Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sissy Kartini Aminda
"Prevalensi penduila Iripertensi relatif tinggi di negara Amerika Serikat dan Indonesia,
sedangkan presentase hipertensi esensial bukisar 89-95,3% dari penderita Iripertensi. Penyebab
Iripertensi esensial belum diketalrui secara pasti, tetapi salah satu hipotesa menyatakan bahwa
ada hubungannya dengan peningkatan resistensi insulin. Sllnggulrp"n demikian penelitian yang
dilakukan pada ras/etnik tertentu mengemukakan balrwa hipertensi eunsial tidak buhubungan
dengan peningkatan resistensi insulin.
Untuk itu telah dilakukan sualu studi "cross sectiollal" yang bertujuan untuk melilzat
apakah ada .hubungan antara hipertensi esensial dengan peningkalan resistensi insulin. Resislensi
insulin 'yang meningkal diukur secara tidak langsung dari peningkatan kadar inslllin' 'dalam
balas lertenill. Responden ludiri alas kelompok kasus dan kontrol dengan ciri-ciri sbb : lak-laki,
, usia 25-.:/5 lahun, loluansi giukosa nonnal, non obes dan memenuhi krileria ekskluasi. Responden
dari RSJHK, Puskesmas Jakarta Selalan dan Pusal. responden yang hipertensi sebagai
kelompok kasus sedangkan kelompok konlrol mempunyai lekanan darah dalam balas nom/a/'
."Iasing-masing kelompok ludiri dari 50 responden.
Didapalkan kadar insulin kelompok kasus bubeda bennakna dengan konlrol (/2 .50 ±
4.42 uUlI vs 8.93 ± 1.02 uUlI). demikian pilla kadar TG (/51.60 ± 75.44 mg/dl vs 110 .. 28 ±
17,58 mg/dl). Sedangkan umur kedlla kelompok kurang lebih sama (38.2 ± 5.8 lahun dan 37.8
± 5.7 tahun).
Analisa univarial secara I-test an/ara kasus da/l kontrollulzadap variabel Ins, Kol. TG.
LDL. HDL. U"IT dan RPp, pada kaslls menunjllkkan kemaknaan hanya pada Ins dan TG.
Sedangkan pada konlrol tidak menunjukkan kemaknaan tuhadap semua variabel.
Analisa regresi anlara kadar insulin dengan TDS maupun TDD pada ke/ompok kasus
menunjukkan kore/an yang positif (r = 0.72, P < 0.05 dan r = 0,45. P < 0.05). demikian pula
antara insulin dengan kadar TG (r = 0,54, P < 0,05). Telapi tidak didapalkan korelas dengan
kadar Kol, LDL, HDL. demikian pula dengan IMT dan RPP. Analisa regresi anlara kadar lrigliserida
dengan TDS maupun TDD menunjukan korelasi yang posiliJ (r = 0,45, P < 0,05 dan r =
0,33. p < 0,05) .
. Sedangkan pada kontrol semua lidak menllnjukkall korelasi.'
Analisa univarial secara Kai-Kuadrat terl,adap kelompok Hiperinsulinemia dan Normoinsuli,!
emia luhadap IMT < 25 dan ~ 25. didapatkan p > 0.05. demikian pula terlladap
RPP < 0,85 dan ~ 0,85 didapatkan p > 0.05.Analisa multivariat lerhadap pengaruh kadar
illsulin mauplln TG alas perubahan lekanan darah pada ke/ompok kasus didapatkan persamaan :
TDR = 125 + 2,74 Ins - 0,0154 TG. DariJonnula ini yang menunjukkan kemaknaan adalalr Ins
dengan p < 0.05.
