Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yoga Putra
"Latar Belakang. Kuesioner Boston Carpal Tunnel Syndrome (BCTQ) merupakan kuesioner yang dikembangkan untuk menilai keluhan pasien sindrom terowongan karpal dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validasi dan reliabilitas kuesioner BCTQ ke dalam bahasa Indonesia. Metode. Melakukan adaptasi dan translasi transkultural, kemudian dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner BCTQ versi bahasa Indonesia. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan sindrom terowongan karpal yang datang ke Poliklinik Neurologi RSUPNCM yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil. Tiga puluh lima pasien memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar adalah perempuan (88,6%). Usia berkisar antara 45 tahun sampai 71 tahun, dengan prevalensi tertingi > 50 tahun (91,4%), pekerjaan sebagian besar subjek adalah sebagai ibu rumah tangga (77,1%). Pada uji validitas domain derajat keparahan gejala pada uji pertama memiliki nilai antara 0,484-0,781, pada retes didapatkan nilai 0,482 sampai 0,760, untuk domain status fungsional didapatkan nilai antara 0,495 sampai 0,825, dan nilai 0,615 sampai 0,783 pada retes. Hasil uji reliabilitas domain derajat keparahan gejala 0,876 pada uji pertama dan 0,874 pada uji kedua, untuk uji reabilitas domain status fungsional pada uji pertama sebesar 0,857 dan pada retes 0,854. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kuesioner oleh semua subjek kurang dari 10 menit, Kesimpulan. Kuesioner BCTQ versi Bahasa Indonesia valid dan reliabel dalam mengevaluasi keluhan serta gejala pada pasien dengan sindrom terowongan karpal.

Introduction. Boston Carpal Tunnel Syndrome Questionnaire (BCTQ) is a questionnaire developed to assess complaints and symptoms of carpal tunnel syndrome patients in carrying out daily activities. Aim of this study is to gain a valid and reliable Indonesian version of BCTQ. Methods. Trancultural adaptation and translation from the original version to Indonesian version, then validation and reliability test are carried out. The population of this study was adult patients with carpal tunnel syndrome who came to the neurology department RSUPNCM and met the inclusion criteria. Thirty-five patients met the inclusion criteria, majority are women (88,6%). Age ranged from 45-71 years, with the highest prevalence >50 years old. Most of the subjects were housewife. The value of symptoms severity scale domain between 0,484-0,781 for first test, 0,482-0,760 on the retest. For domain functional status 0,495-0,825 in the first tests, and 0,615-0,783 for the retest. The reliability test for symptoms severity scale domain for the first test is 0,876 and 0,874 for the retest. The realiability test value for functional status 0,857 for the first test and 0,854 for the retest. The time needed to complete the questionnaire is under 10 minutes. Conclusion. Indonesian version of BCTQ is a valid and reliable instrument to be used as instrument in evaluate complaint and symptoms in patients with carpal tunnel syndrome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bazzar Ari Mighra
"

Latar belakang : Penegakan miastenia gravis (MG) didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang menjadi standar utama dalam penegakan MG. Pemeriksaaan dalam penegakan MG yang hasilnya cepat, tidak invasif dan mudah dilakukan serta biayanya murah yaitu ice pack test (IPT) dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Metode: Disain penelitian potong lintang menggunakan data primer dan rekam medis pasien yang dicuriga MG dengan ptosis di Poliklinik Saraf, Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan Ruang Rawat Inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak Juli 2019 – November 2019.

Hasil: Dari 38 subjek penelitian dengan ptosis, didapatkan 35 subjek terkonfirmasi MG (SF-EMG/Achr antibodi/respon terapi), 19 di antaranya (54,29%) MG jenis okular dan 16 (45,71%) MG jenis general. Hasil ice pack test positif pada 29 subjek (76,3%). Hasil uji diagnostik pemeriksaan ice pack test diperoleh sensitivitas 80%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 73,3%; Hasil uji diagnostik pemeriksaan RNS diperoleh sensitivitas 60%, spesifisitas 100%, nilai AUC 80%; Sedangkan uji diagnostik kombinasi pemeriksaan diperoleh sensitivitas 94,28%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 80,5%.

Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan Ice Pack Test dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS) memiliki nilai diagnostik yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis MG di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

 


Background: Diagnosis of myasthenia gravis (MG) is based on clinical symptoms, physical examination and supporting examination, so far there has been no examination that has become the main standard in the enforcement of MGSupporting  examination of MG that are fast, non-invasive and easy to do are ice pack test (IPT) and Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Methods: This study was conducted with cross-sectional design using primary data and medical records of suspicious MG patients with ptosis in Cipto Mangunkusumo General Hospital between july-november 2019.

Results: Of the 38  subjects with ptosis, 35 subjects were confirmed MG with SF-EMG/AChR antibodies/respon therapy, 19 (54,29 %) ocular type and 16 (45,71%) general type. The ice pack test was positive in 29 subjects (76,3 %). The diagnostic test results of the ice pack test has sensitivity 80%, Specificity 66,67%, AUC(area under the curve)  value 73,3%; the RNS has sensitivity 60%, Specificity 100%, AUC value 80%; while the combination test has sensitivity 94,28%, Specificity 66,67% and AUC(area under the curve) value 80,5%

Conclusions: The combination of IPT and RNS has good diagnostic value, so that it can be used as a supporting examination to diagnosis of MG in Cipto mangunkusumo general hospital.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiji Lestari
"Pengaruh suplementasi Astaxamin terhadap kadar Malondialdehida plasma dan skor National Institute of health Stroke Scale (NU-ISS) pada penderila stroke iskemik. Mengetahui efek pcmberian suplementasi Astaxantin selama tujuh hari terhadap kadar malondialdehida plasma dan skor NIHSS pada penderita stroke iskemik Penelitian ini merupakan uji klinis pamlel, acak, tcrsamar ganda antara kelompok yang znendapat suplementasi astaxantin (P) dengan kelompok yang mendapat plasebo (K), Sebanyak 24 orang pasien stroke iskemik akut dengan onset < 48 jam di RSUPNCM Jakarta memenuhi kriteria dan diikutkan dalam penelitian, dilakukan alokasi random menggunakan randomini blok untuk menemukan kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan suplementasi Astaxantin 2 x 8mg/had peroml selama tujuh hari, sementara kelompok kontrol mendapat plascbo. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pcndidikan, tingkat penghasilan), onset serangan, faktor risiko, IMT, analisis asupan zat gizi, kadar malondialdehida plasma, serta skor NIHSS. Analisis dam menggunakan uji 1 tidak berpasangan atau uji Man Whitney dengan batas kemaknaan p < 0,05. Rerata usia subjek penelitian ini adalah 56,0l=i:6,44 tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan rendah dan tingkat penghasilan di bawah garis kemiskinan. Faktor risiko stroke yang paling banyak dimiliki subyek penelitian adalah hipertensi, diikuti kebiasaan merokok, dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit jantung. Selama perlakuan, asupan energi dan protein subyek penelitian tergolong cukup, asupan lemak tergolong lebih, asupan vitamin C tergolong cukup, sedangkan asupan vitamin E dan beuz kanaten tagolong kurang pada kedua kelompok. Terdapat penurunan kadar MDA plasma dan skor NIHSS pada kedua kelompok selama perlakuan. Rerata penurunan kadar MDA plasma pada kelompok perlakuan adalah -0,3l6i0,l8 normal dan secara bermakna lebih bcsar dibandingkan kelompok kontrol yaitu -0,1241 0,I08 nmol/mL (p<0,05). Penurunan skor NIHSS pada kelompok perlakuan sebesar -5,67=|=l,37 secara bermakna lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu ~3,‘25:&0,87 (p <0,0S). Suplcmentasi aataxantin sebanyak 2 x 8 mg solama 7 hari sccara bermakna dapal menurunkan kadar MDA plasma dan skor NIHSS penderila stroke iskemik. Astaxantin, antioksidan, malondialdehida plasma, skor Nll-ISS, stroke iskemik.

