Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
W. Bagyawan Sanjoto
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
S18194
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sulistyorini
"Keberadaan Pekerja Seks Komersial (PSK) merupakan permasalahan yang
kompleks dalam kehidupan masyarakat Masalah pelacuran melibatkan kaum
perempuan dan laki - laki, melibatkan nilai - nilai dan standar moralitas ganda dalam masyarakat , melibatkan pula berbagai aspek Iain yaitu ekonomi, sosiologis, kultural
dan aspek-aspek lain nermasuk aspek psikologis yang saling terkait satu sama lain.
Terdapat stigma dan label yang diberikan oleh masyarakat terhadap status sebagai pekerja seks. Hal ini mcmbuat PSK enggan untuk mengakui jati diri sebagai pekcrja
seks. Salah satu cara yang dapat dllakukan untuk dapat membantu mengungkap jati diri PSK adalah dengan menggunakan alat tes yang dapat mengungkapkan data yang khas dari PSK.
Dalam ilmu psikologi dikenal alat bantu untuk melakukan diagnostik, yang disebut sebagai tes psikologis. Salah satu bentuk dari tes adalah teknik proyek-tif Tes
proyektif menggunakan stimulus yang relatif tidak terstruktur. Hal ini meznungkinkan munculnya respon yang bervariasi.Stimulus tersebut dapat berfungsi sebagai layar
untuk dapat mengungkapkan karakteristik proses berpikir, kebutuhan, kecemasan atau pun konflik yang tidak disadari atau tidal: cliakui oleh individu _ Salah satu tes proyeksi yang digunakan saat ini adalah TAT. TAT merupakan mctodc untuk dapat
mcngungkaplcan dorongan - dorongan, emosi, sentiment, kompleks atau kontlik kepribadian yang dominan pada diri individu Dalam tes proyeksi terdapat asumsi yang menyatakan bahwa respon subyek terhadap stimulus yang ambigu mencerminkan atribut kepribadian yang relatif menetap (Anastasi & Urbina 1988)
khususnya umuk TAT yang hasilnya clipengaruhi oleh faktor kemampuan verbal (Anastasi, 1988). Dalam TAT yang dikembangkan oleh Murray ( 1943) hal ini terungkap dalam need dan press yang dimiliki tokoh utama dalam respon subyek
Namun asumsi ini masih dipertanyakan. Pcnelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah TAT dapat memproyeksikan need dan press yang dimiliki oleh subyek PSK
mengingat PSK pada umumnya memiliki taraf pendidikan yang rendah sehingga mempengaruhi kemampuan verbalnya dalam memberikan respon pada TAT. Sebagai
indikator need dan press subyek digunakan anamnesa subyck_ Pcnelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakandata sekunder bempa laporan
kepaniteraan mahasiswa profesi di bagian Psikologi Universitas Indonesia di mana TAT digunakan sebagai alat tes.. Jumlah laporan kasus yang dijadikan data dalam penelitian ini adalah lima berkas.
Hasil pcnelitian ini menunjukkan bahwa TAT dapat mengungkapkan need dan press subyek yang tampil dalam anamnesa subyek. Hal menunujukkan bahwa TAT
adalah metode yang proyektif Di samping itu TAT juga mampu mengungkapkan
need dan press yang tidak terungkap dalam ananmesa. Hal ini merupakan nilai lebih TAT. Dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa subyek mengenalkan iigur dan objek yang tidak terdapat dalam gambar pada kartu TAT yang menunjukkan
keinginan- keinginan suhyek. Penelitian ini juga menunjukkan adanya Egur dan objek yang djabaikan oleh subyck Hal ini menunjukkan tyerdapat hal- hal yang di repres
oleh subyek Temuan lain yang cukup menarik adaiah bahwa subyek menampilkan tokoh utama yang berbeda dengan kenyataan diri nya. Di samping itu subyek tampak
memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depannya bila dibandingkan antara hasil tes dan kenyatnan yang tcrtcra dalam anamnesa subyek Dalian' pustaka: 13 (1960 - 2000)"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Wardhana
"Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, manusia terkadang melupakan pentingnya kelestarian fungsi lingkungan. Kegiatan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini banyak yang mengabaikan arti penting lingkungan dalam menunjang kehidupan mereka. Kegiatan masyarakat yang sangat merugikan lingkungan yang sedang marak berkembang di Kalimantan Barat adaiah pertambangan emas. Pertambangan emas yang dilakukan ini secara ilegal karena tidak memiliki ijin dari pejabat yang berwenang. Aktivitas pertambangan ini dikenal dengan sebulan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) bahan galian emas. PETI berkembang dari pertambangan rakyat yang dilakukan secara tradisional yang semakin lama semakin berkembang menjadi pertambangan emas yang menggunakan peralatan semi mekanis dan pelakuknya juga tidak hanya masyarakat setempat tetapi juga para pendatang terutama berperan sebagai pemodal.