Dapal disimpulkan bahwa ludapat hubungan anlara kadar insulin dengan lekanan
darah maupun dengan kadar trigliserida. Dapat disimpulkan pula balrwa kadar insulin benar
secara bermakna meningkatkan lekanan darah rata-rala."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganda S
"Komplikasi pada jantung adalah penyebab utama kematian pada penderita penderita penyakit Takayasu. Telah dilaporkan bahwa penderita yang meninggal dunia oleh karena aritmia ventrikuler termyata juga menderita regurgitasi aorta. Untuk meneliti kekerapan aritmia ventrikuler pada penderita penyakit Takayasu dengan komplikasi regurgitasi aorta, 39 penderita penyakit Takayasu dengan usia bervariasi antara 27 sampai 72 tahun (usia rata rata 47±12 tahun) diteliti dengan menggunakan perekaman Holter elektrokardiografi 24 jam. Kekerapan dan keparahan aritnia ventrikuler pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang penderita bermakna kemudian dibandingkan penderita tanpa regurgitasi aorta. Aritmia ventrikuler yang kompleks lebih sering dijmpai pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna bila dibandingkan penderita penderita tanpa regurgitasi aorta (11 dari 16 penderita dibanding 5 dari 23 penderita; p<0,01).
Pada penderita penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna, dijumpai perbedaan yang tidak bermakna dalam kekerapan aritmia ventrikuler yang kompleks antara penderita penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang abnormal dibandingkan penderita penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang normal. Pada penderita dengan thallium-201 miokardial skintigrafi yang normal, aritmia ventrikuler yang kompleks ternyata lebih sering dijumpai pada penderita dengan regurgitasi aorta yang bermakna bila dibandingkan dengan penderita tanpa regurgitasi aorta (4 dari 6 penderita dibandingkan 0 dari 12 penderita ; p<0.05). Namun demikian, dijumpai perbedaan yang tidak bermakna dalam kekerapan aritmia ventrikuler yang kompleks pada penderita penderita dengan thalium-201 miokardial skintigrafi yang abnormal (7 dari 10 penderita dibanding 5 dari 11 penderita). Dijumpai massa bilik kiri jantung lebih besar pada penderita dengan aritmia ventrikuler yang kompleks dibanding penderita dengan aritmia ventrikuler yang simpel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Andaningsih R
"Pendahuluan :
Tingginya angka kekerapan Iskeml tak ken tara sebagal konsekuensl klinik PJK yang mempunyat prognosIs yang tidak balk telah banyak dllaporkan sejak beberapa tahun Int. 01 Indonesia, khususnya dl RS Jantung "Harapan Kita" penel1tian mengenatlskeml tak kentara Inl belum pernah dllakukan. Sklntigrafi Tallum-20 1 mempunyal sensltlfitas dan speslfisltas tinggi untuk mendeteksllskeml mlokard. Dengan tujuan untuk mengetahul angka kekerapan dan prognosis penderita Iskeml tak ken tara serta menllat faktor-faktor yang mempengaruhl terjadinya perlstlwa koroner ("coronary events"), telah dllakukan penelitlan secara retrospektlf longltudlnal dl RSJHK dengan menggunakan sarana pemeriksaan Skintlgrafi Talium-201.
Metodologi :
328 orang penderlta yang terdeteksi posltif iskemi dengan pemeriksaan Sklntlgrafi Talium-201 di RSJHK antara bulan Juni 1986 sampat dengan akhir Desember 1991, dlamatl sampat dengan akhir Oesember 1992 (selama 320 minggu dengan rata-rata 35,6 ± 20,6 bulan). Penderlta dibagi menjadi penderlta lskemi tak kentara yaltu penderlta yang Iskemi tanpa angina saat Sklntlgrafi Talium- 201 dan penderita Iskemi dengan angina yattu penderita yang mengalaml angina saat Skintlgraft Talium-201.Pengamatan terhadap faktor-faktor yang akan dtnllal dan respon akhir peristiwa koroner (angina pektoris, Infark non fatal, gagal jantung dan kematlan) dllakukan dengan mencatat dart dokumen medik ,kuestoner serta wawancara. Analisa statistik dllakukan dengan cara anallsls ketahanan hldup Kaplan Melr dengan menggunakan uji multlvarlat model regresi Cox dengan kemaknaan P < 0.05.
Hasil ' :
Dari 328 orang penderlta tersebut. 244 orang (74.34%) adalah penderlta
dengan iskeml tak kentara.dimana 34 % mengalaml perlstlwa koroner dan 84
orang (25.7 % ) adalah penderlta Iskeml dengan angina dlmana sebanyak 40.5
% mengalaml perlstlwa koroner.Tidak ada perbedaan bennakna dalam hal
prognosIs pada kedua kelompok Int.