Bilects of Astaxantin suplcmentation on malondialdehyde plasma level and National Institute of health Stroke Scale (NIHSS) score of ischemic stroke patients To investigate the effects of Astaxantin supplementation during seven days on Malondialdchida plasma level and NIHSS score of ischemic strokc patients. This is a parallel randomized double-blind clinical study between interventional group which has astaxantin supplementation (P) and control group which has placebo (K). Twenty-four acute ischemic stroke patients with onset < 48 hours in RSUPNCM Jakarta had fullilled the criteria and recruited in the research. Subjects were random allocated by block randomimtion into intervention and control group. Intervention group treated by Astaxnntin 2 x Sing,/day supplementation orally during 7 days, while control group treated by placebo. Data collection includes demographic characteristic (nge, sex, educational level, income level), stroke onset, risk factors, body mass index (BMI), daily nutrient analysis, malondialdchida plasma level, and Nil-lSS score. Statistical analysis is using unpaired t test or Mann Whitney test with significant level at p < 0,05. The mean age of subjects were 56,0li6,44 years old. Majoritics of suljects were male, low educational level and below poverty level income. The most liequent stroke risk factors in subjects were hypertension, followed by smoking habit. dyslipidemia, obesity, diabetes mellitus, and heart diseases. During intervention, energy and proteins intake were adequate, fat intake tends to be excess, vitamin C intake was adequate, whiie vitamin E and beta kamten tends to be low in both two groups. 'lhere was decreasing in MDA plasma level and NI]-ISS score in both two groups during intervention. The mean decreasing of MDA plasma in interventional group was -0,3lG.k0,l8 nmol/mL which significantly greater than control group -0,1242 0,108 nmol/mL (p<0,05). The mean decreasing ofNlHSS score in interventional group was -5,67=el,37 which significantly greater than control group -3,25i0,87 (p <0,05). Astaxantin supplementation 2 x 8 mg during 'l days is signiiicant on decreasing MDA plasma level and NH-ISS score in ischemic stroke patients. Astaxantin, antioxidant, rnalondialdehicla plasma, NIHSS score, ischemic stroke. "
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T33924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Beny Rilianto
"Latar Belakang: Trombolisis merupakan terapi definitif pada stroke iskemik hingga saat ini. Efektivitas trombolisis sangat bergantung waktu pemberian. Salah satu faktor yang memengaruhi luaran trombolisis pada stroke iskemik akut adalah waktu door to needle. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi waktu DTN pada penderita yang mendapat terapi trombolisis.
Metode: Penelitian berupa potong lintang untuk melihat faktor klinis dan logistik yang memengaruhi waktu DTN pada penderita stroke iskemik yang mendapat terapi trombolisis periode November 2014 hingga Oktober 2018 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Total 94 subjek didapatkan proporsi waktu DTN > 60 menit sebanyak 68(71,3%). Faktor yang secara dependen berpengaruh terhadap waktu DTN adalah: nilai NIHSS awal (OR: 0,29; CI: 0,091-0,938), penggunaan antitrombotik (OR: 0,128; IK: 0,024-0,692), dan lokasi CT scanner (OR: 0,168; IK: 0,046-0,611).
Simpulan: Nilai NIHSS awal, penggunaan antirombotik, dan lokasi CT scan berhubungan terhadap waktu DTN.