Kegiatan PETI ini sangat merugikan baik bagi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dan dampak lingkungan yang diakibatkannya sangat mengkhawatirkan kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Dampak lingkungan akibat aktivitas PETI ini antara lain: kegiatan PETI dilakukan dengan membongkar lahan puluhan hektar sehingga mengubah keseimbangan ekosistem yang berpengaruh secara signiiikan terhadap terjadinya kerusakan jenis, spesies dan habitat flora dan fauna Proses pemisahan bijih emas dari batuannya menggunakan logam berat merkuri atau air rakya yang limbahnya langsung di buang ke tanah dan aliran sungai di sekitar lokasi PETI , selain itu juga berdampak pada lingkungan sosial bempa konflik sosial yang pelik seperti berkembangnya prostitusi, perjudian dan perkelahian antar kelompok serta kriminalitas lainnya.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh PETI, maka PETI harus diatasi minimal menguranginya dan bahkan menghilangkannya. Untuk melaksanakan penertiban terhadap PETI peranan Pemerintah, dalam hal ini lembaga-lembaga lingkungan, sangat diperlukan sehingga perkembangan PETI dapat dicegah dan kelestarian fungsi lingkungan tetap terpelihara. Namun demikian dalam pelaksanaan tugasnya lembaga-lembaga lingkungan yang berada di Kalimantan Barat belum maksimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka peranan lembaga yang berkaitan dengan pengendalian dampak Iingkungan sebagai akibat dari aktivitas PETI yang ada di Kalimantan Barat perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut peran dan efektivitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Fungsi, tugas dan wewenang kelembagaan lingkungan dalam menangani dampak lingkungan akibat aktivitas PETI emas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kelembagaan yang dilihat dari hasil kerja Tim Penertiban PETI emas dan kendala atau hambatan dalam penertibannya.
3. Keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat terutama dilihat dan keadaan tingkat pendapatan dan pola perilaku masyarakat di sekitar lokasi PETI.
Penelitian bersifat diskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif yang dilaksanakan di Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, observasi serta dan wawancara kepada informan yang berkompeten yang ditetapkan berdasarkan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukan bahwa belum adanya lembaga pemerintah yang mempunyai fungsi, wewenang dan bertanggungjawab terhadap PETI. Penanganan PETI dilakukan oleh Tim Penertiban PETI yang keanggotaannya terdiri atas unsur pejabat pemerintah yang terkait. Tim Penertiban PETI kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan penyuluhan, pembinaan, pengawasan dan penertiban PETI yang dilakukan selama tahun 1996 - 2000, tidak kontinyu dan tidak merata di semua lokasi PETI. Selain itu tidak dapat menghilangkan PETI dan mencegah kerusakan Iingkungan akibat PETI, justru perkembangan PETI dan kerusakan lingkungan cenderung terus meningkat setiap tahunnya.
Jumlah PETI selama tahun 1996-2000 rata-rata setiap tahun yaitu 1.781 kelompok, dengan tingkat perkembangannya meningkat 3,1 % per tahun. Jumlah tenaga kerja yang terserap rata-rata setiap tahun 16.391 orang setiap tahun dengan tingkat penyerapan tenaga kerja PETI meningkat 27,6 % per tahun. Volume kerusakan tanah dan pasir yang tergali setiap tahun rata-rata 3.359.687 m3 dengan tingkat kerusakannya meningkat 10,8 % per tahun. Luas areal lokasi penambangan yang rusak setiap tahun rata-rata 1.378,4 Ha dengan tingkat kerusakannya meningkat 8,3 % per tahun, dan penggunaan Air Raksa (Hg) dalam kegiatan PETI yang tersebar dan mencemari lingkungan berjumlah 4,1 ton per tahun dengan tingkat penggunaannya meningkat 6,2 % per tahun.
Keadan sosial ekonomi masyarakat, terutama mengenai pendapatan masyarakat di sekitar lokasi PETI, yaitu rata-rata pendapatan pekerja atau buruh PETI Rp. 25.000,- sampai Rp.35.000,- per hari kerja. Pendapatan masyarakat bukan pekerja PETI di sekitar lokasi PETI rata-rata Rp. 25.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari kerja. Pcndapatan bersih mandor PETI rata-rata Rp. 35.000, sampai Rp 50.000,- per hari kerja. Kurang efektifnya Tim Penetiban PETI dalam menangani PETI dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain 2 Iokasi PETI, operasi penertiban, perijinan, penegakan hukum, pendanaan, dan kegiatan Kontak Karya atau Kuasa Pertambangan.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa: Efektivitas kelembagaan lingkungan dalam penanganan PETI di Kalimaman Barat masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya perkembangan PETI dan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PETI. Belum efektifnya lembaga-lembaga tersebut dalam melaksanakan penerliban PETI disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: lokasi, operasi penertiban, perijinan, penegakan hukum, pendanaan dan faktor kegiatan KK dan KP. Meningkatnya perkembangan PETI berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar lokasi PETI. Selain itu, dampak sosial budaya yang ditimbulkan PETI adalah meningkatnya kriminalitas, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti perjudian, minuman keras dan prostitusi di sekitar lokasi PETI.