Darl 224 orang pender Ita Iskeml tak ken tara tersebut penderlta yang
datang aslmptomatlk dengan alasan pemerlksaan kesehatan (tlpe 1) sebanyak
86 orang (35,25 %). pasca lnfark (tlpe 2) sebanyak 108 orang (44.26 %) dan
dengan angina pektorls (tlpe 3) sebanyak 50 orang (20.49 %). DIstrlbusllni bila
dlbandlngkan dengan periderlta lskeml dengan angina tldak terdapat
perbedaan yang bermakna.
Dari hasH uji univarlat terhadap faktor-faktor yang dlanggap konslsten
terhadap rlsiko terjadinya perlstlwa koroner ("coronary events"). ·ada 7 faktor
yang terdapat pada penderlta lskeml tak ken tara yaltu : dlagnosa saat penderlta
datang/pra Tallum. adanya kardlomegall. kelalnan EKG pra Tallum . jumlah
arteri koroner yang tersumbat. fraksl ejeksl < 40 % • defek lebih dari 1 regional dan ambllan paru positif dan 2 faktor yang terdapat pada penderita iskemi dengan angina yaitu : adanya kardlomegall dan ambilan paru positif. Dengan pengujlan secara multlvarlat ternyata terdapat 3 faktor yang konslsten berpengaruh terhadap perlstlwa koroner. yaltu kardlomegall. jumlah arterl koroner yang tersumbat dan defek Tallum leblh dari regional (p < 0 ,05).
Kesimpulan :
Dari 328 penderita positif iskemi pada pemeriksaan Skintigrafi
Tallum-20 1 di RSJHK didapatkan angka kekerapan iskemi tak. ken tara cukup tinggi ( 74,3 %), dimana prognosisnya ·sarna dengan penderita iskemi dengan angina, sehingga keadaan iskemi tak. kentara tersebut tidak. boleh diabaikan dalam menanggulangi PJK.
Ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap perlsUwa koroner tersebut yaitu : kardlomegali ,Jumlah arterl koroner yang tersumbat dan defek Tallum lebih dari 1 regional."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Edial Sanif
"Telah dilakukan penelitian tentang kadar elemen renik (ER) Zn,Cu,hn,Cd dan Pb dalam rambut penderita hipertensi. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif dan acak. Terdapat 70 kasus hipertensi, 57 orang laki-laki (84%) dan 11 orang wanita (15,7%) berumur antara 22 sampai 60 tahun, rata-rata 38,63 + 9,40 tahun. Sebasar kelompok pembanding diambil 53 orang normotensi terdiri dari 42 orang laki-laki (79,27%) dan 11 orang wanita (20,8%) berumur antara 23 sampai 57 tahun, rata-rata 38.11 + 10,05 tahun. Di temukan kadar ER pada kelompok hipertensi yaitu Zn = 143,7 -+ 52,13 ppm., Cu n 10,24 -+ 5,31 ppm, Hn = 4,90 + 1,20 ppm, Cd dan Pb masing - masing adalah 0 (not) ppm. Kadar ER pada kelompok normotensi yaitu : Zn + 154.23 24.14 + + ppm, Cu = 13,42- 4,18 ppm, Hn = 5 , 52 - 3.57 ppm, Cd dan Pb masing - masing 0 (not) ppm."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1992
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaini
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap 260 penderita yang menjalani bedah pintas koroner di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita antara bulan Maret 1986 sampai dengan 31 Maret 1990 untuk mencari variabel prognostik mortalitas bedah.
Tiga puluh satu variabel prabedah yang terdiri dart 24 variabel klinis, 7 variabel kateterisasi-angiografi; dan 6 variabel intrabedah, telah diuji secara univariat dengan analisa "Kai-kuadrat" atau "Fisher's exact" dan selanjutnya secara multivariat dengan "Forward stepwise selection".
Dari 24 variabel klinik yang dianalisa secara univariat hanya 4 variabel yang bermakna yaitu kelas angina, riwayat CHF, aritmia dan kreatinin. Dari 7 variabel kateterisasi-angiografi tidak satupun yang bermakna. Dari 6 variabel bedah hanya 3 variabel yang bermakna secara univariat yaitu prioritas bedah, lama klem aorta dan endarterektomi. Dari 4 variabel klinik dan 3 variabel bedah yang bermakna tersebut, dengan analisa multivariat hanya 3 variabel yang bermakna yaitu prioritas bedah (p=0,0002), lama klem aorta (p=0,019) dan kreatinin serum (p=0,049).