Background: Thrombolysis is the definitive therapy in ischemic stroke to date. The effectiveness of thrombolysis is very time-dependent. One of the factors that influence the outcome of thrombolysis in acute ischemic stroke is the door to needle time. The aims of this study was to look for factors that influence DTN times in patients receiving thrombolysis therapy.
Methods: A cross-sectional study to look at clinical and logistical factors that influence DTN times in patients with acute ischemic stroke who received thrombolysis therapy from November 2014 to October 2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: A total of 94 subjects obtained a proportion of DTN time > 60 minutes of 68 (71.3%). Factors that are dependent on DTN times are: initial NIHSS (OR: 0.29; CI: 0.091-0.938), antithrombotic use (OR: 0.128; CI: 0.024-0.692), and CT scanner location (OR: 0.168; CI: 0.046-0.611).
Conclusions: Initial NIHSS, antithrombotic use, and CT scan location are associated to DTN times.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyun Miftahul Rahma
"ABSTRAK
Latar Belakang. Efek penurunan kadar hematokrit oleh manitol memberi
manfaat lebih pada tata laksana cedera kepala. Kadar hematokrit 30-35%
merupakan kadar hematokrit efektif untuk mendapatkan keluaran yang baik pasca
cedera kepala. Meski dosis awal rekomendasi pemberian manitol memiliki
rentang yang cukup besar antara dosis rendah dengan dosis tingginya, kedua dosis
ini memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan Tekanan Intrakranial
(TIK). Diduga kedua dosis ini juga memiliki efek yang sama terhadap penurunan
kadar hematokrit.
Metode. Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan randomized
controlled trial tersamarkan. Subjek penelitian adalah pasien cedera kepala
sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) dengan gejala dan tanda klinis
peningkatan TIK yang terindikasi mendapat terapi manitol yang datang ke Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan bersedia mengikuti penelitian.
Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik umum dan neurologis serta pemeriksaan
kadar hematokrit. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0.
Hasil. Diperoleh 30 subjek pasien cedera kepala sedang dan berat yang mendapat
terapi manitol, masing-masing 15 orang untuk kelompok manitol dosis 0.5g /
kgBB dan 1g/ kgBB. Terjadi penurunan kadar hematokrit sebesar 5% pada
kelompok dosis 0.5g/ kgBB dan sebesar 6% pada kelompok manitol dosis 1g/
kgBB pasca 10 menit pemberian manitol. Kadar tersebut meningkat kembali ke
kadar normal 6 jam pasca pemberian. Didapatkan kecendrungan penurunan ratarata
Mean Arterial Blood Pressure (MABP) dan frekuensi nadi pasca 10 menit
pemberian manitol, yang kemudian mengalami peningkatan nilai saat dilakukan
pengukuran 6 pasca jam pemberian. Didapatkan kecendrungan peningkatan GCS
dan perbaikan reaktivitas pupil pada kedua kelompok dosis manitol di dua waktu
pengukuran.
Kesimpulan. Terdapat kecenderungan penurunan kadar hematokrit pasca 10
menit pemberian manitol, yang meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca
pemberian pada kedua dosis manitol yang diteliti. Pada penelitian ini juga
didapatkan kecendrungan perbaikan kondisi klinis pasien yang tidak berbeda pada
kedua dosis manitol pasca 10 menit dan 6 jam pemberian.

ABSTRACT
Background: The decreasing effect of hematocrit due to mannitol gives
additional benefit in management of traumatic brain injury (TBI). Hematocrit
level of 30 - 35% is the effective level to obtain good outcome after TBI. Even
though initial recommended dosage of mannitol has a relatively wide range
between low and high dosage, both dosages have similar effectivity in reducing
intracranial pressure (ICP). It is assumed that both dosages also have similar
effect on decreasing hematocrit level.
Methods: This was a clinical experimental study with double-blind randomized
controlled trial. The study subjects were patients with moderate and severe TBI
with signs and symptoms of increased ICP who have indications to be given
mannitol and were hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta and
agree to participate in the study. All subjects were interviewed, underwent general
and neurological physical examination, as well as level of hematocrit. Data
analysis were done by using SPSS 17.0.
Results: There were 30 patients with moderate and severe TBI who received
mannitol. They were divided into two groups, each consists of 15 patients. The
first group received mannitol 0.5g/kgBW and the second group received 1g/
kgBW. Hematocrit level was decreased by 5% in the first group, and 6% in the
second group after 10 minutes administration of mannitol. The hematocrit level
was observed to increase to its normal value after 6 hours administration of
mannitol. There was a tendency of decreasing Mean Arterial Blood Pressure
(MABP) and heart rate after 10 minutes administration of mannitol, which then
would increased after 6 hours after administration. In addition, there were also
tendencies of increasing GCS and better pupillary reactivity in both groups on
both measurement.
Conclusions: The hematocrit level was found to decrease after 10 minutes
administration of mannitol, and increase back to its normal value after 6 hours
administration on both dosages. This study also found that moderate and severe
TBI patients receiving mannitol tend to show clinical improvement which were
similar on both dosages both after 10 minutes and 6 hours of adminstration."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga beresiko terkena infeksi nosokomial seperti pneumonia yang dapat memperburuk keluaran. Karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasien cedera kepala dengan pneumonia, diperlukan suatu sistem skoring untuk menilai derajat keparahan pneumonia.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sistem skoring CURB-65 dapat dipakai untuk memprediksi keluaran pasien CKS dan CKB yang mengalami pneumonia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif. Subjek penelitian adalah seluruh pasien CKS dan CKB yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama periode penelitian. Diagnosis pneumonia ditegakkan sesuai kriteria The Center for Disease Control (CDC). Penilaian derajat keparahan pneumonia dilakukan dengan skoring CURB-65. Keluaran yang dinilai adalah hidup atau meninggal.
Hasil: Dari 176 pasien CKS dan CKB, terdapat 26 pasien yang menderita pneumonia. Rentang usia subjek penelitian adalah 15 - 71 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan berusia < 65 tahun. Nilai maksimal dari CURB-65 pada penelitian ini adalah 3. Sedangkan nilai yang terbanyak adalah 2. Nilai CURB-65 ditemukan tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pasca cedera kepala. Keluaran pasien cenderung dipengaruhi variabel usia, penurunan kesadaran, peningkatan kadar BUN, dan peningkatan frekuensi napas. Diantara 5 pasien yang meninggal, ada 2 pasien yang memiliki nilai CURB-65 = 3, sehingga tampak adanya kecenderungan peningkatan mortalitas pada pasien-pasien dengan nilai CURB-65 = 3.
Kesimpulan: Walaupun skoring CURB-65 tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pada pasien CKS dan CKB dengan pneumonia, penelitian pendahuluan ini menemukan adanya kecenderungan pengaruh masing-masing komponen CURB-65 (penurunan kesadaran, frekuensi napas, kadar BUN, serta usia) terhadap resiko kematian pasien