Accompanying industrial development and rising demands for the peoples needs have evenrually caused neglect in environmental protection. In pursuing their daily needs, the community easily forget the importance of theliving environment in supporting their living existence. Illegal gold mining activities undertaken by the local people in the traditional and primitive way (PETI) are at present spreading in large areas of West Kalimantan, due to lack of effective control by local authorities. It has been noted that such activities that are now using semi mechanical tools are not merely undertaken by the local populations, but also undertaken by people coming &om outside the region, especially by those who are also attracted to provide financial backups to these activities.
The illegal gold mining uncontrolled activities are evidently very harmful both to the national and regional interests as well, and might leave for the next generation living in the region a completely ruined areas. Extensive areas of land which once were rich in various kinds of plants and wild life. A devastated in search of some gold and natural habitat of various flora and fatma are wasted, left unfit for any use. What is particularly distratrous is the use of mercury to extract the gold, which alter having been used is disposed into the surrounding lands or in to the nearby rivers, resulting in pollution, affecting the flora and fauna. These gold mining activities are also the root of several social disturbances like prostitutions, gambling, fights between community groups, and any other kinds of criminality.
lt is obvious, that the undersirable effects of the gold mining must be minimized as much as possible. The responsible authorities should by all means undertake possible actions to overcome the problems. Government environmental protection agencies should be particularly called upon to take direct control to preserve the environment. However, it was noted that in the execution of their tasks, local environment agencies were perceived as not being effective enough. Within this framework of thinking the roles of existing local agencies related to the environmental impact control of illegal gold mining should be reviewed and evaluated in terms of their roles and effectiveness. A more effective method of control must be deviced for West Kalimantan to obtain actual results, particularly in connection with the continuing and still increasing activities ofthe people in their search for gold.
The objective of the study is:
1. To review the function, task and power of existing local environmental protection authorities to elliminate the adverse results of illegal gold.
2. To review and identify factors that inhibit effective perfomance of the gold environmental agencies to reduce adverse effect of illegal gold mining upon the environment under the existing regulations.
3. To study social and economic condition of the population in the affected areas in terms in term of their income.
The study is of descriptive nature and adopts a qualitative approach while being undertaken in West Kalimantan. Reliable sources of information include observation, partipatory observation and interview with competent respondents by way of purposive sampling.
The results reveals that so far competent and accountable agencies for the control of illegal gold mining activities were not effectively in function. Control is being carried out by PETI special task force officials in the affected areas.The rather poor control results are revealed by less sufficient extension services, guidelines, supervisions and mining control during 1996 until 2000, due to the absence of regular and on-the-spot control in all PETI areas. Illegal gold mining activities continued to grow in number every year.
During 1996-2000, there were 1,781 groups of people actively involved in illegal gold mining operations, showing an increase of 3,1 % each year.A total of 16,391 men were absorbed each year at average, with an annual ancrease of 27,6%.Annual average volume of earth exvacated amounted to 3,359,683 m3,thus damaged areas increased 10,8 % each year. About 1,378.4 hectares of mining location were damaged each year, increasing by 8,3% annually. Extensive pollution by mercury used in mining opertaions amounted to 4.1 tons per year, increasing by 6,2% annually.
The socio-economical conditions of the population, particularly those near the mining locations working as field labourers, earn daily wages of Rp.25,000- Rp.35,000, whereas those involved in other activities earn average daily wages of Rp.25,000-Rp.50,000. A mining foreman may earn Rp.35,000-Rp.50,000 per day. Less effective mining control results are mainly due to the spreaded and distant locations, lack of control and of good lincesing systems, weak law enforcement, insufficient financing and the statuss of Contract of Work and Mining Authorization activities.
The following conclusion may be drawn from the result of the study; The control of mining acttivities in West Kalimantan by the authorized agencies remains less effective, as indicated by continuing increase of illegal gold mining activities by the local communities in several areas, and the expanding environmental damage caused by the activities. Failure of the local authorities of enforce effective control is due to the absence of well-planned rules and regulations, licensing systems, insufficient fluids, and widespreads mining locations, which generated criminal activities, gambling, use of alcoholics drinks, prostitutions and disorder, reprensting social pathology as negative social impact of illegal gold mining activities.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radyan Prasetyo
"Tailing yang dihasilkan industri pertambangan menjadi perdebatan hangat karena volume yang dihasilkan sangat besar dan masih mengandung beberapa logam. Hal ini mengharuskan penempatan dan pemanfaatan tailing juga harus cermat. Volume tailing ini berpotensi menurunkan fungsi lingkungan. Selain itu tailing membutuhkan area khusus yang besar dan steril untuk lokasi penampungan yang dikenal sebagai tailing dam. PT. Antam UBPE Pongkor adalah salah satu penamambangan emas dengan sistem penambangan tambang bawah. Metode penambangan yang dilakukan di UBPE Pongkor ini adalah metode cut and fill yaitu pengambilan bijih, dan pengisian kembali rongga dengan tailing yang telah didetoksifikasi sebelumnya.