Mortalitas bedah meningkat dengan tindakan urgensi--emergensi (mortalitas elektif 5,7%, mortalitas urgensi 28,0% dan mortalitas emergensi 57,1%). Lama klem aorta juga mempengaruhi mortalitas (mortalitas lame klem aorta < 52 menit 2%, antara 52-70 menit 4,9%, antara 71-96 menit 10,0% dan > 96 menit 22,9%). Kadar kreatinin > 2 mg% menyebabkan mortalitas meningkat (pada kadar kreatinin serum > 2 mg% mortalitasnya 60%).
Sebagai kesimpulan bahwa kadar kreatinin serum yang tinggi, pernbedahan secara urgensi-emergensi, dan lama klem aorta yang panjang akan meningkatkan mortalitas bedah.

ABSTRACT
A retrospective study on 260 patients who underwent bypass surgery at the Harapan Kiita National Cardiac Center from March 1986 up to March 1990 was undertaken to determine the prognostic variable in surgical mortality.
Thirty one preoperative variables comprising of 24 clinical, 7 coronary angiographies and 6 intraoperative variables were tested using univariate analysis with chi-square or Fisher's exact followed by multivariate analysis using Forward Stepwise Selection.
Of 24 variables analyzed using univariate analysis only 4 were significant, namely angina class, history of CHF, arrhythmias and creatinine.
Of the 7 angiographies variables, not even one was significant ; whereas of 6 surgical variables, only 3 were significant, that is priority of surgery, duration of aortic clamp and endarterectomy.
From 4 clinical and 3 surgical variables which were significant, using multivariate analysis, only 3 were significant: priority of surgery (p=0,0002), duration of aortic clamp (p=0,019), and serum creatinine (p=0,049).
Surgical mortality increased with urgency-emergency procedures (elective mortality 5,7%, urgency mortality 28,0% and emergency mortality 57,1%). Duration of aortic clamp also influenced mortality (aortic cross clamp < 521,2%; between 71-96',10,0% ; and > 96',22,9%). 96',22,9%). Serum creatinine level exceeding 2 mg% increased mortality (at a serum creatinine level of > 2 mg%, mortality was 60%).
In conclusion, a high serum creatinine level, an urgency-emergency surgical procedure, and the duration of aortic clamp time will increase surgical mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I.G.N. Putra Gunadhi
"Untuk menilai manfaat tindakan Kontra Pulsasi Extemal Diperkuat
(KPEK - ’EECP’) pada penatalaksanaan penderita APS, telah dilakukan penelitian "pre-post uncontrolled clinical trials" terhadap 38 penderita APS (36 laki-laki, 2 wanita) berumur rata-rata 56,31±1,34 tahun dengan rentang usia 43 - 73 tahun, dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode 1 Desember 1992 sampai dengan 31 Agustus 1993. Semua penderita menjalani tindakan KPEK 36 jam, 1 jam setiap hari yang sama) pra dan pasca tindakan KPEK serta perubahan keluhan subyektif
pasca tindakan. 35 orang diantaranya dievaluasi dengan uji latih Jantung beban dan skintigrafi talium 1 minggu pra dan pasca tindakan KPEK. Didapatkan perbaikan kelas angina sesuai kriteria CCS pada 32 (84,2%) penderita serta. Dari hasil skintigrafi talium 201, 9 penderita (23,6%) tidak
didapatkan defek iskemi lagi, pengurangan area iskemi didapatkan pada 24 penderita (63,2%) dan hanya 5 penderita (13,2%) tidak mengalami perbaikan. Sehingga total penderita yang menunjukkan perbaikan defek iskemi adalah 33 orang (86,8%). Toleransi latihan (’exercise duration’) dari ULJB juga mengalami peningkatan pada kelompok penderita yang menunjukkan bebas defek iskemi dari 5,76±2,35 menjadi 7,78±2,28 menit (P<0,02), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 5,61±2,19 menjadi 6,65±1,85 menit ( P < 0,05 ). Sedangkan pada kelompok yang tidak