ABSTRACT
Background: Patients with moderate and severe traumatic brain injury (TBI) require hospitalization, therefore they have higher risk in developing nosocomial infections such as pneumonia which can worsen their outcomes. Since there are many factors that can affect outcome of head-injured patients with pneumonia, a scoring system for evaluating the severity of pneumonia is needed.
Objective: To know whether the CURB-65 scoring system can be used to predict the outcome of moderate and severe TBI patients who developed pneumonia during hospitalization.
Methods: This was a prospective study. The study subjects were all moderate and severe TBI patients who had been hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital during the research period. Diagnosis of pneumonia was confirmed if the patient fulfiled the criteria from The Center for Disease Control (CDC). The severity of pneumonia was determined by using CURB-65 scoring system. The outcome would either be dead or alive.
Results: Of 176 patients with moderate and severe TBI, there were 26 patients who developed pneumonia. The age of the subjects ranged between 15 to 71 years. Most of them were male and over the age of 65. The maximum score of CURB-65 was 3. The mode of CURB-65 score was 2. CURB-65 was shown to be not useful in predicting outcome of head-injured patients with pneumonia. The outcome was seemingly associated with age, loss of consciousness, BUN, and respiratory rate. Among 5 patients who were dead, there were 2 patients who had a CURB-65 score of 3, thus there was a trend of increasing mortality in patients with a CURB-65 score of 3.
Conclusions: Although the CURB-65 scoring system was not found to be useful in predicting outcome of moderate and severe TBI patients, this preliminary study have found that there were a tendency that each component of CURB-65 (loss of consciousness, respiratory rate, BUN, age) have some effects on mortality. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Wahid Indrajaya
"Latar Belakang. Pemeriksaan Neuropsikologi CERAD merupakan pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan fungsi kognitif. Hingga
saat ini, nilai normal Pemeriksaan Neuropsikologi CERAD belum diketahui.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai normal Pemeriksaan
Neuropsikologi CERAD di Jakarta berdasarkan usia dan tingkat pendidikan.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan November hingga Desember 2012.
Hasil. Sebanyak 192 subyek penelitian yang terdiri dari 60.9% subyek laki-laki
dan 39.1% subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari
subyek penelitian berkisar antara 40-84 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan,
sebanyak 92 (47.9%) subyek merupakan tamatan SLTP, sedangkan 100 (52.1%)
subyek lainnya merupakan tamatan SLTA atau lebih tinggi. Pemeriksaan
Pemeriksaan Neuropsikologi CERAD adalah 102, dengan kisaran skor antara 65-
130. Perbedaan nilai rerata skor total Pemeriksaan Neuropsikologi CERAD antar
kelompok usia dan antar kelompok tingkat pendidikan ditemukan bermakna
dengan masing-masing memiliki nilai p 0,000 dan 0.002. Sedangkan terkait jenis
kelamin, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
perempuan (p=0,811).
Kesimpulan. Telah didapatkan nilai tengah Pemeriksaan Neuropsikologi CERAD
dengan fungsi kognitif yang normal berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Usia
dan tingkat pendidikan secara bermakna mempengaruhi nilai tengah Pemeriksaan
Neuropsikologi CERAD