Tambang emas Pongkor menghasilkan 350 ribu ton tailing per tahunnya yang berasal dari proses pengolahan dan dari pekerjaan pengembangan tambang. Pemisahan dari penggunaan kembali tailings dibagi menjadi 2 kategori, dimana 60% material tailing dimanfaatkan dan sisanya dibuang ke tailing dam. Perlunya pemanfaatan kembali tailing ini adalah untuk mengurangi volume yang terbuang.
Untuk mengetahui konsentrasi logam yang tersisa, telah diambil sampel pada beberapa titik yaitu tailing dam, batako dan material filling. Sampel slurry kemudian dipisahkan menjadi sampel padatan dan sampel larutan. Sampel padatan dilarutkan dengan Aquaregia, kemudian kedua sampel dianalisis dengan AAS. Hasil pengukuran pada sampel larutan menunjukkan konsentrasi unsur Mn 0,86 mg/L, Fe 0,366 mg/L, Pb 0,035 mg/L, Cd 0,027mg/L, Zn 0,033 mg/L dan Cu 0,22 mg/L.
Hasil pengukuran sampel padat menunjukkan nilai Mn 6,68 mg/kg, Fe 61,96 mg/kg, Pb 0,28 mg/kg, Cd 0,01mg/kg, Zn 0,42 mg/kg dan Cu 0,31 mg/kg. Semua hasil pengukuran ini menunjukkan konsentrasi beada di bawah Baku Mutu. Selain itu dari uji LD50 dan TCLP yang dilakukan berkala oleh UBPE Pongkor menunjukkan nilai berada di bawah Baku Mutu. Kesimpulannya, tailing aman untuk dimanfaatkan.
Pemanfaatan tailing di Pongkor sebagai material filling mampu mengurangi volume tailing sebanyak 42,20% dari total produksi tahun 2007. Tingkat keefektifan backfilling ini hanya 70,20% dari target sebanyak 193.356 dmt. Sementara itu, pemanfaatan untuk batako hanya mencapai 1,8% dari seluruh total taling. Batako ini sampai saat ni hanya digunakan untuk keperluan internal tetapi memiliki potensi economic benefit untuk dimanfaatkan secara masal.
Selain pemanfaatan diatas, tailing juga dapat digunakan untuk pembuatan genteng bakar karena kesamaan struktur dengan lempung. Selain it juga dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan untuk mengetahui besarnya economic benefit dan penyerapan tenaga kerja.

Tailing produced by mining industries being an issue and debate because it has a huge volume and still remaining metals. Thats why the tailing placement and its reuse must be detail and persnickety. This huge volume of tailing is potentially caused an environmental descent function otherwise tailing need a steril spesific area for retain talling sludge that called as tailing dam. PT. Antam UBPE Pongkor is a gold mining company that use an undreground mining method. This method applyng a cut and fill system. Cut and fill is digging and supporting method that getting the gold ore, processing and filling the blank stope with tailing that detoxificate before.
The Pongkor gold mining field produce more than 350,000 tons tailing each year that derived from processing plant and mining development activity. This tailing is splitted into 2 categories in which 60% of tailing material going to reuse and the rest, placed into tailing dam. The important need to reuse tailing is to alleviating the tailing volume in tailing dam.
The goals of this research are as follow ; (1) To figure out the safety level of tailing reuse by analyzing metals concentration that remain in tailing, (2) To analyzing the combine of tailing reuse in UBPE Pongkor, (3) To find out effectivness of tailing reuse in UBPE Pongkor as brick, backfilling material and reclamation soil media in order to reduce tailing volume that dumped into tailing dam, (4) To analyzing impacts of tailing reuse in the field to environment and ecosystem sorrounding UBPE Pongkor.
This research is an expost facto method that conducted with descriptif analysis approach. Primary and secondary data were collected by taking samples in spesific place, measuring the metal concentration in samples with AAS, interview and documenting some of apropriate figure. To figure out the metal concentration in tailing, sample have been taken from tailing dam, tailing brick and also from filling material. Then all of these samples were analyzed with AAS. Another way finding out the volume that has been treated as reuse and the remains tailing, secondary data derived from Environmental Unit at UBPE Pongkor.
The measurement results are presented as follow, for example, the concentration of solutions sample are 0,86 mg/L, 0,366 mg/L, 0,035 mg/L, 0,027mg/L, 0,033mg/L and 0,22 mg/L for Mn, Fe, Pb, Cd, Zn and Cu respectively. Meanwhile the concentration of soids sample are 6,68 mg/kg, 61,96 mg/kg, 0,28 mg/kg, 0,01mg/kg, 0,42 mg/Kg and 0,31 mg/kg for Mn, Fe, Pb, Cd, Zn and Cu respectively. All of this metal concentration stated below the treshold limit. Meanwhile LD50 and TCLP test that have been done frequently by UBPE Pongkor show result all concentration below treshlod limit.