mengalami perbaikan tidak menunjukkan peningkatan toleransi latihan. Produk ganda pada ULJB pada kelompok penderita yang mengalami bebas defek iskemi menunjukkan penurunan dari 25166,67±4609,26 menjadi 24503,33±4012,03 ( P < 0,001 ), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 22910,48±6193,11 menjadi 21644,29±4227,46 ( P < 0,001 ), tapi sebaliknya pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan menunjukkan peningkatan dari 23392±4470,75 menjadi 26908±5738,59 mmHg LJ/menlt ( P < 0,001 ). Perbaikan defek reperfusi dan peningkatan toleransi latihan menggambarkan perbaikan perfusi koroner ke daerah miokard yang mengalami iskemi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Djamal Abdullah Hasan
"Untuk mencari variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan resusitasi jantung paru di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, telah dilakukan penelitian secara cross sectional terhadap 37 penderita pada periode 1 Januari sampai 30 April 1992. Untuk melihat kondisi yang dapat pulang hidup, dilanjutkan dengan pengamatan sampai 31 Juli 1992. Dua puluh tiga (62,16%) penderita timbul sirkulasi spontan selama RJP, 15 (40,54%) penderita dapat dipertahankan tekanan darah minimal 1 jam (RJP berhasil). Pada umumnya kematian terjadi dalam 24 jam pertama, 9 penderita dapat hidup setelah 24 jam. Tujuh (18,9%) penderita berhasil pulang hidup dari Rumah Sakit. Satu penderita dengan cacat neurologis menetap. Lima orang masih hidup hingga akhir pengamatan, satu penderita (yang mengalami cacat neurologis pada saat pulang) meninggal dirumah karena CVD dan seorang lagi tidak diketahui alamat terakhir. Dari 55 variabel yang diteliti terhadap keberhasilan RJP dan kondisi penderita pada saat pulang dari RS (hidup/meninggal), diuji secara univariate Perbedaan bermakna bila p < 0,05. Adanya iskemi miokard, tekanan darah < 90 mmHg, kadar ureum > 50 mg/dl sebelum henti jantung merupakan prediktor negatif untuk dapat pulang hidup dari RS. Pada saat. henti jantung, aritmi (FV dan TV, yang sebagian tampak dengan gejala kejang) merupakan prediktor positif untuk keberhasilan RJP dan kemungkinan pulang hidup dari RS . Sedangkan lama henti jantung dengan resusitasi > 15 menit perlunya intubasi merupakan prediktor negatif untuk keberhasilan RJP dan kemungkinan pulang hidup dari RS. Gula darah < 90 atau > 200 mg/dl selama RJP merupakan faktor prediktor negatif untuk dapat pulang hidup dari RS. Setelah teratasi henti jantung, produksi urine < 300 mlj 24 jam pertama, hipotensi lama, RJP berulang, koma setelah RJP, merupakan prediktor negatif untuk dapat pulang hidup dari RS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T58001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Jahja Saputra
"Latar Belakang: Cedera Reperfusi-iskemik merupakan isu klinis yang penting dan umum. Hal tersebut dapat terjadi pada trombo-embolisme, penyakit vaskuler aterosklerotik, bedah kardiovaskuler, transplantasi organ, replantasi tungkai dll. Reperfusi jaringan yang iskemik bukan hanya menyebabkan reaksi iniamasi lokal tetapi juga mempengaruhi fungsi organ lain melalui respons inflamasi sistemik. Banyak studi menunjukkan sel polimorfonuklear terutama netrofil mempunyai peranan cedera yang panting dalam proses reperfusi-iskemik dengan menginfiltrasi jaringan iskemik dan juga kedalam organ yang jauh seperti hati, pare, ginjal dsb. Banyak obat yang sudah dicoba untuk untuk mengurangi efek cedera reperfusi dengan basil yang bervariasi. Salah satu obat yang menjanjikan dapat mengurangi cedera reperfusi melalui efek antiinflamasinya adalah Pentoksifilin (PTX). Pada studi eksperimental, kami mengamati efek pemberian PTX terhadap infiltrasi netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare hewan kelinci yang dibuat iskemik secara akut pada tungkai bawah dan diikuti dengan reperfusi.