Background. CERAD Neuropsychology Examination is an instrument that can
be used to detect cognitive impairment. To date, Normative Value of CERAD
Neuropsychology Examination has not been known. The aim of this study is to
obtain the normative value of CERAD Neuropsychology Examination according
to age and level of education.
Method. A cross-sectional study was conducted. Data collection were collected
between November - Desember 2012.
Result. A total of 192 subjects, i.e. 39.1% male subjects and 60.9%female
subjects, were included in this study. The age of the subjects was between 40 and
84 years. Based on level of education, 92 (47.9%) subjects were primary high
school graduates, whereas 100 (52.1%) subjects were secondary high school
graduates or higher. The median of total score of CERAD Neuropsychology
Examination is 102 , ranging from 65 to 130. Differences of total score of
CERAD Neuropsychology Examination between age groups and education
groups were found to be statistically significant (p = 0,000 and 0.002).
Meanwhile, no significant difference in total score of CERAD Neuropsychology
Examination between male and female.
Conclusion. The total score of CERAD Neuropsychology Examination with
normal cognition based on age and level of education has been found. Age as well
as level of education have significant effects on total score of CERAD
Neuropsychology Examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami Ningsih
"Kadar vitamin D dapat menurun pada penggunaan OAE lebih dari 6 bulan karena mengaktivasi pregnane x receptor (PXR) yang selanjutnya akan meningkatkan regulasi 24-hydroxylase. Hal ini dapat memicu perubahan vitamin D menjadi metabolit inaktif. Karbamazepin (CBZ), fenitoin (PHT), fenobarbital (PHB) dan asam valproat (VPA) merupakan jenis OAE generasi pertama yang banyak digunakan di RSCM. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kadar vitamin D dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan OAE generasi tunggal
Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara konsekutif. Subyek penelitian adalah orang dengan epilepsi yang mengkonsumsi CBZ, PHT, PHB dan VPA minimal 6 bulan dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada subyek dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisik, recall makanan dan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan kadar vitamin D.
Hasil. Dari 59 subyek diperoleh subyek lelaki : perempuan (1,4:1). Sebagian besar subyek menggunakan karbamazepin (45,8%) dengan durasi penggunaan OAE berkisar 6 bulan – 35 tahun. Lebih banyak subyek yang mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup lebih banyak dibandingkan yang kurang. Prevalensi kadar vitamin D rendah, yaitu, 30,5%. Median vitamin D yaitu, 36,9 ng/ml.
Kesimpulan. Kadar vitamin D pada penggunaan OAE generasi pertama tunggal lebih dari 6 bulan adalah normal. Kadar vitamin D tidak dipengaruhi oleh jenis OAE, durasi penggunaan OAE dan asupan vitamin D. Namun kadar vitamin D pada orang dengan epilpesi dipengaruhi oleh jumlah paparan sinar matahari.