Conclusion is, tailing safe for reuse. The tailing reuse at the UBPE Pongkor for filling material has achieved only 42,20% from total tailing that produced in 2007 (193,356 dmt) or 70,22% from the target. Tailing reuse as tailing brick during 2007 only 1,8% from total tailing produced in 2007 and on for internal use only. The tailing brick hav a potentially economic benefit if only commonly in mass by people sourronded UBPE Pongkor area.
Except for reclamation media, backfilling material and tailing bricks, tailing also potentially as roof tile because having a similiarity texture and clays contents. In order to strengthened and durability longer, commonly brick klin added. Another potentially use for ceramics additive. The tailing bricks is better with deeply research especially involved with economic benefit and labour supply absorption."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24961
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Setiawan
"Kabupaten Belitung merupakan wilayah yang secara administratif
tergabung dalam wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.,
Kabupaten ini telah lama dikenal sebagai daerah penghasil timah.
Sejarah pengembangan pulau ini tidak lepas dari penambangan timah
yang menurut beberapa catatan telah dilakukan sejak lebih dari seratus
lima puluh tahun yang lalu (Sujitno, 1996). Penambangan timah di daerah
ini telah berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat, memberikan
kontribusi bagi pengembangan infrastruktur dan pengembangan kota dan
berbagai keuntungan lainnya yang dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat.
Krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional (1998) dan
perubahan dalam sistem ketatanegaraan dengan terbitnya UndangUndang
Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah memicu
terjadinya aktivitas pertambangan timah oleh masyarakat yang dilakukan
secara illegal (tanpa izin). Berdasarkan pemberitaan media massa,
kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) timah mencapai ribuan
jumlahnya di wilayah propinsi Kepulauan Bangka Belitung (Post Belitung,
2001).
Kegiatan Pertambangan tanpa izin (PETI) timah memberikan dampak
positif dan negatif terhadap lingkungan. Dampak positifnya antara lain:
penyediaan alternatif lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
masyarakat. Sedangkan dampak negatif yang timbul adalah: terjadinya
perubahan bentang alam, hilangnya vegetasi dan fauna yang terdapat
pada areal PETI, lahan menjadi porak poranda akibat penambangan
yang tidak terkendali bahkan pencemaran berupa peningkatan kekeruhan
dan sedimentasi terhadap perairan di sekitar areal penambangan.
Akibatnya pemerintah harus mengeluarkan dana yang besar untuk
kegiatan pemulihan lingkungan Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup maupun Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang besar bagi daerah
untuk mengelola sumberdaya alam dan sekaligus memelihara kelestarian
fungsi lingkungan. Namun berdasarkan pengamatan peneliti dan
pemberitaan media massa, perkembangan PETI dan dampak
lingkungannya dari tahun ke tahun semakin meningkat pula. Karenanya
peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi terhadap organisasi Pemerintah
Kabupaten Belitung yang sesuai tugas pokok fungsinya terkait dalam
pengelolaan pertambangan dan lingkungan hidup.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini
pengelolaan pertambangan timah di Kabupaten Belitung, organisasi yang
terkait dalam pengendalian PETI di Kabupaten Belitung, bagaimana hasil
yang telah dicapai dalam pengendalian tersebut, dan faktor-faktor yang
menghambat pengendalian kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI)
timah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi terkini pertambangan bahan galian timah di
Kabupaten Belitung.
2. Mengkaji efektivitas organisasi Pemerintah Kabupaten Belitung dalam
pengendalian pertambangan tanpa ijin timah (peti) timah di Kabupaten
Belitung.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi
organisasi pengelola lingkungan tersebut dalam pengendalian PETI
tim a h.
Penelitian tergolong penelitian deskriptif, yaitu berusaha untuk
mendeskripsikan hal-hal yang saat ini berlaku, untuk selanjutnya
didalamnya terdapat upaya untuk mencatat, menganalisis, dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi. Sedangkan
metode yang digunakan adalah gabungan metode kualitatif - kuantitatif .
