Hg/ 79,84±4,11 mm Hg. Pada awal penelitian karakteristik data dasar kedua kelompok dalam keadaan sebanding. Persentase asupan energi dibandingkan kebutuhan energi total pada minggu 0, 1, dan 2 pada kedua kelompok tidak berbeda signifikan. Rerata asupan kalium subyek tergolong rendah (1420,28±405,54 mg/hari) atau sekitar 30,22±8,63% dari AKG. Selama perlakuan, didapatkan peningkatan signifikan asupan kalium kelompok P. Pada kedua kelompok didapatkan peningkatan kadar kalium plasma dan penurunan tekanan darah yang lebih besar pada kelompok P, namun tidak berbeda signifikan (p >0,05). Pada penelitian ini belum dapat dibuktikan bahwa air kelapa muda 300 ml dua kali per hari selama 14 hari berturut-turut dapat meningkatkan kadar kalium plasma dan menurunkan TDS dan TDD

The study is a parallel single blind randomized clinical trial aims to investigate the effect of tender coconut water 300 ml twice daily for 14 days on plasma potassium level and blood pressure in female teachers and employees prehypertension aged 25-44 years. A total of 32 subjects were selected using certain criteria and randomly allocated to one of two groups using block randomized, 16 subjects each. The treatment (T) group received tender coconut water 300 ml twice daily for 14 days and nutritional counseling, and the control (C) group received water 300 ml twice daily for 14 days and nutritional counseling. Data collected in this study consisted of age, physical activity, body mass index (BMI), intake of energy and potassium, plasma potassium level and blood pressure. Assessment of plasma potassium level were done on day 0 and day 15, while blood pressure were assessed on day 0, day 8, and day 15. Statistical analysis were done using t-test and Mann-Whitney with significance level was 5%. Complete analysis was done on 31 subjects (15 subjects of T group and 16 subjects of C group). The mean age was 36.58±5.39 years, mean BMI was 24.59±2.89 kg/m2, and 93.55% subjects had physical activity index score below the average. Plasma potassium level was 3.71±0.41 mmol/L, and 7 subjects (22.58%) was hypokalemia. Mean systolic and dyastolic BP was 125.87±6.36 mm Hg and 79.84±4.11 mm Hg, respectively. The data characteristics of the two groups at baseline were closely matched. Percentage of energy intake compared to the total energy requirement at weeks 0, 1, 2 between the two groups were not significantly different. Mean dietary intakes of potassium were 1420.28±405.54 mg/day or only 30.22±8.63% compared to Indonesian Recommended Dietary Allowance 2004. During treatment period, potassium intake increased significantly in the T group. There were increased plasma potassium level and decreased blood pressure in both groups, which were greater in the T group, but not statistically significant different (p >0.05). This study has not proven yet that tender coconut water 300 ml twice daily for 14 days increase plasma potassium level and decrease systolic and dyastolic BP"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>