Level of vitamin D can be decreased by first generation anti epileptic anti epileptic drugs (AEDs) due to pregnane x receptor (PXR) activated and increase of 24-hydroxylase regulation. Carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PHB) or valproic acid (VPA) are first generation AEDs that are common used at Cipto Mangunkusumo Hospital. Therefore, the aim of this study is knowing vitamin D level in patients that have been treated by those AEDs more than 6 months.
Method. This was a cross-sectional study with consecutive sampling. Subjects were people with epilepsy taking CBZ, PHT, PHB, or VPA for at least 6 months and fulfilled both inclusion and exclusion criteria. All subjects were interviewed, food recalled and underwent physical examination and measurements of vitamin D level.
Result. Among 59 subjects, male:female ratio is 1.4:1. Most subjects using carbamazepine (45.8%) with duration of OAE therapy is 6 months - 35 years. Prevalence of hipovitaminosis D is 30.5%. Median of vitamin D is 36.1 ng / ml.
Conclusion. Vitamin D level is normal among people with epilepsy (PWE) and not influenced by AEDs type, duration of medication and food intake. However, vitamin D level is influenced by sun exposure in PWE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Saraswati
"Latar belakang: Malnutrisi berhubungan dengan patologi struktural dan fungsional di otak yang dapat mengganggu maturitas sistem saraf pusat (SSP). Hal ini dapat menyebabkan gangguan belajar dan mempengaruhi kecerdasan anak. Salah satu instrumen untuk menilai maturitas SSP adalah dengan pemeriksaan soft sign neurology yang dapat menilai kelainan motorik atau sensorik tanpa adanya lesi struktural di SSP.
Tujuan: Melihat perbandingan neurodevelopment anak dengan gangguan gizi dan anak gizi normal.
Metode: Penelitian potong lintang secara konsekutif nonrandom sampling pada anak usia 5-18 tahun dengan gizi normal dan ganguan gizi di wilayah Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan wawancara dengan orang tua, recall makanan, dan pemeriksaan soft sign neurology dengan instrumen Physical and Neurological Examination for Soft Sign (PANESS). PANESS terdiri dari 43 aitem untuk menilai gerakan motorik, graphesthesia, stereognosis, keseimbangan, gerakan berkelanjutan, gerakan bergantian dan string test.
Hasil: Dari 170 subyek didapatkan soft sign neurology pada 135 subyek (79,4%) terdiri dari 72 laki-laki (53,3%) dan 63 perempuan (46,7%); 70 subyek (77,8%) kelompok gizi normal dan 65 subyek (81,2%) kelompok gangguan gizi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok gizi normal dengan kelompok gangguan gizi usia 5-12 tahun pada penilaian total graphesthesia, total keseimbangan, dan total PANESS (p<0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok gizi normal dengan kelompok gangguan gizi usia 13-18 tahun pada penilaian gerakan bergantian (p=0,047).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan soft sign neurology yang bermakna antara kelompok anak gizi normal dengan kelompok anak gangguan gizi terutama pada kelompok usia 5-12 tahun. Hal ini menunjukkan keterlambatan dalam maturitas SSP.

Background: Malnutrition is associated with structural and functional pathology of the brain, which can disrupt maturity of central nervous system (CNS). Furthermore, this condition will cause learning disability and influence child intellegency. One of instrument to assess maturity of the CNS by using Neurological soft signs (NSSs) which can assess abnormal of motor and sensory findings without a structural lesion in the CNS.
Aim: This study is aimed to assess association of neurodevelopment between malnutrition and normal nutrition children.
Method: This cross-sectional study used consecutive non-randomized sampling by enrolled to children range between 5-18 years old within normal nutrition and undernutrition based at Jakarta regions which had met with inclusion and exclusion criteria, and had undergone interview with their parents, 24 hours recall nutrition, and NSSs examination using Physical and Neurological Examination for Soft Sign (PANESS) instrument. PANESS consist of 43 items was used for the assesment of motor movement, graphestesia, stereognosis, balance, continuity of movement, alternating movement and string test.
Result: From total of 170 subjects, there were 135 subjects (79.4%) have NSSs, consist of 72 boys (53.3%) and 63 girls (46.7%). In normal nutrition group there were found 70 subjects (77.8%) have NSSs and at malnutrition group there were found 65 subjects (81.2%) have NSSs. It showed that there was significant difference between normal nutrition between 5-12 years old compared to malnutrition group in total assessment of graphesthesia, total balance, and total score of PANESS (P<0.05). There were significant difference between normal nutrition group of 13-18 years old with malnutrition group at alternating movement (P=0.047).
Conclusion: There is significant difference of NSSs between normal nutrition and malnutrition especially for children between 5-12 years old. This finding showed delay of the CNS maturity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>