Hasil penelitian ini adalah:
1. Pengelolaan pertambangan timah di Kabupaten Belitung diatur
melalui Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 tahun 2003
tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. Perda ini telah
mengakomodir kepentingan masyarakat dalam usaha pertambangan,
yaitu dengan adanya ketentuan mengenai izin usaha pertambangan
yang dilakukan oleh masyarakat (SIUPR). Namun persoalannya,
hingga saat ini Organisasi Pemerintah Kabupaten Belitung yang
memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan belum
sepenuhnya dapat mengiplementasikan hal tersebut. Ketiadaan
pembinaan dan pengawasan merupakan salah satu contoh ketidak
mampuan instansi pemerintah tersebut dalam menerapkan kebijakan
pengelolaan pertambangan. Aktivitas pertambangan oleh masyarakat
di Kabupaten Belitung pada saat ini, erat kaitannya dengan ketiadaan
lapangan kerja, rendahnya skill (kemampuan/keahlian) masyarakat"
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Uiniversitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Taufik Ramadhan
"Konflik antara PT. SMM, masyarakat Kecamatan Naga Juang dan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, berakar pada hubungan ekonomi yang menyangkut dengan pengelolaan dan pemanfaatan komoditi emas. Penelitian ini berupaya melihat relasi diantara ketiga stakeholder tersebut, melihat hal-hal yang menjadi sebab konflik, mengurai struktur dan dinamika konfik serta merumuskan strategi resolusi konflik. Hasil penelitian menunjukkan, dimensi sebab konflik disebabkan oleh dimensi ekonomi atas pengelolaan dan pemanfaatan komuditi emas, dimensi struktur dan dinamika sangat dipengaruhi oleh peran aktor yang mendorong peningkatan ketegangan dan eskalasi konfik. Resolusi konflik yang dirumuskan, yaitu strategi akomodatif. Strategi akomodatif adalah strategi yang mengakomodir kepentingan dan espektasi dari dua stakeholder kunci yaitu, Pemkab Madina dan masyarakat Kec. Naga Juang.

Conflict between PT. SMM, society of district Naga Juang and the government of Mandailing Natal regency, rooted in economic relations that concern to the management and utilization of gold?s commodity. This research attempt to see the relationship between the three stakeholders, see the things that are the cause of conflict, analyze the structure and dynamics of conflict and also formulate strategies of conflict resolution. The results showed, because the dimensions of the economic dimension of the conflict caused by the management and utilization of gold komoditi, the dimensions of the structure and dynamics is strongly influenced by the role of actors encourage the escalation of tensions and conflicts led. The formulation of conflict resolution was an accommodative strategic which is a strategy that accommodates the interests and expectations of two key stakeholders, namely, local government Madina and community district Naga Juang.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irwan Harun
"ABSTRAK
Untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan menopang pembangunan nasional, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumberdaya alam batubara yang ada di Kalimantan Selatan, bekerjasama dengan PT Adaro Indonesia (PTAI). Selain berdampak positif penambangan batubara PTAI yang dilakukan dengan sistem tambang terbuka (open pit), juga dapat menimbulkan dampak negatif - berupa pengurasan sumberdaya alam, kerusakan dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah cair dengan volume 40,6 juta m3 dengan kadar suspended solid (SS) mencapai 30.000 mg/L (di outlet sump pit sebelum diolah).
Pembuangan limbah cair tersebut dapat mengakibatkan pencemaran sungai dan biota akuatiknya. Jika kualitas sungai tercemar, dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan, kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitamya, pada akhimya dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap PTAI. Oleh karena PTAI itu telah mempersiapkan suatu sistem pengelolaan air limbah, salah satu diantaranya adalah SISPAL SP-20. Temyata, operasional SISPAL tidak efektif untuk mencegah degradasi kualitas lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang komprehensif.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menemukan sistem pengelolaan air limbah tambang batubara terbuka yang efektif untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan, (2) mengetahui efektivitas SISPAL SP-20, (3) meningkatkan efektivitas SISPAL SP-20, (4) menemukan jenis dan dosis koagulan-flokulan yang tepat untuk meningkatkan efektivitas SISPAL SP-20, (5) mengetahui upaya minimisasi limbah cair dan menemukan peluang peningkatannya, (6) mengetahui pengaruh operasional PTAI terhadap kualitas sungai dan biota akuatiknya, (7) mengetahui persepsi masyarakat di sekitar tambang terhadap PTAI.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei, pengujian sampel air limbah di laboratorium dengan melakukan serangkaian eksperimen terhadap 5 pasang koagulan dan flokulan dan uji lapangan. Pengumpulan data sekunder didapatkan dari literatur, laporan internal PTAI, buku-buku, brosur, bahan kursus, dan intemet.
Studi efektivitas SISPAL SP-20 dilakukan dengan pendekatan teknik, sosio-ekonomi, sumberdaya manusia dan Iingkungan. Penentukan jenis dan dosis koagulan-flokulan yang sesuai dengan karakteristik air limbah tambang PTAI adalah faktor yang besar pengaruhnya untuk meningkatkan efektivitas SISPAL SP-20. Oleh karena itu penentuan jenis dan dosis koagulan-flokulan menjadi prioritas dalam penelitian ini. Dengan penelitian yang komprehensif diharapkan dapat ditemukan suatu sistem pengelolaan air limbah tambang batubara terbuka yang efektif mencegah terjadinya degradasi kualitas Iingkungan.
Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Sistem pengelolaan air limbah tambang batubara terbuka PTAI (SISPAL SP-20) tidak efektif mencegah degradasi kualitas Iingkungan. Pada penelitian ini telah ditemukan sistem pengelolaan air limbah tambang batubara terbuka yang efektif dengan menemukan jenis dan dosis koagulan-flokulan, mempersiapkan SOP dan strategi operasi yang tepat dan SDM yang kompeten.
2. Pasangan Koagulan Praestol 187-K dan flokulan Praestol 2640 adalah yang terbaik dari 5 (lima) pasang koagulan-flokulan yang diuji.
3. Penggunaan koagulan Praestol 187-K dan flokulan Praestol 2640 dengan dosis yang tepat dapat meningkatkan efektivitasnya untuk rnenurunkan kadar SS, Kekeruhan, Fe, Mn sampai 99 %, Sulfat, COD sampai 80%.
3.1. Dosis efektif koagulan Praestol 187-K adalah 10 ppm dan flokulan Praestol 2640 adalah 1 ppm dengan kadar S5 air limbah 7.550 mg/I. Biaya penggunaannya sebesar Rp 64 per m3, jika kadar SS air limbah 1.500 mg/l.
3.2. Biaya penggunaannya sebesar Rp 64 per m3, jika kadar SS air limbah 1.500 mg/l. Efisiensi yang dapat diperoleh pada SISPAL SP-20 adalah Rp 1,106 milyar per tahun dengan volume air limbah 3,293 juts m3 sedangkan untuk seluruh Tambang Tutupan dapat mencapai Rp 13, 653 milyar per tahun dengan volume air limbah 40, 664 juta m3.
4. PTAI telah melakukan berbagai upaya minimisasi limbah cair, tetapi hasilnya belum optimal. Minimisasi limbah cair didapatkan dengan memisahkan air yang keluar dari seepage dan drainhole dengan air limbah di Sump pit yang mengandung S5 tinggi dan memanfaatkan air tersebut untuk kebutuhan rumah tangga. Volume air yang dapat dimanfaatkan adalah 7, 776 juta liter per hari.
5. Operasional tambang PTAI mengakibatkan pencemaran sungai di sekitar tambang yang ditunjukkan dengan indeks Shannon-Wiener biota akuatik.
6. Operasional PTAI menimbulkan persepsi positif sebesar 64% dan persepsi negatif sebesar 36% oleh masyarakat di sekitar tambang.

ABSTRACT
To cope with the domestic energy demand to support our national development, the government of Indonesia continues to exploit its coal resources in South Kalimantan, under the cooperation between the Government of Republic Indonesia and PT Adaro Indonesia (PTAI). The Coal Exploitation by PTAI with open pit methods does not only have positive impact but can also cause negative impact in the forms of depletion of natural resources, environmental damages and water pollution caused by wastewater which discharges 40,6 million m3 and 30.000 mg/I of SS (at the outlet sump pit before treatment).
The discharge of wastewater consequently will pollute the rivers around the mining and endanger the aquatic life. If the water quality of these rivers decreases or is polluted, this will endanger the life of many people, their social and economic as well as their health life and in the end they will forward negative perception to the mining operations. Therefore, this wastewater should be managed by operating of the Open Pit Coal Mining Wastewater Management Systems (SISPAL). One of them is SISPAL SP-20. Unfortunately, the operation of this SISPAL is not effective to protect the degradation of environmental quality. Therefore, it should be improved by comprehensive research.
The objectives of the research are; (1) To formulate an effective open pit coal mining wastewater management systems to protect the degradation of environmental quality, (2) To identify the effectiveness of SISPAL-SP-20, (3) To increase the effectiveness of SISPAL-SP-20 (4) To find the appropriate type and dosage of coagulant-flocculant components to increase the effectiveness of SISPAL¬SP-20, (5) To identify the efforts done by PTAI in minimizing the liquid waste and identify improvement opportunity, (6) To identify the impacts of PTAI operations to the quality of the rivers and their aquatic life, (7) To identify the community perception to PTAI mining operations.
The method being used is experiment. Primary data collection is done through survey, sample testing of waste water conducted in laboratory by executing a number of experimentation of five pairs of coagulant-flocculant and field trial on the SISPAL SP-20. Secondary data collection is done through literature study of PTAI internal reports, books, brochures, magazines, course material and material found in the internet.
This research is conducted by technical, socio-economical, human resources and environmental approaches. The important factors to improve the effectiveness of the SISPAL SP-20 is finding the appropriate types and dosages of the coagulant¬ flocculant components. Therefore, this is the focus of the research. The open pit coal mining wastewater management systems will be found by this comprehensive research.
The research results are;
1. The open pit coal mining wastewater management systems of PTAI (SISPAL SP-20) is not effective to prevent the environment quality degradation. The effective SISPAL can be developed by effective dosage and correct types of coagulant-flocculant, improved SOP and operational strategy, and improved manpower competency.
2. The use of combination of Praestol P-187 coagulant and of Praestol P-2640 flocculant is the best of all 5 (five) combinations of coagulant and flocculant used in this research.