Metoda: Dua belas ekor kelinci jantan ras New Zealand White dibagi secara acak menjadi 3 grup (A,B dan C). Grup A diberikan PTX ( n=5); Group B diberikan NaCl 0.9% sebagai kontrol (n=5); Grup C adalah kontrol negatif (n=2). Grup A dan B mengalami total iskemia selama 3 jam pada tungkai bawah dengan Cara menjepit arteri iliaca komunis sinistra dengan klem. Dosis PTX adalah 40 mg/ kgBB bolus diikuti lmglkgBB sebagai dosis rumatan. PTX diberikan 30 menit sebelum reperfusi. Grup B diberikan NaCl 0.9 % dan pada grup C tidak dilakukan tindakan iskemia. Potongan jaringan histopatologi dari otot yang iakemik, hati dan pare diambil pada akhir percobaan (3jam setelah rep erfusi) sebelum dilakukan etanasia.
Hasil: Jumlah rerata netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare berturut-turut adalah sebagai berikut : Pada grup C adalah 0.67 ± 0.75; 2.00 ± 1.41 dan 4.33 ± 1.49. GrupA adalah 3.53 ± 6.01; 7.20 ± 5.29 dan 13.87 t 7.84. Grup B adalah 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39 dan 34.13 ± 12.83. Tampak jumlah netrofil lebih rendah bermakna pada jaringan pare grup A dibandingkan grup B (p < 0.009). Ada kecenderungan jumlah netrofil lebih rendah dalam jaringan otot skeletal dan hati pada grup A dibandingkan grup B, walaupun secara statistik tidak bermakna (p < 0.075).
Kesimpulan: Pentoksifilin dapat mempunyai efek mengurangi infiltrasi netrofil kedalam jaringan pada kelinci yang mengalami cedera reperfusi-iskemik tungkai akut.

Background: Ischemic-reperfusion injury is a common and important clinical issues.lt occurs in many clinical setting such as thrombo-embolic phenonrenon,atherosclerotic vascular disease, cardiovascular surgery, organ transplantation, replantation of limb etc. Reperfusion of ischemic tissue not only causing local inflammatory reaction but also affect remote organ function by systemic-inflammatory responses. Many studies have showned that polymorphonuclear leukocyte especially neutrophil has an important damaging role in reperfusion injury. They exert their effect through infiltration into ischemic tissue and also into remote organ like liver,lung,kidney etc. So far a lot of agents have been tried to attenuate reperfusion injury with variable results. One promising drug for attenuating ischemic-reperfusion injury through its anti-inflammatory effect is Pentoxifylline (PTX). In this exploratory experimental study, we observed the effect of giving PTX on neutrophil infiltration to skeletal muscle, liver and lung tissue in rabbits with induced acute limb ischemia followed by reperfusion.
Methods: Twelve male New Zealand White rabbits were randomly divided into 3 groups (A,B and C). Group A were given PTX(n =5); Group B using Na CI 0.9% as a control group (n= 5); Group C was negative control (n=2). Group A and B underwent 3 hours of total ischemia of the lower limb by clamping proximal left common iliac artery, follow by 3 hours of reperfusion. The dose of intravenous PTX was 40mg1kgB W bolus followed by 1 mg/kg BWlhour maintenance dose. PTX was given 30 minutes before reperfusion. Group B was given normal saline and in Group C, no intervention done. Histopathologic section of iskernic skeletal muscle, liver, and lung tissue were taken at the end of experiment before( 3 hours of reperfusion) euthanasia was done.
Results: The mean numbers ofneutrophil in ischemic skeletal musle, liver and lung tissue consecutively were as follow ; In Group C were, 0.67 t 0.75; 2.00 f 1.41; and 4.33 ± 1.49. In group Awere,3.53 ±6.0]; 7.20±5.29; and 13.87±7,84, and in groupB (control)were 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39; and 34.13 ± 12.83. There was significantly lower number of netrophil in lung tissue of group A compare to group B (p< 0.009). Although not statistically significant (p= 0.075), there were a trend to have lower neutrophil counts in ischemic skeletal muscle and liver tissue in group A rabbits compared to group B.
Conclusion: Pentoxifylline has attenuating effect on neutrophil infiltration in rabbits undergoing ischemic-reperfusion injury of lower limb.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library