3. The use of combination of Praestol P-187 coagulant and of Praestol P-2640 flocculant with appropriate dosage can increase the effectiveness of the SISPAL SP-20 to decrease the concentration of suspended solid (SS), Turbidity, Iron, Manganese up to 99%, Sulphate and COD up to 80%.
3.1. The effective dosage of coagulant Praestol P-187 is 10 ppm and flocculant Praestol P-2640 is 1 ppm to wastewater which contains 7.550 mg/L of SS. The cost of chemical consumption is about Rp 64 per m3 of wastewater containing of 1.500 mg/L of SS.
3.2. The cost of chemical consumption is about Rp 64 per m3 of wastewater containing of 1.500 mg/L of S5. Total efficiency of SISPAL SP-20 is Rp 1,106 billions per year from 3,293 millions m3 volume of wastewater being processed per year, and the whole efficiency of overall Tutupan mining area with the 40,664 m3 volume of wastewater being processed per year, could reach Rp 13,663 billions.
4. PTAI carries out some efforts to minimize liquid waste, but the result is not optimal yet. There are some opportunities to improve the efforts of liquid waste minimization by segregation of the liquid wastes from drain hole and seepage with wastewater in the Sump pit which contains higher suspended solid. Total volume of water can be conserve and or use for community consumption is 7,776 millions liter/day.
5. The operation of PTAI is pollute the river quality around the mining area shown by Shannon-Wiener index of biota aquatic.
6. The operational of PTAI creates 64% positive perception and 36% negative perception of the community surrounding the mining area.
"
2007
T20770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Adi Pradana
"Riset ini dilaksanakan dikarenakan adanya permasalahan tidak sesuainya antara prediksi laju erosi dengan kondisi aktual laju erosi pada salah satu area reklamasi PT. X. Tujuan riset ini adalah untuk mengurangi dampak erosi pada kegiatan reklamasi pertambangan PT. X. Metode riset ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan laju erosi dengan USLE, perhitungan Indeks Bahaya Erosi (IBE) penilaian keberhasilan reklamasi, wawancara dengan masyarakat desa disekitar PT. X, perhitungan nilai ekonomi akibat erosi dengan valuasi ekonomi dengan menggunakan Nilai Ekonomi Total (NET) dan wawancara kepada ahli dibidang K3 dan reklamasi tambang untuk menentukan tingkat risiko dan prioritas pengendalian erosi. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor penyebab erosi yang paling dominan faktor penyebab erosi yang berpengaruh pada laju erosi adalah faktor P dengan perhitungan laju erosi dengan pendekatan USLE sebesar 35.351,69 ton/ha/tahun dan nilai Indeks Bahaya Erosi (IBE) dengan kategori Sangat Tinggi mendominasi area reklamasi dengan persentase 61,11%. Hasil penilaian keberhasilan reklamasi menunjukkan bahwa baru 2 dari 8 area reklamasi yang memiliki nilai diatas nilai minimum 80 dan tidak ada hubungan yang signifikan antara IBE terhadap nilai keberhasilan reklamasi namun ada hubungan signifikan dan berbanding terbalik antara IBE dengan parameter pengendalian erosi dan sedimentasi. Hasil perhitungan NET adalah Rp13,7 milyar/tahun dan prioritas utama dalam pengendalian erosi dari hasil judgement para ahli dari tingkat risiko rendah-sangat tinggi adalah kriteria efektivitas dengan jenis pengendalian erosi yaitu pengaturan kemiringan lereng sesuai standar geoteknik.

This research was carried out due to the mismatch between the predicted erosion rate and the actual condition of the erosion rate in one of the reclamation areas of PT. X. The purpose of this research is to reduce the impact of erosion on the mining reclamation activities of PT. X. This research method is carried out by using the calculation of the rate of erosion with USLE, the calculation of the Erosion Hazard Index (IBE) for the success of reclamation assessment, interviews with village communities around PT. X, calculation of economic value due to erosion using Total Economic Value (NET) and interviews with experts in the field of K3 and mine reclamation to determine the level of risk and priority for erosion control. The results of this study indicate that the most dominant factor causing erosion that affects the rate of erosion is the P factor with the calculation of the erosion rate using the USLE approach of 35,351.69 ton/ha/ year and the Erosion Hazard Index (IBE) value in the Very High category dominates. Reclamation area with a percentage of 61.11%. The results of the reclamation success assessment show that only 2 out of 8 reclamation areas have a value above the minimum value of 80. There is no significant relationship between IBE and the reclamation success value. However, there is a significant and inversely proportional relationship between IBE with erosion and sedimentation control parameters. The result of the calculation of NET is Rp13.7 billion/year and the main priority in erosion control from the results of the judgment of experts from the low-very high-risk level is the effectiveness criteria with the type of erosion control, namely setting the slope according to geotechnical standards."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Kajian Ilmu Lingkungan, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta Technipress 1960
R 403.062 Kam
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>